Satu melodi mengikat mereka ke dalam kisah dongeng yang sama. Kisah cinta tak usai. Hati yang tersakiti. Dan empat persepsi tentang setia yang berbeda.
"Pada akhirnya, hati akan berpihak pada takdir."
.
Peri Labu Present:
A KyuMin fanfiction
"Cruel Fairy Tale"
Warnings: boyxboy. KyuMin slight MinWook. Alternate Universe. This just a prolog. OOCness for all chara. I've warned you. So, don't like? Don't read!
enJOY!
.
.
.
Prelude: Our Apart
…
Loath to Depart
Salah satu etude karya Chopin itu mengalun lamat-lamat. Menjadi satu-satunya bunyi yang memenuhi ruang tengah apartemen mewah milik pemuda itu. Sosoknya dalam balutan kemeja putih kebesaran tampak seperti boneka porselen: cantik, anggun, tanpa ekspresi.
Bibirnya yang berwarna pink alami mengatup, sementara matanya yang bulat besar menatap lurus pada layar iPad. Ada desain 3D sebuah resort yang bergerak-gerak di layar itu selagi jemari-jemarinya yang panjang bergerak memberikan sentuhan desain. Ada saat di mana ujung bibirnya tertarik sedikit, membentuk senyum saat sebuah jendela berada di tempat yang pas. Namun ada saat di mana ujung bibirnya tertekuk ke bawah, merasa tidak puas ketika beberapa pintu justru menyebabkan pencahayaan tak tepat.
Berjam-jam habis berlalu dengan ia yang masih setia menyelesaikan desain itu. Beberapa cangkir kopi tandas, namun lagu yang mengalun tetap sama. Seolah merefleksikan judul karya pendek itu.
Etude op. 10 no. 3 atau Tristesse, sebuah lagu sedih yang tercipta dari tangan melankolik Chopin. Tapi pemuda itu menyukainya. Lagu yang membuatnya merasa tenang, lagu yang membuatnya merasa tidak perlu beranjak ke manapun. Sama seperti saat ini, saat ia lagi-lagi tidak pernah mengubah playlist-nya itu. Satu playlist yang berisi sebuah lagu. Simbol kesetiaan.
Pemuda itu benci ditinggalkan, lantas mengapa ia perlu meninggalkan? Baginya, tidak ada alasan untuk meninggalkan sesuatu yang membuatnya nyaman demi sesuatu yang bahkan tidak ia ketahui.
Baginya, cukup setia maka segalanya akan baik-baik saja.
..::.
Etude op. 10 no. 3
Di antara nada-nada yang terdengar di seluruh penjuru Praha, telinganya hanya mampu menangkap suara piano itu. Old Town Square di Republik Ceko seperti kotak musik, sepanjang tahun, akan ada musik yang terdengar di mana-mana. Tapi ia menulikan telinga, ia hanya ingin mendengar etude favoritnya itu sekarang.
Jemarinya yang kurus panjang memainkan lagu itu dengan apik. Satu dari sekian lagu pendek yang diciptakan oleh Chopin untuk melatih kemampuan jari. Ia bukan pianis pemula, karya-karya pendek Chopin lainnya macam Prelude-prelude op 28 yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi bisa ia mainkan dengan keakuratan nada sempurna.
Ia memainkan sebuah lagu karena ia menyukainya. Sama seperti ketika ia memainkan etude ini berkali-kali. Lagu sedih yang jarang ia tampilkan untuk khalayak. Di hadapan orang-orang yang datang untuk menyaksikan permainan pianonya, ia lebih memilih Ballade in Ab Op. 47, sebuah karya Chopin lainnya dengan irama yang riang.
Tapi untuk waktunya sendiri, saat ia hanya menikmati musik dalam kamar apartemennya yang sepi, dengan matanya yang menatap sendu ke arah Karluv Most, lagu sedih itu akan mengalun. Lagu yang cukup untuk menggambarkan satu sisi hatinya yang terluka. Luka yang terendap cukup lama, luka yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun. Bahkan, romansa yang menyelimuti Praha tidak cukup untuk membuatnya melupakanluka perih itu.
Nyatanya, pemuda berambut ikal cokelat ini bukan orang yang kuat. Sebab, lagi-lagi lagu itu berhasil membunuh pertahanannya. Sekali lagi, ia menangis sendiri untuk luka di hatinya.Luka yang ia dapat dari bentuk kesetiaan.
Kesetiaan yang terwujud dengan cara menyakiti orang yang dicintainya. Bentuk kesetiaan yang tidak bisa ia sesali hingga kini. Tidak bisa, bukan tidak ingin.
Dan dalam pemahamannya, ada saat di mana setia berarti meninggalkan.
"Mianhae …,"
..::.
