.
.
"When the letter's done and signed"
A kookv fanfiction by Cakue-chan
disclaimer : BTS bukan punya saya.
warnings : crossdress!taehyung, VioletEvergarden!AU. setting diambil pasca peperangan.
.
[i]
Dari puluhan lembar amplop surat berstampel lilin marun yang Jungkook terima pagi itu, satu surat tanpa nama dan alamat jelas terselip begitu saja. Amplop suratnya berwarna putih gading, kusam di bagian tertentu dan direkat dengan stempel lilin pada umumnya, namun dengan motif titik-titik bunga Edelweiss dan Jungkook pikir motif seperti itu langka sekali digunakan. Satu bulan lewat ia bekerja sebagai pengantar surat di desa Hallstatt, dan ini adalah kali pertama Jungkook mendapatkan surat tidak jelas begini. Jangankan nama dan alamat, ia ragu apakah isinya juga tak lebih dari lembar kertas yang kosong? Jungkook menggeleng kecil, terkekeh dalam hati dan menimang apakah surat itu harus tetap diantarkan pada destinasi yang dituju (tapi kan tidak ada alamat, bodoh) atau dibiarkan. Tapi ia juga tidak ingin kena marah Mr. Pichler, pria berumur setengah abad sekaligus atasannya di kantor jasa pengiriman surat yang terkenal dengan muka merah dan hidung bengkok kalau sudah dirundung emosi.
Ketika Jungkook kembali menghitung surat-surat itu, sengaja untuk memastikan pengantaran hari ini (sementara surat tanpa alamat tadi diabaikannya sejenak, diselipkan di antara jurnal), pintu ruang kerja terbuka lebar, tidak dalam keadaan santai tidak juga meninggalkan kesan sopan. Manakala bunyinya seperti bum dan seseorang muncul di ambang pintu. Jungkook memicingkan mata tanpa sadar, bias cahaya yang dipantulkan dari arah jendela koridor luar merembes masuk melalui celah pintu, meski terhalang siluet samar, bertanya-tanya siapa gerangan yang datang dengan cara begitu mendadak.
Pertama Jungkook mendengar oh berupa nada terkejut, kemudian sepasang kaki berbalut sepatu model oxford di atas mata kaki, kaki ber-stocking hitam, rok lipit mengembang lima sentimeter di bawah lutut, semakin ke atas kemeja country berenda berwarna salem dan semua itu terlihat pas di tubuh saat Jungkook mengamati sosoknya dengan jelas. Ia lekas mengenali dari cara bagaimana rambut cokelat karamelnya membentuk sanggul dalam kepang kecil-kecil dan pita oranye muda sebagai pemanis. Beberapa helai rambut nakal jatuh di antara selipan daun telinga, nyaris menyentuh dagu.
Orang menyebutnya boneka berjalan. Seorang gadis yang bersembunyi dalam bayang-bayang nama Kim Taehee, meski seluruh orang di kantor mengetahui benar bahwa di balik lipatan roknya ia memiliki burung, seorang laki-laki tulen dan tidak mungkin bisa melahirkan. Semua orang tahu itu, termasuk Jeon Jungkook.
"… Hai?" sapa Jungkook kikuk, mengulas senyum tipis dengan ragu. Satu bulan lewat dan rasanya hanya di depan manusia ini saja Jungkook merasa asing. "Pagi yang cerah, ya, Taehyung-ssi." Oh, astaga. Buruk sekali ia membuka topik pembicaraan. Jungkook melirik arloji, pukul setengah tujuh pagi. Waktu yang jarang dan terlalu pagi bagi karyawan. "Ada yang bisa aku bantu?"
Nama aslinya Kim Taehyung, dua puluh tiga tahun, dua tahun di atas Jungkook dan tak ada seorang pun yang tidak menganggumi bagaimana sepasang manik cokelat tua itu menatap lawan bicaranya. Pasti, dalam, tapi sulit ditebak. Juga seorang doll yang handal dalam menulis surat.
