Siang itu Jihoon baru saja keluar dari sekolah dan sebuah mobil berhenti tepat di depannya –nyaris saja Jihoon tertabrak. Jihoon sudah pucat, tubuhnya tegang, matanya melotot; rasanya ingin marah pada si pengemudi kalau saja bukan–

"Jeonghan hyung!"

Kalau saja itu bukan sepupunya. Mata Jihoon masih melotot, dalam hati ia berdoa –ia tidak yakin dengan apa yang terjadi setelah ini akan baik. Jeonghan yang sudah keluar dari mobil berjalan agak tergesa-gesa dan menarik paksa si mungil.

"Kau berniat menculikku? Ampun, aku tidak punya uang, sungguh! Hyung mau lihat dompetku? Kosong kok!" Jihoon bergegas mengambil dompet di sakunya dan membukanya. Jeonghan diam saja menatap Jihoon bingung. Tangan kanannya terangkat menuju dahi adik sepupunya dan ia terlonjak, "Ah! Kau hangat, apa perlu aku membawamu pulang saja? Kau tersambar petir? Ah, tapi kan cuacanya sedang panas! Mana mungkin ada petir, kan?"

Wajah Jihoon yang awalnya heboh berubah datar, "Kau aneh, hyung." Jeonghan melajukan mobilnya perlahan, setelahnya menjawab, "Kau jauh lebih aneh. Aku agak khawatir, Hoon. Tidak biasanya kau begini."

Jihoon mengernyit, "Apa salah aku banyak bicara? Bukannya bagus?" Jeonghan menjawab walau pandangnya masih fokus pada jalan, "Tidak, sih. Hanya tidak biasa saja. Apa yang membuatmu begini? Apa kau punya pacar?"

Jihoon yang kebetulan saat itu meneguk minumannya tersedak –airnya sampai keluar lewat hidung, ew. Jihoon terbatuk beberapa saat lalu menjawab dengan suara serak, "Apa-apaan, sih!" Jeonghan tertawa puas, "Hey, jangan menyembunyikan sesuatu, Lee Jihoon." Mata Jihoon kembali melotot, "Aku tidak menyembunyikan apapun, kok!" dan jawaban Jihoon membuat Jeonghan tambah terbahak. Untungnya keadaan mobil berhenti karena jalanan macet. Tapi tidak untung juga.

Karena sialnya Jeonghan tidak sadar kalau ia baru saja melindas kaki pengemudi motor. Jeonghan membuka kaca dan meminta maaf berulang kali. Setelahnya, Jihoon menatap Jeonghan tajam. "Kenapa aku baru sadar kalau kau baru saja bisa menyetir, ya?"

.

Jeonghan dan Jihoon sudah mengelilingi Seoul –kurang lebih sekitar dua sampai tiga jam. Jujur, Jihoon sekarang mengalami trauma naik mobil. Ini karena Jeonghan. Jihoon serasa uji nyali –bahkan ini jauh lebih menguji jantungnya dibanding dengan rumah hantu sungguhan.

Sekarang Jeonghan mengantarkan Jihoon pulang. Jihoon pucat lagi –sekarang jauh lebih pucat. Kedua tangannya menggenggam erat pegangan di samping atas mobil. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan doa –diselingi sumpah serapah untuk Jeonghan.

Sepertinya hari ini ia sedang sial. Apalagi setelah ia ingat bahwa perjalanan pulang ini, mereka harus melewati tanjakan. Mata Jihoon terpejam saat tanjakan sudah di depan mata. Untungnya saat itu sedang macet. Kenapa? Siapa tahu saja Jihoon bisa menumpang di mobil orang.

Eh, tidak.

Benar saja. Mungkin Jeonghan belum siap, atau entahlah, mobil mereka tiba-tiba berhenti di saat mereka masih di tengah-tengah tanjakan. Jeonghan sudah berusaha tetapi ia tidak bisa. Usahanya sia-sia –bahkan mobilnya sempat mundur sedikit, nyaris menabrak mobil di belakangnya.

"Hyung, aku takut!" Jihoon masih menutup matanya. Jeonghan juga makin panik melihat keadaan Jihoon, "Iya, Hoon. Tenang, aku pasti bisa." Jeonghan mencoba meyakinkan dirinya, namun mobilnya justru makin mundur.

Seorang pengemudi mobil di belakang mereka turun, lalu menghampiri mereka. Pria yang turun itu mengetuk kaca tempat Jihoon. Dengan tangan gemetarnya ia membuka kaca, lalu melihat pria yang mengetuk kaca tadi. Beberapa saat Jihoon terpaku lalu untuk kesekian kalinya ia melotot, "Seungcheol hyung?!" pipi Jihoon memerah.

"Tolong, kalau pacaran tahu waktu, situasi, dan kondisi. Kau, bisa bantu aku?" Jeonghan nyerocos dengan kalimat pedasnya. Seungcheol tersenyum, "Bisa. Rem dulu, lalu pindah ke kursi penumpang, temanku sudah ambil alih kemudi. Lagipula itu mobilnya."

Jeonghan menurut, tetapi matanya memandang curiga kearah Seungcheol, "Jangan bilang dia pacarmu, Hoon?" tanya Jeonghan setelah pindah ke kursi belakang. Jihoon menggeleng, "Bukan kok."

"Belum, aku akan menembaknya nanti."

"Apa-apaan!" Itu Jihoon sambil mencubit lengan Seungcheol. Seungcheol perlahan menjalankan mobil Jeonghan lalu terus melaju sampai melewati rumah Jeonghan. Jeonghan melotot, "Hey, calon pacarnya Jihoon! Rumahku disanaaa!" Jeonghan histeris sembari menunjuk arah rumahnya. Seungcheol terkekeh, "Mana aku tahu, cantik. Aku kan–"

"Siapa yang kau panggil cantik?!" Jihoon kembali melotot –sepertinya ia sedang melakukan pembesaran mata. Seungcheol mengaduh –karena lagi-lagi Jihoon mencubitnya, "Maaf, sayang, maaf."

