Present "Vampire Academy" Remake

Cerita ini milik "Richelle Mead" Saya haya me-remake nya saja.

Awalnya memang banyak pertimbangan mau remake versi Fanfictionnya atau ngga, karena alur yang panjang juga ini buku berseries. But …

Enjoy it!

Warning Typo(s) , GS ,

Main Cast : Xi Luhan (GS)

Do Kyungsoo (GS)

Kim Jongin

Oh Sehun

Cast yang lain akan muncul sejalan dengan berjalannya cerita.

Cast belongs to God and Ent, and Story is Richelle Mead's!

No Bash! If you not like, just don't read it.

BAB I

AKU MERASAKAN KETAKUTANNYA sebelum mendengar jeritannya.

Mimpi buruknya berdetak ke dalam diriku, mengguncangku keluar dari mimpiku sendiri: mimpi yang melihatkan sebuah pantai dan seorang cowok seksi yang sedang mengoleskan krim antimatahari pada tubuhku. Citra demi citra―miliknya, bukan milikku―bergantian mengusik pikiran: api dan darah, bau asap, sebuah mobil yang ringsek. Semua gambaran itu menyelubungiku, terasa menyesakkan, hingga akhirnya akal sehat mengingatkan kalau itu bukan mimpi-ku.

Aku terbangun, dengan helaian rambut panjang yang gelap menempel di kening. Luhan berbaring di tempat tidurnya sambil menendang-nendang dan berteriak. Aku bergegas turun dari ranjangku sendiri, dan cepat-cepat menyeberangi jarak sempit yang memisahkan kami.

"Luhan," kataku sambil mengguncang tubuhnya. "Luhan, bangun."

Jeritannya langsung memudar, digantikan oleh gumaman pelan. "Junsu,"

erangnya. "Ya Tuhan."

Aku membantunya duduk. "Lu, kau sudah tidak di sana lagi. Bangunlah."

Setelah beberapa saat, mata Luhan membuka, dan dalam keremangan cahaya aku bisa melihat percikan kesadaran mulai menghampirinya. Napasnya yang memburu

mulai tenang dan Luhan menyandarkan tubuhnya kepadaku, meletakkan kepalanya di bahuku. Aku memeluk sambil mengusap-usap rambutnya.

"Tenanglah," aku berkata lembut. "Semuanya baik-baik saja."

"Aku mimpi itu lagi."

"Yeah, aku tahu."

Kami duduk seperti itu selama beberapa saat, tidak mengucapkan apa pun. Ketika merasakan luapan emosinya sudah mulai mereda, aku meraih ke meja di samping tempat tidur dan menyalakan lampu. Sinarnya redup, tapi kami berdua tidak membutuhkan banyak cahaya untuk bisa melihat dengan jelas. Tertarik oleh sinar tersebut, Oscar―kucing milik teman serumah kami―melompat naik ke ambang jendela yang terbuka.

Oscar menjauhiku―para binatang tidak menyukai dhampir, entah karena alasan apa―tapi ia langsung melompat ke atas tempat tidur dan menggosokkan kepala

pada Luhan sambil mendengkur pelan. Binatang tidak mempunyai masalah dengan Moroi, dan secara khusus mereka semua menyukai Luhan. Saat gadis itu tersenyum dan menggaruk dagu Oscar, aku bisa merasakan dirinya sudah semakin senang. "Kapan terakhir kalinya kau makan?" aku bertanya sambil memperhatikannya. Wajah Luhan tampak lebih pucat dari biasanya. Ada lingkaran gelap menggantung di bawah mata gadis itu, sementara tubuhnya terlihat rapuh. Minggu ini sekolah sangat sibuk, dan aku tidak ingat kapan kali terakhir aku memberi darah kepadanya. "Sepertinya sudah … lebih dari dua hari, ya kan? Atau tiga? Kenapa kau tidak bilang?"

