"Akulah perlambang dirimu.

Yang selalu membuat hal tak terduga.

Yang selalu mecengangkan seluruh dunia.

Dan yang selalu ada untukmu.

Ada untuk memanifestasikan dirimu."


Kobayakawa Sena dan Sang Manifestasi

~Bagian Pertama dari Trilogi Tiga Fandom

Eyeshield 21: Kobayakawa Sena

[Tak saling mengikat atau terkait]~

for Eyeshield 21 FF Award. Month of January: Flower

Disclaimer: Eyeshield 21 from Riichiro Inagaki & Yuusuke Murata.

Warning: OOC, Typo, pindah-pindah waktu dengan gajenya, Monolog PoV-one sided-main Character ditujukan untuk Kobayakawa Sena (Keterangan lebih lanjut di A/N), ga bermutu, arti bunga ga jelas. Hanya fiksi abal-abal. Don't Like, Don't Read!

Kobayakawa Sena dan Sang Manifestasi 2011 M. Gabriella


~00|1o3|00~

"Dan aku akan selalu menunggu saatnya.

Saat di mana kita sederajat."

~00|1o3|00~


December, 21st 1994―

Kau. Mata hazelnut dengan rambut—tipis—serupa. Lahir hari ini. Pada hari ini di tempat ini. Rumah sakit ini. Bersama sang bunda serta keluarga mendampingi.

Di sini. Di sesuatu yang spesiesmu sebut sebagai pot. Aku berdiam di sini. Memandangmu. Menyorotmu. Memperhatikanmu. Terjerat dalam buaimu yang masih disebut bayi. Tanpa terperhatikan siapapun.

Memang siapa yang akan memerhatikanku? Benih yang mencengkram tanah. Yang mencoba mencari akar kehidupan. Yang mencoba bertahan hidup. Karena aku baru lahir. Lahir layaknya dirimu. Menghadap surga dunia. Dan bertemu pandang dengan sang ibu matahari.

Terlebih hanya semili tangkai hijau mencuat. Mencuat dari dalam sang ayah—tanah—si pemberi gizi. Namun cukup. Semili itu cukup. Cukup untukku membuka mata pada dunia—terlepas dari fakta spesies kalian tak dapat melihat 'mata' spesiesku—dan menyaksikan pemandangan pertamaku. Objek pandang pertama dan terutamaku.

Ya. Kau. Kau pusatnya. Sungguh indah menyaksikan kelahiranmu ke dunia. Seolah aku disodorkan seorang teman dari Yang Maha Kuasa. Seolah kau ditakdirkan untukku. Hanya untukku. Untuk diriku yang masih polos ini. Belum ternodai. Dan seolah kau adalah separuh jiwaku. Dan mulai detik ini sudah kuputuskan.

Untuk mengamatimu.

Menunggumu. Menyaksikanmu.

Mencoba berefleksi dari dirimu. Berkaca darimu.

Mengibaratkan semua dengan diriku.

Yang akan tumbuh entah jadi apa. Yang bahkan tak tahu apa-aku-ini.

Untuk satu obsesi.

Yang lahir karena perasaan takdir ini.

Untuk menjadi bayanganmu.

Manifestasimu.


December, 21st 1999

Berapa umurmu?

Oh. Lima tahun. Dan itu terjadi hari ini, bukan?

Kau tahu, rumah ini sesak! Ha~ah. Banyak sekali kenalan keluargamu. Ibumu terlihat gembira. Merayakan lima tahun kelahiranmu. Dan aku yang juga gembira di sini. Di taman ini. Taman rumah. Menjadi satu-satunya spesies kelompokku di sini.

Lebih dari itu. Ini hariku juga. Yang lahir di saat sama sepertimu. Merayakan lima tahun pertemuan kita. Yang entah kau sadari atau tidak. Tapi di sini. Sungguh sesak bila harus kuakui. Manusia-manusia ini berisik. Tapi bagiku kau tetap istimewa.

Dan gadis kecil berambut auburn pendek dengan mata sapphire itu merusak 'mataku'. Memelukmu sembarangan. Yang lebih malasnya lagi, kau menanggapinya. Kalian terlihat akrab. Namun aku tak peduli. Aku masih merasa bahwa gadis itu bukan tandinganku.

