How can I lose something that I never had?

.

.

.

How can I miss someone who isn't even mine?

.

.

.


Tell Me If This Is Love © thexoxygen

((I don't own these characters))

KaiHun / SeKai pairingthe point of this, if you don't like please don't read, thanks.


.

SEHARIAN ini ia berniat untuk tidak berbicara pada siapapun—ayahnya maupun ibunya. Pemuda dengan kulit kecokelatannya itu mendesah ketika pada akhirnya ia bersama keluarganya akan menempati tempat tinggal baru mereka di daerah Seoul. Ia masih kesal karena Busan, tempat dimana ia tinggal selama belasan tahun itu, akan menjadi kenangan semata—ya, akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Seoul, walaupun kenyataannya ia lebih menyukai tinggal di Busan. Ia menyukai bagaimana asyiknya memancing di dekat dermaga dan sebagainya dan begitulah alasan mengapa kulitnya menjadi tidak sebening ketika ia masih kecil dulu.

Kim Jong In, begitu nama lengkapnya, sedang tidak terlelap di kamar barunya. Ia hanya merebahkan setengah tubuhnya mulai dada hingga ujung kaki dan sisanya bertumpu kepada kedua tangan yang terlipat dibelakang kepalanya menggunakan sebuah bantal dengan ukuran yang cukup besar sebagai tumpuan. Ia masih membayangkan kalau siang hari ini biasanya ia sedang pergi memancing bersama beberapa sahabatnya dan kembali pulang ketika waktu menjelang sore dengan membawa beberapa ekor ikan yang ukurannya beragam. Tapi sekarang—well, ia hanya meringkuk di atas kasurnya sambil sesekali bersenandung kecil.

Ah ya, iPodnya tertinggal di Busan, omong-omong.

Biasanya ketika ia tidak ada kerjaan seperti ini, pemuda ini selalu mendengarkan musik dari iPodnya dilanjutkan dengan mata yang tiba-tiba terpejam. Namun sayang sekali benda yang dimaksud ada pada temannya yang tinggal di Busan dan ia lupa mengambilnya. Dan inilah salah satu kebiasaan buruk yang ia miliki.

Oh, Kim Jong In juga tidak hanya menyukai pergi memancing dan mendengarkan musik. Tidur juga termasuk dalam kategori hal yang menjadi favoritnya. Baginya, tidur di tengah-tengah cuaca panas merupakan hal yang paling menyenangkan, atau bahkan ia pernah berada di alam mimpi hingga lebih dari lima belas jam.

Ya, ini dia kebiasaan buruknya yang lain.

Tapi, ah, kali ini ia tidak ingin pergi ke alam mimpi walaupun matahari di luar sana terlihat sangat terik. Seoul yang merupakan kampung halamannya justru hanya sesekali ia kunjungi. Dan sekarang ia penasaran dengan ibukota negaranya tersebut. Bukan hendak menjelajah seisi kota Seoul—seperti berbelanja atau pergi ke klub karena ia tidak begitu suka—tapi ia malah ingin menjelajah rumahnya sendiri.

Tempat tinggal barunya di Seoul ini memang terbilang cukup besar. Dengan halaman rumah yang cukup luas ditambah bangunannya yang merupakan bangunan bertingkat dengan banyak sekali tempat-tempat yang menurutnya cukup mengesankan justru membuatnya penasaran. Dan ya, sebenarnya rumah barunya ini memiliki 3 lantai, hanya saja lantai ketiganya tidak begitu terlihat dari luar karena isinya hanya berupa loteng yang merangkap sebagai gudang. Dan tangga menuju loteng tersebut tepat berada di dekat pintu kamarnya.

.


.

Kim Jong In bangkit dari kasurnya. Sejenak ia melihat ke arah luar jendela dimana terdapat suara-suara berisik dari kedua kakaknya yang tengah membersihkan halaman sambil bercengkerama. Ia terpekur sejenak lalu detik kemudian kedua langkah kakinya mengarah keluar pintu. Dilihatnya satu sudut—dari bawah memang terlihat menyeramkan. Tapi pada akhirnya ia menjejakkan kaki di beberapa anak tangga dan sampailah ia tepat di depan pintu loteng tersebut.

Jemari tangannya menggenggam erat sebuah kunci yang baru saja ia ambil dari sebuah gantungan kecil tepat di sebelah pintu tersebut. Lalu ia mulai memasukkan kunci dan memutar kunci tersebut. Terdengar suara kecil lewat indera pendengarannya. Dan kemudian ia mulai meraba-raba kenop pintu, bermaksud untuk membukanya.

