Minna-san~ ketemu lagi dengan Nade ! Dulu Nade nulis fanfic di fandom Katekyo Hitman Reborn, tapi entah kenapa ada keinginan untuk nulis di fandom-nya Hetalia. Yah, Nade masih pemula, sih, jadi wajar kalau fanfic karangan Nade belum terlalu bagus. Untuk fanfic ini, berfokus pada pairing USUK, dan beberapa pairing lainnya. Genre utamanya itu Romance dan Drama, tapi ada beberapa Chapter yang ber-genre Angst atau Humor.

Oh ya, sebelum lupa, Nade ingin memperkenalkan para OC buatan Nade yang mungkin bakal muncul di fic ini, ataupun di fic lain. Mohon maaf kalau kriteria para OC ini tidak sesuai dengan keinginan pembaca. Nade hanya ingin penambahan tokoh aja.

Nah, ini OC-nya :

Venezuela : Aria Xaviera Soleda

Chile : Alonzo Zaviera Sigfriedo

Argentina : Leonardo Valerian

Untuk pemberitahuan, Venezuela dan Chile menurut Nade itu saudara kembar, dengan Chile sebagai kakak Venezuela. Venezuela dekat dengan Argentina, dan sering sekali bertengkar dengan Hungary, Belgium, Belarus, Vietnam, dan Seychelles karena dia Anti-Yaoi alias bukan Fujoshi. Dia bisa ditenangkan oleh Chile, Argentina, dan Liechtenstein.

Disclaimer : Hetalia Axis Power bukan milik Nade, tapi milik Hidekaz Himaruya.

Warning : AU, Shonen Ai, dll. Rated M for later Chapters

Selamat membaca ! ^_^

Dia bermata biru…

Dia berambut pirang…

Dia selalu tertawa dengan riang…

Dia selalu bertingkah berlebihan…

Dia selalu memanggil orang lain sesukanya…

Dia sangat terbuka…

Dia terkadang menyebalkan…

Namun…

Terkadang dia begitu mempesona…

Terkadang dia begitu menarik hati…

Terkadang dia begitu indah…

Tidak sepertiku…

Heaven Knows

By :

NadeshikoLachrymose

Satu – satunya hal yang tidak pernah bagus bagiku adalah Matematika. Aku kesal untuk mengakui bahwa aku bisa gagal dalam sesuatu, mengingat aku adalah ketua OSIS dari Hetalia Gakuen. Aku mempunyai reputasi yang harus kupertahankan. Jadi, biasanya aku bergantung pada temanku, Kiku. Setiap minggu, dia dan aku selalu belajar bersama. Kiku membantuku dengan Matematika, dan aku membantunya dengan Bahasa Inggris.

"Kiku, apa yang kau maksud dengan kau tak bisa membantuku ?" Tanyaku pada Kiku. Kami sedang berada di Kafetaria sekolah, dan belum mendapatkan kursi.

Kiku menunduk, kedua tangannya memainkan blazer-nya dengan gelisah. "Maafkan aku, Arthur-san. Saudaraku berkunjung, dan aku harus menemaninya." Katanya pelan.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Oh, bukankah itu saudara jauhmu ?"

"Iya." Kiku mengangguk. "Ia tinggal di Cina, dan bila ia berkunjung, itu adalah acara besar, Kumohon mengertilah, Arthur-san." Pinta Kiku dengan muka memohon.

Aku menghela nafas sambil mengacak – acak rambut pirangku. Oke, aku benci terdengar sangat putus asa, namun sebentar lagi ada ujian yang penting, dan aku harus menjaga nilai – nilaiku tetap tinggi karena reputasiku sebagai Ketua OSIS dan sekaligus untuk mempertahankan jabatanku itu. "Apa tak ada yang bisa kau lakukan ?" Tanyaku.

Pemuda Jepang itu melihat sekelilingnya, sebelum tersenyum. "Mungkin Arthur-san dapat meminta tolong seseorang."

"Siapa ?"

"Mungkin Alfred-san dapat menolong."

Aku melihat kearah kemana Kiku memandang. Seorang pemuda berambut pirang gelap dengan ujung rambut yang mencuat sedang duduk di meja yang tak begitu jauh dengan tempat aku dan Kiku berdiri. Seperti biasanya, seragam yang ia kenakan selalu berantakan dan yah, melanggar aturan. Ia memegang sebuah I-Pod dengan sebelah tangan dengan Headphone terpasang, dan sebuah Hamburger di tangan yang satunya lagi.

Aku berbalik kearah Kiku. "Apa tidak ada yang lain ?" Tanyaku tak tertarik.

"Alfred-san lebih baik dalam Matematika daripada aku." Kata Kiku sambil tersenyum. Namun, aku menggelengkan kepalaku. "Tidak." Jawabku singkat.

