Ketenganggan melanda wilayah ini, sebuah kejadian tak biasa terjadi pada langit malam. Kesucian dari penerang kelam berubah menjadi semerah darah. Membuat seluruh umat manusia kebingungan akan hal itu. Tak ada yang berani keluar, walau hanya untuk memandang halaman.

Peristiwa yang terjadi setiap lima ratus tahun sekali ini selalu bertepatan dengan hal-hal buruk yang akan terjadi, seperti sebuah pertanda. Tak menyenangkan, mengerikan, dan penuh penderitaan. Bulan tengah menangis, karena darah yang terserap dalam raganya.

Peristiwa ini di sebut Red Mood.

Sebuah legenda mengatakan, sang bulan telah diberi racun oleh iblis untuk menghancurkan raganya—dengan tujuan untuk menyelimuti manusia dengan kegelapan. Penerang malam itu berusaha menetralisir tubuhnya. Tumpah ruahlah racun serta kelicikan iblis yang melebur menjadi cahaya.

Cahaya yang dianggap sebagai perwujudan kelicikan dan kejahatan sang iblis, selalu membawa bencana dan penderitaan.

Tak disangka, sinar itu menyelinap masuk ke dalam sebuah mansion. Yang di dalamnya terdengar jeritan yang berasal dari seorang wanita berpeluh yang sedang menggigit sebuah kain putih, darah keluar dari selangkangannya seiring teriakkan memekakkan telinga yang jelas sangat memilukan.

"AAAAKKHHH!"

Sang putri mungil yang mendengar ibunya berteriak kencang, menjadi bingung harus melakukan apa, "Se-semangat kaa-sama!" merasa sedih dengan sang ibu karena berjuang sendiri melawan sakit, maka satu-satunya yang dapat dilakukannya hanya menyemangati.

Setelah beberapa menit yang penuh perjuangan dari sang ibu, terdengarlah sebuah tangisan bayi mungil merah yang terlihat sangat rapuh. Tubuh ringkihnya bergetar terlihat menggigil dengan darah yang menempel. Jeritan si kecil itu membuat siapapun menjadi iba sekaligus tentram.

Seorang pelayan membawa putri bungsu yang baru lahir untuk dimandikan. Tak berapa lama sang bayi kembali dengan tubuh yang lebih segar tanpa darah yang tertinggal maupun isakan memelas. Ibu dari makhluk itu tersenyum dalam tangisnya.

Gadis kecil yang sudah menjadi kakak itu tersenyum melihat sang adik, "Kaa-sama, imouto-chan sangat mirip denganku ne?"

Peluh sang ibu menetes bagai anak sungai, hanya deru napas dan wajah hangat yang menjadi jawaban untuk putri sulungnya. Lama tak ada sahutan dari sang ibu—sekalipun ia telah memanggilnya berkali-kali membuat gadis kecil itu tak tenang.

Ketika tangan ringkih terkulai lemah, saat itulah seluruh keluarga menjadi ribut karenanya.

Kali ini, bukan hanya tangisan si kecil yang memekakkan telinga, tetapi sang kakak juga ikut berteriak histeris karena ibunya yang telah tiada.


"Dia adalah musibah yang harus dienyahkan!"

"Benar, keberadaannya adalah suatu bencana. Hal ini telah diramalkan."

"Pasti suatu hari dia akan menjadi malapetaka!"

"Kita harus—

"Tidak!" jerit Hisana. Ia sudah muak mendengar pendapat tentang adik mungilnya. Kini sang adik tengah berada di tengah ruangan, menjadi satu-satunya objek yang menjadi perhatian.

"Jangan pernah menyentuh adikku! Ia adalah tanggung jawabku!" ancam Hisana. Dengan cepat gadis kecil itu mendekati sang adik yang kembali menangis dengan kencangnya. Dipeluknya erat seolah itu adalah satu-satunya harta yang ia miliki.

Seorang tetua dengan rambut dan kumis putih menggeram, "Kau tidak tau apa yang kau lakukan."

"Kau seharusnya tau takdirmu. Kalian tidak jauh berbeda," hardik tetua berambut lurus dengan mata menonjol ke arah kakak beradik itu. "Kalian berdua memiliki takdir mengerikan."

Hisana bergetar, sadar dari dulu memang tidak pernah diperlakukan selayaknya putri kerajaan. Seringkali pula menangis dalam diam menjadi pilihan terbaik. Ramalan keluarganya memang yang paling terpercaya dan dibanggakan.

Tak ada siapapun lain yang bisa menandingi—tepatnya belum. Tetapi bagaimana dirinya bisa mempercayai hal ini?

"Jika memang aku dan dia adalah penyebab kehancuran dunia ini," Hisana memandang lembut adik yang berada digendongannya. "Aku akan berusaha mencegah kehancuran itu terjadi."

"Hisana …" desah lelaki tua berkumis putih.

Hisana memandang tajam para tetua di depannya, menjelaskan dengan sorot mata yang penuh keyakinan, "Tidak sepertiku, aku akan membawanya ke dalam cahaya. Aku tidak akan pernah meninggalkannya karena—

"Karena dia adikmu?! Jangan membuat kami tertawa!" ketus tetua dengan mata menonjol.

"Apa—

"Kau tidak mengerti Hisana." Desah kembali tetua berambut putih. "Kami telah mendapat hasil ramalan yang mengerikan, kelahiran adikmu tepat pada bulan merah. Kita tau seberapa mengerikannya peristiwa itu." Jelasnya seraya menyisir rambut ke belakang.

"…"

"Rukia, adikmu … memiliki pesona untuk menghancurkan dunia ini."

PESONA

Victoria Yuuki
Tite Kubo
IchiRuki
Hurt and Romance
Rate M
Warning
OOC, AU, Typos, Feel kurang and many others.