"Maaf," katanya, berjalan masuk dengan langkah lebar. "Aku tidak tahu terselip di bagian pengirimanmu hari ini atau tidak, tapi apa kau melihat suratku, Jungkook-ssi? Maksudku, surat itu tidak ditulis nama dan alamat apa pun."
"Ah," surat itu, Jungkook mengangguk cepat. Beruntung juga sengaja ia pisahkan sehingga tidak perlu mencari lagi. Terselip di antara halaman jurnal yang lekas ditariknya dan ia ulurkan ke arah Taehyung. "Yang ini, kan?"
Momentumnya begitu singkat, tapi sorot lega yang melintas di sepasang mata Taehyung tidak luput dari pernglihatan Jungkook. Situasi yang sangat jarang, bahkan sedikit mengejutkan Jungkook karena ayolah, di hadapannya ini Kim Taehyung. Orang-orang tidak sembarang memberinya julukan boneka berjalan.
"Trims," sahut Taehyung, sekilas ada senyum yang terbit, tipis sekali. Dua jari lentiknya mengamit surat dengan erat. "Sepertinya aku tidak sadar surat ini tercampur dengan surat milik klien."
"Kapan pun," lalu pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa Jungkook cegah. "Akan ditujukan untuk siapa, surat itu?"
Senyum Taehyung melebar, bahkan menyentuh sinar matanya. Namun, jangan bertanya kenapa Jungkook merasa miris. "Lieutenant."
"Oh." Jungkook berdeham samar. "Benar juga. Ini hari Kamis."
Sebelah alis Taehyung terangkat. "Kenapa bisa tahu?"
"Apanya?"
"Kalau surat untuk Lieutenant selalu aku kirim setiap hari Kamis."
"Eh?" Bodoh, bodoh. "Well, yah, aku ini kan pengantar surat. Kalau tidak ingin dimarahi Mr. Pichler, kau harus mengingat semua surat yang masuk. Tanpa terkecuali."
Tawa Taehyung lolos, renyah, renyah sekali. "Aku lupa itu," sahutnya kalem, kemudian sorot matanya meneduh. "Sekali lagi, terima kasih sudah kau simpankan. Semoga harimu menyenangkan, Tuan Pos." Dia berlalu dengan satu tangan melambai lugas, tak memberi kesempatan bagi Jungkook untuk menanggapi sampai sosoknya hilang di balik pintu yang tertutup. Tidak sekeras seperti membukanya tadi dan memiliki kesan lebih tenang. Kemudian, Jungkook merasa segalanya hening. Termenung dalam beberapa sekon ke depan.
Julukan itu tidak pernah salah. Kim Taehyung, selaiknya boneka yang berjalan.
Sosok yang hidup, tapi sorot mata dan garis senyumnya seperti orang mati.
.
[ii]
Menjadi seorang doll, bukanlah hal yang mudah.
Kau dituntut untuk bisa mengetik secepat mungkin, mendengarkan setiap permintaan klien dengan seksama (kepada siapa, apa yang ingin disampaikan, perasaan apa di dalamnya, harus menggunakan bahasa yang bagaimana) demi secarik surat yang akan dikirimkan pada si penerima nanti. Tak jauh berbeda seperti namanya, doll berarti boneka, adalah suatu sebutan bagi mereka yang bekerja di bagian jasa pembuatan surat. Mereka yang seringkali mendengarkan kisah, menyimpan rahasia klien, menuangkannya dalam bentuk tulisan, lalu dibuat sebagai kenangan bagi penerima maupun pengirim. Pekerjaan yang tidak hanya mengandalkan kecepatan jari, tetapi juga perasaan akan makna yang ingin disampaikan.
Doll identik dengan imej feminin, hal yang mendasari mengapa pekerjaan itu lebih banyak dikerjakan oleh para wanita dibandingkan laki-laki. Karena paradigma masyarakat itu klise, lebih mirip doktrin dan terkadang sifatnya diskriminasi; laki-laki bersama logika, sedangkan perempuan menggunakan perasaan.
