Kita

Bukanlah satu dari sekian juta

Bukan pula sejuta dari banyaknya satu

Kita, adalah debu yang mengais tubuh, bergumul

Melindungi diri dari lingkup badai berangin yang siap membawa lari

Kita

Adalah secuil cerita dari kisah selamanya yang tak pernah ada

Adalah ikatan yang jelas tengah dipersatukan Tuhan

Kita, bukanlah pertemuan semu, cinta

Tapi sebaris kalimat yang telah Ia takdirkan bersama

-af-

Keluarga

Itachi menatap heran adik semata wayangnya yang masih saja mematut diri di depan cermin setinggi orang dewasa. Mata kelamnya mengikuti gerakan adik laki-lakinya itu kesana kemari. Bergulir ke kanan dan ke kiri. Kemudian berputar dan akhirnya berbalik untuk kembali memilih baju lagi. Kepalanya sampai pusing tujuh keliling.

Saking lelahnya, ia bahkan bersender pada pintu , tangannya terlipat di dada. Pose yang sungguh awesome, yang mampu meluluhkan puluhan wanita juga banyak pria menyimpang. Senyum simpul tampil di wajahnya yang tegas. Mengingat adanya tanda lahir mirip keriput di masing-masing pipinya, tak membuat sosok Uchiha Itachi kehilangan pesona.

Kembali ke kegiatan awal mengamati adik laki-lakinya, Sasuke. Ia perlahan mendekat. Mencoba membantu apa yang sekiranya menjadi masalah pemuda itu sampai dirinya harus mondar-mandir seperti orang linglung. Berbagai macam baju tercecer di ranjang kamar itu. Dari yang kasual, modis sampai formal. Itachi duduk perlahan, jari-jari panjangnya perlahan menyingkirkan helai-helai kain itu. Tidakkah berlebihan, mengapa adiknya sampai harus menghabiskan lima jam hanya untuk memilah baju. Bukankah Sasuke adalah tipe orang yang tidak terlalu mempermasalahkan penampilan? Apa acara nanti malam benar-benar menghilangkan sifat Sasuke yang biasanya?

"Bantu aku, Nii-san?". Rengekkan itu mengalun di telinga Itachi. Ia mengalihkan matanya dari tumpukan pakaian pada Sasuke yang masih saja mematut diri di cermin. Saat ini ia sedang mencocokkan kemeja putih dengan jas abu-abu.

"Hmm kurasa itu cocok untukmu". Itachi sedikit berpikir. Ia menopang dagu, menilai apakah baju yang masih saja Sasuke pelototi itu cocok untuk ia kenakan nanti malam.

"Cocok darimana!". Sasuke berbalik, mendekatkan dua dari sekian banyak pakaiannya pada sang kakak. "Tidakkah ini terlalu formal?"

Itachi diam lagi. Sejenak meneliti, apakah benar kalau pakaian itu terlalu formal untuk Sasuke. "Eumm kenapa kau tidak pakai pakaian yang seperti biasa kau pakai. Mungkin ini... dan ini. Bukankah mencerminkan seorang Uchiha Sasuke?". Sembari berkata demikian, dua tangannya mencomot kaus polos lengan panjang blue navy dengan syal warna coklat dengan corak kotak-kotak. "Sepertinya cocok dengan celana yang kau pakai", tambahnya kemudian.

"Nii-san!".

Itachi hanya tersenyum. Melihat gembungan pipi Sasuke memunculkan niat dalam hatinya untuk mencubit pipi adiknya, mengingatkannya akan masa lalu dimana ia sering menjahili dua pipi tembam itu. Sasuke masih bersungut-sungut, ia kembali mencomot asal-asalan baju dan mematut diri lagi di cermin. Tak peduli dengan kekeh geli kakak tersayangnya.

"Kau akan tetap tampan dengan pakaian apapun Suke..."