Kiku kembali melihat kearah Alfred. Ia sudah tahu, bahwa aku dan Alfred tidak terlalu dekat. Hanya dengan melihat penampilannya saja sudah membuatku kesal. Siapa yang mengajarkannya tentang kedisiplinan dan kerapian ? Melihat dasinya yang tak terpasang dengan baik, kerah baju yang tak terkancing, Blazer yang tak rapi, dan celana yang dipasang rendah membuktikan bahwa ia sangat suka gaya punk. Melihatnya saja seudah membuat tanganku gatal ingin merapikan seluruh penampilannya yang acak – acakan itu.

"Aku tak bisa dekat dengan orang seperti itu, Kiku. Pasti ada yang lain."

Kiku melihat ke meja lain. "Ivan ?"

Aku cepat – cepat menggelengkan kepalaku. Aku tak mau berada dengan orang asal Rusia yang sifatnya bagaikan tukang jagal itu.

"Sepertinya aku tak punya pilihan." Kataku menyerah.

"Alfred-san adalah teman dekatku sejak kecil." Aku memandangnya kaget. "Kiku, bagaimana mungkin orang sepertimu bisa dekat dengan….Alfred ?"

Kiku terkikik. "Perbedaan menyatukan seseorang. Bagaimanapun, jika Alfred-san sudah dekat dengan seseorang, ia cukup baik."

"Apa boleh buat." Kataku sambil berjalan. Oke, kegiatan belajar-mengajar dengan Alfred takkan berlangsung lama. Hanya sampai Kiku kembali.

Aku berjalan mendekati Alfred, kemudian duduk di kursi di seberangnya. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mencereweti pemuda itu melihat penampilannya yang berantakan itu.

"Oke, jadi begini perjanjiannya. Kau akan membantuku belajar Matematika untuk menghadapi ujian yang akan datang sampai Kiku kembali, dan aku takkan mengomentari cara berpakaianmu itu terlalu…sering." Kataku. Alfred menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum sedikit. "Jadi, bisakah kita merencanakan waktunya ?"

Alfred hanya mengangguk, namun tak menjawab apapun.

"Hari apa yang kau inginkan ?" Lagi – lagi Alfred mengangguk tanpa menjawab apapun.

Baiklah, sekarang aku dapat merasakan darahku naik ke kepala. Dengan kesal, aku mengayunkan sebelah tanganku di depan kepalanya, membuatnya mengangkat kepalanya dnegan terkejut.

"Apa yang bisa kubantu ?" Tanyanya sambil melihat sekeliling.

Aku mengerutkan dahiku. "Apa kau dengar tentang apa yang kubicarakan tadi ?" Tanyaku kesal.

Pemuda itu memutar – mutar bola matanya yang berwarna biru itu. "Yeah, tentang bajuku, kan ? Dengar, aku-"

"Bukan itu yang kubicarakan !" Teriakku kesal.

Ia terkejut sedikit. "Whoa ! Apa ? Apa yang terjadi ?" Ia bertanya dengan kaget.

"Aku butuh bantuanmu." Kataku pelan. Ia mengerjapkan kedua matanya berkali – kali, sebelum melihat kearah I-Pod-nya lagi dengan pandangan tak tertarik.

"Kenapa kau meminta bantuanku ? Bukannya kamu membenciku ?" Tanyanya cuek.

"Alfred, 'benci' itu kata – kata yang berat." Aku memulai perkataanku, sambil berpura – pura tidak tahu bahwa hampir semua murid sedang melihat kearah meja kami. Aku yakin, banyak gosip tak diinginkan akan menyebar. "Oke, mungkin aku memang sering mengomentarimu dan memarahimu tentang cara berpakaianmu yang sama sekali, er, tidak baik itu. Namun, itu bukan berarti aku membencimu."

"Terserah." Katanya cuek. Kuangkat sebelah tanganku. "Alfred, aku membutuhkan bantuanmu dengan Matematika. Aku…tak begitu baik dengan hal itu."

Sebuah seringai muncul di wajah Alfred. "Dan…apa yang aku dapatkan kalau aku berkata 'ya' ?" Dia nyengir.

"Aku takkan mengomelimu terlalu sering." Kataku. "Baiklah kalau begitu." Jawabnya.

Ketika aku mendengar bel berbunyi, segera kukeluarkan secari kertas dari saku blazer-kun dan segera kutulisi mengenai tempat dimana kami akan bertemu, kemudian menyerahkannya kepada Alfred. "Ini."

Setelah melihat kertas itu, Alfred memandangku dengan sedikit kerutan di dahinya. "Apa kau yakin ? Sekali mulai, aku takkan membiarkanmu berhenti, lho." Katanya.

Oh, ini terdengar seperti tantangan bagiku. "Ya, aku yakin."

Alfred kemudian tersenyum cerah, dan mengulurkan tangannya ke hadapanku. Pada awalnya aku ragu, namun melihat senyuman itu, perlahan – lahan aku mengambil tangannya dan kugenggam. Ia membalas genggamanku dengan genggaman yang cukup erat dan hangat.

