Pandora Gakuen
Ch 1. Watashi ga kimi o mamorimasu.
Disclaimer : YAMAHA, Crypton Future Media
.
.
.
Gadis kecil itu berlari menelusuri lebatnya hutan dengan bertelanjang kaki. Sesekali ia mengusap mata emerald green-nya yang lebam meneteskan air mata, menyipitkan pupil menelusuri gelapnya hutan. Tidak, sekarang pukul dua belas siang, namun lebatnya pepohonan tidak membiarkan sedikitpun cahaya masuk. Bau khas jamur dan lumut menusuk hidung gadis bersurai teal itu, sudah tak ada lagi niatan dibenaknya untuk berburu makanan mahal tersebut.
.
Dia akan mati.
.
Dua orang wanita yang ditemuinya tadi akan membunuhnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Seperti biasa, gadis itu tengah mencari jamur dan ginseng di tengah hutan dibelakang rumahnya. Seperti biasa, ia mengajak bicara kelinci dan tupai yang ia temui. Semua begitu biasa saja hingga wanita itu berjalan pelan dibelakannya.
.
Wanita itu memanggilnya, memberikan senyum ramah keibuan ketika menanyakan namanya–meskipun wanita itu menutupi dirinya dengan jubah. Namun senyuman itu berubah menjadi seringai dan tiba-tiba saja, wanita itu menghilang, muncul tepat dibelakang ketika ia menyadarinya, sang gadis teal merasakan sesuatu menghantam kepalanya. Ia merasakan suatu cairan mengaliri keningnya ketika wanita itu tertawa dengan mengerikan
"Ini tugas yang sangatlah mudah-"
"Koudou shite kudasai."
Gadis itu mendengar jenis suara yang berbeda lagi, suara yang terdengar begitu tegas dan menggema. Suara yang membuat gadis berusia 15 tahun itu mencari sumber suara, dan ia mendapati wanita lain tengah berlari kearahnya. Ia tak tahu apa yang wanita itu katakan, tapi dengan bantuan saraf otaknya, ia segera berdiri dan berlari meninggalkan kedua wanita tadi, memacu kaki-kaki mungilnya secepat yang ia bisa.
.
.
Jadi disini ia sekarang. Berlari dengan napas terpenggal tanpa arah, entah sudah berapa kali ia terjatuh. Dan kini ia kehilangan sepatu kesayangannya–sepatu satu-satunya–yang dibuatkan oleh kakek. Gadis itu sampai dipinggir sungai, dengan kaki bergetar ia duduk, mencelupkan kedua kakinya yang sudah mati rasa sambil terisak.
Apa yang membuat wanita itu ingin membunuhnya? Ia bahkan tidak mengenali sosok yang terdengar seperti wanita itu. Apakah dia adalah musuh kakeknya? Seingat yang ia tahu, kakeknya adalah orang paling baik yang pernah ia temui gadis itu. Ia tidak dapat membayangkan jika kakek tercintanya itu memiliki musuh.
Gadis itu begitu terlena dalam pikirannya hingga tidak menyadari seseorang berjalan dibelakangnya,
"Hatsune Miku-san?" dengan kaget gadis itu menoleh, dan ia mendapati seorang laki-laki yang tidak ia kenal. Laki-laki itu tersenyum lembut kearahnya.
"Da... Dari mana.. Kau tahu namaku?" balas gadis itu–Hatsune Miku–terbata. Ia bahkan tidak sanggup menelan ludahnya.
"Ah, tenang saja. Aku tak akan menyakitimu..."
tenang katanya?! Miku menggeram dalam hati. Ia baru saja bertemu dua orang aneh yang akan membunuhnya, mana mungkin ia mempercayai orang asing lagi.
Lelaki itu melepaskan ransel yang sejak tadi dijinjingnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak putih.
"A... Apa itu?" lelaki itu kembali menatap Miku dengan hangat, lalu berjalan mendekati gadis rentan yang ada dihadapannya.
"Ja... Jangan mendekat." ia menyadari suara bergetar Miku, lalu akhirnya memutuskan untuk berhenti beberapa langkah darinya dan duduk bersila dengan santai.
"Kau bisa menggunakan ini untuk mengobati kakimu..." ucapnya selembut mungkin sembari meletakan kotak putih tadi dan mendorongnya kearah Miku.
Miku memerhatikan wajah lelaki itu sejenak, menyadari betapa birunya surai lelaki itu, betapa tampannya lelaki yang ada dihadapannya, tersenyum lembut dan menatap matanya dengan iris selaras dengan rambutnya. Ketika saja Miku berkontak mata dengan lelaki itu yang langsung membuatnya gugup. Tangannya bergetar ketika mengambil kotak obat yang ditawarkan padanya.
Miku menyadari bahwa didalam kotak putih tersebut hanya ada sebuah krim dan perban, ia membuka tutup krim tersebut, menghirup pelan dan menyadari baunya yang sama persis seperti tanaman obat yang dikenalinya. Segera Miku mengangkat kakinya, mengoleskan krim keatas luka-luka kakinya. Dengan girang ia merasakan sensasi ramuan tersebut. Campuran mint, benaknya. Begitu asyiknya ia sampai tidak menyadari seorang lelaki terkekeh melihat kelakuannya.