Hurt? Romance ?
(Nilai sendiri)

Summary

"Kecantikannya membawa petaka. Kutukannya, hidup dalam pesona mematikan yang menghipnotis setiap lelaki/Jika memang keberadaanku adalah sebuah bencana, mengapa kalian tak langsung membunuhku?/Dulu aku tak tau apa arti hidup, tetapi setelah bertemu dengannya, aku mengerti./Penyebab perang berbagai macam, tetapi pesonalah pemicu perang ini/For The Story of Destiny, an IchiRuki Event."

.

.

Happy reading

.

.


"Hei … apakah itu putri dari kerajaan kita?" tanya seorang pemuda kecil. Matanya tidak pernah lepas barang sedetik menatap iringan kerajaan yang membawa seorang gadis bercadar mawar yang berbalut kimono pink duduk diatas kursi mewah pada tandu yang diangkat empat lelaki.

"Sepertinya benar, tetapi kenapa wajahnya ditutup?" tanya seorang gadis kecil.

"Mungkin jelek—itai Ururu!"

Ururu meringis, "Maaf, tanganku kelepasan Jinta. Tetapi sepertinya putri itu cantik sekali. Lihatlah, disekitarnya tampak sebuah cahaya yang seolah memikat kita, benarkan?"

Jinta masih meringis mengelus kepalanya, lalu mengikuti arah tatapan Ururu seraya menggerutu. "Wah benar! Benar-benar bersinar!"

Tak hanya mereka berdua, kini iringan yang dijaga ketat itu dikerubuni oleh rakyat yang ingin melihat putri kerajaan mereka. Lavenia. Kerajaan makmur yang amat terkenal.

_.PESONA._

Rukia menghela napas, melirik seluruh orang yang mengerumuni barisannya. Tampak beberapa prajurit sigap melaksanakan tugasnya ketika beberapa pemuda dan orang tua masuk ingin mendekat. Berteriak menjauh dan menggretak yang bahkan tidak dipedulikan oleh lawannya.

'Ini benar-benar mengerikan,' desahnya.

Tak berapa lama, desa yang ia lewati berubah menjadi jalan khusus masuk istana yang dijaga sangat ketat. Banyak personil yang ditempatkan untuk menjaga wilayah rawan ini. Ketika iringannya bergerak melewati mereka, seluruh prajurit yang berjaga di sana menundukkan kepalanya dalam.

Iringan tepat berhenti di depan sebuah pintu gerbang raksasa. Iris gadis itu menyipit, tingginya dengan benda itu sangat jauh. Perlahan tandu itu diturunkan dengan para petandu yang berusaha keras menyeimbangkan tubuh masing-masing agar tetap seimbang sehingga penumpang diatasnya merasa nyaman.

Rukia menghela napas, perlahan melangkahkan kakinya. Tepat di depannya, seorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya berdiri seolah menunggu. Jika dilihat dari ciri fisiknya, lelaki itu merupakan seorang yang memintanya masuk ke dalam anggota kerajaan.

Byakuya menundukkan tubuhnya sedangkan Rukia mengangkat gaunnya sedikit untuk memberi salam hormat.

"Bagaimana perjalananmu?" tanya Byakuya.

"Mereka melakukan tugas dengan amat baik. Saya menyukainya." Rukia mengulum senyum tipis.

"Kuharap sama baiknya dengan tinggal di sini."

Rukia menunduk dan mengangkat gaunnya sedikit, memberi tanda hormat, "Saya menghargainya, nii-san pasti berusaha keras untuk itu."

_.PESONA._

Suara detik jam kuno terdengar oleh seluruh orang yang berada di dalam ruangan ini. Kesunyianlah penyebab bunyi itu terdengar, menyebabkan suasana tegang terasa. Terdapat tujuh orang dalam ruangan; tiga tetua Lavenia, Byakuya, Rukia, Hitsugaya, dan seorang maid.

Rukia yang merasakan hawa tidak enak di dalam ruangan itu merasa tidak nyaman, ingin mengubah posisi duduknya tetapi sungguh sungkan terlebih karena para tetua menatapnya dengan intens. Tetapi ada yang aneh, rasanya sebuttan 'Tetua' tidak cocok untuk mereka bertiga.

Tiga lelaki itu terlalu muda untuk disebut dengan panggilan yang menyatakan umur. Raganya masih kekar, wajah pun terlihat tak memiliki kerutan. Rukia benar-benar merasa heran dengan kerajaan ini.

Kembali lagi pada suasana. Keadaan ini semakin membuatnya gerah! Rasanya etika yang dipelajari selama ini ingin ia buang karena akal gilanya menyentak meminta berteriak dan mengancam mereka untuk menghentikan tatapan yang menyebalkan itu.

Tetapi ia adalah tamu.

Ah bukan! Ia adalah seorang yang diwajibkan untuk tinggal dan bersembunyi disini.

Seorang tetua berkumis tipis berdeham dengan mata yang bersinar dan pipi kemerahan, "Sudah saya duga, Anda memiliki pesona yang luar biasa."

"Jaga sikapmu Kyuraku," tegur tetua berambut putih.

Kyuraku menoleh lalu bercengir ria, "Maafkan kebiasaanku, Ukitake. Tetapi kau sangat tau kebiasaanku bukan?"

"…"

"Kuhargai bila diantara kita segera membuka pertemuan ini." Tetua berambut kuning menatap Rukia tajam.

"Kau benar Shinji, kita sudah banyak membuang waktu." Ukitake melirik Byakuya.

Yang dilirik berdeham mencari perhatian, "Terimakasih untuk pencairannya."