Luhan mengedikkan bahu dan menghindari tatapanku. "Kau sibuk. Aku tak

mau―"

"Omong kosong," aku berkata sambil bergeser ke polisi yang lebih baik. Pantas saja Luhan terlihat sangat lemah. Oscar―yang tidak ingin aku berada semakin dekat dengannya―melompat turun dan kembali ke jendela sehingga ia bisa mengamati dari jarak yang aman. "Ayo. Kita lakukan sekarang."

"Kyung―"

"Ayolah. Kau akan merasa baikan."

Aku memiringkan kepala dan menyingkirkan rambut hingga leherku tak terhalang apa pun. Sejenak kulihat dia bimbang, tapi godaan saat melihat leherku dan apa yang ditawarkannya terbukti terlalu kuat untuk dilawan. Ekspresi lapar terlintas pada wajah Luhan, dan bibirnya sedikit membuka, memperlihatkan taring-taring yang biasanya dia sembunyikan saat hidup di tengah manusia. Taring itu sangat bertolak belakang dengan keseluruhan figurnya. Dengan wajah cantik dan rambut pirang pucat, Luhan lebih menyerupai seorang malaikat daripada vampir. Saat gigi-gigi Luhan mendekati kulit telanjangku, aku merasakan jantungku berpacu dalam campuran rasa takut dan harapan. Aku selalu membenci perasaan yang terakhir, tapi tak bisa mengendalikannya. Itu sebuah kelemahan yang tidak bisa kusingkirkan.

Taring-taring Luhan menggigitku dengan keras, dan aku menjerit saat merasakan

sengatan rasa sakit yang singkat itu. Kemudian rasa tersebut perlahan-lahan sirna, digantikan oleh kenikmatan luar biasa yang menyebar ke seluruh tubuh. Rasanya jauh lebih menyenangkan daripada mabuk atau teler. Lebih hebat daripada seks―atau setidaknya seperti itulah bayanganku, karena aku belum pernah melakukannya. Rasanya bagaikan selimut kenikmatan yang murni dan asli, menyelubungi tubuh dan menjanjikan segala sesuatu yang ada di dunia ini akan baik-baik saja. Dan perasaan itu terus berlanjut. Zat kimia yang terkandung di dalam air liur Luhan memicu serbuan hormon endorfin, dan aku pun kehilangan kesadaran akan dunia ini, kehilangan kesadaran akan diriku.

Kemudian, sayangnya, semua itu berakhir. Hanya berlangsung kurang dari satu menit.

Luhan menarik diri dan mengusapkan tangan pada mulut seraya mengamatiku.

"Kau baik-baik saja?"

"Aku … yeah." Aku berbaring di tempat tidur, merasa pusing akibat kehilangan

darah. "Aku hanya butuh tidur untuk memulihkannya. Aku baik-baik saja."

Mata Luhan yang berwarna hijau-giok pucat mengawasiku dengan cemas. Dia berdiri. "Aku akan mengambilkanmu makanan."

Aku bermaksud untuk mencegahnya, tapi sulit untuk berkata-kata, dan Luhan sudah keluar dari kamar sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.

Sengatan akibat gigitan Luhan sudah berkurang sejak dia melepaskannya, tapi aku masih dapat merasakan sisa-sisanya di dalam urat nadi, dan aku bisa merasakan diriku tersenyum konyol. Aku memalingkan kepala dan melihat ke arah Oscar yang masih duduk di jendela.

"Kau tidak sadar apa yang telah kaulewatkan," kataku kepada si kucing.

Perhatian Oscar terpaku pada sesuatu yang ada di luar. Mendadak iamelengkungkan punggung, menegakkan bulu-bulu hitam pekatnya. Ekor kucing itu menegang.

Senyumku memudar dan aku memaksakan diri untuk duduk. Dunia serasa berputar, dan aku menunggu diriku pulih sebelum berusaha berdiri. Saat akhirnya aku berhasil bangkit, rasa pusing itu kembali dan kali ini menolak untuk pergi.

Namun, aku merasa sanggup untuk menghampiri jendela dengan terhuyung huyung dan mengintip ke luar bersama Oscar. Kucing itu menatapku dengan curiga, agak bergeser menjauh, lalu kembali memperhatikan apa pun yang sedari tadi mengalihkan perhatiannya.