Ia bukan tipikal pecinta musik, terutama musik klasik yang cenderung sulit. Namun untuk satu lagu berdurasi pendek itu, ia membuat pengecualian.
Etude op. 10 no. 3 karya Chopin.
Ia tidak pernah tahu siapa Chopin, tidak pula tahu mengapa judulnya begitu tidak biasa bagi telinganya. Tapi ia benar-benar membuat pengecualian. Terlepas dari nama komposer dan judulnya yang asing, lagu itu membuatnya tenang. Ada kesedihan di antara susunan nadanya yang lembut. Kesedihan yang entah mengapa berhasil membuatnya merasa nyaman. Bukan sedih yang menyesakkan.
Semacam jalan keluar. Mungkin.
Ia memang tidak tahu banyak hal tentang musik. Dunianya adalah kanvas, cat, dan imajinasi yang terejawantahkan melalui goresan kuasnya. Ia tidak mengenal Chopin, tapi ia mengenal baik van Gogh. Pelukis dengan hidup dramatik hingga akhir hayatnya.
Ia tidak suka menyebutnya memuja, tapi ia menyukai lukisan-lukisan van Gogh. Kesukaan yang wajar, tidak seperti seseorang yang menunjukkan gestur memuja pada lagu sedih ciptaan pria bernama Chopin itu. Ia mengenal orang itu, menghormati sosoknya, termasuk menghormati keputusannya saat lagu instrumen itu mengalun di antara mereka selama berjam-jam.
Ia tersenyum sedikit, saat lagi-lagi ingatannya tertuju pada orang itu. Orang yang menjadi alasan seluruh lukisannya menjadi 'hidup' dan 'berjiwa'. Sama seperti satu lagi lukisannya yang baru saja ia buat.
Lukisan dengan potret seseorang dalam sosok malaikat, berlatarkan warna monokrom abu-abu yang pudar. Hidup, bernyawa. Lebih dari semua lukisan yang pernah ia buat seumur hidupnya. Sosok itu pula yang membuatnya mengikrarkan diri pada satu ultimatum: setia.
Setia pada segala macam kondisi. Termasuk setia untuk menunggu. Ia tidak keberatan. Sebab baginya, setia adalah bentuk lain dari cinta. Ia tidak butuh kalimat cinta yang banyak, ia hanya butuh setia. Dua orang yang mencinta, hanya butuh setia untuk membanggakan perasaan. Setidaknya, begitu yang selalu ia yakini.
Ia tersenyum lagi, kali ini begitu tulus, begitu polos.
"Saranghae …,"
..::.
Cangkir di atas meja dari akar kayu jati itu masih mengepulkan asapnya, saat pemutar piringan hitam di salah satu sisi perapian mengalunkan satu lagu yang sama berkali-kali.
Tristesse—Chopin
Dalam bahasa Spanyol, berarti kesedihan. Lagu yang selalu berhasil memukulnya telak dan mengingatkannya akan tahun-tahun sulit belakangan ini. Ia memang pernah memasrahkan diri atas segala takdir Tuhan. Tapi, pasrah bukan berarti melupakan. Kenangan itu melekat di memorinya, mengaratkan hatinya.
Pemuda berkepala besar itu memang bukan tipikal orang yang akan mengingat banyak hal di masa lalu. Ia tidak hidup di masa lalu, ia hidup di masa kini. Mempermasalahkan hal yang telah lewat bukanlah kebiasaannya, tapi kejadian yang terjadi bertahun-tahun lalu itu terus menghantuinya, membentuknya seperti sekarang ini.
Ia tidak menyalahkan siapapun yang pernah terlibat di masa itu. Kalaupun ada yang perlu disalahkan, itu sudah tentu dirinya. Ia yang membuat segalanya rumit. Dan dengan satu keputusan tak masuk akal, ia menyebutnya bahagia.
Ia tak tahu bagaimana menyebutnya, tapi ia anggap inilah yang mereka sebut kesetiaan. Setia untuk memberikan orang itu kebahagiaan, bagaimanapun bentuk bahagia itu. Setia untuk tetap berada di sisinya sebagai malaikat tanpa sayap.
Menjadi budak pun, ia merasa akan baik-baik saja. Asalkan senyum itu tetap di wajah orang yang pernah dilukainya. Ya. Asalkan orang itu tetap tersenyum, ia bisa mengucapkan seribu kalimat syukur pada Tuhan.
Bersyukur karena ia tetap setia.
"Gamsahae …,"
..::.
Labu's Note:
Blur? Sedikit! Sang arsitek, Pianist, Pelukis, dan sosok di depan perapian bisa ditebak, kan?
Ini hanya prolog. Kalau respon bagus, saya update cepat chap 1-nya.
Salam Peri!