Kini iris kelam sang Raja Lavenia menatap Rukia yang menjadi pokok pembicaraan. Gadis yang ditatapnya itu kini mengerutkan keningnya tetapi tetap berusaha untuk tenang. Itu membuat Byakuya menghargainya.

"Kami telah membuat kesepakatan saat memasukkanmu dalam kerajaan ini," kata Byakuya tenang.

Rukia menyipitkan matanya, "Dan apa itu?"

"Sekalipun tak akan kubahas, ini menyangkut kelahiranmu. Aku akan langsung membaca peraturannya, " tutur Byakuya datar.

"Kesenangan saya bertambah bila Anda semakin cepat membacanya," Rukia merotasikan irisnya.

Byakuya memandang Rukia datar, "Peraturan pertama; kau diwajibkan memakai pelindung dimanapun—sekalipun di dalam istana. Kedua; izin diperlukan walau sekedar untuk mengunjungi taman kerajaan. Ketiga; kau tidak boleh memperlihatkan wajahmu kepada siapapun kecuali kami. Keempat; demi kepentingan Kerajaan, perintahku adalah mutlak."

Rukia menghela napasnya, "Pada peraturan kedua, apakah saya harus selalu meminta izin?"

"Ya."

"Tidak ada peraturan lain?" tanya gadis itu menyelidik. 'Ini sangat merepotkan,' dengusnya dalam hati.

"Tidak. Momo akan menjadi asissten pribadimu," Byakuya menolehkan pandangannya kepada seorang maid manis berambut hitam.

"Mohon bantuannya," Momo menundukkan kepala.

"Aku berterimakasih untuk itu nii-san." Rukia menatap Momo dan langsung mendapatkan respon positif dari sang gadis yang sekarang wajahnya amat memerah. 'Setidaknya kau memberi teman untukku,' batinnya menambah.

'Rukia-sama manis sekaliiii!' jerit Momo dalam hati.

"Kuharap kau mengingatnya, kita bisa mengakhiri pertemuan ini."


Rukia menatap hampa pemandangan yang terhampar di depannya dengan kedua siku menumpu pada pinggiran jendela. Pikiran gadis itu melayang akan permintaan kerajaan untuk menariknya ke dalam istana. Helaan napas berat terdengar.

Dulu ia tidak pernah menjejakkan kaki disini. Tempat tumbuh berkembangnya tidak pada daerah yang sama dengan sang kakak. Kota Mishiel adalah tempatnya berlindung selama ini. Merasa bahagia tinggal dengan seorang kakek yang amat menyangangi seperti cucu sendiri.

Yamamoto Genryuusai. Seorang lelaki tua yang memiliki kedudukan tinggi di kota itu mampu melindungi keberadaannya dari orang-orang yang mengincar. Merasa sedikit miris akan tempat hidupnya. Tujuh belas tahun di dalam kamar dan sekarang berpindah tempat tetapi memiliki sebuah perbedaan.

Setidaknya dulu ia bisa menghirup udara dan masih memiliki kesempatan untuk ke dunia luar.

Pikirannya kembali melayang ketika Byakuya menghadap kakeknya langsung. Meminta dengan sungguh-sungguh dan mengatakan bahwa itu adalah permintaan terakhir kakaknya. Hisana Kuchiki yang telah berubah marga.

Pertemuan itu berlangsung alot, Yamamoto menolaknya mentah-mentah diawal, tetapi ketika melihat sebuah bayangan berkelebat di belakang Byakuya, lelaki itu langsung berubah pikiran dan menerimanya walaupun tidak begitu senang—terlihat jelas dari raut wajah.

Byakuya tidak sendirian, Hisana ikut memohon dalam pertemuan itu.

Rukia terkekeh. Ia tidak dibuang oleh kakaknya. Kejahatan yang dilakukan keluarganya-lah yang memaksa ikatan antar saudara terputus. Bahkan gadis itu yang merasa was-was akan hidup Hisana yang entah berada dimana.

Kedatangan Yamamoto-lah penyelamat hidupnya. Seluruh keluarga berencana membunuhnya karena sebuah ramalan ketika ia berumur lima tahun, lelaki itu datang disaat yang amat tepat dan menolongnya. Membawa keluar dari penderitaan dan mengasuhnya dengan baik.

Mengajarkan etika yang benar. Bagaimana cara bertutur kata, bersikap, dan mengendalikan emosi ketika berbaur dalam masyarakat. Sesuatu yang tak pernah diajarkan bahkan oleh keluarganya sendiri.

Maka dari itu, Rukia sangat berterimakasih dan selalu menyanyangi Yamamoto.

Selma ini, lelaki itu selalu mencari informasi tentang kakaknya. Kerja kerasnya berbuah hasil, suatu ketika mereka mendapat informasi tentang jejak sang kakak, pria itu langsung menyampaikannya dengan perjanjian bahwa ia tak boleh mengganggu Hisana dan tetap bersembunyi.

Karena saat itu, Hisana akan menikah dengan seorang lelaki bangsawan. Keberadaannya akan menghancurkan mimpi sang kakak untuk berbahagia dengan pria pilihannya yang dicintai.

Gadis itu sangat mengetahuinya, maka tanpa perdebatan, ia langsung menyetujui perjanjian yang diajukan Yamamoto. Rukia sangat tau—tepatnya telah diceritakan, Hisana-lah yang meminta Yamamoto untuk merawatnya ketika seluruh keluarga ingin menghapus keberadaannya.

Itu benar-benar terjadi, instuisi Hisana yang hebat serta rasa sayangnya telah menyelamatkan hidup sang adik.

Rukia menghela napas. Merasakan angin sejuk yang menerpa wajahnya yang rupawan, sedikit membuat tentram hati dan jiwa.