Yang berubah menjadi anggun setelah lima tahun ini. Dari semilimeter menjadi sesentimeter. Dengan tubuh menghijau dan puncak kepalaku yang mulai terkuak rahasianya. Sungguh tak terduga. Layaknya perubahan pada dirimu. Yang dahulu hanya sekitar lima puluh sentimeter. Dan kini sudah setinggi apa, aku tak mampu mengukur lagi. Well, bukan berarti tinggimu sekarang seperti tiang listrik. Ini hanya karena keterbatasan memoriku. Spesiesku tak dikaruniai hal yang sama dengan spesiesmu. Dan perubahan pada fisikmu yang mulai terlihat dari model rambut dan mata besar hazel itu sungguh menawan. Benar-benar tak terduga.

Apa kubilang?

Kita seperti terikat takdir. Kesamaan jalan hidup.

Tak terduga.

Dan aku telah sukses.

Sukses menepati obsesiku ―sejauh ini―.

Untuk menjadi manifestasimu.


December, 21st 2000

Setahun berlalu.

Ya. Kau sering pergi-pulang.

Baru saja kau kembali. Lalu kau pergi kembali.

Kudengar bahwa kau sekolah. Menuntut ilmu. Ehm, untuk menjadi lebih cerdaskah? Manusia itu aneh. Mereka sudah cerdas. Tapi menuntut kecerdasan lagi. Well, aku tak perlu berkomentar. Karena kau tak butuh itu. Kehadiranku bahkan tak kau sadari.

Aku hidup, Sena. Bisa berbicara. Walau hanya ber-monolog. Yah, tapi kau hanya manusia. Dan aku tak menyesali keadaan ini. Karena dengan begini, tak ada yang tahu bahwa kau sedang kumanifestasikan, bukan? Ah, kadang itu perlu disyukuri.

Tapi satu yang aku ingin tahu dengan berbicara denganmu secara langsung. Hari ini kau mengalami lebam. Luka. Ringisan menyertaimu. Kadang tangismu menggema di pojok taman. Terdengar bagai melodi usang. Kala rumahmu diam. Kala kedua ayah bundamu pergi. Dan kala itu, aku ingin tahu. Sungguh.

Aku tak cerdas seperti kalian.

Aku butuh jawaban, Sena.

Dan kala ini juga aku tertampar telak.

Oleh sebuah energi penyadaran. Akan posisiku. Akan takdirku.

Bahwa hari di mana kau mengalami hal yang tak terduga, di hari itulah aku merasa takdir kita berbeda. Bahwa takdir ketak terdugaan selama ini hanya buai belaka. Karena kini aku tak merasa ada hal tak terduga dari diriku.

Koreksi—rasanya ada—tanpa kusadari.

Sayatan di tubuhku. Tak terlihat kalian memang. Sayatan sakit karena kau. Kau yang sakit dalam tangis.

Namun kali ini. Dan hanya boleh kali ini.

Aku tak merasa bahwa akulah manifestasimu.


December, 21st 2003

Hari ini kau pulang.

Ralat—ditemani sang gadis cantik—yang terlalu dekat denganmu.

Aku benci itu.

Kenapa bukan aku yang bersanding di sebelahmu?

Kau pulang dengan luka layaknya tiga tahun yang lalu—yang sebenarnya selalu kau bawa tiap pulang sekolah—sampai saat ini. Dan kau tampak meringis kecil sambil tertawa renyah karena dia. Gadis kecil yang semakin anggun. Gadis yang kini merawatmu. Gadis yang disanjung orangtuamu. Gadis yang dijodoh-jodohkan denganmu.

Membuatku kepanasan. Di musim dingin ini. Di musim yang penuh salju. Namun aku tetap bertahan hidup secara tak terduga. Seperti dirimu. Yang terus bertahan di tengah siksaan fisik dan mental ―yang kuketahui belakangan― dari teman-teman biadabmu sampai saat ini. Sungguh kekuatan tak terduga.

Kesampingkan dahulu gadis bernama Anezaki Mamori itu sejenak.

Dan... Bolehkah?

Bolehkah aku berharap bahwa obsesi ―yang berubah― menjadi tugas wajibku tetap berjalan?

Bahwa aku tetap manifestasimu?


December, 21st 2008―

Sudah empat belas tahun hidupku. Waktu yang panjang bagi setangkai makhluk sepertiku.

Dan tanpa kusadari kau berubah. Sangat. Dan kesalnya, kau berubahm namun tetap saja terjebak dalam jerat teman ―biadab―mu. Ah, aku bosan. Sungguh.

Tiap hari menanti perubahanmu. Menjadi orang yang patut dibanggakan. Walau sebenarnya aku juga menunggu.

Dari sela semak-semak tak terperhatikan. Dari sela-sela sisi tak terjamah. Darimanapun kau berada. Aku ada. Dan kini aku ada di depan sekolah yang sebentar lagi akan kau masuki. Deimon High.