"Tapi nii-san, Naruto akan mempertemukanku dengan Minato ji-san dan Kushina ba-san. Aku tidak mungkin menggunakan pakaian semrawut yang biasa kupakai kan?", kata-kata itu terlontar dari mulut Sasuke tanpa dirinya harus berbalik.

Itachi kembali terdiam. Ia melirik figura yang terpajang dengan apik di lemari buku Sasuke. Figura yang menampilkan sosok Sasuke masa kuliah dengan bocah blonde yang baru saja disebutkan namanya. Tatapannya meneduh. Ia tidak menyangka kalau adiknya sekarang sudah besar. Sasuke kecil sudah bertransformasi menjadi sosok menawan yang memikat banyak orang. Membuatnya sedikit banyak diperebutkan oleh mereka yang jatuh pada pesonanya. Membuat Itachi harus sedia pasang badan. Tapi saat ini, sepertinya peran sang pelindung harus sedikit terbagi. Karena ada sosok lain yang juga siap melindungi Sasuke sampai mati. Sosok yang begitu dicintai adik kecilnya. Sosok yang juga menggenggam erat tangannya saat Sasuke dalam keadaan di ambang kematian. Meski akhirnya permata hitam Sasuke kembali terbuka, juga berkat sosok itu. Namikaze Naruto.

Mengingatnya membuat Itachi memejamkan mata.

"Nii-san!"

"Eh?". Goncangan diberikan, Sasuke kesal karena kakaknya tak juga angkat menjawab panggilannya. Padahal kan ia memanggil Itachi untuk minta bantuan. Tapi yang dimintai bantuan malah melamunkan entah apa.

"Huh! Kau melamun ya?"

"Hhh... kau sudah biasa datang ke rumah Naruto. Minato ji-san dan Kushina ba-san sudah biasa melihatmu. Kalian kan teman dari kecil. Jadi untuk apa kau memikirkan baju mana yang harus kau pakai, hm?"

"Tapi kan..."

"Sasuke, jadilah dirimu sendiri. Percayalah kalau mereka akan menerimamu apa adanya. Bukankah Naruto sendiri yang bilang begitu? Lagipula, kau tetap menawan dengan pakaian apapun".

"Ta-"

TIT TIT TIT

Suara klakson mobil terdengar di kamar Sasuke. Pemuda itu segera berlari ke arah jendela untuk melihat siapa yang datang. Itu Naruto. Langsung rasa panik merambahi pikirannya. Sasuke belum berdandan, ia masih saja belum memutuskan mana yang akan dipakainya. Dan itu membuatnya bingung bukan kepalang.

Itachi yang melihat kegursaran adiknya kembali tersenyum. Ia dekati Sasuke yang masih berkutat dengan tumpukan baju. Tangan kanannya menyisir rambut hitam itu dari belakang, membuat Sasuke menoleh. "Jadilah seperti Sasuke yang biasanya. Ada Naruto disana, kau tak perlu khawatir. Mengerti!". Suara lembutnya membuat Sasuke terdiam. Ia menunduk dalam. Meresapi tiap kata kakaknya. "Turunlah sepuluh menit lagi. Kau tahu kan Naruto bisa jadi sangat berisik? Kasihan ayah."

Selesainya kalimat terakhir Itachi, Sasuke baru mengangkat wajahnya. Ada sebulir air mata menggenang di sudut mata kanannya. Sebelum akhirnya mengangguk, menyanggupi perintah Itachi. Ya, jadi diri sendiri lebih baik. Lagipula akan ada Naruto nantinya, jadi tak perlu khawatir.

.

.

Naruto sedang bercengkerama dengan Fugaku ketika Itachi turun. Disana ada pula Kyuubi dengan bayi kecil berusia sekitar delapan bulan yang tengah dipangkunya. Kyuubi adalah istri Itachi yang ia nikahi setahun lalu. Sebenarnya masih kerabat jauh dari Naruto. Tepatnya keponakan Namikaze Kushina, ibu Naruto. Mereka tampak asyik menikmati obrolan ringan dengan sesekali mengambil suguhan yang memang sudah tersedia.