Pernah suatu kali Jungkook bertanya, bagaimana mungkin Kim Seokjin—sang direktur di perusahaan tempatnya bekerja—membolehkan Taehyung bekerja sebagai doll. Bahkan membiarkan pemuda itu menyamar dengan nama Kim Taehee, meski Jungkook akui penyamarannya begitu sempurna. Ia hanya … tidak mengerti. Apalagi yang namanya manusia itu (Jungkook tidak bohong kalau sebenarnya ia sebal setengah mati pada wanita-wanita kaum borjuis dan cara berpikir mereka yang kolot, atau pria mesum yang isi otaknya cuma selangkangan dalam sekali lemparan nominal uang—dasar barbar! Lebih rendah dari binatang, atau juga rekan kerja hobi bergosip sambil menyebar rumor berisi hoax—yang bahkan di sebuah desa kecil bernama Hallstatt sekalipun) sukanya bergunjing dan mengumbar aib orang lain, diam-diam melakukannya di belakang. Dasar mulut-mulut cerewet, berisiknya bahkan bisa melebihi kicau perkutut.
"Kenapa memang?"
Tapi tanggapan Seokjin berupa pertanyaan balik.
"Tidak ada peraturan melarang laki-laki untuk jadi seorang doll. Apa yang kau harapkan, Jeon Jungkook?"
Skakmat. Pria muda itu benar juga. Lalu, kenapa harus Kim Taehyung?
"Karena dia perlu waktu," tambah Seokjin lembut. Jungkook tersentak kecil, apa ia baru saja menyuarakan isi kepalanya? Konyol. "Taehyung perlu waktu, Jungkook. Kecuali kalau kau bisa membantunya agar dia tak perlu lagi waktu."
Jungkook mengernyit. "Dia perlu waktu untuk apa?"
"Nah," Seokjin menghela napas berat. "Kau pikir kenapa Kim Taehyung terus menulis surat yang jelas-jelas surat itu tidak akan pernah sampai kepada penerimanya?"
[iii]
Jungkook tak ingin ikut campur, tapi jalannya waktu itu tak ubahnya ayam yang terus berjalan dengan kepala tertunduk sambil mematuk tanah, tidak sopan dan seenaknya. Atau barangkali puisi-puisi melankolis yang seringkali diputar di radio rombeng.
Kalau Taehyung memang perlu waktu, Jungkook rasa tak ada salahnya kalau ia mencoba juga.
[iv]
"Youngmiss!"
Taehyung spontan berhenti, lipatan rok bagian bawahnya berkibar kecil ketika ia berbalik, dan matanya menangkap sepeda yang mendekat, dikayuh dengan antusias oleh si pengendara. Jeon Jungkook, dengan topi khas seorang pengantar surat dan cengir jenaka yang khas itu, terengah-engah ketika roda sepeda berhenti tepat di hadapan Taehyung.
Saat itu malam dan jam besar pusat sudah berdentang sepuluh kali.
"Tidak usah teriak juga, Jeon Jungkook," protes Taehyung ketus, tapi tetap mengandung jenaka. "Beres mengantar surat?"
"Dua surat lagi,"
"Sampai semalam ini?"
"Hei, jangan remehkan jasa pengirim surat." Jungkook mengibaskan tangan asal. "Kau sendiri juga, sudah larut begini masih berkeliaran."
Taehyung mendengus geli. "Klienku yang sekarang agak rewel." Selang beberapa detik, Taehyung tertegun. Tunggu, sejak kapan ia mengeluhkan sikap kliennya sendiri? Apalagi di depan rekan kerjanya sendiri. Itu melanggar kode etik, ia tahu. Tapi mengapa ia sampai bisa melakukannya?
"Baguslah." Suara Jungkook membuyarkan kabut hitam di sekeliling Taehyung.
"Bagus?"
Jungkook menatapnya lekat, Taehyung merasa ditelanjangi. "Habis kau jarang mengeluh," ungkapnya naif, tak ada ragu kalau pemuda itu berkata jujur. "Kau tidak pernah mengeluhkan sesuatu, Taehyung," –ssi sufiks yang tak lagi Jungkook pakai, tak lagi mereka gunakan yang bahkan Taehyung sendiri tidak sadar sejak kapan cara memanggil mereka bisa seakrab ini. "Jadi aku merasa hal ini … bagus?"