Aku merasakannya. Sesuatu yang tak terduga dari sini.

Perubahan, mungkin. Perubahanmu. Menjadi lebih kuat. Serta perubahanku. Yang selalu terinjak dengan malasnya oleh mereka yang tak peduli.

Bisakah momen ini disebut sebagai saat bermanifestasi?


December, 21st 2010―

Kau bertempur.

Dalam dingin.

Dalam balut salju.

Di tempat ini. Di stadion ini. Tokyo Stadion.

Dalam balut warna merah hitam. Timmu berjuang dengan segala perubahan yang kalian buat di latihan. Menantang sang emas Kansai.

Aku memandangmu. Di hari ini. Dari arah bangku manajer. Yang ternyata di isi oleh gadis yang dulu kuwaspadai. Namun tidak saat ini. Ia memiliki pendamping. Walau setan berambut pirang itu tak pernah mendampinginya secara frontal. Tapi sudah cukup. Mungkin aku akan belajar berteman dengannya.

Namun daftar sainganku bertambah. Si biru gelap yang noisy itu mengganggu. Mengganggu pemandanganku.

Merusak lebih tepatnya.

Namun kupilih fokus. Padamu.

Yang diangkat oleh para ace tim Kanto yang lain. Kau. Timmu. Devil Bats. Kanto. Menang.

Dan kau serasa menjadi yang terbaik. Terindah. Dan menjadi permata.

Kau berubah. Dari si pecundang jelek. Menjadi si pahlawan tampan.

Sadarkah? Kau menjadi sangat tampan dan berguna.

Sungguh menjadi hal yang tak terduga.

Dan aku?

Menjadi anggun dan berguna pula.

Kelopak unguku menjadi mahkota manis. Tak dapat kuprediksi. Mengingat dahulu wujudku hanyalah semili warna hijau ―lima belas tahun lalu― di pot rumah sakit.

Hingga kini sosokku tersiram oleh air kasih sayang wanita yang dulu kuwaspadai. Kubilang apa. Kita bisa mencoba berteman.

Tak terduga, bukan?

Sungguh. Aku manifestasimu.


December, 21st 2020―

Hari ini. Kau mengenakan warna putih.

Meninggalkan hitam dan merahmu.

Menggenapi putihnya ruangan ―minus Si Setan Hitam― dengan menunggu pendampingmu. Setia. Dia. Si bocah biru. Yang kini menjelma secara tak terduga.

Membuatku merasa tersingkir.

Dan ketika kalian berdua menautkan hati, pikiran, perasaan, dan jiwa di atas altar, aku merasa cukup.

Sudah. Sangatlah cukup.

Tugasku ―dari obsesiku― berakhir. Tak perlu lagi aku terobsesi.

Menjadi manifestasimu.

Karena itu tak berguna. Seiring denganku yang semakin merasa di ambang dunia. Terbukti dengan guguran sekelopak unguku. Menangis dan tersakiti dalam diam. Di antara bunga-bunga altar.

Karena kusadari, aku tak lagi polos. Aku telah mengenal dunia dengan dua puluh enam tahun hidup. Tak ada yang harus kusesali.

Aku sadar. Sangat sadar. Takdir mempermainkanku. Menyadarkanku. Bahwa kodrati kita berbeda. Kau. Aku. Kita. Bukanlah satu spesies.

Maka dari itu, aku menggugurkan helai anggunku. Yang dulu kujunjung tinggi. Tak berguna kini. Aku lelah. Merasa terberi harapan. Dan berujung pada klimaks kesakitan.

Kuputuskan satu hal.

Aku akan pergi. Tak akan mengikutimu lagi. Menghabiskan sisa kelopakku. Menghancurkan warna ungu. Memberi sentuhan coklat di tangkai hijau.

Karena kau tak butuh keindahan. Kau sudah punya pendamping.

Keindahanmu. Serasa berkaca dengan sesama keindahan. Serasa menghadap sang manifestasi sejati.

Done.

Semua sudah selesai.

Takdir telah berkata. Bahwa kisahku dan dirimu memiliki persamaan. Sama-sama tak terduga. Dan perbedaan mencolok. Aku mengakhiri tugas ―obsesiku― secara tak terduga.

Namun, bolehkah?

Bolehkah aku memanifestasikan dirimu di saat terakhir?


.

.

.

December, 21st 2060―

Kau pergi.

Terkubur dalam tanah. Liat. Gembur. Baru dilaksanakan.

Upacara penghormatan akhir yang dihadiri para next generation dari para ace teman-temanmu dahulu ―yang masih bertahan hidup― di tempat ini.