Tersadar tentang tujuannya, lelaki itu segera membersihkan tenggorokan sebelum berkata, "Aku Kaito. Kaito Shion."
Senyuman segera menghilang dari wajah gadis manis itu.
"Kenapa?" Kaito tak pernah menyangka sekalipun akan mendapat respon tersebut. "Kenapa kalian ingin membunuhku?"
Miku tertunduk dan tubuhnya kembali bergetar.
"Tidak, kau salah paham. Kami tidak pernah ingin mencoba mem-"
"BOHONG!"
Tepat ketika Miku berteriak, mereka berdua mendengar seseorang yang terbanting keluar dari hutan lebat.
"Haku-sensei!" wanita itu–yang baru saja dipanggil Haku-sensei–adalah wanita kedua yang ditemuinya didalam hutan. Wanita bersurai putih panjang dan bermata semerah darah itu kini terkapar ditanah dengan tubuh penuh luka. Apakah ia bertarung dengan seorang dengan jubah tadi? Miku bergidik memikirkannya.
Tak lama seorang dengan jubah gelap keluar dari tempat 'Haku-sensei' terpelanting.
.
Dia datang.
.
Miku begitu panik hingga ia merasakan tangan hangat yang menggenggam tangannya yang dingin dengan erat. Meskipun laki-laki itu mengenakan sarung tangan, kehangatan masih tertinggal dipunggung tangan Miku.
"Daijoubu." lagi-lagi lelaki itu tersenyum dengan hangat kearahnya, "Aku akan melindungimu."
Kaito segera berdiri, dan melepas blazer kabanggaannya. Ia berlari kearah wanita berjubah, memfokuskan kekuatan sihir ditangan kanannya, menciptakan sebilah pedang dari ketiadaan dan menebas wanita itu dengan pedang tersebut. Cairan merah membasahi pedangnya dan sedikit menghiasi rambutnya. "Ckk..." Kaito meleset, ia memang mengenainya, tapi wanita itu berhasil menghindari bagian vital.
Kaito baru saja akan mundur ketika ia merasakan wanita itu memukul perutnya, membuatnya rasa mual yang tertahankan. Ia jatuh terduduk, merasakan darah yang terpaksa keluar dengan batuk yang membuatnya mengernyit menahan sakit.
Bukan speed. Seorang peningkat kecepatan tidak akan sekuat itu. Apakah ia memang memiliki kemampuan fisik luar biasa, atau-
Sekali lagi, Kaito merasakan hantaman keras. Dan kali ini wanita itu menginjak kakinya hingga membentur tanah.
Power–peningkat kekuatan. Terlambat, wanita itu kini mencoba menghancurkan kepalanya dengan high heels.
"Daijoubu." wanita itu menyerinyai, sembari mengulangi kalimat Kaito. "Aku akan melindungimu." injakkannya menjadi semakin keras seiring dengan tawanya yang mengerikan.
Ah... Kaito teringat dameskipun samar ia masih dapat melihat Miku. Gadis bersurai teal indah itu tertunduk, menangis, gemetaran sambil menutup telinganya. Ia sudah berjanji melindungi gadis itu, tapi sekarang ia hanyalah seorang pecundang dengan mulut besar. Ia bahkan tidak bisa menghentikan tangis seorang gadis.
Kaito menggertakan giginya, ia berusaha bangkit. "Aku... Akan membunuhmu-"
Wanita itu menendang kepala Kaito bahkan sebelum Kaito selesai mengutuknya. "HHAHAHAHHAHAH...!"
Meskipun darah menetes dari bahu kirinya, wanita itu tidak terdengar kisakitan sedikitpun. Ia meraih leher Kaito, mengangkat lelaki itu sampai diatas tanah tanpa merasa berat sedikitpun. "Kau tidak akan bisa melindungi siapapun, tuan muda."
Kaito tak bisa bernapas, bahkan tak punya sedikit kekuatan untuk memeggunakan sihirnya, tak bisa berfikir. Yang ada dikepala Kaito hanya sorot mata wanita yang ada dihadapannya itu. Dingin dan penuh dengan hasrat membunuh.
.
'Mungkin ini adalah akhir hidupku.'
.
"Mou ii..." suara serak menghampiri telinga Kaito. Ia melirik kearah gadis yang sejak tadi tidak merubah posisinya.
"Tenanglah nona kecil, giliranmu akan datang."
"Hentikan..." kaito memperhatikan udara disekitar gadis itu. Sihir berkeliaran mengelilingi gadis itu, dan semakin lama menjadi semakin kencang. Sebuah aliran sihir tak berwarna dan tak berbentuk, sihir yang begitu murni.
'Setidaknya disaat terakhir, aku masih dapat melihat sihir yang begitu indah.'