Kesepuluh jemari Taehyung pada pegangan kantong case mesin tiknya mengerat tanpa sadar. Terlalu lugas, pernyataan Jungkook diucapkan terlalu lugas. Tanpa beban dan menarik banyak tanya dalam benak Taehyung; kapan terakhir kali semesta mendapati sisi bagus dalam dirinya? Kapan terakhir kali ia mendengar seseorang berpendapat begitu tulus mengenai dirinya? Taehyung tak ingat. Untuk sosok yang selama ini dikaguminya pun, sang Lieutenant, Taehyung meragu. Ia tak pernah bisa menebak isi pikiran Lieutenant.
"Taehyung?"
Mata Taehyung mengerjap, semua ini membuatnya pening tanpa sebab. "Apa,"
"Kau oke?"
"Seratus persen." Ia menggeleng samar. "Yang tadi itu, soal klien yang cerewet, aku harap kau tidak bilang pada siapa-siapa, Jungkook."
Jungkook terkekeh samar. "Mulutku terkunci, tenang saja."
"Percaya diri sekali, Tuan Pos yang satu ini. Beruntung cuma kau yang aku beritahu."
"Yah, di depanku kau bebas mengeluhkan apa saja, Taehyung."
"Apa saja?"
Cengir Jungkook melebar. "Apa saja." Ia merogoh tas selempang sebagai wadah puluhan surat yang dibawanya dalam satu hari, menarik dua lembar yang tersisa dan sengaja diacungkan ke depan wajah Taehyung. "Omong-omong, mau ikut mengantar dua surat terakhir?"
[v]
Sore di akhir pekan, Jungkook akan sengaja pulang lebih cepat ke asrama. Kim Seokjin memberikan tempat bagi mereka yang tak punya destinasi untuk pulang, atau sebutan lain seperti rumah di mana seseorang menanti kepulangan dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan keluarga. Terdengar miris dan menyedihkan, tapi Jungkook sudah mulai terbiasa dengan hal semacam itu.
Jungkook membagi shift dan jumlah surat yang dikirimkan pada akhir pekan bersama Park Jimin, sehingga ia hanya menghabiskan waktu dari pagi hingga sore, dan sisa sorenya sengaja Jungkook habiskan di kedai teh Miss Petrov. Dia seorang wanita berdarah Rusia yang baik dari cara bersikap juga bertutur kata, meski impresi pertama yang diberikan wanita itu agak sinis (terutama ketika dia mendelik tajam) dan orang akan berpikir dua kali untuk mendekatinya. Tetapi Miss Petrov memang baik, tidak segan memberi harga diskon untuk para karyawan bawahan Seokjin setiap kali datang berkunjung.
Akhir pekan adalah waktu di mana Taehyung duduk menghabiskan waktu di kursi bagian tengah samping jendela besar, bagian penuh menarik atensi dan berkunjung sebagai sosok yang asli; rambut pendek dengan warna serupa wig yang sering pemuda itu pakai ketika menjadi doll, dan pakaian kasual kemeja longgar dipadu celana bahan. Biasanya dia tidak menerima tawaran kerja mengetik surat di akhir pekan, kecuali jika ada permintaan mendadak yang tak bisa ditolak.
Sementara yang dilakukan Jeon Jungkook cukup sederhana.
Ia hanya perlu memesan secangkir darjeeling hangat, duduk agak jauh dari tempat Taehyung asalkan ia masih bisa mengawasi, kemudian sesekali mengamati gerak-gerik pemuda itu. Oh, ia bukan penguntit. Cuma penasaran, tak lebih. Ia juga tidak bermaksud mengganggu hak privasi orang. Jungkook akan diam menikmati waktu minum tehnya, memandang dari jauh, dan tanpa sadar setiap rutinitas yang ada dihafalnya dengan baik.
