.
Aku Sakura Marchen. Dikelilingi dengan balutan gaun mewah dan pesta-pesta khas bangsawan—serta hidup serba berkecukupan, tak membuatku tumbuh menjadi gadis manja yang rewel dan hobi berfoya-foya. Aku—sebaliknya, ingin segera cepat-cepat bebas dari sangkar emas yang mengungkung ini. Mencari arti hidup yang sebenarnya. Menjelajahi sisi-sisi kota Wina yang tak tersentuh dan kumuh, bukan hanya diam di cahaya hampa istana Lord Marchen ini.

Aku—Sakura Marchen, bosan dengan kehidupanku yang sekarang.


Polaris

A SasoSaku (maybe) fanfiction..

Genre: Friendship/Fantasy

Rate: T

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Setting AU. Penggunaan nama Jepang (padahal setting di Eropa). Penggambaran lokasi cerita (Wina/Vienna, pada abad pertengahan) yang tak terlalu mendetil. OOC (mungkin), romance gagal.


.

"Sarapan sudah siap, Milady."

Aku keluar dari kamar, menuruni tangga berlapis beludru kemerahan setelah sebelumnya mengangguk sedikit pada Shizune, pelayanku. Ruang makan mansion Marchen yang besar masih belum terlalu ramai, hanya ada kedua Kakak laki-lakiku yang telah duduk lebih dulu disana—Itachi dan Sasuke. Aku menganggukkan kepala sedikit seraya mengucapkan "selamat pagi" riang kepada mereka, sebelum memulai menghabiskan sarapanku.

Menu hari ini—waffle caramel bakar dan segelas eggnog hangat. Aku tersenyum. Cocok dengan pagi musim dingin di Wina yang tengah mencapai puncaknya bulan-bulan ini. Meskipun di lorong-lorong kumuh sana, masih banyak rakyat kecil yang menahan dingin dan kelaparan..

Aku meringis sedih sedikit begitu memikirkan itu.

"Ada apa, Sakura?," tanya Sasuke, kakak keduaku yang kelihatan heran melihatku yang tak seperti biasanya agak pendiam hari ini. Aku menggeleng perlahan—sambil memaksakan senyum.

"Tak apa, Kak Sasuke."

Lelaki muda berambut sehitam arang itu mengangguk, sebelum berpaling kembali ke makanannya. Aku ragu..apakah Kak Sasuke akan punya waktu untuk mengunjungi rumah-rumah kumuh itu. Ia dan Kak Itachi begitu sibuk dengan urusan bisnis keluarga Marchen—serta membantu Ayah menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Kaisar. Itachi—kakak pertamaku, baru saja pulang minggu kemarin dari medan perang di perairan tepi barat, melawan bangsa Viking. Itachi menjadi salah satu dari pasukan pemanah. Ibu begitu bahagia begitu mengetahui Kak Itachi bisa pulang hidup-hidup dari pertempuran mematikan itu —mengetahui ganasnya bangsa Viking dalam berperang— meskipun tangan kiri putranya hampir patah karena terbentur permukaan bayonet musuh. Di sisi lain, Ayah sangat bangga pada Kak Itachi. Begitu juga aku dan Kak Sasuke.

Sarapan pagi itu berlangsung tenang dan berlalu cepat seperti biasa. Seperti biasa, Kak Itachi selesai duluan—disusul Kak Sasuke, meninggalkanku sarapan sendirian di ruang makan antik mansion besar ini. 'Uh, bagaimanapun juga—makan sendirian itu tak terlalu menyenangkan rasanya', gumam inner-ku dalam hati.

Sehabis makan—apa lagi jadwalku hari ini? Ah ya..belajar menyulam. Aku memutar-mutar mata dengan gaya konyol begitu memikirkan ini. Tak bisa disangkal lagi, aku lebih memilih ikut Kak Itachi dan Kak Sasuke berburu rubah ke hutan di kaki bukit bersama para bangsawan kerajaan pagi ini—dibanding berjam-jam mengurusi untaian benang yang berwarna-warni kusut itu.

Sayangnya, tentu saja Ibu takkan mengizinkanku.

Wanita memang seharusnya duduk manis di kamar dan mengerjakan hal-hal berbau keterampilan, bukan?


.

Kututup pintu kamar rapat-rapat. Jam sebelas siang, dan aku baru saja menyelesaikan pelajaran menyulamku. Fuuh, akhirnya. Aku melepas gaun satin merah mudaku yang tebal mengembang—dan beberapa aksesoris yang melekat di tangan, lalu menggantinya dengan baju biasa, dilapisi jubah cokelat di bagian luarnya.

Hari ini—selain pelajaran menyulam, jadwalku kosong sampai nanti sore. Saatnya bersenang-senang.

Setelah memastikan bahwa Ayah, Kak Sasuke, dan Kak Itachi baru akan pulang menjelang petang —Ibu sedang menghadiri pesta di Istana sampai nanti sore—, aku beranjak pergi ke jendela, membuka selot kuningannya, dan meluncur turun dengan tali rami yang telah semalam kusiapkan. Begitu memastikan bahwa keadaan di luar aman, aku memanjat pagar tinggi mansion Marchen, sebelum mendarat dengan bunyi 'tuk' berisik di sisi luarnya.

Aaah. Udara bebas. Selamat datang, kota Wina.

Beberapa kereta kuda yang berlalu lalang menambah keramaian di jalan utama kota Wina yang agak sepi karena musim dingin ini. Salju turun dengan anggun, menutupi jalanan dan beberapa patung hiasan yang tersebar di sudut-sudut kota. Aku berjalan menjauhi mansion, sampai langkahku berhenti pada suatu keramaian yang ada di dekat kedai kopi Weiztenberg.

