Dunia ini sudah rusak. Busuk.
Lihat. Bumi semakin kacau. Tangan-tangan itu tanpa sadar memicu kiamat semakin dekat.
Dengar. Jeritan asa tak berperi. Tanpa dosa—mungkin. Tapi, apa ada yang peduli?
Darah hitam tergenang dimana-mana. Menodai hati sebagian manusia. Ego meninggi, saling mengintimidasi, bersiap menikam satu sama lain. Padahal, mereka masih satu keturunan.
Berteriaklah mereka tentang keadilan. Faktanya—tua renta pemilik sebongkah kayu berdiam dibalik jeruji. Sementara itu para serigala buas dibiarkan bebas diluar publik.
Berteriaklah mereka anti penjajahan. Membiarkan orang lain mengeruk mereka menyebabkan kemelaratan diri. Sifat tak mudah hilang bernama kebodohan,egoisme. Lucu sekali.
Muak. Para pembangkang menjadi pemimpin. Para ksatria menjadi penentang. Permaian politik memang seru dan menegangkan.
Wajah kecil yang menunjukkan seukir senyuman itu, menunjukkan polosnya jiwa yang seolah belum terjamah kerasnya dunia—tanpa dosa. Tapi masa depan, siapa yang menjamin? Miris sekali.
Mahluk bernama manusia itu, benar-benar mahluk yang aneh dan unik ya?
Itulah gambaran dunia masa kini. Alasan pantas kenapa sangat layak untuk dibenci.
Jadi, kenapa diam saja? Kau membenci dunia? Mengapa tak mencoba bergabung bersama kami—sekumpulan orang berharapan pasti jika dunia akan menjadi jauh lebih baik oleh sebuah 'Revolusi'—dengan satu konsekuensi: siap untuk dibenci.
Kami bukan teroris—tolong jangan samakan dengan kelompok anarkis dan berbau rasis—Hanya sekumpulan orang yang mengharap adanya perubahan.
Kami menerima siapa saja yang ingin bergabung. Tetapi sekali lagi, ditegaskan kembali bagi kalian yang sungguh membenci dunia meski ada alasan lain dibalik itu. Toh, saling bahu-membahu dengan tujuan satu mempercepat keinginan—tersendiri—kita untuk tercapai, bukan?
Dan maaf saja bagi kalian yang takut mati—sekaligus belum siap untuk dibenci—silahkan mundur perlahan. Kami menghargai kalian—tetapi kami lebih menghargai lagi orang-orang yang rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Ah—jangan khawatir. Tak semudah itu kami membiarkan mati seorang anggota karena satu nyawa itu amat berharga.
Jika hanya sekedar ingin kekuasaan—silahkan. Sebagai gantinya, dibayar dengan satu letusan peluru adil, bukan?
Jangan pedulikan gender-mu, umur-mu, ras-mu, keyakinan-mu—disini, SARA tidak berlaku.
Mau kau berasal dari dasar neraka sekali pun—tangan kami senantiasa terulur. Merengkuh siapa saja yang membenci dunia—menginginkan revolusi.
Terserah dunia memandang-mu, bagi kami—kau lah pahlawan sejati.
Sekali lagi, ayo bersama membuat revolusi. Membangun dunia baru yang ideal. Ingat—jangan pedulikan bagaimana padangan dunia terhadap-mu. Karena disaat seisi dunia telah membenci kita—itulah kemenangan sejati.
Inilah—Revolusi dunia terbesar sepanjang sejarah!
.
.
.
.
.
.
.
.
XX Day Project. Revolution.
Disclaimer: Hetalia by Himaruya
Story by Hay Anime14
Warn: Dark(?)AU!, Ooc, tak sesuai EYD, alur campuran, Typo and miss Typo, dan segala sesuatu jauh dari kata sempurna.
~Happy Reading~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lihat." Satu dari tiga sosok berkata, membuyar hening yang sedari tadi tercipta. Kedua telapak tangan tersembunyi dalam saku. Hoodie menjadi perisai, menapik rasa dingin yang membuat kebanyakan orang memilih bergelung dalam selimut.