Misal seperti Taehyung akan sibuk dengan mesin tiknya dan secangkir kamomil yang mengepul, menunggu hangat sehingga tidak akan membakar lidah ketika diminum. Kesepuluh jemari Taehyung bergerak sangat cepat, selaik lintasan komet di atas langit, seakan aksara demi aksara dalam kepalanya tak perlu lagi dipilah dan muncul dalam sekali kerjapan mata. Lantas, surat itu akan diselipkannya ke dalam amplop putih gading. Berstempel lilin marun tua, meninggalkan jejak motif Edelweiss yang apik.
Akan tetapi, amplop surat itu tak pernah diberi nama, pun alamat yang dituju. Dibiarkan kosong, bersih tanpa cela.
.
Pada hari Kamis, Taehyung bercerita kalau ia baru saja menulis surat untuk seseorang dengan nama Kim Namjoon. Seorang Lieutenant yang dikaguminya dengan segala cerita mengenai peperangan, mengenai strategi yang pernah mereka susun secara bersama, mengenai tembakan dan kawan yang telah lama gugur. Jungkook akan menjadi pendengar yang baik, karena pada masa inilah ia dapat melihat berbagai macam ekspresi pada paras Kim Taehyung (dia bisa tertawa lebih lepas, bertingkah konyol, marah, bahkan hal kecil semburat merah muda di kedua pipinya).
Namun tak ada sendu di cerkas mata Taehyung, tak pernah ada.
[vi]
"Kenapa kau memberitahu Taehyung, Jin-hyung?"
Seokjin mengusap wajah dengan satu tangan, lalu ditutupinya sejenak. Bayang-bayang Taehyung ketika menerobos masuk ruang kerjanya, mimik terluka—sangat terluka—itu, berteriak demi secuil informasi berupa konfirmasi bahwa Kim Namjoon masihlah hidup, bahwa pria itu tidak gugur di medan perang; masih terekam jelas dalam ingatan Seokjin. Karena siapa sangka salah satu kerabat jauh Kim Namjoon bisa mengenali Taehyung dan mengatakan kebenaran yang ada?
Napas dihembus kasar, Seokjin melepas tangan dan memandang manik nanar yang diarahkan untuknya, dari seorang Jeon Jungkook. "Cepat atau lambat, dia akan tahu."
"Dan membuatnya hancur?"
"Kalau begitu mana yang kau pilih; membiarkan Taehyung percaya pada kebohongan, atau memberinya waktu untuk menyembuhkan luka?"
"Tapi Hyung, apa kau tidak pernah berpikir Taehyung menggantung harapan hidupnya di sana?"
"Lalu membiarkannya terus berharap?" Tawa sengau. "Jungkook, Kim Namjoon sudah mati. Kawan lamaku gugur di medan perang. Kau bisa menjamin padaku kalau kau bisa ubah kenyataan itu? Kau bisa menjamin, Jeon Jungkook?"
Jawabannya nihil. Memalukan, ironis, dan Jungkook merasa begitu remuk.
.
Kim Namjoon adalah sosok yang mengagumkan.
Kisah-kisahnya jarang absen dari bibir Taehyung, tidak juga terlupakan ketika Seokjin menjelaskan secara rinci. Walaupun mereka menceritakan dalam versi yang berbeda, bukan berarti Kim Namjoon yang diceritakan tak punya kesamaan; seorang lieutenant yang serius sekaligus humoris, cerdas dalam menentukan taktik dan menjatuhkan musuh, bisa membawa diri pada situasi yang memaksanya untuk bersikap netral, tetapi ada saat di mana sisi cerobohnya begitu membahayakan.
Jungkook tidak mengenal Kim Namjoon, tidak tahu bagaimana rupanya, tidak juga pernah bertemu secara langsung. Tetapi ia seolah dikenalkan dengan situasi yang riil, seakan ia berdiri di samping pria itu sebagai kawan seperjuangan dan bekerja di bawah komandonya.