Embusan angin hangat―terlalu hangat untuk ukuran musim gugur di

Portland―meniup rambut saat aku mencondongkan tubuh ke luar jendela. Jalanan tampak gelap dan bisa dikatakan sunyi. Saat ini pukul tiga dini hari, satu-satunya waktu ketika kampus benar-benar tenang, setidaknya nyaris tenang. Rumah tempat kami menyewa kamar selama delapan bulan terakhir ini terletak di sebuah jalan perumahan yang dipenuhi rumah-rumah tua dan tidak serasi satu sama lain.

Di seberang, terdapat lampu jalan yang berkedip-kedip dan nyaris mati. Namun sinarnya masih dapat membuatku membedakan bentuk mobil dan bangunan. Aku bisa melihat siluet pepohonan serta semak-semak yang ada di halaman rumah.

Dan seorang laki-laki yang sedang mengawasiku. Aku tersentak mundur karena kaget. Suatu sosok sedang berdiri di dekat pohon di halaman, jaraknya sekitar sembilan meter, dan dari sana dia bisa melihat ke dalam melalui jendela dengan mudah. Posisinya cukup dekat hingga mungkin saja aku melemparkan sesuatu ke arahnya dan mengenainya. Yang pasti laki-laki itu berada cukup dekat untuk melihat apa yang baru saja kulakukan bersama Luhan Bayang-bayang menyembunyikan laki-laki itu dengan sangat baik. Bahkan dengan penglihatanku yang melebihi rata-rata ini pun, aku tak bisa melihatwajahnya sama sekali, kecuali postur tubuhnya. Laki-laki itu tinggi. Sangat tinggi.

Selama sesaat dia tetap berdiri di sana, nyaris tak terlihat. Kemudian dia mundur dan menghilang ke balik bayangan pepohonan yang ada di ujung halaman. Aku cukup yakin diriku melihat ada orang lain bergerak di dekat sana, dan dia bergabung dengan laki-laki tadi sebelum akhirnya kegelapan menelan mereka berdua.

Siapa pun orang-orang itu, Oscar tidak menyukai mereka. Padahal ia adalah kucing yang mudah menyukai orang (selain aku, tentunya), dan hanya akan marah bila merasakan adanya bahaya. Laki-laki yang ada di luar tadi tidak melakukan apa pun yang mengancam Oscar, tapi kucing itu merasakan sesuatu; sesuatu yang membuatnya gusar. Sesuatu yang dirasakan Oscar terhadapku selama ini.

Rasa dingin ketakutan mengaliri tubuhku, dan nyaris―tapi tidak terlalu―menghapus kebahagiaan akibat gigitan Luhan yang memabukkan. Seraya mundur dari jendela, aku merenggut celana jins yang kutemukan di lantai dan hampir saja terjatuh saat memakainya. Begitu selesai, aku meraih mantelku dan mantel Luhan, juga dompet kami. Aku memakai sepatu pertama yang kulihat dan bergegas menuju pintu.

Di lantai bawah, aku menemukan Luhan di dapur yang sumpek, sedang mengadukaduk isi lemari es. Salah seorang teman serumah kami, JangWoo, duduk di meja makan, tangannya memegangi kening sementara matanya memandangi buku kalkulus dengan sedih. Luhan menyapaku dengan kaget.

"Harusnya kau tetap tiduran."

"Kita harus pergi. Sekarang."

Mata Luhan membelalak, lalu sesaat kemudian dia memahaminya. "Apa kau … sungguh? Apa kau yakin?"

Aku mengangguk, tak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa yakin. Aku tahu begitu saja. Jangwoo menatap kami dengan curiga. "Ada yang tidak beres?" Sebuah ide tebersit di benakku. "Lu, pinjam kunci mobil Jangwoo."

Laki laki itu menatap kami bergantian. "Apa yang kalian―" Tanpa ragu Luhan menghampiri Jangwoo. Melalui ikatan batin kami, aku dapat merasakan ketakutan Luhan mengalir ke dalam diriku. Selain itu aku dapat merasakan hal lain: keyakinannya yang penuh bahwa aku akan dapat menangani semuanya, bahwa kami akan selamat. Seperti biasa, aku berharap diriku memang pantas mendapatkan kepercayaan sebesar itu.