"Ah, begini, aku minta maaf karena lancang mengemudikan mobilmu. Aku hanya tahu rumah Jihoon, jadi aku membawanya kesana." Lanjutnya sembari melirik Jeonghan lewat kaca spion. Jeonghan mengendus dan hanya mendengung.

Mereka sampai di rumah Jihoon. Seungcheol dan Jihoon turun –sedang Jeonghan lebih memilih melompat ke bangku pengemudi dari belakang. "Aku langsung saja. Oh, Jihoon, maafkan aku soal tadi. Aku mungkin belum ahli mengemudi. Tetapi tenang saja, aku bakal menjemputmu lagi kok, lain waktu! Ah, aku juga minta penjelasan tentang hubungan kalian!" lalu mobil Jeonghan melaju kencang meninggalkan Jihoon dan Seungcheol.

"Kurasa kita harus cepat-cepat memberi penjelasan pada Yoon Jeonghan."

"Memang kenapa?" Jihoon mendongak sesaat lalu berbalik, membuka pintu gerbang rumahnya. Seungcheol mengekor sampai kamar Jihoon. Si pendek mengendus, "Kenapa tidak jawab?" Seungcheol tersenyum lebar. Mata lebarnya menatap lekat pada Jihoon membuat yang ditatap memerah lalu menunduk dalam.

Seungcheol melangkah membuat Jihoon mundur. Begitu terus sampai kaki Jihoon terkena ujung kasur –membuatnya terjatuh dengan posisi terlentang. Seungcheol makin menunduk sampai menindih Jihoon –dengan kedua tangan menumpu tubuhnya agar tidak benar-benar menindih.

Cup.

Sekali. Seungcheol mengecup dahi Jihoon.

Cup. Cup.

Dua kali. Kali ini pipi gembul Jihoon.

Cup. Cup.

Dua kali lagi. Jihoon memejamkan matanya ketika bibir Seungcheol mendekati matanya. Seungcheol mengecupnya.

Cup.

Sekali ia mengecup hidung Jihoon.

Wajah Seungcheol sedikit menjauh, lalu tersenyum teduh pada lelaki manis di bawahnya. Wajah Seungcheol kembali mendekat. Kecupan kali ini datang menuju bibir Jihoon. Seungcheol mengecupnya lama, setelahnya ia melumat bibir tipis Jihoon. Tangan Jihoon awalnya menggenggam erat selimutnya, kini beranjak menjadi memeluk leher Seungcheol. Penutupnya, Seungcheol menjilat bibir Jihoon.

"Karena aku tidak ingin menjadi kekasihmu," ujar Seungcheol santai. Tetapi tidak dengan Jihoon dengan tubuhnya yang sudah kaku. "A-apa?" Wajah Jihoon kembali memerah. Bukan karena malu, tetapi karena marah. Mata Jihoon mulai berkaca-kaca. Ia baru saja akan mengucapkan–

"Aku ingin menjadi suamimu."

–"Kurang ajar." Itu memang benar. Jihoon mengatakan itu kepada yang lebih tua. "Jihoonieku tidak sopan, siapa yang mengajari?" Seungcheol –masih dengan posisi yang sama– mengusap pipi Jihoon. "Jeonghan hyung, siapa lagi?"

Seungcheol bangkit lalu duduk di samping Jihoon. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Mau apa?" Jihoon bertanya. "Video call dengan Jeonghan," Seungcheol menjawab. Sebelum terhubung, Seungcheol menyeringai sembari melirik Jihoon. "Kurasa kita harus melakukannya dengan posisi agam intim, Hoon."

Seungcheol menarik Jihoon ke pangkuannya. Tangan kanan Seungcheol menggenggam ponsel, sedang tangan kirinya menarik tengkuk Jihoon agar mendekat. Saat terhubung,

Cup. Seungcheol kembali mengecup bibir Jihoon, setelahnya tersenyum kearah layar ponselnya. "Jeonghan ingat aku tidak?" Seungcheol tersenyum manis. "Kita sudah jadian, Han! Doakan supaya hubunganku dengan sepupumu tidak kandas di tengan jalan seperti kita dulu." Seolah tidak memberikan waktu untuk Jeonghan mencerna semua kalimat Seungcheol, Seungcheol memutuskannya.

"Kangen mantan?" Jihoon menarik dirinya dari pangkuan Seungcheol, namun pinggangnya ditahan. "Iya, aku kangen Jeonghan. Tapi aku cinta kamu, kok."

.

Di sisi lain, Jeonghan berkali-kali menulis dan menghapus pesan yang akan ia kirim pada Jihoon. Jeonghan agak ragu, tetapi ia meyakinkan dirinya. Maka akhirnya, ia mengirim pesan itu.

To: Jihoon

HEH ITU TADI SUNGGUHAN SEUNGCHEOL? AH, TAI AYAM! KENAPA DIA JADI TAMPAN SEKARANG? HEH, DULU DIA CULUN SEKALI! KENAPA JUGA YA AKU MAU PACARAN DENGANNYA DULU?!

Jicheol – END

.

Note: Aku nggak pintar bikin beginian, huee. Btw, ini kejadian nyata. Jihoon itu tanteku –kecuali waktu di sekolah, itu aku dan adik sepupuku waktu SD dan kita satu sekolah. Dan Jeonghan itu kakak sepupuku. Dan Seungcheol itu temannya suaminya tanteku alias omku aokaok. Tapi kejadian antara Jihoon dan Seungcheol ngga nyata kok, aokaok.