"Ehm! Kalian tidak meninggalkanku dalam obrolan seru kan?", kata Itachi. Menolehkan tiga pasang mata juga kerjapan lucu bayi mungil di pangkuan Kyuubi.

"Dimana Sasuke?". To the point. Pemuda pirang itu sangat tidak sabar ketika menanyakannya. Ada kekeh geli dari Fugaku yang mampir di pendengarannya. Mungkin lucu. Bukankah Naruto dan Sasuke baru bertemu kemarin?

"Tidak sabar seperti biasa". Itachi melangkah, mendekati tiga orang dewasa dan satu bayi disana. Kemudian mengambil bayinya untuk ia timang sendiri, sebelum duduk di sebelah Kyuubi. Mengacuhkan tatapan bertanya Naruto, Itachi menjawab, "Kau itu, tidak bisakah lebih sopan? Aku ini calon iparmu tahu!"

Sontak yang ada disana tertawa, bahkan bayi kecil di pangkuan Itachi pun tertawa. Hanya Naruto yang menggembung lucu. Namun terlihat menjijikan bagi Itachi.

Mereka masih saja tertawa, mengerjai si pirang bermata biru itu memang mengasyikkan. Sampai tanpa sadar, suara sepasang sepatu bergema dari arah tangga. Sasuke turun sepuluh menit kemudian, setelah wajah Naruto memerah sempurna. Ia mengenakan kemeja putih untuk dalaman dengan sweater coklat muda. Dipadukan dengan celana jeans hitam yang pas dengan kaki jenjangnya. Rambutnya ditata sedemikian rupa, meski kesan emo tak lepas dari wajahnya. Jam tangan hitam yang dibelikan Naruto sebagai hadiah ulang tahunnya 4 bulan lalu, melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Kakinya dibalut sepatu merk terkenal. Rupanya Sasuke sudah lebih dari siap.

Naruto terpana. Baginya Sasuke terlihat lebih tampan dari biasanya. Aura bahagia memancar di sekelilingnya. Kelerengnya bergulir, meneliti penampilan Sasuke dari atas ke bawah. Membuat kikuk objek yang saat ini menyorot perhatian semua mata di ruang tamu kediaman Uchiha.

"Matamu hampir keluar Naruto". Celetukan Kyuubi menyadarkan pikiran tiga pria dewasa disana. Fugaku dengan tatapan takjub, melihat anak bungsunya sudah menjadi dewasa. Itachi memberikan tatapan yang seolah berbunyi 'oh adikku, entah kenapa aku sedikit tidak rela kau tumbuh begitu cepat'. Sedangkan Naruto, ia takjub, terpesona, kagum dan jangan lupa ada kilatan lapar di bola matanya.

Malam ini, Uchiha Sasuke... sempurna.

"Eh!", begitulah respon Naruto. Ia berjalan ke arah Sasuke. Mengulurkan tangannya, menyentuh pipi kiri Sasuke. "Aku tidak tahu kalau kau bisa sememesona ini."

Mendapat pujian dari orang yang sangat dicintainya itu membuat perasaan Sasuke melayang. Pipinya terbakar, memerah sempurna. Menundukkan wajahnya dari jerat tatapan lembut Naruto. Takut kalau dirinya akan jatuh lebih dalam pada pesona pemuda Namikaze itu.

.

.

"Kau siap?"

Sasuke menarik nafas panjang, menghembuskannya lewat mulut. Kalau boleh jujur, saat ini ia tengah gugup. Nerveous, takut, minder, apalah, pokoknya ia sangat tidak yakin untuk melangkahkan kakinya memasuki mansion Namikaze. Padahal biasanya, jangankan masuk ke rumah Naruto, masuk ke kamar pemuda itu pun Sasuke tak pernah merasa segugup saat ini. Ia biasa berseliweran seolah mansion itu adalah mansionnya sendiri. Maklum, mereka berdua adalah teman kecil yang dari dulu sulit dipisahkan. Semua orang dari satpam sampai pembantu mengenal siapa dirinya.