Perlahan, Jungkook mengerti. Sangat mengerti bagaimana rasa kagum yang dimiliki Kim Taehyung terhadap sang lieutenant. Dan semakin ia memahaminya, semakin besar pula kesadaran terhadap lubang besar yang mungkin, barangkali saja, masih dan akan selalu menganga di sudut hati Taehyung.
[vii]
"Taehyung? Kau di dalam?"
Tiga ketukan di pintu, belum ada sahutan.
"Taehyung?"
Dua ketukan berikutnya, Jungkook menyerah. Ia meraih kenop pintu lalu diputar pelan, tidak terkunci. Ada derit usang saat Jungkook melebarkan celah agar ia bisa masuk, mengambil langkah, lalu ditutupnya kembali dengan hati-hati.
Jungkook tidak terkejut; kamar seperti kapal pecah, lembaran kertas berhamburan acak, pecahan beling di sudut ruangan, dan mesin tik yang membisu. Taehyung meringkuk di atas ranjang, bergelung tanpa selimut sembari memeluk dirinya sendiri, tampak rapuh dan kecil. Berapa lama pemuda itu mengurung diri? Lima hari? Seminggu? Jungkook tak kuasa menghitung. Ia beringsut dengan sangat perlahan, sengaja mengambil tempat di sisi ranjang dan diraihnya, amat hati-hati, jemari Taehyung yang terkulai.
"Taehyung …"
"Aku tidak bisa melakukannya," potong Taehyung tanpa diduga, terdengar serak dan lirih. "Tidak bisa …" Hela napas. "… atau gagal? Menyusul Lieutenant."
Cukup, Jungkook menggeleng lemah, cukup aku mohon. Ia berusaha untuk tidak memandang Taehyung terlalu lama dan lekas berpaling, ke mana pun, asal jangan kepada Taehyung untuk saat ini. Ia tidak tahu berapa banyak keberanian yang harus dikumpulkannya tapi Jungkook akan mencoba, sekecil apa pun hasilnya nanti.
Akan tetapi, apa yang tertangkap oleh matanya sama sekali tak memberikan perubahan. Di samping mesin tik, puluhan atau mungkin ratusan surat bertumpuk begitu rapi, terikat temali tipis dan tersusun sangat apik. Selama ini Jungkook mempertanyakan ke mana perginya surat yang seringkali Taehyung tulis, ada di mana mereka, dan kini mendapatinya sebagai kenangan lapuk termakan waktu. Surat-surat itu ada di sana, menunggu sekon demi sekon kapan akan jatuh kepada si penerima.
Yang sampai saat ini pun, kerap menanti dan tak pernah terkirimkan.
.
"Kenapa menangis, Jungkook?"
"Bodoh, siapa lagi yang akan menangis untukmu selain aku dan Jin-hyung?"
[viii]
Taehyung perlu waktu untuk pulih, Seokjin selalu memberikannya selama yang Taehyung butuhkan asalkan pemuda itu memang bisa sembuh dari luka hatinya. Meski tidak sepenuhnya sembuh, meski bekas seperti luka bakar yang menganga itu akan selalu ada.
Jeon Jungkook tak akan berhenti menunggu.
Karena ia percaya suatu saat nanti, ada masa di mana Jungkook berhasil menyentuh hati yang telah lama mati.
Dan Kim Taehyung mampu membagi luka.
[ix]
"Dua puluh surat?"
"Begitulah."
"Untuk dua puluh tahun ke depan?"
"Yap."
Jungkook gatal ingin menoleh, setidaknya memastikan apakah Taehyung (dalam sosok Taehee) sekarang ini kelelahan atau tidak. Tapi pastinya dia memang kelelahan, melakukan perjalanan ke luar desa selama lima hari atas permintaan klien dan tidak menduga selama lima hari itu pula dua puluh surat berhasil dibuat. Jungkook sengaja menyempatkan diri untuk menjemput Taehyung di hari terakhir, beruntung tidak terlalu jauh dan cukup menempuh tiga puluh menit menggunakan sepeda.