Luhan tersenyum lebar dan menatap langsung ke dalam mata cowok itu. Selama sesaat, Jangwoo hanya memandangi Luhan dengan bingung, sebelum akhirnya aku melihat kepatuhan mulai merasukinya. Mata Jangwoo terlihat berkaca-kaca ketikamenatap gadis itu dengan pandangan memuja.

"Kami harus meminjam mobilmu," kata Luhan dengan suara lembut. "Di mana kau menyimpan kuncinya?"

Jangwoo tersenyum, dan aku langsung merinding. Aku memiliki kekebalan tinggi

terhadap kompulsi―kemampuan untuk memengaruhi orang dengan sugesti, tapi aku masih bisa merasakan efeknya jika sedang digunakan pada orang lain. Selain itu, seumur hidup aku selalu diajarkan bahwa menggunakan kompulsi pada orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Jangwoo merogoh ke dalam saku, lalu menyerahkan satu set kunci yang tergantung pada sebuah rantai merah besar.

"Terima kasih," kata Luhan. "Dan di mana kau memarkirnya?"

"Di pinggir jalan," Jangwoo menjawab dengan linglung. "Di pojok jalan. Dekat Brown. Empat blok dari sini."

"Terima kasih," ulang Luhan sambil bergerak mundur. "Begitu kami pergi, aku mau kau belajar lagi. Lupakan bahwa kau melihat kami malam ini."

Cowok itu mengangguk dengan patuh. Aku mendapat kesan bahwa Jangwoo pun akan terjun dari tepi jurang saat itu juga bila Luhan memang memintanya. Semua manusia rentan terhadap kompulsi, tapi kelihatannya Jangwoo lebih mudah dipengaruhi daripada kebanyakan orang. Cukup bermanfaat bagi kami saat ini.

"Ayo," kataku kepada Luhan. "Kita harus segera pergi." Kami melangkah ke luar rumah dan menuju pojok jalan yang tadi disebutkan

Jangwoo. Aku masih merasa pusing akibat gigitan Luhan dan terus-terusan tersandung, sehingga tak bisa bergerak secepat yang kuinginkan. Luhan terpaksa memegangiku agar tidak terjatuh, dan saat itu aku dapat merasakan kecemasannya. Aku berusaha keras mengabaikan perasaan itu karena aku punya ketakutan sendiri yang harus kuhadapi.

"Kyung… apa yang akan kaulakukan jika mereka berhasil menangkap kita?" bisik Luhan

"Mereka tidak akan menangkap kita," kataku dengan tegas. "Aku takkan membiarkannya terjadi."

"Tapi kalau mereka menemukan kita―"

"Mereka sudah pernah menemukan kita sebelumnya. Saat itu mereka tak bisa menangkap kita. Kita naik mobil saja sampai stasiun kereta dan pergi ke L.A. Mereka akan kehilangan jejak."

Aku membuatnya terdengar mudah. Aku selalu begitu, meskipun sebenarnya tidak ada yang mudah dalam pelarian ini, terutama karena kami melarikan diri dari orang-orang yang tumbuh besar bersama kami. Kami sudah melakukannya selama dua tahun, bersembunyi di mana pun yang memungkinkan dan berusaha untuk menamatkan sekolah menengah. Tahun senior kami baru saja dimulai, dan tinggal di kampus sebuah college sepertinya merupakan pilihan yang aman. Kami sudah begitu dekat dengan kebebasan.

