Haikyuu! © Furudate Haruichi

.

Warning : OOC, typo(s), ide mainstream, dll.

.

Not gay, just friendship.

Happy reading!

.

"Akaashi, jadilah kapten yang baik sepertiku!"

Pemuda itu membuka mata, mengerjap-ngerjapkannya barang sejenak. Tangannya yang berada di atas dahi ia turunkan dengan lesu. Akaashi memiringkan tubuhnya dan menatap lantai lapangan bola voli yang ia jadikan alas tidur sejak setengah jam lalu.

Mimpi itu lagi.

Sudah hampir setengah tahun sejak kelulusan semua anak kelas tiga, yang artinya separuh lebih pemain kelas tiga di timnya tidak ada. Akaashi tahu konsep yang pasti terjadi itu, hanya saja ia tidak pernah menyangka akan kesepian seperti ini. Terlebih lagi tanpa Bokuto yang mengganggunya.

"Mana bisa Bokuto-san? Aku tidak akan bisa menjadi kapten sepertimu. Tidak akan pernah bisa."

Ia bangkit duduk. Bola voli masih berserakan sejak ia tinggal istirahat dan jatuh tertidur tadi. Biasanya ia tidak akan sendiri memunguti bola-bola itu. Selalu ada Bokuto yang berisik yang membantunya. Selalu mereka berdua yang tinggal terakhir di gedung olahraga, tapi sekarang tidak lagi.

Akaashi tidak bisa lagi mengeluh dalam hati untuk kehebohan yang dibuat Bokuto yang mengomentari betapa hebatnya dirinya sendiri. Ia tidak lagi diberi lontaran tantangan bodoh seperti siapa yang mengambil bola paling banyak yang menang atau lomba siapa yang paling cepat mengepel lantai. Akaashi sudah tidak merasakan itu hampir enam bulan ini dan akan begitu untuk setengah tahun yang akan datang.

Rasanya ia sedikit merindukan itu. Atau mungkin banyak?

"Rasanya sepi sekali."

"Are? Akaashi? Kau masih di sini, kukira kau sudah pulang." Salah seorang rekan setimnya yang dalam perjalanan pulang menegurnya, mungkin karena melihat lampu gymnasium yang masih menyala.

"Aku sudah mau pulang."

"Seperti yang diharapkan dari kapten, kau berlatih sangat keras. Mau kubantu mengembalikan bola?"

Akaashi menggeleng pelan. "Tidak perlu."

"Kalau begitu aku duluan! Jaa na!"

Akaashi menatap kepergiannya, lalu pada bola-bola voli. "Ini hanya separuh dari latihanku yang dulu. Aku masih jauh dari kerja keras yang dilakukan Bokuto-san."

.

.

.

Kamp pelatihan musim panas.

Kali ini tidak seperti tahun yang lalu meskipun sekumpulan bocah berisik dari Karasuno dan Nekoma tetap bergabung dan malah tambah heboh. Tetap saja, Akaashi merasa ada yang kurang. Dia tidak lagi berlatih ekstra di gedung 3 bersama Bokuto juga Kuro seperti tahun lalu. Tidak ada yang meneriakinya untuk memberikan umpan yang tidak akan berhenti meski berjanji hanya satu kali lagi saja. Semuanya hanya bersisa berupa kenangan dari satu tahun yang lalu saja.

Gedung olahraga 3 masih menyala. Suara keras bola yang menyentuh lantai dan sorakan gembira dari spiker masih terdengar. Tapi tidak ada lagi suara hey, hey, hey, yang ia rindukan. Tidak ada lagi teriakan aku memang yang terhebat heboh yang selalu ia akui kebenarannya itu, walau tentu saja tidak pernah ia katakan langsung pada si pengucap kalimat.

Akaashi merindukan satu tahun yang dulu saat menatap gedung itu dari luar.

"Akaashi-san, apa yang kau lakukan?"

Tsukishima mengejutkannya. Ia tidak menyadarinya. Atau ia yang tidak sadar dengan sekitar?

"Tidak ada. Hanya lewat."

Tsukishima melirik ke gedung 3. Ia yakin Hinata berlatih tambahan di sana bersama Lev dan Inuoka. Teriakan mereka terlalu kuat untuk tidak didengar. Rasanya ia paham kenapa setter dari Fukurodani tersebut berdiri lama di sana.

"Jadi ingat masa lalu saat mendengar berisiknya mereka, ya."

Akaashi menoleh agak terkejut, meski begitu wajahnya tetap datar. "Apa? Kau juga?"

"Tidak juga. Hanya saja..." Tsukishima tidak meneruskannya. Ia akan berlawanan dengan yang ia katakan jika lanjut bicara. "Berlatih bersama Bokuto-san dan Kuro-san mengajariku banyak hal."

Pemuda tinggi itu berlalu. Ia mengelap lehernya dengan handuk putih yang sudah setengah basah beberapa kali. Akaashi tersenyum tipis. Ternyata tidak hanya dirinya saja. Hinata maupun Lev tidak bisa dibandingkan dengan dirinya mengenai perasaan ini, Akaashi tidak sama seperti dua bocah yang bisa gamblang menyatakan segala perasaan mereka. Tapi setidaknya, ia dan mungkin Tsukishima juga, tidak menyangkal merasakan itu juga.

.

.

.

Kejuaraan musim semi terakhirnya di SMA. Dan Fukurodani hanya masuk sampai perempat final, mereka gagal menuju babak selanjutnya.