Pengecualian bagi mereka, tiga sosok yang bersembunyi dalam bayang-bayang. Orang waras mana yang rela menghabiskan malam di puncak gedung tertinggi? Ruangan hangat lebih menarik ditempati. Tapi, apa peduli? Toh, lagian mereka menikmati. Kapan lagi dapat menyaksikan kerlap-kerlip lampu yang menjelma bagai ribuan permata mungil yang dinaungi hamparan bintang di langit galaksi?
Dan mereka masih waras. Setidaknya masih enggan memilih terjun bebas ditarik gravitasi. Tolong garis bawahi.
Kembali pada tokoh yang sama. Ia kembali membuat suara, netranya tetap tertuju pada objeknya sedari tadi. "Kota yang mengagumkan."
"Mengagumkan?" Kekehan menjadi tanggapan. "Tumben tidak memuji diri sendiri? Mulai bertaubat? Astaga, dunia mau kiamat!"
Lantas, suara tawa terdengar, suara erangan menyusul setelahnya. Satu figur yang sebelumnya menanggapi kini menimalisir pundaknya yang nyeri.
Sang pelaku, tak peduli. Dirinya malah dengan senang hati mencipta senyuman sinis penuh sarkatis. Tak ada kata simpati.
"Diamlah. Kau tahu rasanya terjun dari ketinggian beratus kaki?"
"Tidak tahu dan tidak mau tahu! Eh, asalkan kau bersedia menyiapkan parasut—atau setidaknya balon pengaman, aku mau."
"Gila."
Kekehannya bertransformasi menjadi tawa. Ayolah, dirinya tahu kalau sejak awal ini hanya gurauan. Lelucon. Lagipula, jika figur yang menjadi lawan bicaranya sedari tadi memang sungguhan dengan ancaman tersiratnya, dirinya tahu kok. Kalau...
...rangkaian kata pertamanya hanya sebuah omong kosong.
Bullshit.
Hanya sebuah taktik untuk membuyar keheningan.
Haha. Mana mau lawan bicaranya itu memuji yang tidak berhubungan dengan dirinya?
Kota yang termasuk metropolitan itu tak kunjung sepi. Buktinya, suara kendaraan yang melaju masih senantiasa terdengar hingga larutmalam. Bising. Berisik. Tapi—entah ada angin apa kali ini terhitung sepi. Sangat cocok bagi tiga sosok yang selama ini mengharapkan keadaan sepi.
Jangan berfikir macam-macam. Mereka menyukai langit malam. Mereka suka mengobservasi aneka benda langit juga keadaan kota yang dipenuhi kilauan lampu. Tapi, digabung dengan kebisingan kendaraan yang menebar zat perusak pelindung bumi?
Terima kasih.
Angin malam menjadi iringan tawa yang masih terjadi. Kompak berhenti ketika tawa sudah tak beraksi. Angin dengan suhu tak biasa—mengingat mereka tengah berada di puncak tertinggi ditambah fakta dimulainya awal musim gugur. Tapi dengan hoodie, dingin menjadi tak berarti.
Senyuman terukir serempak bagi tiga figur pecinta malam.
Membingungkan bukan? Kau bertanya siapa mereka? Kau tak dapat membedakan mereka? Untuk lebih dimengerti, mari kita tandai. Si Putih untuk dia yang memuji, Si Hijau untuk dia yang menanggapi, dan Si Ungu untuk dia yang belum membuat kata sedari tadi.
Kemudian hening kembali hadir menemani tiga menit ke depan.
"Ah, kalian." Dan akhirnya, Si Ungu mulai bersuara dengan menginterupsi."Kita disini untuk mengobrol, loh. Jangan sia-sia kan waktu."
"Kami sudah berdebat tadi. Kau saja yang belum berbicara sedari tadi."
"Tidak ada bahan obrolan."
"Ah! Aku tahu! Kenapa tidak ceritakan saja kejadian hari ini?"
"Kita bukan perempuan yang bergosip atas kejadian yang terjadi."
"Sebenarnya, aku lebih suka ke Pub."
"Ketimbang tidak ada obrolan?"
"Hah." Si Putih membuang nafas. Ada nada berat dan begitu malas. "Pembimbing kuliah S2 ku sama sekali tidak keren. Aku dilarang mendengarkan Mp3 ku selama kuliahnya berlangsung. Ayolah! Ini kehidupanku! Dan kuliahnya sangat amat membosankan!"