Luhan tidak mengatakan apa-apa lagi, dan aku merasakan keyakinannya terhadapku kembali membuncah. Hubungan di antara kami memang selalu seperti ini sejak dulu. Akulah yang selalu mengambil tindakan, yang memastikan semuanya dilakukan―terkadang dengan gegabah. Luhan adalah pihak yang lebih rasional, yang memikirkan segala sesuatunya, dan menyelidikinya secara mendalam sebelum bertindak. Kedua sifat tersebut memiliki fungsi masing masing,tapi saat ini kami terpaksa berbuat gegabah. Kami tak punya waktu untuk ragu-ragu. Luhan dan aku sudah berteman sejak taman kanak-kanak, saat guru memasangkan kami berdua dalam pelajaran menulis. Memaksa anak berumur lima tahun untuk mengeja Xiao Luhan dan Do Kyungsoo bisa dibilang lebih dari sekadar kejam, dan kami―atau lebih tepatnya, aku―bereaksi dengan tepat. Aku melemparkan buku kepada sang guru dan menyebutnya 'fasis brengsek'. Saat itu aku belum tahu apa arti makian tersebut, tapi aku tahu bagaimana cara membidik target yang bergerak. Sejak saat itu, aku dan Luhan tak terpisahkan.

"Apa kau mendengarnya?" tanya Luhan tiba-tiba.

Beberapa saat kemudian, barulah aku mendengar apa yang sudah didengar oleh indra Luhan yang lebih tajam. Suara langkah kaki yang bergerak dengan cepat.

Aku meringis. Kami masih harus menempuh dua blok lagi.

"Kita harus lari," aku memberitahu Luhan sambil meraih lengannya.

"Tapi kau tak bisa―"

"Lari."

Aku membutuhkan setiap ons tekad agar tidak pingsan ke trotoar. Tubuhku tidak ingin berlari setelah kehilangan darah, atau saat masih mencerna efek dari air liur Luhan. Namun, aku memerintahkan setiap otot agar berhenti mengeluh dan bertopang pada Luhan saat kaki kami mengentak beton jalanan. Biasanya, aku dapat berlari menyusul Luhan tanpa kesulitan yang berarti―terutama karena Luhan bertelanjang kaki―tapi malam ini, Luhan-lah yang membuatku mampu berdiri tegak.

Suara langkah kaki yang mengejar kami terdengar semakin keras, semakin dekat.

Bintang-bintang hitam mulai menari-nari di depan mataku. Aku bisa melihat Honda hijau Jangwoo di hadapan kami. Ya Tuhan, kalau kami bisa mencapainya― Sekitar tiga meter dari mobil, seorang laki-laki melangkah tepat ke arah kami. Kami langsung berhenti dan aku menarik lengan Luhan agar berdiri di belakangku.

Itu dia, laki-laki yang kulihat sedang mengawasiku dari seberang jalan. Usianya lebih tua dari kami berdua, mungkin sekitar pertengahan dua puluhan. Dan tingginya memang seperti yang semula kuduga, sekitar dua meter atau lebih. Jika situasinya berbeda―misalnya, saat dia tidak sedang menghalang-halangi kami―aku pasti akan menganggap lelaki ini tampan. Rambut cokelatnya yang sepanjang bahu diikat dalam kuciran pendek. Matanya berwarna cokelat gelap.

Dia memakai mantel panjang berwarna cokelat―yang seingatku biasanya disebut duster.

Namun, ketampanannya sama sekali tidak berarti sekarang ini. Dia hanyalah seorang penghalang yang menghambat Luhan dan aku untuk mencapai mobil serta kebebasan kami. Suara langkah kaki di belakang kami mulai melambat, dan aku sadar para pengejar sudah berhasil menyusul. Dari samping, aku dapat merasakan gerakan lain, ada lebih banyak orang. Kami terkepung. Ya Tuhan. Mereka mengirim nyaris selusin pengawal untuk membawa kami kembali. Sulit dipercaya. Sang ratu sekalipun tidak bepergian dengan pengawal sebanyak ini.

Akibat dorongan rasa panik dan tidak dapat mengendalikan akal sehat, aku bereaksi berdasarkan insting. Aku merapat pada Luhan, memaksanya tetap di belakangku dan terhindar dari laki-laki yang kelihatannya adalah pemimpin mereka.

"Jangan ganggu dia," geramku. "Jangan sentuh dia."

Ekspresi pada wajah laki-laki itu tak terbaca, namun dia mengulurkan tanganuntuk menenangkanku, seakan-akan aku ini seekor binatang gila yang hendak diberi obat penenang.