Oh, rupanya sedang ada pertunjukan boneka.

Setelah membersihkan sedikit salju yang menempel di jubahku, aku masuk kedalam tenda serupa tenda sirkus kecil yang telah disiapkan. Beberapa lampu minyak yang tergantung di langit-langit sebagai penerangan membuat suasana bertambah meriah. Rupanya pertunjukan sudah mulai daritadi.

Setelah membayar karcis pada penjaga pintu tenda, aku memilih-milih lokasi yang enak untuk menonton. Ada bangku kosong di bagian sudut depan dekat panggung. Sepertinya pertunjukan telah dimulai agak lama. Menurut dua bocah yang menonton bersama Kakak mereka di sampingku, lakon yang dimainkan adalah cerita "Putri Duyung".

Aku merasa sedikit penasaran. Ini pertama kalinya aku menonton pertunjukan boneka mini yang digelar seadanya—untuk tontonan rakyat kecil. Biasanya Ayah dan Ibu mengajakku ke gedung-gedung konser besar di pusat kota untuk menonton orkestra musik barok. Rutinitas yang terkadang agak membosankan—aku bukan tipe orang yang terlalu mengerti musik dan menikmatinya sedemikian rupa. Meskipun kuakui pagelaran-pagelaran musik yang ditonton kedua orang tuaku memiliki irama yang indah dan sedikit banyak rumit.

Di panggung, boneka-boneka hampir seukuran manusia—berbaju warna-warni cerah dan meriah, yang digerakkan dengan tali dari atas berseliweran mondar-mandir sambil saling berbicara satu-sama lain. Kukira itu boneka sejenis marionette. Dialog-dialog yang diucapkan tak begitu kutangkap, dari tempatku yang di sudut—jauh dari panggung ini.

Tapi setidaknya—menonton boneka-boneka lucu berbaju warna-warni itu saja bergerak kesana kemari sudah cukup membuatku merasa terhibur. Belum lagi musik pengiring yang dimainkan samar-samar dari piringan hitam—yang meskipun seadanya, tapi cukup mendukung pertunjukan.

Selang beberapa lama, tak terasa pertunjukan selesai. Layar beludru yang agak usang dimakan rayap di panggung perlahan menutup, sesudah beberapa boneka membungkukkan badan kepada penonton sebagai ucapan terima kasih. Aku tak langsung bangkit dan meninggalkan tenda ini, seperti penonton-penonton lainnya. Perlahan lampu-lampu minyak di tenda padam satu persatu, sehingga tenda itu menjadi redup karena hanya mengandalkan penerangan dari cahaya diluar.

Aku berdiri dari tempat dudukku di sudut.

Hening. Penonton yang kebanyakan anak-anak itu sudah keluar semua dari tenda mini ini. Tinggal aku satu-satunya penonton yang belum keluar. Dituntun oleh rasa penasaran, aku berjalan ke arah panggung yang menggelap. Tak terdengar suara apapun disana.

Siapa yang menjalankan pertunjukan boneka ini?

Sunyi tetap melingkupi tenda yang kini dalam keadaan kosong. Aku memanjat naik ke arah panggung yang berbunyi derit-derit kecil akibat papan kayu yang beradu, lalu berjalan ke arah layar yang menutup.

Setelah ragu sesaat, aku menyibakkan kain beludru usang penutup layar itu—dan menjumpai puluhan boneka dengan berbagai kostum yang berjejer rapi di dalamnya.

Aku menahan napas.


.

Aku menahan napas.

Seumur hidupku, belum pernah aku melihat boneka sebanyak ini. Mata mereka yang terbuat dari kelereng kaca berwarna-warni menatapku hampa dari balik kelopak kayu setengah tertutup mereka. Aku merinding sedikit, belum terbiasa dengan suasana sepi disini—sebelum maju dan menghampiri boneka anak perempuan berambut pirang dikuncir dua yang berada terdekat dari tempatku masuk tadi.

Aku terdiam sesaat. Aku tahu iris biru imitasi itu hanya terbuat dari kaca belaka..tapi sedikit banyak—itu terlihat hampir seperti nyata.

Atau mungkin hanya imajinasiku saja.

Ketika aku sedang terdiam tanpa suara mengagumi keindahan gaun perca berwarna keemasan dengan sulaman thorn rose indah di beberapa bagiannya yang dikenakan boneka itu, mendadak aku mendengar seseorang berbicara dari belakangku.

"Apa yang kau lakukan disini, Nona?"

Aku tersentak. Terburu-buru kubalikkan badanku ke belakang untuk melihat si pemilik suara, hanya untuk menjumpai udara kosong di sekitarku.

Tak ada siapapun.

Begitu aku menyadari, di belakangku tak ada siapapun—hanya ada sebuah boneka anak laki-laki berambut kecoklatan berkostum pelaut. Aku tercekat.

Suara itu..tak mungkin asalnya dari boneka ini.

.

Aku menahan napas.


.

.

Bersambung..

.

A/N: Ehehe, akhirnya selesai. Fanfiksi SasoSaku keduaku, kali ini dengan setting AU. :)

Semoga menikmati ya. Sakura tak terlalu OOC kan disini? ^^;

Maaf kalau penggambaran setting-nya kurang mendetil. Semoga tidak mengganggu keseluruhan cerita. o.o (p.s: menurut readers, cerita ini lebih baik two-shots atau multichapter?)

Tenang saja, bagi readers yang menantikan chapter selanjutnya dari "Katalis", kalau bisa akan segera ku update kok. ^^ Terima kasih sudah membaca. Kritik dan pendapat kalian setelah membaca ini, jika berkenan? :)