Bleach © Tite Kubo
Arigatou © Mitsuki Ota
.
.
.
HAPPY READING!
.
.
.
Aku memandangi matahari yang semakin lama semakin menghilang dari pandanganku. Sinarnya semakin memudar di makan oleh waktu. Matahari sudah menghilang dengan sempurna, digantikan oleh sang bulan yangtersenyum indah malam ini. Tak lupa, bintang kecil yang senantiasa berkelap-kelip di atas sana. Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap, aku tak bisa melihat apa-apa.
"Coba tebak, siapa aku?"
"Aku tidak tahu," candaku. Aku tertawa pelan, semoga saja dia paham kalau aku sedang berbohong.
"Kau yakin?"
"Coba kupikir dulu," aku berpura-pura berfikir siapa yang seenaknya menutup mataku.
"Memang kau bisa berfikir?" dia tertawa.
"Kau menghinaku?" tanyaku berpura-pura marah.
"Hehehe…" ia melepaskan kedua tangannya dari kedua mataku.
"Kau sedang apa disini?" dia mengambil posisi duduk disampingku. Sangat dekat, bahkan kulit kami hampir bersentuhan.
"Aku ingin disini," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku memang sengaja tak ingin menatapnya. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa dia sudah tak menginginkanku untuk disampingnya. Sakit rasanya mengingat kenyataan pahit itu.
"Senna mengkhawatirkanmu," dia mengacak pelan rambut hitam sebahu milikku.
Aku tahu kalau Senna pasti mengkhawatirkanku. Aku juga tahu kalau Senna juga menyayangiku, meskipun tak sebanding dengan rasa sayang yang aku miliki untuknya. Tak perlu kau jelaskan lagi, aku sudah paham betul mengenai hal itu.
Dia adikku, Senna adalah adikku. Meskipun kami bukanlah saudara kandung, tapi aku sangat menyayanginya melebihi apapun.
"Aku tahu," jawabku pelan. Saking pelan pelannya, hampir saja aku tak yakin kalau kau mendengarnya. Tapi, kau mendengarnya jugakan?
"Ayo, aku antar pulang. Sudah malam."
"Ashido-kun,"
"Hm?"
Aku menggigit bibir bagian bawahku. Berat sekali mengatakn hal ini padamu, tapi aku harus melakukannya. Cepat atau lambat semuanya akan berakhir bukan? Bahkan jauh lebih buruk lagi jika kau yang mengatakannya, bukan aku. Maka dari itu, aku saja yang mengatakannya. Aku saja yang menderita. Aku saja, Ashido-kun.
"Kita pu-tus,"
###
Aku memandangi langit-langit kamarku. Ini sudah ke-2 kalinya dalam hidupku. Aku harus melepaskan orang yang aku sayangi pada adikku, Senna.
Pertama adalah Grimmjow, pacar pertamaku. Kejadiannya sudah lam. Saat itu aku kelas 8 SMP. Aku memperkenalkan Grimmjow pada Senna. Aku tak merasakan apa-apa mengenai kedekatan mereka berdua. Tapi, lambat laun aku sadar bahwa mereka berdua saling menyukai, dan aku menjadi batu penghalang bagi mereka berdua. Aku putuskan saat itu juga, aku harus berpisah dari Grimmjow.
Berselang beberapa jam kemudian Senna datang padaku. Ia tak henti-hentinya tersenyum padaku. Dia bercelotah padaku. Dia bahkan tak sadar kalau aku msih patah hati karena baru saja berpisah dari Grimmjow. Dia terus saja bercerita mengenai hubungannya dengan Grimmjow. Betapa remuknya hatiku saat itu. Tapi, saat aku melihat matanya yang berbinar-binar saat bercerita tentang Grimmjow, aku tak bisa marah, kesal ataupun sakit hati padanya. Bahkan dengan tulus, aku mengucapkan "Selamat" pada adikku, Senna.
Ke dua adalah Ashido. Dia pacarku yang kedua. Setelah putus dari Grimmjow cukup lama, aku menjalin hubungan lagi dengan seorang pria yang baik hati–menurutku. Namanya Ashido Kano. Kami menjalin hubungan sejak kelas 9 SMP. Aku bahagia saat itu. Karena dia sungguh sangat sempurna bagiku. Dia tampan, baik, popular dan pintar. Betapa beruntungnya aku saat , semua itu hanya akan menjadi sebuah kenangan pahit dalam kamus percintaanku.
Menjalin hubungan bertahun-tahun dengannya tak menjamin dia akan setai padaku. Itu terbukti saat itu aku tak sengaja melihatnya tengah berciuman dengan Senna di taman belakang sekolah. Itu membuatku sakit, sangat sakit malah. Orang yang aku percayai tak akan pernah mengkhianatiku nyatanya malah mengkhianatiku. Tragisnya dia berselingkuh dengan adikku, Senna.