-OooOooO-

Aku memandangi jam dengan cemas. Ini sudah melewati jam yang telah aku dan Alfred tentukan untuk bertemu, dan ruanganku masih kosong dan sepi. Kulihat keluar jendela, dimana matahari bersinar orange dan berkilauan. Pemuda itu terlambat.

Tiba – tiba, pintu ruanganku terbuka, dan Alfred masuk kedalam dengan seulas senyum cerah dan ceria di wajahnya. "Halo, alis tebal."

"Kamu terlambat 2 menit." Kataku gusar.

"Geez, maaf, maaf." Katanya sambil melemparkan tas yang ia bawa ke lantai, dan duduk di kursi sambil bersandar. "Baiklah, apa yang akan kau tanyakan ?"

Aku mengeluarkan buku pelajaranku. "Mungkin kamu bisa membantuku dengan ini.." Pintaku sambil menunjukkan bagian yang tak kumengerti. Seketika wajah Alfred menjadi cerah. "Oh ! Aku tahu bab ini."

"Benarkah ? Padahal ini untuk level di atasmu." Kataku sedikit kagum. Ia nyengir. "Tentu saja aku tahu. Ini. Aku membawakanmu buku catatan lamaku. Mungkin bisa sedikit membantu." Aku sedikit tersentuh mendengar ia bahkan membawakan buku catatannya. "Bagaimana bisa kau mempelajari ini ? Padahal aku lebih tua darimu." Tanyaku sedikit penasaran. Yah, sepertinya aku sudah meremehkan pemuda di depanku ini.

Alfred tersenyum, sebelum berkata dengan suara yang agak pelan. "Heaven knows." Ia mengedipkan sebelah matanya padaku.

"Hey ! Apa maksudmu ?" Tanyaku kesal. "Aku bertanya baik – baik padamu ! Kenapa kau malah menjawabnya dengan sesingkat itu ? Apa kau tidak tahu mengenai-"

"Oi, tidak bisakah kita segera mulai dan selesai ?" Pintanya sambil meregangkan badannya, membuat sebagian kulitnya yang cokelat itu terlihat karena ia memakai celananya cukup rendah. Aku memalingkan wajahku karena malu.

"Baiklah." Kataku pelan.

-OooOooO-

Sudah lebih dari sejam aku belajar dengannya. Kemudian aku berdiri dan meregangkan tubuhku, sementara Alfred menguap lebar sambil bersandar di kursi. "Yah, kurasa ini lebih baik daripada yang aku bayangkan sebelumnya."Aku mengakui hal itu.

"Kamu juga sebenarnya tidak buruk dalam Matematika. Hanya butuh sedikit kesabaran." Kata Alfred sambil berdiri dan mengambil tas-nya dari lantai.

Lagi – lagi aku tersentuh oleh perkataannya itu. Aku memandangnya dan tersenyum. "Kau juga sangat baik dalam Matematika. Kelihatannya aku sudah meremehkanmu selama ini. Terima kasih, Alfred." Pemuda di depanku tersenyum balik dengan ceria.

"Terima kasih juga !" Ia menyilangkan tasnya di bahu, sebelum berbalik. "Kamu tahu, kamu cukup manis."

Dapat kurasakan pipiku memerah karena malu. Aku berusaha untuk tidak melihatnya yang sedang berdiri di hadapanku dengan seulas senyuman di wajahnya. Aku benar – benar gugup sampai – sampai aku tidak menyadari bahwa ia berjalan menghampiriku.

"Yup. Benar – benar manis." Ia berdiri di sampingku ketika ia mengecup pipiku lembut. Aku kaget, kemudian kuletakkan tanganku di pipiku yang memerah dan panas.

"Sampai jumpa besok, Arthur." Katanya sambil meninggalkan ruangan.

Setelah Alfred pergi, aku jatuh terduduk di lantai. Pemuda itu baru saja memberiku kecupan ringan di pipi untuk yang pertama kali. Dan, seketika aku ingat. Besok aku masih harus belajar dengan Alfred, dan aku tak mungkin menarik kata – kataku dan berhenti belajar bersamanya.

Besok akan datang.

To Be Continued…

Terima kasih atas perhatian minna-san untuk membaca fanfic ini. Mohon maaf apabila chapter pertama ini terlalu pendek. Nadeshiko akan segera meng-update chapter ke-2 secepatnya. Oh ya, Nade mohon maaf, Nade tidak menerima flame, ya. Kritik dan saran diperbolehkan. Minna-san juga apabila ingin member Nade ide untuk chapter – chapter berikutnya juga boleh. Jadi, apakah pembaca berkenan apabila Nade melanjutkan fanfic ini ?

Akhir kata, Nade hanya bisa memohon para pembaca untuk…

R&R Please !