Gadis itu sangat mengetahui takdirnya. Dicap sebagai pembawa kehancuran karena pesona yang dimiliki sejak lahir membuat beban hidupnya menjadi semakin bertambah. Jika kalian ingin bertanya, ia telah beberapa kali mencoba melarikan diri saat hidup dalam keluarganya dulu—sekalipun masih berumur lima tahun.

Tetapi itu berubah saat tinggal bersama Yamamoto.

Tok tok tok

"Hime-sama, apakah saya boleh masuk?"

"Masuklah."

Terdengar suara pintu dibuka kemudian ditutup perlahan. Rukia berbalik, memandang datar asissten pribadi yang wajahnya total memerah ketika melihatnya. Rasa-rasa ia ingin mengumpat pada pesona yang membuat maid pilihan kakaknya memiliki ekspresi berlebihan seperti ini.

"Ada apa?"

"Byakuya-sama … meminta anda turun untuk makan malam," jawab Momo.

Rukia mengangguk, berjalan ke meja hias, mengambil cadar bermotif bunga mawar, lalu memakainya. Tanpa suara berjalan memimpin ke pintu seraya mengisyaratkan Momo untuk mengikuti. Perjalanan menuju ruang makan terasa hening. Tak satupundiantara keduanya ingin memecah kesunyian.

"Momo?" panggil Rukia tepat sebelum memasuki ruangan.

Momo mengangkat wajahnya yang sedaritadi menunduk, "Bersikaplah biasa. Anggap saja aku temanmu."

Setelah berkata, Rukia langsung berjalan melewati pintu penghubung ruang tamu dan lorong. Meninggalkan asisstennya yang terpaku ketika mendengar kalimatnya barusan.

'Itu berarti Hime-sama ingin berteman denganku ya?' batin gadis beriris kelam itu girang.

_.PESONA._

Tiga bulan terasa begitu cepat.

Rukia berdesah malas pada hari yang selalu sama dalam hidupnya walau terdapat peraturan yang sedikit berbeda sekarang. Sebuah perubahan.

Izin dicabut. Peraturan kedua diubah.
Hidup mendekam dalam kamar dan tak diizinkan keluar walau hanya sekedar ke taman kerajaan.

Gadis itu ingin menggerutu, ingin menyalahkan nasib atau siapapun. Rasa-rasanya takdir kembali mempermainkannya. Semakin memperburuk keadaan. Tidak cukupkah ia diperlakukan seperti tahanan? Lalu sekarang apa lagi?

Ingattannya kembali pada beberapa waktu lalu. Saat itu, Momo mengatakan bahwa akan ada festival rakyat untuk penyambutan Bulan Purnama. Rukia yang mendengarnya tentu merasa antusias dan langsung meminta izin kepada Byakuya.

Pemuda itu mengabulkannya, dengan catatan bahwa harus ada satu lusin pasukan yang mengawasinya. Rukia setuju, walau sebenarnya terdapat dua lusin pasukan yang dikirim secara rahasia dan menyamar dalam kerumunan tanpa sepengetahuannya.

Festival itu sangat meriah, begitu menyenangkan. Rasanya Rukia masih ingat bagaimana lebarnya ia tersenyum dibalik pelindung wajah yang dikenakan ketika menari bersama dengan rakyatnya. Namun naas, seorang pemuda tak sengaja menabrak tubuhnya yang ikut menabrak assistennya, Momo.

Tak pernah terbersit dalam pikiran bahwa pelindung itu akan lepas karena menyangkut pada kawat pakaian sang assisten. Menyebabkan seluruh warga desa dapat melihat wajahnya. Kericuhan terjadi. Berpuluh orang berebut melihat dan mendekatinya. Sekedar memuaskan rasa ingin tau atau merasa tertarik.

Keadaan semakin kacau ketika pasukannya tak bisa mengatasi keributan itu. Bahkan Momo yang berusaha menolongnya harus menerima luka dan memar di lengan akibat cakaran karena amukan warga yang tak ingin dihalangi.

Pasukan tambahan yang dikirim Byakuya bahkan tak dapat menghalau keributan itu. Memaksa sang Raja menurunkan salah satu jendral kebanggannya untuk mengatasi. Toushiro Hitsugaya. Jendral muda bertubuh pendek namun sangat kuat.

Kericuhan dapat dihentikan, ia dan Momo segera dibawa kembali ke istana untuk diselamatkan dan mendapat penanganan medis.

Lebam pada pergelangan dan beberapa cakaran adalah bukti dari semua itu. Rukia meringis merasakan nyeri pada lukanya. Memang tidak seserius Momo yang banyak mengeluarkan darah dan harus beristirahat sejenak. Tetapi tetap saja sakit.

Setelah kejadian itu, Byakuya menarik peraturan kedua walau hanya sekedar menghidup udara taman. Beberapa informasi mengatakan bahwa beberapa tuan tanah yang berpengaruh penting dalam kerajaan Lavenia mengejarnya.

Berjalan lima menit di luar merupakan pilihan terburuk. Ia pernah sekali melanggarnya karena benar-benar tidak kuat dengan sesaknya ruang kamar. Tetapi setelahnya kenaifannya harus ia buang dan dipikirkan matang-matang jika tak ingin berpindah ke 'kamar bawah tanah'.

Ya. Byakuya mengancamnya.

Bukan tanpa alasan, seorang prajurit pernah menariknya kasar masuk ke dalam hutan karena telah lama terpesona akan dirinya—ia tau dari hasil introgasi. Beruntung saat itu Hitsugaya diberi perintah untuk mengawasinya ketika Momo beristirahat dan menolongnya yang saat itu pingsan karena obat bius.

Rukia menghela napas. Ini tidaklah mudah. Dulu seburuk apapun keadaannya Yamamoto tetap memberikan izin untuknya keluar taman. Tak ada satupun prajurit yang mencoba mengusiknya jika tak ingin mati ditangan pria itu.