Lagi-lagi aku harus mengalah lagi. Mengalah demi kebahagiaan adikku. Tapi, harus sampai kapan aku mengalah pada Senna? Selama ini aku terus saja mengalah untuknya. Mengalah demi melihat ia tersenyum.
Kadang aku berpikir, kapan Senna mengalah padaku? Pernahkah dia mengalah untukku? Jika aku memikirkan jawaban dari pertanyaan itu aku sama sekali tak pernah menemukannya. Aku tak ingat dia pernah mengalah padaku. Sejak kecil sampai sekarang dia yang selalu menjadi pemenang, dan aku adalah pihak yang kalah.
Apakah seumur hidupku aku harus mengalah padanya? Aku bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Kuputuskan untuk menutup tubuhku dengan selimut dan pergi kea lam mimpi dari pada aku harus bertanya-tanya pada diriku sendiri yang tak mungkin aku temui jawabnya.
###
"Ibu, Ayah, Senna."
"Ada apa Rukia?" tanya ibu dan juga Senna. Ayah tak menjawab. Aku tahu kalau ia sedang sibuk dengan bacaannya ―koran. Tapi aku juga tahu kalau sesungguhnya ia juga mendengarkanku.
"Aku ingin pindah sekolah, dan juga Tokyo." Tak hanya Ibu dan Senna saja yang kelihatannya terkejut dengan ucapanku, Ayah juga. Bahkan ia sampai melipat korannya demi melihatku. Nyaliku langsung menciut begitu melihat tatapan keluargaku. Ukh, aku benci ini.
"Kenapa mendadak seperti ini Rukia?" tanya ibu. Aku melihat raut keterkejutan di wajah cantiknya.
"Iya, benar kata ibu, Rukia. Mengapa mendadak seperti ini?"
"Senna dan ibumu benar Rukia," ayah juga ikut angkat bicara. Sungguh megejutkan bagiku mendengar ayah ikut ambil bagian dalam pembicaraan kecil yang kubuat pagi ini.
"Aku sudah memikirkannya sejak dulu. Aku ingin pindah dari Tokyo. Tapi, jika ibu, ayah dan Senna mengizinkanku untuk pindah dari Tokyo." Tak mungkinkan kalau aku harus bilang mengenai kebenaran tentang alasanku pindah sekolah dan juga Tokyo? Aku pergi untuk menghindari Senna. Aku tak mau jika aku terus saja mengalah padanya. Dan ini adalah jalan satu-satunya, aku harus pergi dari sini. Pergi dari kehidupan keluarga Kuchiki dan Senna.
"Kau serius?' tanya ayah. Suara ayah terlihat serius, apa ini artinya aku diizinkan pergi?
"Ya," jawabku mantap.
"Baiklah, ayah mengizinkan kau pindah dari Tokyo." Aku tak bisa menahan rasa bahagiaku. Hampir saja aku menetekan air mataku karena saking senangnya.
"Terima kasih ayah,"
"Tapi suamiku," ibu angkat bicara. "Rukia masih kecil."
"Iya ayah, yang ibu katakan benar. Rukia masih belum dewasa untuk ditinggal sendiri."
"Ayah akan bicara pada teman ayah yang ada di Karakura, tenang saja. Rukia pasti aman dalam pengawasannya."
"Terima kasih,"
###
Ayah, ibu dan juga Senna mengantar kepergianku. Aku secara bergantian memeluk mereka. Aku sebenarnya tak tega melihat Senna menagis saat melepaskan kepergianku. Tapi, aku tak boleh lemah dengan tangisannya. Bisa-bisa rencanaku akan gagal jika aku memutuskan untuk tetap di Tokyo.
"Jangan lupa jika kau sudah sampai di Karakura kabari kami." Ucap ibu. Aku mengangguk mantap. "Tentu,"
"Teman ayah akan menjemputmu di stasiun, jadi jangan mencoba untuk pergi dari stasiun." Nasehat ayah padaku. Aku memeluknya, rasanya nyaman sekali dalam pelukan ayah. "Iya,"
"Sudah sana cepat masuk ke kereta, nanti kau ketinggalan." Aku melepaskan pelukan ayah. Terima kasih, akan aku ingat pesanmu.
"Aku pergi dulu." Sangat berat meninggalkan keluargaku. Keluarga yang sudah baik hati mau mengadopsiku dari panti asuhan.
Aku melambaikan tanganku pada keluarga kecilku. Semoga kalian bahagia di Tokyo. Akupun mulai memasuki kereta yang akan membawaku ke Karakura. Aku masih bisa melihat wajah ibu, ayah dan juga Senna sampai kereta ini benar-benar bergerak aku tak dapat melihat wajah mereka lagi.
Goodbye Tokyo. Welcome Karakura. Dan aku benar-benar pergi sekarang.
.
.
.
TBC
.
.
.
Terakhir dari Ota, terima kasih karena sudah membaca fanfic gak penting dari Ota ini, dan tak lupa Ota ucapkan selamat menjalankan puasa bagi yang menjalankan. Ota minta maaf jika selama ini banyak kesalahan.
And now,
Review Please!