Angin yang berada disekeliling Miku mulai membentuk cahaya redup, sekejap, cahaya tersebut membentuk setengah bulatan yang ikut menyinari Kaito dan sang wanita berjubah.
"Ca... Cahaya apa ini..?" sang wanita berjubah segera melepas cengkramamnya dari Kaito dan mundur menjauhi lingkup cahaya. 'Kekuatanku menghilang.'
Sebelum satu langkah lagi saja wanita itu mundur keluar dari lingkaran cahaya, sesuatu yang tajam menembus dadanya dari belakang.
"Anata no ayumi o mitte kudasai."
Haku-sensei menusuk wanita itu menggunakan pedang Kaito.
"Haku..." wanita itu segera berlari menjauh sebelum menghilang dengan menggenggam sebuah batu–yang menciptakan lingkaran mantra sihir. "Tunggu pembalasanku.
22 september 19xx. Pukul 14.55. Dari sebuah desa terpencil, pulau terpencil dibagian utara, terlihat sebuah pilar cahaya yang tampak bahkan sampai kesebuah tempat di timur.
.
.
Seorang gadis–dari sisi sebelah manapun ia memang terlihat seperti gadis muda–memperhatikan pilar tersebut sambil tersenyum kecil. Ia tidak terlalu tahu mengenai pilar tersebut, tapi ia sudah memikirkan segalanya.
Pintu dibelakang gadis itu terbuka, menampilkan seorang pria bersurai coklat yang tergesa-gesa. "Kepala sekolah.. Ditempat Haku sen-"
"Ah. Aku sudah melihatnya..." gadis itu–kepala sekolah–berbalik menghadap sahabatnya. "Tenanglah dan bersihkan kacamatamu yang berkabut itu, Kiyoteru-sensei."
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke meja–meja kerjanya–yang dipenuhi bertumpuk kertas–tugasnya. Ia terfokus pada satu map cokelat yang berada ditengah meja dan mengambil map tersebut, membuka map, dan membaca dua lembar kertas yang ada didalamnya sembari tersenyum.
.
"Hatsune, ka?"
"Nee, Haku-sensei.." Kaito yang sudah sadar menggendong Miku dipunggungnya. 'Ia terlihat begitu manis jika tertidur', pikirnya.
Haku memutuskan untuk segera meninggalkan pulau tersebut, terlebih lagi setelah kejadian siang tadi. Meskipun sebenarnya ia–atau bahkan Kaito yang lebih parah–masih memerlukan perawatan.
"Apa, Shion-kun?" balas Haku sembari memperhatikan pelabuhan yang semakin lama semakin menjauh. Ia menghirup napas dalam-dalam, memikirkan apakah selembar kertas cukup untuk menjelaskan semuanya pada kakek Miku? Ditambah ini bukanlah yang pertama kali.
"Wanita yang tadi itu... siapa?"
Haku tertawa melihat betapa babak belur murid yang dibawanya itu. Ia lalu mendekatinya dengan sedikit menggoda. "Nee, Kaito-kun?" ucapnnya sembari menyeringai, "Dari pada hal itu, lebih baik kau memikirkan gadis manis yang tertidur dipunggungmu itu. Bukankah kau ingin melindunginya?"
Seketika, wajah Kaito berubah merah padam. "A.. Aku aku akan mencarikan kamar..." teriaknya sebelum melesat menjauh.
'Mungkin memang tak salah membawanya', Haku kembali menghela napas. Menatap kejauhan, tujuan mereka. Pandora Academy.
Kaito meletakan Miku diatas tempat tidur, memperhatikan wajah manis gadis itu. Ketika berada didalam lingkup cahaya yang diciptakannya, Kaito yakin ia merasakan kekuatannya lenyap–meskipun hanya unuk sementara waktu. 'Apakah itu kekuatannya?'
Kaito menyeka helai rambut Miku yang menghalangi matanya, sebelum tersenyum lembut dan mengucapkan kata 'oyasumi'.
.
.
to be continued.
a/n
Koudou shite kudasai : Please behave.
Anata no ayumi o mitte kudasai. : please watch your step.
boku wa koko ni imasu. Entah sudah berapa lama saya ga muncul disini. Kayaknya ga ada yang nungguin juga… TTATT
terlebih lagi ini juga cerita yang udah pernah diupdate. Tapi karena saya merasa kurang puas, jadi pengen dirombak. Dan biola, jadilah new edition… YEAY! #gaje.
Informasi ga penting, ini dulu judulnya "Sakura Gakuen".
Ga sih sebenernya karena lupa dan savean di pcnya juga udah ilang, tapi masih pengen ngelanjutin ceritanya.. gapapa kan yah? Yah? Yahhh? *maksa*
.
Jadi, makasih banyak yang udah mau mampir, kalo yang cuma mau baca judulnya aja juga udah makasih banget.. apa lagi kalo ada yang mau berbaik hati ngereview.
Itu aja kali ya, abis udah lama banget sih, jadi ga tahu apa yang mesti diomongin… so, bye-bye.. XD
-Nafu Ishida.
11/28/2016. 10.48 am.