"Diucapkan oleh orang yang ber-IQ kelewat tinggi."
"Lalu kenapa? Bilang saja kau iri! Seharusnya, dia memikirkan cara bagaimana agar aku tertarik!" Si Putih menatap sengit. Tangan yang sejak awal berada di saku kini menarik tudungnya semakin dalam. Kemudian, dia menghempaskan tubuhnya untuk bertemu dengan lantai semen yang dingin.
"Giliranku!" Si Hijau berkata dengan antusias, tangan kanannya tak lupa teracung ke atas pertanda dia ingin didengarkan. "Kebun tomat hidroponikku sudah mulai berbuah! Sementara kebun tomat biasa—ah, jangankan berbuah. Ulat menyebalkan lah yang muncul. Apa lebih baik aku fokus pada tomat hidroponik saja?" Andaikan bayang-bayang tak menutupi, Binar kebahagian pasti menghiasi manik yang tertutup oleh tudung hoodie.
"Tapi," keantusiasan itu lenyap seketika. Diganti oleh ringisan yang terdengar berat hati. "Hidroponik lebih banyak mengeluarkan biaya. Sementara pemasukanku belum seberapa."
"Seharusnya kau tidak hanya menanam tomat," kata Si Ungu mencoba memberi saran. "Dari zaman Imperium dimulai, rempah-rempah lebih banyak dicari. Dan kau ingat teman kita yang itu? Kampung halamannya menjadi surga rempah-rempah sejak dulu. Minta saja bibit. Dia pasti akan kasih."
"Aku mau minta. Asal dia tak memintaku menjadi modelnya." Bulu kuduk Si Hijau berdiri serempak. "Kau sendiri, bagaimana pekerjaanmu?"
"Ya..." Yang ditanya hanya mengangkat bahu. "Sama seperti biasa. Ramai dan ricuh sekali. Biasa lah, restoran bintang lima. Tanganku yang cantik ini sampai lelah."
Dan lagi-lagi, hening kembali hadir menemani mereka beberapa menit lebih lama dari sebelumnya.
"Ah, sudah larut sekali. Kita harus kembali."
"Heh? Sudah ingin turun? Kufikir ingin mengobrol lebih lama."
"Ingat waktu. Besok aku harus kerja pagi. Ada event penting. Dan kau ada kuliah pagi. Jangan bolos lagi."
"Hey—"
"Dan ada orang yang tertarik dengan tomat organik hidroponik!"
"Lagian, memang sudah waktunya bagi kita untuk turun."
"Kau benar." Seringai penuh arti terukir. "Sudah seharusnya waktu kita untuk turun."
Itu sudah larut malam. Dan tiga figur hilang bersamaan dalam bayang-bayang ketinggian.
Waktu dimana manusia tertidur lelap. Bersiap untuk hari esok. Waktu dimana hewan-hewan malam menjalani kehidupan. Kanvas Tuhan yang begitu pekat. Hitam menjadi dasar warna bagi gambaran hamparan bintang. Sabit bulan yang begitu terang. Siluet abu sirus sebagai penghias.
14 Februari 2026 pukul 01.13 malam, sebuah Pusat Pembelanjaan di Karlsruhe, Jerman meledak.
.
.
.
"Sepertinya, sudah waktunya kita mencari tempat mengobrol baru?"
.
.
.
.
.
.
..
.
.
.
9 Juli 2025. Brussels, Belgia.
Emma Van Anders, sudah berada disana selama berjam-jam. Ke-76 kali membuka buku yang berbeda, ke-56 kali menelusuri buku yang sama dan total 91 kali menelusuri ra-rak buku yang menjulang tinggi dalam perpustakaan kampus besar tempatnya belajar.
Netra hijaunya menelusuri rangkaian kalimat di bukunya yang ke-77 setelah sebelumnya meloncat turun dari tangga kayu—sudah terbiasa karena sekian waktu dihabiskannya, dan itu cara yang lebih efisien dan dia tidak terluka—demi menggapai sebuah buku yang tergolong cukup tinggi.
Telunjuknya mencoba mencari cepat. Siapa tahu ada kata yang dicari. Setidaknya, sebuah makna yang berhubungan. Sudah berapa waktu dia lewati?
Ah. Dua hari. Dia bahkan melewatkan jadwal makannya—lagi. Cemilan terakhir sudah dimakannya tadi.