"Entahlah Naru, aku gugup".

Naruto membalikkan posisi Sasuke menjadi berhadapan. Ia mencengkeram lembut pundak pemuda yang sangat disayanginya itu. Meyakinkan lewat tatap matanya, bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tenanglah, kau percaya padaku kan?"

"Hhhhhh...", menghela nafas lega, Sasuke "ya, aku percaya!", ujarnya mantap.

.

.

Sudah dua puluh menit berlalu, dan sudah berpuluh-puluh peluh membanjir tengkuk Sasuke. Orang mana yang tidak akan berkeringat dingin kalau dihadapkan dengan sepasang mata biru yang menatap tajam dirinya selama lebih dari sepuluh menit. Dibawah sana tangan Sasuke bermain dengan ujung kemejanya. Ia gugup setengah mati. Tidak, Sasuke tidak takut. Ia hanya gugup ingat itu!

Ingatkan Sasuke untuk memukul Naruto yang tidak mengatakan bahwa glare milik Namikaze ternyata lebih mematikan daripada milik Uchiha.

Naruto yang ada ditengah-tengah situasi saat ini hanya memijat pelipisnya. Ia tidak mengerti mengapa sang ayah harus mengeluarkan jurus pamungkas Namikaze yang bahkan membuat Uchiha Fugaku bertekuk lutut. Demi apa Sasuke masihlah pemula dalam urusan glare, dia belum terlalu mengenal dunia per-glare-an secara mendalam.

"Tou-sa.."

PLAKK

"Itt-tai!"

Baru saja Naruto ingin menegur ayahnya agar kembali menyembunyikan tatapan tajam miliknya yang mampu menumbangkan pewaris glare terkenal Uchiha. Sebelum Kushina, ibu Naruto menampar keras belakang kepala ayahnya.

"Berhenti membuat Sasuke-chan takut, Minato!", bentak Kushina. Perempatan muncul di sisi kiri dahinya. Sepertinya pukulan tadi ia keluarkan dengan sekuat tenaga. Buktinya Minato sampai menjerit kesakitan. "Atau kau tidur di luar!"

"Heeehhhh...", Minato masih memegangi belakang kepalanya yang terasa nyut-nyutan. Telinganya berdenging mendengar kata-kata Kushina, efek pukulan tadi luar biasa dahsyatnya. "Kau kejam, Kushi-chan!"

"Makanya, jangan bertingkah!", delik Kushina pada suaminya. Wanita berambut merah itu kemudian menoleh Sasuke, tersenyum lebar selebar Naruto. "Jangan diambil hati ne, Sasuke-chan. Ayo, makan malam sudah siap!". Kushina menggamit tangan Sasuke meninggalkan dua orang laki-laki, yang satu masih memegangi kepalanya yang satu menyeringai puas.

"Aku juga akan melakukan hal yang sama, jika tou-san membuat Sasuke takut lagi!"

"Hieeehhh... anak durhaka kau, Naruto!"

.

.

Acara makan malam keluarga Namikaze kali ini sedikit menegangkan. Sebenarnya ketegangan itu hanya berasal dari kepala keluarga saja. Minato masih saja memicing tajam ke arah Sasuke. Memaku gerak-gerik lelaki itu. Kushina yang menyadari hal itu menghela nafas berat. Baru saja ia akan memukul kepala suaminya, namun dipotong oleh ucapan Minato.

"Uchiha Sasuke, kau benar-benar mau menikah dengan anakku?"

Suara berat itu sontak mmemecah kesunyian meja makan tersebut. Tiga pasang matta dengan tiga manik berbeda warna melempar tanya pada Minato. Yang hanya dibalas dengan tatapan lurus sepasang manik yang persis dengan milik Naruto pada Sasuke. Sadar akan tatapan itu, Sasuke salah tingkah. Tidak biasanya, pria ramah layaknya Minato ji-san bicara seperti itu.