"Surat-surat itu," lanjut Taehyung, entah sadar atau tidak, menyandarkan pelipis kanannya di punggung Jungkook. Mudah bagi Taehyung untuk melakukan hal kecil yang sebenarnya membuat jantung Jungkook berpacu lebih cepat, karena posisi duduknya menyamping. Jungkook sengaja memelankan kayuh sepeda, mengikuti jalan setapak di antara pepohonan tinggi. Ketika ia mendongak, malam semakin larut meski langitnya terlihat sangat cantik, penuh titik-titik bintang, membentuk garis milky way.
"Ada apa dengan surat-surat itu?"
"Seperti surat dari masa depan." Kekeh ringan mengudara. "Surat itu ditujukan kepada suami dan calon anaknya yang akan lahir nanti. Meminta mereka untuk bertahan."
"Kenapa mereka harus bertahan?"
"Karena klienku merasa waktunya tidak akan lama lagi." Hening yang sendu, kemudian kembali pecah oleh Taehyung. "Untuk dua puluh tahun ke depan, dua puluh surat setiap tahunnya agar mereka tidak merasa benar-benar ditinggalkan." Ia membenamkan wajah di punggung Jungkook. "Apa mereka bisa bertahan? Membayangkannya saja membuatku sedih."
"Aku tahu," tanggap Jungkook. "Aku tahu itu."
"Hm-mm,"
"Kau oke?"
"Mungkin. Omong-omong, punggungmu jadi hangat."
"Yah," gumaman pelan. "Pasti berat sekali, menulis dua puluh surat dalam lima hari."
"Aku mati-matian bertahan untuk tidak menangis di sana."
Tidak ada tanggapan lebih. Jungkook juga tidak protes ketika punggungnya mulai terasa panas dan basah.
[x]
Festival pertunjukan udara akhirnya tiba, akhirnya tiba.
Itu adalah festival di mana ratusan surat disebar secara acak yang dilemparkan dari atas pesawat terbang dengan ketinggian beribu-ribu kaki. Biasa terjadi dua kali dalam satu tahun, pada penghujung akhir bulan Desember sehingga kesibukan para doll bertambah dari hari-hari biasa. Semua orang menantikan, semua orang menulis harapan, semua orang akan berkumpul di setiap sisi danau perumahan, menunggu waktu kapan persisnya pesawat terbang melesat dan bermain di angkasa.
Desa Halstatt tak ubahnya negeri di sebuah buku dongeng, bahkan untuk satu festival unik yang kerapkali ditunggu-tunggu waktu pelaksanaannya.
"Tanganku pegal sekali, astaga." Taehyung mengeluh pendek, jarinya bergerak-gerak seperti tentakel gurita. Ia bembungkuk dan diraihnya batu kerikil, kemudian Taehyung lemparkan sekuat yang otot lengannya dapat lakukan, sejauh mungkin ke arah bentangan danau luas di hadapan sana. Garis ujung danaunya seolah menyentuh batas cakrawala langit.
Jungkook memicingkan mata, satu tangan ia gunakan untuk memayungi mata, memastikan sejauh apa lemparan batu Taehyung. Walau tidak diragukan, pasti akan jauh sekali. Mengingat bahwa Taehyung adalah seorang prajurit hebat semasa hidupnya, dulu.
"Kau menuli surat untuk siapa, Jeon?"
Sudut mata Jungkook mengerling jenaka. "Kau akan tahu nanti."
"Ew, aku tidak suka teka-teki," balas Taehyung jengah. "Lagipula, suratmu kan bakal tercampur dengan surat orang lain. Tidak ada yang tahu siapa yang akan mendapat surat siapa begitu pesawat melemparkan surat-suratnya dari atas sana." Ia mendongak sembari memejamkan mata.
"Aku punya salinannya, di sini," jari telunjuk menunjuk saku seragam, di bagian dada kiri. "Di hatiku."
Mata Taehyung terbuka refleks. "Astaga, gombal."
"Kau sendiri?"
"Apa,"
"Ditujukan untuk siapa suratnya?"