Kapan ia terakhir mengistirahatkan mata? Kalau tak salah, baru 20 menit yang lalu. Itupun tanpa sengaja. Dan dia hanya menutup mata hanya sekitar 15 menit.
Tenang saja, dia manusia kok. Homo sapiens dengan gerakan terbatas, dan tetap penasaran akan sebuah teka-teki. Misteri. Sebuah kiriman di dunia maya yang ektensinya diabaikan banyak manusia dan diyakini hanya sekedar gurauan belaka bagi mereka yang tak peduli dan sudah angkat tangan untuk mencari sebuah kunci pemecah permasalahan
.
.
Hey—kau, sang Pemberontak. Pembenci dunia atas. Mari kita memulai suatu permainan!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pagi, Siang, Petang atau Malam dimana pun kau berada!
Bagaimana? Kau tertarik? Atau merasa ini semua membosankan? Aku juga berfikir demikian. Toh, ini kan baru permulaan.
Tapi nanti—mungkin ada hal menarik.
Sudah tahu siapa aku?
Ah, maaf. Sekali lagi, ini masih sebuah permulaan. Kau mungkin sangat tidak mengerti apa yang terjadi. Kisah macam apa ini? Ya, aku bahkan tidak tahu kalau aksi kami dapat menjadi sebuah cerita—seorang penulis amatir bersikeras meminta. Tak apalah, kami juga merasa terbantu. Sudut pandang dari sisi dunia yang berbeda. Aksi dimana didalamnya ada sebuah plot-twist skenario yang sungguh, amat-sangat-menjengkelkan.
Astaga, apa baru saja aku membuat sebuah bocoran?!
Yah, tidak apa. Lagian, walau sedikit bocoran dapat membantu, aku sangat amat yakin Kalian Pasti Masih Belum Mengerti. Ini bukan sarkasme. Tapi itulah kenyataan yang terjadi.
Benar begitu, bukan?
Haha! Kalian merasa jengkel? Memang! Memang begitulah yang seharusnya terjadi!
Itulah yang kami inginkan! Perasaan itu! Emosi itu!
Sifat dasar Manusia yang amat menarik! Tapi sungguh, itu sangat berguna bagi kami!
Kau bertanya siapa aku? Sebenarnya, aku tidak berniat memberi tahu. Biarkan alur mencipta kunci. Aku ingin kalian sendiri yang mencari tahu siapa aku. Apa alasanku. Dan—apakah kalian ingin bergabung bersama ku?
Hey, aku bertanya padamu! Apa kau ingin bergabung bersama kami?
Jawab!
Hah! Dasar, Manusia! Rasa penasaran kalian itu, sungguh menggemaskan!
Aku tahu—aku terlalu baik. Aku menyadari kalau kunci yang diberikan hanya sedikit. Tapi—hey, apa kalian tak dapat sesuatu dari gambaran di atas? Bukankah kalian ini mahluk Tuhan paling sempurna?
Yang karena kesempurnaan itu lah, kalian bertikai satu sama lain! Egois! Serakah! Dan apa lagi? Menganggap diri kalian paling superior hingga merasa dapat memerintah, berbuat sesuka hati pada seluruh penduduk bumi? Walau itu bangsa kalian sendiri! Jenis kalian sendiri!
Ketahuilah, sekelompok meerkat lebih baik dari kalian!
Setidaknya, mereka lebih manusiawi.
Dan kau bilang tak semua manusia seperti itu? Tak semua dari mereka memiliki sifat busuk itu? Buktikan!
Karena aku, juga percaya demikian!
Baiklah. Ini sudah melenceng dari topik seharusnya. Aku terlalu baik. Kalian penasaran siapa aku, bukan?
Itu rahasia, kawan.
Haha! Tidak-tidak, aku tidak sejahat itu. Rasa penasaran dapat membunuhmu. Dan aku tidak mau kalian mati sebelum mengetahui siapa kami.
Sebenarnya, kami bahkan belum bernama.
Jangan marah! Tapi memang itu kenyataannya! Apa kau mau memberi nama pada kami? Silahkan, tapi tidak sekarang! Tidak sampai kalian mengenal betul siapa kami. Dimana kalian sudah bersiap untuk memilih. Aku tidak mau kalian salah mengambil tujuan berujung penyesalan seumur hidup tak tergantikan.
