AKUMU
.
Nightmare
.
Pembantaian klan Uchiha, dalam ingatan Sasuke.
Sebuah mimpi buruk untuk bocah kecil polos sepertinya, bukan?
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
.
.
Lagi-lagi onii-chan tidak datang.
Aku bergegas membereskan beberapa shuriken yang kucuri dari kamar onii-chan sambil merengut kesal. Matahari sudah menggelincir, menyisakan warna jingga di langit. Dengan tas yang terselempang di tubuhku, aku berjalan pulang sambil melahap sisa tomat bekalku. Aku cukup lelah setelah melawan diriku sendiri tadi, hingga kecepatan jalanku menurun. Hari sudah benar-benar malam saat aku tiba di depan perumahan.
"KAAAK—KAAK!"
Aku mengangkat kepala sambil menggigil kedinginan. Banyak gagak terbang dengan rebut di atas kepalaku, menatapku tajam dengan mata mereka. Gagak-gagak itu terbang melingkariku, lalu tiba-tiba berpencar dengan cepat saat dari dalam perumahan terdengar suara tebasan pedang dari dalam perumahan bersama dengan bau amis darah yang menyengat.
"Hanya imajinasi, imajinasi." seruku sambil menggeleng cepat. Dingin semakin menjerat saat aku melangkah masuk.
"Aku tadi hanya terlalu lelah, makanya jadi berpikiran yang—" kalimatku terhenti saat mataku menangkap tubuh para anggota klan Uchiha terbaring kaku di tanah dengan lumuran darah.
"Oh, Kami-sama!"
Mataku melebar, tubuhku semakin menggigil. Aku membekap mulutku dengan tangan gemetar. Desiran angin malam mengecup tengkukku, mengirimkan ketakutan ke dalam sumsum tulang. Bulan purnama menggantung di langit, menyinari tubuhku yang berdiri gemetar di tengah bujuran kaku tubuh-tubuh dingin klanku.
Klanku.
Keluargaku.
Orang tuaku.
"Kaa-san! Tou-san!" bayangan kaa-san dan tou-san menyapa pikiranku. Masih dengan tubuh yang seperti ingin meleleh, aku berlari sekuat tenaga menyusuri jalan. Aku tidak sempat dan tidak ingin menoleh. Lagipula, pandanganku buram di tengah kegelapan seperti ini.
Gagak-gagak terbang menjauhi tubuh mayat yang mereka hinggapi saat mendengar derap kaki dan dengusan nafasku yang timbul-tenggelam. Mereka berseru riuh seperti menyambutku dengan olokan, atau malah mengemis padaku agar nyawaku meninggalkan tubuhku. Dengan begitu, jumlah santapan mereka bertambah.
Semakin lama, suara mereka membuatku gentar. Ditambah, saat aku berlari melewati tiang listrik utama, aku merasakan sepasang mata lain menatapku tajam. Sudah kukatakan tadi, aku tidak bisa dan tidak ingin melihat dengan mengandalkan cahaya remang bulan purnama. Itu omong kosong.
Awan berarak menyelimuti bulan, membuat keadaan menjadi semakin gelap. Aku sudah berkali-kali terjatuh karenanya. Aku benar-benar merasa terpojok dengan cemoohan para gagak itu. Ingin rasanya duduk menangis dan memohon keselamatan di depan kuil Nakano, di hadapan biksu tua yang terbaring damai dengan luka tusukan di dadanya. Namun lonceng kuil yang entah kenapa berdentang teratur membesarkan hatiku—walau aku lebih berharap agar dentangnya mengusir kerumunan gagak yang menatapku dari pohon.
Keringat sudah membanjiri sepatuku saat tanganku menyentuh pintu rumah. Tidak ada lampu yang menyala. Samar, aku mendengar suara percakapan lirih. Sialnya, belum genap sepuluh detik suara itu ditangkap runguku, para gagak sialan itu berteriak-teriak kesetanan.
"Sial!" Aku meraih batu dari tanah, melempari gagak-gagak itu. Mereka terbang pergi, menghindari lemparanku dengan suara seperti tawa licik nenek sihir.
"…kutitipkan Sasuke padamu…"
Aku tertegun. Itu suara Otou-san. Tanpa buang waktu lagi, aku segera menghambur masuk. Gelap. Tak ada cahaya setitik pun. Aku mengerjapkan mata, mencari kaa-san dan tou-san.
"Kami-sama, semoga mereka baik-baik saja." bisikku sambil meraba-raba dinding dan menajamkan pendengaran. Siapa yang tahu kalau seseorang akan berbicara lagi?
"Kau anak yang baik, Itachi…"
"Itachi?" ucapku kaget. Aku tahu itu tadi adalah suara kaa-san, dan aku tidak dikagetkan oleh itu. Aku terkejut saat mendengar nama onii-chan. Berarti, dia ada di rumah saat seseorang membantai klan. Itu pasti alasan kenapa dia tidak memenuhi janjinya. Onii-chan pasti bekerja keras melawan si pembantai.
Setelah mendengar sedikit suara kaa-san, aku bisa memastikan ruangan tempatnya, onii-chan dan otou-san berada. Aku berjalan beberapa langkah, meraba pintu geser ruangan itu.
SRING
KRASH!
Jantungku berhenti berdetak saat tanganku menempel di pintu. Aku tahu suara itu! Oh, Kami-sama! Siapa yang membunuh siapa?
BRUGH!
Kakiku melemas begitu mendengar suara itu. Suara lantai yang dijatuhi tubuh manusia. Ketakutanku perlahan terjerat oleh rasa penasaran. Dengan cepat, aku menggeser pintu. Cahaya bulan purnama menerangi ruangan itu. Menerangi tubuh dua manusia kesayanganku yang terbaring tanpa gerakan. Tanpa tanda-tanda kehidupan.