Jawabannya meluncur lugas, tanpa ragu, tanpa harus ada jeda canggung. "Lieutenant."
Mendadak Jungkook lebih tertarik memandangi kulit sepatunya, bodoh juga ia bertanya. Akan tetapi, ia kembali mendongak ketika didengarnya Taehyung terkekeh. Kekeh renyah yang selalu Jungkook favoritkan, bebas dan tanpa beban.
"Itu surat terakhirku untuk Lieutenant."
Seakan bongkahan kerikil besar menghantam ulu hatinya, tapi Jungkook berhasil mempertahankan diri. Ia menyugingkan senyum khusus dan akan selalu kepada Taehyung, berderap mendekat lalu berhenti di samping pemuda itu. Saat itu, Jungkook memberanikan diri merogoh saku seragam, lipatan surat berstempel lilin marun diraihnya dengan tangan gemetar, terlebih ketika ia menyelipkannya hati-hati di kesepuluh jemari Taehyung yang lekas Jungkook genggam dengan erat.
"Ini suratku," bisik Jungkook. "Untuk Kim Taehyung."
Tepat pada saat itu, dengung pesawat bergema keras dan sorakan dari berbagai penjuru lintang sisi danau meletus serentak. Taehyung tidak sempat membalas karena ia refleks menengadah, menyaksikan bagaimana baling-baling pesawat berputar antusias, lima menit yang dihabiskan dengan aksi akrobatik dan pada sekon tertentu, semua lembar amplop serupa, ratusan isi hati individu yang tertulis, berbagai macam harapan bahkan lisan yang tidak terucapkan; dilempar cepat dan menyebar acak. Berterbangan di udara dengan bebas, melayang, lagi dan lagi. Tanpa sadar mengingatkan Taehyung akan garis-garis milky way di malam yang pekat.
Dalam kebisingan yang ramai itu, samar-samar, Jungkook mendengar gumaman lirih Taehyung.
"Selamat tinggal, Kim Namjoon."
(Yang sesaat setelahnya, Jungkook tak ragu menarik Taehyung dalam satu pelukan hangat.)
[xi]
Surat pemberian Jeon Jungkook tidak panjang dan muluk-muluk, dan berbunyi seperti ini;
—kalau kau mencari orang yang bisa berbagi luka denganmu, Jeon Jungkook orangnya. Apalagi dia—aku—tidak pernah menyangka akan menyukai Kim Taehyung sebegini besarnya.
.
Salam hangat,
Jeon Jungkook.
.
Bohong kalau Taehyung tidak tersentuh. Surat itu ia masukan kembali ke dalam amplop, sengaja dibaliknya, dan satu kecupan singkat Taehyung tinggalkan pada lingkar stempel lilin marun sewarna kelopak mawar.
selesai
a/n : jadi tiba-tiba saya inget ada orang yang pernah bilang kalo selera saya itu kolot; misal masih suka ngumpulin postcard apalagi gambar london, tukang ngumpulin benda-benda nuansa klasik, sampei macem-macem tiket (bus, bioskop, event) terus disimpen atau ditempel 8"D/melipir. manalagi masih suka kirim-nerima postcard huehue/halah. makanya saya selalu nyaman kalo udah nulis tentang tukang pos, tukang pengirim barang, apalagi latarnya desa-desa kecil asdfghjklsns-oy. ini kayaknya hobi banget bikin taehyung crossdress ;;;;;
udah gitu, saya kepincut sama anime Violet Evergarden. COBA CEK DEH ASDFGHJKLSJSN. plot cerita, kurasi warna, karakter tokoh, dan latarnya tjantiek sekali saya lemah help ;;;;;A;;;;; rasanya kayak udah lama banget ga nulis pure romance kayak gini, dan pas cek tadi mendadak ragu kok rada geli sama tulisan sendiri heuheuheu/apasih.
OH IYA MAGIC SHOP-NYA GILS SAYA NYERAH. ngetik ini sambil denger lagu itu hshshshshs.
selebihnya, terima kasih sudah mampir, ya! ^^