Bersabarlah. Ada saatnya.
Untuk sekarang, aku mau kalian menikmati. Meneliti segala penulisan alur 'Penulis Amatir' ini. Selidiki, cari tahu. Sampai makna itu tersampaikan dan meleset tepat pada ruang kenaifanmu itu.
Kuharap kau tak polos lagi.
Kuharap sekat pembatas pandanganmu terbuka dan kau dapat menyadari luasnya dunia dari sisi yang berbeda.
Tunggulah. Bersabarlah. Aku berbaik hati memberi kalian tenggang waktu.
Karena jika sudah tiba saatnya, bersiaplah.
Disaat aku kembali bertanya pada kalian, waktunya bagimu untuk memilih.
Dan disaat itu tiba, maukah kau memberi nama kepada kita? Sungguh, kami bingung dinamakan sebagai apa kami ini. Bahkan sang 'Penulis Amatir' juga tak mempunyai saran.
Kata-kataku kutarik deh, kalian boleh kok, menamai kami sekarang juga.
Tapi nanti—saat kau hendak memilih, boleh kah aku berharap satu kepada kalian?
Kalian boleh mencaci kami, kalian diperbolehkan mengatakan kami ini busuk dan lain sebagainya—saat kau sudah mengetahui siapa kami—silahkan. Mungkin dari kalian akan ada yang mendukung kami—mungkin kalau ada—kami akan berterima kasih. Jika tidak ada, tak masalah kok. Jika pada akhirnya kalian membenci kami, itulah yang sangat kami inginkan.
Harapanku—tolong jangan caci maki sang 'Penulis Amatir'karena dia hanya berniat menulis cerita kami.
Baiklah, selamat menikmati. Selamat memecahkan misteri siapa kami. Kuharapkan kalian dapat memilih, setelah aku melontarkan—'Apakah kalian ingin bergabung bersama kami?' Sekali lagi, tak ada jalan kembali. Hanya terdapat dua pilihan. Dan pilihlah jawaban pasti sesuai kemauanmu sendiri agar kau tak menyesal nanti.
.
Karena kami adalah hitam di atas putih.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc or Delete?
#pojokAuthor
#Karlsruhe... maafkanSaya...
Haha. Hahaha. HAHAHAHA!
FAAAAAAAAAAAAI?! LU DIMANA?! SUMPAH, GUA NULIS SAMPAH!
Gilagilagila! Ini apa-apaan coba?!
Ada yang ngerti gak? Kagak ya? Maaf ya! Udah lama nggak nulis cerita berbobot!
Saya tahu, saya harusnya nuntasin 'Diet Program' dulu. Tapi apa mau dikata, gua sibuk tahu gak. Stres! Dan ada niatan mau 'cuci gudang'. Banyak fic2 nista dari kapan tahu minta dinotice. Baru beberapa yang kelar. Ini dah ada dari tahun 14 kalau gak salah.
BULAN INI SAYA SIBUK! KTI! Ada yang mau kasih ide gak?
Bagi yang masih kurang atau sama sekali belum ngerti ini cerita apaan, gua kasih bocoran dikit deh. Ini semacam cerita... apa ya?#WOY! Pemberontakan? Revolusi?
Teroris?
GAK! Saya gak mau buat orang teroris! Anti teroris! #SayaAntiTeroris. Ya, walau cerita ini kayaknya gak bakal jauh sama aksi teror meneror?
Entahlah. Kan udah tersirat dari pembukaan pertama. Katanya mah, gitu.
Terinspirasi sama Hanari X-day dan Code Geass. Maunya sih, alasan terbentuk pemberontakan mirip-mirip Code Geass.
Betewe... saya gak tahu mau ngasih judul apa. Ada yang mau ngasih saran judul?
#PalingPalingEntarSayaHapusAtauGakTakBerlanjut
Eee,ada yang tahu waktu malam di eropa gak?#SumpahHayLuDimanaLimaTahun
Baiklah!
Sampai Jumpa Entah Kapan Lagi!
#Hay Anime14
NB: Kepada FAI...
FAAAAI! KALO KITA DAH KELAR SIBUKNYA KITA KERJA BARENG LAGI YA!