Ah!

Rukia tersentak, seketika tatapannya menyedu. Dulu pernah ada beberapa pemuda terbunuh karena saling bersaing untuk mendapatkan dirinya. Bahkan waktu itu umurnya masih terbilang muda. Mereka adalah teman yang baru dikenalnya. Baru saja bertemu … baru saja bercengkrama …

Kegilaan itu terjadi ketika usianya sepuluh tahun.

Sebenarnya belum waktunya seorang anak mengerti apa itu artinya cinta. Tetapi sekelompok anak yang jatuh hati padanya—ketika melihatnya dalam acara rakyat—hampir mirip dengan acara Bulan Purnama.

Keegoisan dari seorang anak tidaklah stabil. Apalagi bila keinginannya tidak dituruti. Saat itu mereka berebut untuk bisa bersanding dengannya. Adu debat semakin parah ketika hinaan terlontar, berkembang menjadi adu fisik yang menyebabkan luka kecil menjadi luka serius.

Ia yang saat itu masih kecil bingung harus melakukan apa. Pengawal yang bersamanya sibuk menangani masalah itu. Keadaan itu diperparah ketika kelompok Yakuza menculiknya. Kelengahan pengawal berujung maut.

Yamamoto yang mengetahui Rukia diculik menampakkan murka untuk pertama kali. Turun tangan langsung menghadapi sekelompok Yakuza yang menyatakan akan menikahinya. Lelaki yang selalu sabar dan ramah itu menghajar seluruh anggota Yakuza dan menghancurkan markas yang tak dapat ditembus.

Menghancurkan segalanya hingga ke akar-akar.

Rukia menangis terisak kala itu. Ketakutan masih melandanya. Trauma akibat penculikan sekaligus pernyataan bahwa beberapa teman barunya tewas akibat luka serius karena perkelahian hebat yang terjadi. Ia merasa bersalah, menyalahkan hidupnya yang membuat mereka begitu terpesona.

Tetapi setelah kejadian itu, Yamamoto tak pernah menghalanginya keluar mansion. Hanya pengawal yang ditambah untuk melindungi. Jika diteliti, sangat jelas bahwa lelaki itu masih memikirkannya. Tak sama dengan pria itu, Rukialah yang berjanji tak akan keluar.

Rukia menghela napas. Kenangan buruk memang selalu muncul ketika sendirian. Matanya mengarah pada langit yang berwarna kemerahan. Rasa sesak dalam dada semakin terasa. Sejujurnya ia sudah tidak sanggup berada di sini.

Momo memang selalu berada disisinya. Tetapi tetap saja gadis itu bukanlah aksesoris yang harus selalu 'menempel' dengannya. Semua orang membutuhkan privasi dan saat itulah kesendirian mendatanginya.

Rukia memutuskan, sebentar lagi akan ada perburuan antara kerajaan. Dan ia akan pergi dari sini, pergi dari kehidupan, pergi dari masalah yang membuatnya dianggap sebagai sebuah kutukan. Rencana telah disusunnya dengan matang. Sehalus dan selicin mungkin. Bila perlu, gerakan angin akan ia ikuti.

Hanya satu yang dibutuhkan, yaitu kebebasan.

_.PESONA._

"Kuharap kau masih mengingat peraturanku," Byakuya memandang Rukia dingin.

"Tentu saja nii-san. Aku tak ingin perpecahan terjadi."

Suara langkah terdengar, tetapi tak cukup mampu membuat Rukia dan Byakuya yang saling bertatapan dengan aura dingin menolehkan pandangnya.

"Permisi Byakuya-san. Ini sudah waktunya," ucap Hitsugaya yang baru saja memasuki ruangan.

"Hn."

Langkah tegap Byakuya memimpin. Perjalanan menuju lorong entah mengapa terasa begitu ganjil. Rukia ingin menghela napas berat, tetapi itu tidaklah mungkin dilakukan. Etika harus selalu dijaga sesulit apapun—setidaknya saat bersama orang lain.

Pintu gerbang istana terlihat, beberapa langkah sebelum mencapai pintu, Byakuya menghentikan langkahnya, membuat kedua orang dibelakangnya ikut berhenti dan menatap heran.

"Nasib baik tidak selalu datang pada orang yang baik. Kuharap kau mengerti maksudku," ucap lelaki itu tanpa berbalik.

Rukia mendengus mendengarnya, tidak begitu mengerti maksud kalimat sedangkan Hitsugaya yang sudah mengerti melirik gadis yang berada disebelahnya. Menatapnya sebentar kemudian mengalihkan tatapannya.

Ia tidak ingin seperti pemuda lain yang mudah jatuh hati pada pesona. Pria muda itu telah memiliki pujaan hatinya sendiri. Hentakan sepatu kembali terdengar, Rukia dan Hitsugaya kembali mengikuti dalam diam.

Diluar gerbang terdapat dua kereta kuda dengan masing-masing dua pasang kuda yang menariknya. Kereta kuda pertama ditarik oleh kuda berwarna putih dan hitam, sedangkan yang kedua ditarik dua kuda coklat. Ukiran kendaraan itu terasa begitu khas dan mewah dengan warna coklat yang mengilap. Rodanya bahkan terlihat begitu besar menjadikan tinggi kendaraan itu menjadi berlipat.

Disebelah kereta berdiri Momo yang menyambut dengan senyum sopan seraya menunduk. Rukia sangat yakin Jenderal muda di sebelahnya sempat mengangguk seolah membalas sapaan gadis manis itu menjadikannya ingin menyeringai geli.

"Persiapannya telah selesai Byakuya-sama," lapor Momo.

Byakuya mengangguk, "Hn."