"OKAA-SAN! OTOU-SAN!"
.
.
"Hosh… hosh…"
Aku berlari sekuat tenaga, mencari onii-chan. Dia berhutang janji latihan dan jawaban atas pertanyaanku.
"Siapa yang membunuh klan? Kenapa dia melakukan itu?" gumamku.
Pertanyaan-pertanyaan lain juga bertebaran di pikiranku. Langkahku terhenti saat aku melihat Onii-chan berdiri tegap di tengah jalan, menatapku lurus. Di punggungnya, tersampir dua buah pedang. Aku bisa melihat bercak darah disana. Sekejap, satu pertanyaan lagi menyeruak di benakku.
"Apa aku juga…akan mati?"
.
.
"Bohong! Yang seperti ini bukan nii-chan! Habis…" Air mataku mengalir deras di pipi. Onii-chan hanya menatapku lurus.
"Alasanku terus bersandiwara menjadi kakak seperti keinginanmu adalah untuk mengukur utsuwamu. Kau akan jadi lawan untuk memastikan kemampuanku. Potensi itu tersimpan dalam dirimu."
Aku terpana, mendengar setiap huruf yang meluncur dari mulut nii-chan dengan kaget. Jadi… selama ini?
"Kau menganggapku menyebalkan dan membenciku…Terus ingin melebihiku. Karena itulah, kau kubiarkan hidup… Itu demi aku."
Semua senyum yang dulu terukir di wajah nii-chan dan terus membekas di hatiku sekejap luntur dan lenyap. Semuanya, hanya topeng.
"Adikku yang bodoh…Kalau ingin membunuhku… Mendendamlah! Bencilah!"
Aku terdiam, dalam hati menyetujui kata-katanya. Detik itu juga, semua perasaanku pada nii-chan berubah menjadi kebencian, dendam.
"Lalu, teruslah hidup dengan cara memalukan… Lari dan terus lari… Bergantung pada hidupmu."
Onii-chan menatapku tajam dan dingin. Bukan! Bukan dengan mata hitam pekatnya yang biasa! Melainkan dengan mata merah darah berpola. Aku tahu, itu bukan sharingan biasa.
Itu mangekyou sharingan.
.
.
.
.
.
Aku terbangun dengan kepala yang pening. Dari luar, terdengar suara okaa-san dan otou-san. Aku melebarkan mata, menyingkap selimut. Dengan cemas, aku menoleh ke jendela. Cahaya matahari pagi menerangi kamarku, mengirimkan kehangatan.
"Yokatta… yokatta…" Aku menggigit bibir sambil meremas bajuku. Dengan perasaan senang, aku melompat turun dari ranjang dan berusaha melupakan mimpi burukku.
"Ohayou, Sasuke. Mau latihan,hm?" Nii-chan muncul dari sebelahku, tersenyum lebar. Aku benar-benar melupakan mimpiku, tersenyum dan mengangguk semangat. Onii-chan lalu menunjukkan padaku dua buah pedang.
"Sekarang kita latihan pedang, ya. Kau belum pernah,kan?" Onii-chan mengacungkan dua pedang itu ke hadapanku. Aku menggeleng.
"Tapi apa caranya begini?" Aku meraih salah satu pedang itu, lalu mengayunkannya asal.
"Wow-wow… pelan-pelan saja, otouto." Onii-chan tertawa lalu mengambil kembali pedang itu. "Begini caranya…"
Onii-chan mengayunkan pedang itu dan membuat tebasan berbentuk silang di tubuhku bahkan sebelum aku sempat menghindar. Dengan terbelalak, aku menatap nii-chan tak percaya. Dia tersenyum licik. Aku bisa merasakan tubuhku terjatuh, menimpa tubuh okaa-san dan otou-san yang juga terbujur kaku tanpa bernafas.
Keadaan berubah malam, tubuh onii-chan berubah menjadi kumpulan gagak yang segera terbang berpencar dan berteriak mengolokku. Aku melirik jendela, menatap bulan purnama yang tiba-tiba berubah merah darah seperti sharingan. Cahayanya memenuhi mataku, membuatku benar-benar tak sadarkan diri.
.
.
.
.
.
Aku terbangun untuk kedua kalinya, dengan keringat menjerat tubuhku. Aku menatap sekeliling dan segera tahu kalau ini adalah salah satu ruangan di Rumah Sakit Umum Konoha. Aku memejamkan mata, berharap pembantaian itu hanya mimpi. Aku hanya terluka saat latihan lalu pingsan.
"Namanya Sasuke, dari klan Uchiha." Seseorang di luar menyebut namaku. Nah, orang-orang masih mengenal klan Uchiha. Berarti mereka masih ada, dan pembantaian itu tidak ada. Aku menghela nafas senang.
"Aku tahu. Uchiha terakhir."
Aku tertegun. Terakhir. Uchiha terakhir. Aku menggigit bibir, mengingat kembali semuanya. Pembantaian itu benar terjadi. Aku sedikit bersyukur saat tahu kalau aku tidak mati. Onii-chan tidak membunuhku.
Onii-chan?
Wajah dingin onii-chan menghantuiku, mengingatkanku pada seluruh pengakuannya. Aku meremas tangan, menahan air mata.
"Lalu, miliki mata yang sama denganku dan datanglah ke hadapanku."
.
.
Mulai detik itu, kalimat terakhir yang kudengar dari Itachi-nii menjadi tujuan hidupku. Aku berusaha tidur, ingin menghapus seluruh ingatan manisku dengannya. Saat aku nyaris terlelap, raut terakhir Itachi muncul di pikiranku.
Dia…menangis.
.
.