"Minato/Atah?", Kushina dan Naruto menjawab bersamaan. Tak habis pikir dengan tingkah suami dan ayahnya itu. Demi apa, seminggu yang lalu ayahnya itu sudah setuju jika Naruto melamar Sasuke. Pria paruh baya itu bahkan begitu antusias saat tanpa sengaja Naruto mendengar percakapannya dengan Fugaku. Merencanakan pernikahan mewah untuk Naruto dan Sasuke. Ia sendiri yang mengatakan akan turun langsung saat persiapannya. Lha sekarang? Sikapnya berubah 180 derajat.

"Jadi Sasuke, kau benar-benar mau menikah dengan anakku?"

"Minato..."

"Aku bertanya pada Sasuke Kushina!". Kalau Minato sudah memanggil Nama seseorang dengan nada serius, berarti hal itu tidak boleh disela, bahkan istrinya sendiri.

"Ya, ten-tentu saja ji-san", lirihnya. Sasuke sebenarnya takut bertatapan langsung dengan Minato, tapi demi mendapat kepercayaan ayah dari orang terkasihnya Sasuke harus memberanikan diri, kan.

"Kau yakin?"

Minato masih mengintimidasi Sasuke, acara makan malam kala itu berubah jadi ajang interogasi. Naruto memijat pangkal hidungnya, benar-benar kehabisan ide dengan kelakuan sang ayah.

"Sudahlah tou-san..."

"Aku sedang bicara dengan Sasuke, Namikaze muda!". Skak! Naruto tak bisa apa-apa kalau sudah begini. Terserahlah orang tua itu mau melakukan apa.

"Yakin, ji-san."

"Berhenti bicara yang tidak-tidak Minato! Kau membuat Sasuke takut!", Kushina masih mencoba mencairkan suasana, khususnya suasana hati Minato.

"Kau tahu konsekuensinya kan?", Minato tidak peduli peringatan sang istri. Ia terus saja melempar pertanyaan pada Sasuke.

"Maksud ji-san?"

Minato menghela nafas, bocah polos seperti Sasuke tahu apa tentang anaknya. "Sasuke, aku tidak mungkin mengijinkanmu menikah dengan Naruto."

JGERRR

Seperti ada petir yang menyambar padahal langit malam cerah tak berbintang. Kushina, Naruto dan Sasuke syok mendengar pernyataan Minato. Tidak mengijinkan katanya? Katakan kalau ini adalah mimpi.

Naruto berang, ia menggebrak meja makan. Air minum tumpah, makanan berhamburan. Naruto sangat marah.

"Apa maksud, tou-san!"

Minato diam, santai menyeruput tehnya. Kushina ikut-ikutan menggeram. Sasuke hampir menangis sesenggukan.

"Apa maksudmu Minato!"

Dengan tenang Minato menjawab, "Maksudku", sengaja menjedanya agar meja makan kembali menegang. Membiarkan kemarahan Kushina dan Naruto merajalela. "Sasuke terlalu polos untuk Naruto. Bayangkan saja, setiap hari Naruto bahkan tidak bisa bangun pagi. Jarang gosok gigi, cuci muka apalagi. Naruto tidak bisa jaga diri. Makan minta disuapi, minum minta dilayani. Masih manja seperti seorang putri. Model begini,", telunjuknya dengan sangat tidak sopan menunjuk Naruto dari kepala sampai kaki. "Tidak cocok untuk Sasuke yang manis."

Malam itu dengan panjang kali lebar, Minato menyebutkan satu persatu kejelekan Naruto pada Sasuke. Tanpa terkecuali, bahkan sampai kebiasaannya nyanyi di kamar mandi dengan suara kesana kemari. Ck ck ck!

-silahkan tinggalkan pesan dan kesan-