"Aku tidak bermaksud untuk―" Laki-laki itu maju satu langkah.

Terlalu dekat.

Aku menyerangnya, melompat dalam manuver serangan yang selama dua tahun ini tidak pernah lagi kugunakan―sejak aku dan Luhan melarikan diri. Tindakan bodoh, salah satu reaksi yang timbul berdasarkan insting dan rasa takut. Dan siasia.

Laki-laki itu adalah pengawal terlatih, bukan seorang novis yang tidak menyelesaikan pelatihannya sepertiku. Dia juga tidak berada dalam kondisi yang lemah dan nyaris pingsan.

Dan ya ampun … dia gesit sekali. Aku lupa kalau para pengawal sanggup bergerak secepat itu, lupa bahwa mereka mampu bergerak dan menyerang bagaikan seekor kobra. Laki-laki itu menjatuhkanku seperti sedang menepis lalat.

Tangannya menghantam dan membuatku terjengkang. Kurasa dia tidak bermaksud memukul sekeras tadi―mungkin dia hanya berniat untuk membuatku menjauh. Namun kurangnya koordinasi memengaruhi kemampuanku untuk merespons serangannya. Aku terjatuh, terjerembab dalam posisi terpuntir tepat ke arah trotoar―dengan pinggul yang akan lebih dulu menghantam tanah. Rasanya akan sangat menyakitkan. Sangat.

Namun, ternyata tidak terasa apa pun. Secepat menepis seranganku tadi, laki-laki itu meraih lenganku, menahan tubuhku. Saat aku berhasil menyeimbangkan diri, aku sadar bahwa dia sedang menatapku―atau lebih tepatnya, menatap leherku. Karena masih agak linglung, aku tidak langsung memahaminya. Lalu perlahan-lahan, tanganku yang bebas menyentuh luka akibat gigitan Luhan tadi. Saat menarik jari dari luka itu, akumelihat sebercak darah gelap dan lengket pada kulitku. Aku merasa malu dan langsung mengayunkan rambut hingga jatuh ke depan dan membingkai wajahku. Rambutku tebal dan panjang, menutupi leher seutuhnya. Aku memang memanjangkannya untuk alasan ini.

Selama beberapa saat, mata gelap laki-laki itu masih menatap bekas gigitan yang

sekarang sudah tersembunyi, sebelum akhirnya beralih menatap mataku. Aku membalas tatapannya dengan berani dan berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Dia melepaskan aku, meskipun aku tahu dia sanggup menahanku semalaman jika menginginkannya. Seraya melawan rasa pusing yang membuatku mual, aku mundur ke arah Luhan lagi, dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan lain.

Tiba-tiba, tangan Luhan menahanku. "Kyungsoo" kata Luhan pelan. "Jangan."

Awalnya kata-kata Luhan tidak memengaruhiku sama sekali, tapi pikiran tenang

perlahan-lahan mulai memasuki benak, menyelusup melalui ikatan yang terjalin di antara kami. Ini bukan kompulsi―Luhan takkan menggunakan kemampuan itu padaku―namun tetap memberi dampak luar biasa, mengingat fakta bahwa kami tak punya harapan untuk menang, karena kalah jumlah dan kalah tingkat keahlian.

Bahkan aku pun sadar kalau melawan mereka saat ini merupakan perbuatan siasia.

Ketegangan pada tubuhku berangsur menghilang, dan aku pun merosot dalam kekalahan.

Merasakan diriku sudah menyerah, laki-laki itu melangkah maju dan mengalihkan perhatiannya pada Luhan. Wajahnya terlihat tenang. Dia membungkuk pada Luhan dan berhasil terlihat anggun saat melakukannya―yang agak membuatku heran mengingat tubuhnya yang tinggi. "Namaku Kim Jongin," laki-laki itu berkata.

Aku bisa mendengar aksen Rusia samar pada suaranya. "Aku datang untuk membawamu kembali ke Akademi St. Vladimir, Putri Xi."

To Be Continued

copyright©2007