Ruangan kosong dengan banyak sarang laba-laba terlihat jelas lewat kedua iris gelap miliknya.

Menutup mulutnya dengan sebelah tangan, Jong In menyelinap masuk. Benar saja, gudang yang memang sudah tidak terpakai dengan banyak debu di sana sini membuatnya hampir terbatuk sekaligus bersin dalam satu gerakan. Bahkan ada suara tikus yang mencicit dari arah bawah.

"Aa, kotor sekali tempat ini," Jong In mendesah. Loteng itu juga terlihat sangat gelap namun ada sedikit cahaya terang di sudut dekat jendela. "dan gelap. Hanya ada satu jendela di ujung sana. Suram sekali. Tempat ini bahkan sangat cocok sebagai tempat berkumpulnya para hantu."

Jong In menghampiri jendela tersebut, lalu membuka jendela itu perlahan. Terdengar sebuah decitan kecil yang makin menampakkan kesan horor.

"Hei, nuna!" Pemuda itu setengah berteriak, dilihatnya dua orang gadis tengah terduduk di atas rumput di bawah sana. "Hei, dari atas sini!" Begitu katanya ketika kedua kakaknya tengah mencari asal suara yang memanggil mereka.

"Loh, Kai?" Salah satu kakaknya menyipit. Terlihat sosok Kai yang tengah melambai pelan dari arah loteng. "Hei, kau sedang apa disana? Jangan seperti itu, nanti kau jatuh, bodoh!"

Kai—begitu pemuda ini dipanggil—hanya tertawa. "Aku hanya penasaran dengan loteng ini. Tempatnya sangat menyedihkan dan uhm, kotor sekali."

Salah satu kakak perempuannya yang lain mulai membuka mulutnya. "Aa, kalau begitu kami akan kesana, mumpung kami sedang ingin bersih-bersih." serunya sambil menunjukkan sebuah sapu—sapu untuk menyapu halaman.

"Itu sapu halaman, nuna," Kai menggeleng pelan sementara kedua kakaknya hanya tertawa. "Silakan kesini jika kalian tidak takut dengan tikus-tikus." lanjutnya lalu melirik sesaat ke arah belakang. Benar saja, suara decitan tikus makin terdengar, bahkan tadi ada yang sempat melangkahi kakinya.

"Hee, ada tikus? Kalau begitu kami disini saja. Kau saja yang bersihkan loteng itu."

"Hah? Tapi loteng ini luas dan aku—"

Salah seorang kakaknya mengacungkan sebuah sapu. "Kau berniat membantah kakakmu, Jong In-ah?" serunya, membuat Kai hanya mengerucutkan bibir.

"Aa, baiklah, baiklah," desisnya lalu segera berbalik dan melangkah pelan menuju lantai dasar.

.

.

.

Kai sudah kembali dengan membawa sebuah kemoceng dan sapu lantai serta berpenampilan seperti teroris dengan masker yang menutupi mulut dan hidungnya, kacamata, dan juga jaket hitam.

Matanya melirik keadaan sekitar. Loteng ini bernar-benar luas dan ia berpikir bahwa ia tidak akan bisa membersihkannya sendiri—ditambah dengan banyaknya barang yang ada. Ingat kan kalau itu juga termasuk gudang?

Pemuda itu beralih mulai dari satu sudut. Dengan gerakan gesit dan cepat, ia segera memindahkan barang-barang kecil dan mulai membersihkannya. Matanya sempat menjumpai beberapa ekor tikus yang mungkin begitu kesal ketika tempat tinggalnya selama ini terusik oleh ulah manusia. Mereka mendecit, lalu kemudian beralih ke luar loteng. Yak, tikus-tikus tersebut berhasil kabur!

Ada banyak sekali barang di tempat itu. Mulai dari kursi dan meja, lemari pakaian, peralatan dapur dan lain-lain. Bahkan tadi ada juga sebuah tempat tidur dengan ukurannya yang cukup sedang tertutupi kain putih. Dan kesemua barang itu sudah tidak terpakai walaupun masih cukup bagus.

Terlintas di pikiran Kai, siapa orang yang berniat untuk menaruh barang-barang ini di gudang, padahal toh barang-barang ini masih cukup bagus—bahkan kalau dilihat-lihat, tidak ada kerusakan sama sekali.

Pemuda itu hanya geleng kepala.

"Uhuk,"

Satu suara terdengar oleh pendengaran pemuda berusia sembilan belas tahun itu. Ia menoleh sesaat ke arah kiri dan kosong, begitu pula ke arah sebaliknya. Itu... suara batuk, bukan? Ia sudah mengenakan masker—lalu siapa? Kedua kakaknya? Tapi bukankah mereka takut akan tikus? Atau kedua orangtuanya? Hei, mereka berdua kan sedang pergi.