Sang kusir menurunkan tangga, mempersilahkan Rukia masuk terlebih daluhu. Dalam sebuah aturan, 'ladiest first' sangat dijunjung tinggi walau hak perempuan masih dalam ketidakstabilan. Setelahnya giliran sang maid, hampir saja gadis itu bertanya jika tidak mengingat Momo adalah asissten pribadinya.

Kemudian Byakuya masuk dan disusul oleh Hitsugaya. Kening Rukia berkerut, merasa heran, padahal ada dua kereta kuda, tetapi mengapa semua orang berada dalam tempat? Yah walaupun di dalamnya masih luas karena kehadiran mereka tidak mengambil banyak tempat, tetapi tetap saja aneh.

Momo ingin tertawa melihat raut wajah majikannya yang benar-benar menunjukkan apa yang dipikirkannya—alias mudah ditebak. Rukia yang mendengar asisstennya terkekeh menoleh, memandangnya bingung.

"Akan lebih baik bila Byakuya-sama dan Hitsugaya-san berada disini. Resiko akan bahaya yang mengancam akan berkurang," terang Momo.

Rukia mengangguk dalam diam.

Perjalanan diliputi keheningan, tak ada satupun yang ingin mengusik kesunyian itu.

Pemandangan diluar menunjukkan arti hidup yang sesungguhnya—menurut Rukia. Sebuah pohon yang letaknya jauh, perlahan mendekat, dan semakin jelas terlihat, kemudian tepat berada di depannya, lalu menjauh, dan tertinggal dibelakang hingga tak terlihat.

Itu bagaikan filosofi kehidupan. Pertama kita akan merasakan proses mencapai tujuan, ketika proses itu terlewati, dan masa depanpunterlihat. Cita-cita yang tergapai akan menjauh dan hilang. Tergerus arus. Digantikan oleh impian dan proses yang baru. Melewati proses yang sama dengan segala resikonya.

Tetapi akan sangat menyenangkan bila kita dapat melihat masa depan itu bukan?

Berpuluh menit terlewati. Pemandangan hutan digantikan oleh pepohonan yang jaraknya lebar-lebar. Berakhir pada sebuah dataran tinggi yang tak jauh dengan hutan. Rukia yakin bahwa hutan itu adalah tempat khusus untuk berburu.

Iris kelamnya menangkap beberapa kereta kuda. Lima ah tidak! Tujuh kereta kuda. Rukia mendengus, apa gunanya ada perburuan antar kerajaan? Itu tidak terlalu penting menurutnya. Lebih baik mengurusi masalah internal dan eksternal dari pada melakukan ini.

Kereta yang ditumpanginya berhenti tepat di depan sebuah pos jaga. Pintu terbuka dan kembali sang kusir meletakkan tangganya. Ketika gadis itu turun, seluruh mata memandangnya tertarik. Merasa heran dan penasaran, mengapa ia mengenakan cadar? Bagaimana rupanya dibalik benda itu?

Rukia ingin mendengus sinis, dimanapun orang-orang tidak pernah berubah. Selalu penasaran.

Byakuya memimpin kembali, kini menuju kumpulan lelaki dewasa dengan pakaian yang terlihat begitu mewah. Rukia berbalik, melihat kemana keretanya pergi. Ternyata ke tempat penitipan khusus kendaraan, tanpa sengaja ia melihat kereta kedua yang menaruh barang-barang khusus perburuan.

Jadi itu alasannya mereka membawa dua kereta?

"Oh apakah ini putri dari kerajaan Lavenia?"

Suara lelaki dewasa menyentak lamunannya, memaksanya berbalik dengan tergesa. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut pirang dan hidung yang sangat mancung. Tatapannya tak pernah lepas melihat Rukia.

"Hn," Byakuya mengangguk, perlahan memasang badan untuk adiknya. Menyatakan pada lelaki itu agar tak mengusik atau memikirkan sesuatu yang tak layak.

"Aku merasakannya, pesona yang begitu berbeda," sambung seorang lelaki bermata sipit dengan senyum yang selalu bertengger diwajahnya.

"Terimakasih untuk pujian yang diberikan, Rojuro-san, Gin-san." Byakuya mewakili perkataan Rukia seraya memandang tajam kedua orang itu.

"Bukankah lebih baik bila Hime yang menjawabnya?" tanya seorang lelaki berambut hitam.

"Terkadang diam itu emas, Aizen-san." Ekspresi Byakuya kini terlihat dingin.

Aizen tertawa sembari menatap Rukia penuh minat, "Khas Byakuya-san. Sepertinya perburuan akan dimulai, kuharap kita bisa bertemu lagi."

Rukia tidak menjawab maupun mengangguk. Alarm dalam tubuhnya mengatakan bahwa lelaki itu harus diberi label warning, begitupun kedua orang tadi.

"Siapa mereka?" bisik Rukia kepada Momo.

Momo mendekat, "Mereka adalah para Raja dari kerajaan tetangga. Anda harus berhati-hati dengan Aizen-sama. Keburukannya amat terkenal, makadari itu Byakuya-sama sangat tidak menyukainya."

Kening Rukia berkerut, cukup penasaran, "Apa yang dilakukannya?"

Momo menghela napas, "Desas desus mengatakan; demi sebuah pedang, Aizen-san membunuh temannya sendiri."


Seorang pembawa acara membacakan pengumuman tentang peraturan lomba—yang sebenarnya pasti sudah di luar kepala para peserta. Rukia merasa tak nyaman akan tatapan seluruh lelaki disana. Terutama Aizen yang selalu memandangnya dengan mata berbinar membuat rasa was-was semakin membuncang.

Gadis itu telah bersumpah, ia akan pergi dari sini. Menghilang dari dunia dan masalah.