Akaashi tidak terkejut. Timnya tidak sekuat yang dulu lagi walau tidak lemah, masuk perempat final tingkat nasional buktinya. Tapi di dalam enam orang yang bertanding di lapangan itu tidak ada lagi satu pemain yang termasuk lima ace terbaik se-Jepang. Dia tiba-tiba rindu teriakan kecewa dan kekesalan dari Bokuto. Jika ada Bokuto pasti mereka tidak hanya menangis, pasti laki-laki itu akan meneriakkan pada lawannya kalau ia akan mengalahkan mereka lain kali walau tahu lain kali itu tidak akan datang lagi.

Sekali lagi dari yang selalu ia rasakan hampir setahun ini, Akaashi sekali lagi merindukan kehadiran Bokuto di dalam timnya, di dalam hidupnya. Kerinduan yang akan muncul sekali lagi dan sekali lagi setiap ia mengingatkan memori yang pernah mereka lalui bersama.

"Kalah ya."

Akaashi menoleh. Hal yang sama dengan ada dan tidak adanya Bokuto hanya wajahnya yang selalu terlihat datar, meski perasaan di dalam hati berbeda saat ace kebanggaan Fukurodani itu ada.

"Tidak perlu mengatakan hal yang sudah jelas Kenma," balasnya.

"Kami juga kalah," ujarnya. Ia menatap lapangan lain. Dimana Karasuno sudah set point di babak kedua mereka dan mungkin yang akan menang karena kombinasi Hinata-Kageyama masih cukup hebat dan sulit ditangani oleh lawannya.

"Meski sama-sama kalah aku lebih suka pertandingan tahun lalu."

Akaashi mengangguk. Nekoma tidak melawan Karasuno tahun ini, tapi ia yakin ada alasan lain Kenma mengatakan hal itu. Mungkin alasan yang sama dengannya. Karena tahun lalu yang tidak bisa diulang itu memberi banyak kenangan yang tidak mudah dilupakan. Karena satu tahun yang dulu itu bukan sekedar waktu yang dihabiskan untuk latihan, kerja keras dan bersenang-senang. Tapi jauh lebih dari itu, karena ada orang berharga yang selalu mengganggu di sisi mereka.

.

.

.

Hari kelulusan.

Akaashi tidak pernah merasa bahagia lebih dari ini setahun belakangan. Upacara kelulusan yang sangat ia benci tahun lalu berubah menjadi hal paling ia nanti-nantikan melebihi final mereka di Inter-high. Rasa kosong di hatinya tahun lalu karena perpisahan malah terisi semangat baru meski sebenarnya di tahun inilah ia yang berpisah dengan teman-temannya.

Senyumnya lebar. Dadanya penuh semangat baru. Di kepalanya tersusun banyak rencana. Kelulusannya dari sekolah menengah sudah tercapai.

"Akhirnya. Akhirnya kita akan bermain voli bersama lagi Bokuto-san."

Akaashi tidak bisa menahan senyumnya lebih lebar daripada saat ia menerima piagam kelulusan. Ada alasan lain yang lebih besar dari berita kelulusan yang ia terima hitungan jam lalu. Tes masuk perguruan tingginya berjalan lancar, nilainya juga bisa dibilang baik. Lebih dari itu, tinggal menunggu hari ia masuk ke universitas. Universitas yang sama dengan Bokuto.

Satu hal yang membuatnya tersenyum lebar seperti saat ia masih menjadi wakil kapten dan memenangkan kejuaraan bersama kaptennya dulu. Mereka akan berada di satu tim yang sama lagi.

.

.

.

"Kiri! Kiri! Umpan padaku!"

Ah, betapa Akaashi merindukan teriakan ini. Berapa lama ia tidak melihat lompatan dan spike yang pernah ia anggap selalu menyita banyak waktu luangnya itu? Kenyataan yang tidak ingin dirinya yang dulu mengakui kalau ia merindukan ini, sekarang malah memuaskan rasa hampa yang ia rasakan setahun ini. Akaashi jadi merasa berkhianat pada dirinya sendiri.

"Wah, wah, anak baru sudah berdatangan. Semuanya ayo berkumpul!"

"Ternyata banyak juga yang bergabung tahun ini. Ayo kita mulai perkenalannya, mulai dari paling kanan!"

"Akaashi Keiji dari Akademi Fukurodani, posisiku sebagai setter. Salam kenal."

"Selanjutnya."

"Kozume Kenma, SMA Nekoma. Setter."

"Oke. Berikut—"

"Oya, oya, jadi kau merindukanku dan memutuskan untuk bergabung ke tim yang sama denganku ya, Kenma?" Kuro dengan santainya memotong pembicaraan kakak tingkatnya.

"Akaaashi! Kau merindukanku?! Apa kau merindukanku?! Kau sudah menjadi kapten yang baik kan?!"

Ah, berapa lama Akaashi merindukan ini? Hanya satu tahun, tapi rasanya lebih dari bertahun-tahun.

"Kuro! Bokuto! Jangan memotong kata-kata Kapten!"

"Wizz... Maafkan kami."

Akaashi tidak peduli ia tidak menjadi setter utama nantinya, atau menjadi wakil kapten lagi. Ia tidak keberatan dipimpin oleh kapten yang berbeda. Yang sangat ia syukuri adalah ia bisa bermain voli lagi bersama Bokuto.

.

.

.

Finished.

.

.

.

Halo, salam kenal semuanya! Ini fic debut saya di fandom Haikyuu, maaf kalau masih banyak kurang-kurangnya. Mohon bantuannya, mina-san!

Mind to review?