Jadi—

"Hei, kau yang disana," Sekali lagi, Kai refleks menoleh ke asal suara. Dilihatnya sesosok pemuda dengan tinggi yang nyaris sama sedang terbatuk-batuk di satu sudut loteng, tepat di atas sebuah tempat tidur. "Sudah tahu banyak debu, untuk apa pula dibersihkan? Dasar bodoh."

Kedua alis Kai bertemu. Ditatapnya lekat-lekat pemuda yang berbicara padanya.

"Heh, kau siapa?" Kai berseru sambil mengacungkan kemoceng yang ada di tangan kanannya. "Kau pencuri, huh? Darimana kau datang?"

Pemuda misterius tadi tiba-tiba ikut mengernyit seperti Kai. "Siapa yang pencuri?" tanyanya dengan suara yang tak kalah dengan Kai. "Kau yang tiba-tiba masuk ke kamarku sambil melakukan ulah yang tidak-tidak, tahu." Pemuda tersebut menuding ke arah Kai sambil melirik ke arah kemoceng dan sapu yang ada di masing-masing kedua tangan pemuda di seberangnya.

"Apa? Kamarmu?" Kai terdiam sesaat. Apa yang dikatakan pemuda tadi? Kamarnya? Loteng sekaligus gudang ini adalah... kamarnya? Pengemis darimana yang tiba-tiba muncul di rumahnya sambil mengaku kalau bagian dari rumah milik keluarganya ini adalah miliknya? "Hei, yang benar saja! Ini rumahku, bodoh! Jangan mengaku yang tidak-tidak atau kulapor polisi!"

"Kau yang akan kulaporkan pada polisi!"

"Kenapa aku? Kan yang tiba-tiba muncul di rumahku dan mengaku kalau rumahku ini adalah rumahnya itu dirimu, cih!"

Sosok itu tiba-tiba terdiam, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Langkah kedua kakinya tiba-tiba tertuju pada Kai. Kai—dengan penampilan yang seperti teroris—mulai mengacungkan sapunya dan melayangkan kepada sosok misterius tadi.

"T-tunggu," Sosok itu mengacungkan tangannya, membuat Kai menghentikan ulahnya sesaat. "Kau benar-benar pemilik rumah ini?" tanya pemuda itu pelan. Diliriknya sosok Kai dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau malah terlihat seperti orang yang ingin merampok rumah ini, tahu."

"Hei, bodoh," Kai melepas kacamata sekaligus masker yang ia kenakan. "siapa yang ingin merampok rumahnya sendiri? Aku dan keluargaku baru pindah ke rumah ini beberapa hari yang lalu dan kau yang berniat mencurinya."

Sosok yang hanya berjarak beberapa meter dari Kai itu mendesis pelan. "Tapi aku sudah tinggal disini sejak lama," Ia melihat-lihat sekelilingnya pelan. "Dan kurasa, orangtuaku tidak pernah menjual rumah ini."

"Orangtuamu?"

Sosok itu mengangguk kalem. "Ya, rumah ini tidak pernah dijual. Kurasa kau yang salah."

"Sebentar," Kai mulai berpikir. "Orangtuamu itu pengusaha yang terlibat kasus korupsi itu?" desisnya. Ya, kabar yang berhembus memang seperti itu—rumah yang ditempati oleh Kai beserta keluarganya ini adalah rumah yang keburu dijual oleh si pemilik.

Kai melihat sosok misterius di depannya mengangguk pelan. "Bagaimana kautahu?"

"Kabar itu memang sudah beredar luas." Kai terlihat sedang mengingat-ingat. "Dan kebetulan sekali, ayahku adalah teman lama pemilik rumah ini sebelumnya," lanjutnya.

Sosok di depan Kai terdiam—kepalanya tertunduk.

"Jadi, kau ini—"

Ucapan Kai tiba-tiba terputus ketika sosok di depannya tiba-tiba mengangkat kepala dan mengulas senyum tipis. Detik berikutnya ia sedikit membungkukkan tubuhnya pelan—benar-benar sedikit, hanya beberapa derajat.

"Ne, aku Oh Sehun."

.


To Be Continued


WAHAA FF SCREENPLAY PERTAMA SAYA AKHIRNYA PUBLISH JUGA 8D

Haha, iya, saya udah lama menetap di FFn, sekitar 3,5 tahun yang lalu di fandom sebelah dan pas cek fandom ini benar-benar kaget karena masih sepi banget belum seramai sekarang -_-

Another info? Cek info aja ya :)