Beberapa menit telah terlewati. Pembacaan dan penghormatan para peserta telah selesai dilakukan.

Kini Rukia berada di sebelah Byakuya, pura-pura mengamati. Menemaninya menyusuri hutan, mencari buruan yang menjadi incaran. Awalnya lelaki itu telah menolaknya, tetapi mengingat tak ada Hitsugaya karena harus mengurusi pertemuan antar Jendral, membuatnya mau tak mau menyetujui, ditambah Momo harus mengurusi acara.

"Berhati-hatilah," kata Byakuya datar. Tangan lelaki itu menyentak dahan pohon yang mengganggu perjalanan. Berjalan santai tetapi tidak dengan matanya yang terlihat awas. Para prajurit mengikuti dari belakang, tetapi tak lebih dari dua meter(baca: itu adalah salah satu peraturan).

Rukia menyeringai, memandang segala arah dan memikirkan kelicikan. Memanfaatkan kelemahan dan mencuri kesempatan.

"Nii-san, aku melihat sesuatu yang bergerak menuju pohon disana." Gadis itu menunjuk sebuah pohon besar yang.

Byakuya menoleh, memandang awas, "Kau yakin?"

"Tentu saja." Sang gadis mengangguk serius.

Lelaki itu melirik Rukia, "Aku akan meminta prajurit melihatnya."

Rukia menggeram, gagal akan taktiknya, "Ah nii-san!" panggilnya tiba-tiba kepada kakak iparnya yang sedang memberi perintah.

Byakuya menoleh, menatap tanpa berbicara.

Rukia menunjuk panah yang dipegangnya, "Ajari aku memanah!"

"Disaat seperti ini?" tanya pemuda itu datar.

Rukia mengangguk semangat, "Akan menyenangkan bila melakukannya langsung di alam terbuka."

"Kalau kau bilang begitu," Byakuya menyetujui. Mulai mengajari teknik-teknik memanah. Rukia yang sebenarnya paling pandai melakukan hal itu menyeringai dalam diam. Tangannya mengaitkan sebuah kalung pada anak panah lalu melesatkannya.

"AH KALUNGKU!" teriak Rukia ketika panahnya melesat sangat jauh, melewati belasan pohon di depan.

"Kita akan mengambilnya." Byakuya melangkahkan kakinya perlahan. Gadis itu mendengus, jika seperti ini lelaki itu seperti pengawal pribadi.

DHHUUUAARRRR

Sebuah suara menyentak seluruh peserta, termasuk Byakuya dan Rukia. Dengan serempak mereka menoleh ke sumber suara yang berasal dari pos utama.

"Ini gawat," desis Byakuya.

Rukia menoleh khawatir, Momo dan Hitsugaya masih berada di sana. "Ada apa nii-san?"

"Sebaiknya kita kembali."

"Tapi kalungku?" tanya Rukia.

"Akan kuberikan yang baru." Jawab Byakuya tegas.

Rukia tersentak, "Itu adalah kalung kesayanganku, Yamamoto-jisan yang memberikannya."

"Keselamatan lebih penting dari pada sebuah kalung," Byakuya berucap datar.

Rukia menyentuh lengan lelaki itu, "Aku akan mengambilnya, dengan cepat."

Byakuya menoleh, menatap adiknya dalam, lalu melirik jaraknya dengan tempat anak panah itu. "Terlalu jauh, biarkan para prajurit mengikutimu."

Rukia mengangguk, lebih baik diikuti prajurit dari pada kakak iparnya. Byakuya pergi menjauh dengan cepat. Menurutnya gadis itu tak akan macam-macam, terutama bila para prajurit mengikutinya.

Rukia berlari, meninggalkan para prajurit yang memanggil namanya agar berlari lebih pelan. Gadis itu tak memperdulikannya, malah semakin cepat melompat seraya memegangi gaunnya yang terasa cukup menghalangi. Takut bila tersangkut karena modelnya cukup rumit.

Oh apakah ia belum mengatakannya? Sebuah gaun selutut berwarna hijau muda dengan sepatu datar coklat bertali adalah pilihannya. Rukia menoleh seraya menyeringai, "Kecepatan kalian perlu diasah. Aku akan mengajari bagaimana cara berlari yang baik."

Prajurit yang mengejarnya sangat jauh, bahkan sekarang tak terlihat.

Beberapa menit terlewati. Setelah merasa tidak ada siapapun yang mengikuti Rukia terdiam. Mengatur pernapasannya yang memburu. Lalu mengangkat wajah rupawannya, meneliti sekitar. Sejauh mata memandang hanyalah pohon dan pohon.

Begitu lebat dan sedikit menakutkan.

SRAKH SRAKH

Sebuah suara membuatnya terlonjak. Terdapat bayangan dan geraman yang mengincarnya. Ini gawat! Gadis itu kembali berlari dalam lelahnya. Berdoa dan berharap itu bukan hewan buas yang akan memangsa.

Setelah merasa jauh ia kembali terdiam, menatap was-was dengan degupan jantung yang menggila. Ini adalah kesalahannya sendiri, membiarkan para pengawal pergi jauh hanya untuk merasakan sebuah kebebasan. Dengan kenaifannya, gadis itu berlari untuk mengelabui mereka semua.

Dan inilah hasilnya.

Terimakasih untuk instuisi bodohnya yang sebenarnya sedikit buta arah. Ia benar-bernar tersesat seorang diri di dalam hutan!

Air mata gadis itu mulai menggenang, "Apa aku akan mati disini?"

Ckrak

"Apa itu?!" Rukia reflek berteriak. Telinganya masih berfungsi dengan amat baik, tentu saja ia tidak akan salah mengenali sebuah suara, itu adalah suara dahan pohon yang diinjak.

