Di tengah hiruk pikuk jadwal dan isi otaknya, Mark selalu menyempatkan diri untuk memandang langit malam. Tiga puluh menit per hari, tentu tak hanya seorang diri. Secangkir teh setia mendampinginya dari mendidih hingga dingin, dari penuh hingga dasar cangkir. Tanpa penganan ataupun cerutu, hanya Mark dan secangkir tehnya, intim menghadap angkasa.
Dalam keheningan yang sekali dua kali terpecahkan oleh deru mesin kendaraan atau musik latar acara televisi tetangga sebelah, Mark mengadu kepada semesta, mencurahkan keluh kesah tentang dunia kepada Sang Maha Agung yang memegang kendali penuh atasnya. Mark merasa dirinya sangat kecil. Sekali sentil pilihannya cuma mental atau hancur jadi butiran pasir.
Tuhan, aku bosan, menjadi kalimat pembukanya malam ini. Waktu seperti melar, lima kali lebih lama daripada semestinya. Sehari buatku setara seratus dua puluh jam. Aku bosan, tanpanya semua serba lama dan monoton. Mark menerawang, gambaran sosoknya yang sedang menari di antara ribuan bintang membuat jantung Mark berdetak kencang. Sudah lewat lima tahun, tapi perasaanku masih sama. Jika memang dia satu-satunya, mengapa alurnya seperti ini, Tuhan? Mark menyesap tehnya, menyumpal isakan yang nyaris keluar.
Di usianya yang bulan depan menginjak angka empat puluh dua, Mark masih sering mondar-mandir di layar kaca. Tidak lagi menari, tapi sesekali masih ngerap dan menjadi bintang tamu di acara bincang-bincang dengan selebriti. Meskipun begitu, paparazi sudah tak sudi mengincarnya, sama halnya dengan kerumunan penggemar yang beberapa tahun lalu masih setia mengikutinya setiap ada jadwal. Masa jualnya sebagai idola sudah habis, wajah-wajah baru menggantikannya bertakhta di panggung-panggung acara musik. Lepas dari sorot kamera, Mark hanya seorang pria kesepian yang siang malam mendamba sang kekasih meski tahu kekasihnya tak akan pulang. Mark mendamba Donghyuck.
Aku rindu dia, Tuhan, menjadi kalimat penutupnya malam ini. Tiga puluh menit sudah terlewati, bahkan kelebihan lima menit. Mark meneguk tehnya sampai habis, lalu beranjak meninggalkan balkon apartemennya. Pada ketinggian dua puluh lantai, angin malam bertiup ribut, seakan mengucap sampai jumpa besok kepada sosok Mark yang menghilang dari pandangan setelah pintu yang menghubungkan balkon dengan bagian dalam apartemen ditutup.