-Rest in Peace-

Kobayakawa Sena

December, 21st 1994 – December, 21st 2060

Kau menyusulnya. Pada usia ke enam puluh enam. Mengejar istrimu yang tiga tahun lalu mengecap rasa abadi.

Kau ditangisi. Beda denganku. Yang meskipun tinggal sekelopak, tak ada yang peduli.

Siapa yang peduli pada bunga yang berada di sebelah makam? Bergerak tak tentu arah.

Dan aku di sini. Menepati janjiku. Janji terakhirku. Sebelum menghilangkan diri dari pandanganmu ―yang memang tak pernah kau cari― menurutku.

Mencoba melakukan hal terakhir di ambang sekelopak akhir.

Dan kita memiliki persamaan takdir di awal dan akhir.

Lahir pada tanggal sama. Menyambut keabadian Ilahi pada tanggal sama.

Besar dalam kesamaan keadaan ―sebelum takdir memvonis―untuk dua puluh enam tahun.

Dan kini, aku mau mengakuinya. Perasaanku.

Kau. Kobayakawa Sena. Cintaku. Hal yang aneh? Bunga yang jatuh cinta pada manusia?

Namun kini, aku sadar. Tak ada penghalang lagi setelah kedamaian abadi menyambutku.

Dan inilah akhirnya. Akhir dari penantianku. Saat di mana kita akan sederajat. Bertemu. Dan mengeluarkan semuanya.

Di hari yang sama. Dengan seluruh saat indah dunia ini. Walau sampai akhir kau tak pernah mengenalku.

Karena saat ini. Saat di mana kelopakku mulai bergoyang. Tak kuat tersangga tangkai coklat rapuhku. Usia tuaku. Aku merasa ada yang menungguku.

Dan kuharap itu kau. Sungguh. Aku berharap. Aku berharap bebas dari takdir.

Dan menepati tugas akhirku.

.

.

.

Dan di balik pintu Surga, aku akan merengkuhmu. Mengeluarkan seluruh pendaman. Memberitahu kebenaran.

Bahwa aku. Sang Anyelir Ungu. Sang Purple Carnation. Perlambang sesuatu yang tak terduga. Ada untuk hidup. Ada untuk mati. Ada untukmu.

Karena akulah sang bunga.

Dianthus caryophyllus―

.

.

.

Sang Manifestasi.

.

.


Sebuah kelopak berwarna ungu pucat akhirnya terjatuh. Dari tangkai coklat. Yang akhirnya merebahkan dirinya pada dunia.

Menyerahkan segalanya.

Kendati demikian, sang kelopak-sang tangkai-sang daun-dan sang jiwa bahagia.

Tugasnya selesai. Semua bermakna. Semua selalu tak terduga. Karena itulah artinya.

Sang jiwa tersenyum. Di depan pintu Surgawi. Diberikan mukjizat.

Merubah rohnya menjadi serupa. Dengan sang pujaan hati.

Si karamel dengan hari lahir, mati, dan keabadian yang sama.

Sehingga tak ada lagi perbedaan.

Sehingga ia berhasil.

Dan sang pujaan akan memberi salam pembuka.

Atas keberhasilannya.

Menjadi Sang Manifestasi.

~00~

"Dasar bodoh. Aku memerhatikanmu selama hidupku, tahu.

Kau 'kan manifestasiku."

~00~

[Purple Carnation: Sesuatu yang tak terdugaSang Manifestasi]

~fin~


A/N: Ga banyak komentar. Karena ini jelek sangat. Benar dah. Abal! Mudah-mudahan diterima panitia…

.

Dan tolong review ini banyakan, yah! Biar saya ga jadi hiatus… Okeh? #alasan. Ini adalah salah satu fict trilogi tiga fandom saya. Ga saling terkait kok. Kesamaannya Cuma, ada tokoh yang akan menceritakan tokoh utama anime/manga yang saya pilih.

.

Info:Saya masuk nominasi IFA! Huahaha! Vote dun! #plak! Dan ada enam fiksi Eyeshield 21 di situ. Yees! Sekalian RnR fict Game of Death: Time is Return yah. Klo ga ampe 10 Review, aku ngambek mogok apdet! #dilempar #abaikan

.

Next issue: Ciel Phantomhive dan Sang Raja [Fandom Kuroshitsuji Indonesia]

.

Akhir kata, REVIEW!


5: 11 PM

21-1-11

|Kobayakawa Sena dan Sang Manifestasi|

|Ayuzawa00Phantomhive|