Dengan cepat langkah ringkih itu berlari, menerobos semak belukar, melompati akar yang besar, menghindari pohon, dan dahan rendah yang menghalang larinya.

Tiba-tiba langkah Rukia terhenti dengan keringat yang mengucur deras di tubuhnya. Suara yang mengejarnya masih terdengar dan sekarang seperti berlari mengejarnya!

Ternyata tidak salah! Ia sedang diincar!

Ia tidak ingin mati! Jadi siapapun tolong selamatkan nyawanya!

Gadis itu berlari semakin cepat dengan gerakan kaku, Rukia menoleh kebelakang. Dan apa yang dapatinya?

"KYAAAA!" teriaknya terkejut.

Brukh

Tanpa sadar kakinya saling berkelit membuat keseimbangan goyah sehingga terjatuh sendiri. Harimau itu berada tepat di depannya, menatapnya dengan mata menyalak, suara geraman rendah terdengar serta liur yang menetes dari bibir hewan itu.

Gerak-geriknya terlihat benar-benar lapar. Itu membuat keadaan semakin menjadi buruk. Daging dan tulangnya akan menjadi makan siang untuk sang Harimau bertubuh besar. Memikirkan itu saja membuat tubuhnya merinding!

Rukia meneguk susah ludahnya, keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Matanya tertutup pasrah ketika harimau itu mendekatinya. Disaat itu pula indra pendengarannya mendengar sebuah teriakan dan hembusan pedang.

"Menjauh darinya!" teriak sebuah suara.

Rukia membuka perlahan kedua matanya, sedikit penasaran walau takut masih mendominasi keadaannya. Matanya membelalak ketika melihat seorang lelaki dengan tubuh tegap dan rambut orange yang sedikit membuat silau.

Di samping kaki lelaki itu terdapat kepala harimau dengan ekspresi yang mengerikan—terlihat terkejut. Darah menetes dari pedang sang pria misterius. Rukia memandang ngeri, walaupun baik, tetapi apa yang dilakukan seorang pemuda di tengah hutan seperti ini?

Lelaki itu berbalik, menatap Rukia lama. Begitu terpana akan sosok mungil dengan wajah yang luar biasa jelita—walau sebenarnya ia juga tampan. Tubuhnya kaku, bahkan tak pernah sekalipun jiwanya merasa gentar. Tetapi ini, hanya melihat gadis itu …

Rukia berdiri perlahan seraya mengibaskan kotoran di bagian rok belakangnya, "A-ano …"

Pemuda itu tersentak, memasukkan pedang ke dalam kantungnya, berjalan hingga tepat berhenti satu langkah dari jaraknya dengan Rukia, kemudian menunduk perlahan berusaha mensejajarkan tinggi kepala gadis itu.

"Kau …"

Jantung gadis itu berdebar kencang, berdoa dalam hati agar sang pemuda tidak memuja rupanya seperti seluruh manusia yang ditemuinya.

"… kecil sekali. Anak-anak tidak boleh berjalan di tengah hutan seperti ini." Pemuda itu berucap santai setelah berhasil mengendalikan pikirannya.

Rukia melotot, "Kecil?!"

Lelaki itu mengangguk, "Mignet lebih tepatnya."

Rukia hendak melemparkan berbagai hinaan untuk sang pemuda, tetapi keburu dibungkamnya ketika merasakan sebuah tarikan lembut di pergelangan tangan. "Ayo," ajak sang pemuda. "Aku akan mengantarmu pulang."

Gadis itu kembali melotot lalu berusaha menepis tangan besarnya, "Lepaskan aku baka!"

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, "Whoa … inikah caramu berterimakasih nona kecil?"

"Kau menghinaku? Aku sudah berumur tujuh belas tahun!"

"APA?!"

Pemuda itu loncat di tempat hingga tanpa sadar melepaskan tangan Rukia. "Kau?!" tunjuk pemuda itu. "Tujuh belas?! Candaan macam apa itu!" perkataan yang terdengar tidak lebih dari hinaan keji bagi sang gadis.

Rukia menggeram, "Beraninya kau."

"Ah! Tidak! Ehm maksudku … kau terlihat begitu muda dengan parasmu." Ucap lelaki itu terbata.

Rukia hanya merotasikan matanya. Pemuda itu membungkuk sedikit dalam, tangan kanannya tertekuk di depan perut dengan yang satu lagi di belakang punggungnya.

"Perkenalkan, namaku Ichigo. Ichigo Kurosaki. Senang bertemu denganmu."

Rukia mendengus, apapun alasannya, setidaknya ia harus berterimakasih kepada pemuda ini. Sekalipun menyebalkan(dan tampan), dia-lah yang menyelamatkan nyawannya.

"Rukia Kuchiki. Entah apakah aku harus senang bertemu denganmu."

.

.

.

TBC


~(^_^)~ Area Curhat Author

Ano …*gemeteran*plak

Azalea-chan*tereak manggil orangnya*, kamu udah bacakah ? Ini lebih dr 5K loh :p

tapi ketambahan curcol kok, jadi ga papa ya? nggak di dis kan?

kalo di diss, Yuuki ikut panjat pinang loh!*plok*

Huee Yuuki pengen mewek, maap banget telat updetnya, dengan batas waktu yang sekian lama malah baru update.

Intinya Yuuki tetap ingin memberikan yang terbaik.

Bagaimana dengan fic ini? mbuletkah? No feel kah?

Gomennasai, Yuuki akan berusaha lagi buat fic yang lebih baik*cium*dihajar

Saran, kritik, dan flame yang membangun, Yuuki terima dengan senang hati XD
(Review anda lebih membuat saya bersemangat loh)

Demi bertambahnya kemampuan menulis author …

Victoria Yuuki

Review Please?