.

Naruto adalah milik Masashi Kishimoto

.

For Rampantt, a wonderful writer who let me share this story, thank you so much

.

.

.


Semua Untuk Cinta

By Rampantt

Cinta adalah Hukuman


.

.

.

.

"Tidak terlalu buruk, sungguh ... aku baik-baik saja."

Bahkan kata-katanya terdengar seperti kebohongan.

Bagaimana dia bisa mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana dia bisa membiarkan mereka tahu betapa mengerikannya segala sesuatu tanpa mengkhawatirkannya?

Gadis Hyuuga memberi senyum kecil kepada teman-temannya, membiarkan mereka melihat apa yang dia inginkan. Mereka tidak harus tahu yang sebenarnya. Sungguh, itu lebih baik untuk semua orang jika mereka tidak melakukannya. Dia tidak membutuhkan mereka mengkhawatirkannya. Dia tidak membutuhkan mereka mengajukan pertanyaan yang tidak mau dijawabnya. Tidak bisakah mereka membiarkannya sendiri? Dia sangat menyayangi mereka, sungguh tapi dia hanya berharap terkadang mereka hanya memikirkan urusan diri mereka sendiri. Mereka mungkin teman baiknya tapi mereka tidak perlu tahu semua yang terjadi dalam hidupnya. Dia adalah wanita dewasa 26 tahun, dia berhak atas privasinya, bukan?

"Apakah kau yakin? Maksud aku ... Dia tampak sangat marah," terdengar suara teman berambut merah jambu itu.

"Hn," kata Hinata sambil tersenyum. "Dia hanya ingin aku pulang lebih awal."

"Tapi apakah dia harus berteriak seperti itu?" terdengar suara teman lain, yang satu ini berambut pirang.

"Yah, kau tahu Naruto ... Dia selalu berteriak tentang sesuatu, entah saat dia bahagia atau marah."

Kedua temannya melirik satu sama lain sebelum mengalihkan tatapan mereka kembali ke teman bermata opal mereka. Mereka tahu dia berbohong. Kenapa dia tidak keluar saja dan mengatakan yang sebenarnya? Mereka bisa membantunya. Mereka menyayanginya. Hanya itu saja. Sayang.

"Hinata ... Jika ada sesuatu yang terjadi, kau tahu bahwa bercerita kepada kami? Kita berteman? Kami di sini untukmu."

"Hn," jawabnya merona, tersenyum cantik dan mengangguk.

Gadis berambut merah jambu itu mendesah kecil sebelum duduk kembali di kursinya. Si pirang bagaimanapun tidak yakin dan terus menatap gadis Hyuuga.

"Hinata ..." dia memulai, tapi Hinata memotongnya dengan berdiri mendadak, jelas selesai dengan percakapannya.

"Tidak apa-apa kalian, aku harus pergi sekarang, sampai jumpa lagi nanti."

Dan dengan itu si gadis Hyuuga bergegas menjauh dari meja dan keluar dari kafe dan ke mobilnya. Dia harus cepat pulang, semakin lama dia semakin membuat Naruto semakin marah.

.

.

.

.

Dia sampai di rumah dalam waktu singkat, mendorong pintu depan terbuka dan melangkah masuk. Dengan gugup dia melihat-lihat, matanya menjelajahi serambi saat dia menutup pintunya sepelan mungkin. Dia menjilat bibirnya dengan gugup, kegelisahan bergejolak di perutnya saat dia mulai bergerak menuju ruang tamu.

"N-Naruto ...?" dia memanggil pelan.

Ruangan sepi saat dia meluncur ke ruang tamu.

Jantungnya mencelos saat matanya melihat seseorang. Laki-laki itu duduk di kursi favoritnya, kakinya diangkat ke meja dan pandangannya menyeramkan.

"Jam berapa sekarang, Hinata?"

Hinata menggigit bibir bawahnya dengan gugup sebelum menjawab. "Tiga."

"Tiga. Aku sudah bilang untuk kembali ke sini jam dua orang dan apa kenyataannya? Tiga."

"K-kau bilang jam e-enam ..."

"Apakah kau menyebutku pembohong?" tanya laki-laki itu, alis pirangnya melengkung bertanya.

Mata opal Hinata melebar sedikit. Dia tidak bermaksud seperti itu. Tidak sama sekali. Dia mulai menggelengkan kepala dengan panik saat dia melihat Naruto bangkit berdiri.

"Bukan itu yang aku maksudkan. Aku h-h-hanya ... aku m-maksud aku-aku ..."

"Kau apa Hinata? Karena bagiku kedengarannya kau mengira aku berbohong."

"T-tidak, N-Naruto ... aku tidak berpikir kau ..."

"Lalu apa yang ingin kau katakan padaku Hinata? Bahwa aku lupa?" tanya pria itu saat mulai mendekatinya.

Segera, kaki Hinata mulai membawanya mundur, bekerja dengan sendirinya.

"Tidak, aku lupa!" katanya dengan panik. "Aku-itu aku ... aku lupa."

Hal ini sepertinya membuat Naruto senang. Tapi itu hanya sebentar, karena dia terus bergerak ke arah wanita di depannya.

"T-tolong, aku ... tidak akan terjadi lagi ... aku janji."

"Kau berjanji? Janji hanyalah penghibur untuk orang bodoh, Hinata, apakah aku terlihat bodoh bagimu?"

"T-tidak, kau sangat pintar."

Naruto mengangguk setuju, tapi kepuasannya hanya bertahan sebentar karena saat dia menatap wanita di depannya sekali lagi, matanya penuh dengan kemarahan yang tak kenal ampun.

"Lalu mengapa kau terus memperlakukan aku seperti orang idiot? Mengapa kau mengharapkan aku untuk mempercayai hal-hal bodoh semacam itu?" Tanyanya lagi, hidungnya berkerut karena tidak suka.

Tiba-tiba pria itu menutup jarak di antara mereka, tangannya mengarah ke rambut si wanita dan mencengkeram rambut panjang hitam itu dengan menyakitkan saat dia membanting punggung Hinata ke dinding seberang jendela. "Hah? Kenapa begitu?"

Hinata mencoba menggelengkan kepalanya tapi cengkeraman pria itu terlalu kuat

Naruto memojokkannya di sudut, punggungnya menempel ke dinding dan sekarang dia mulai merasakan sakit di tulang punggungnya.

"Jalang. Kau sebaiknya menjawab pertanyaanku."

Wanita berkulit pucat itu tidak tahu harus berkata apa, bagaimana menjawabnya. Pria itu tidak rasional. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan seperti itu - tidak ada jawaban yang akan menyenangkan pria itu ...

"Aku tidak tahu," bisik Hinata pelan, air mata memenuhi matanya.

"Kau tidak tahu ..." cibir Naruto sambil bernyanyi.

Wanita itu mulai gemetar saat mencium aroma vodka di nafas pria itu.

Naruto kemudian menarik salah satu tangannya dari rambut Hinata, mengencangkan cengkeramannya dengan tangan yang satunya saat dia mulai menyeret Hinata.

"Mengapa kau tidak pernah memiliki jawaban atas pertanyaanku?"

Air mata jatuh dari mata Hinata saat tangannya terangkat ke pergelangan tangan Naruto, rasa sakit menderanya.

"N-Naruto ... tolong hentikan!" Wanita itu memohon, matanya sekarang merah dan bengkak karena air mata.

Si pirang berdecak jengkel, dia menggunakan cengkeraman yang ada pada rambut Hinata untuk melempar wanita itu.

Wanita mungil itu merintih saat tubuh kecilnya menabrak ubin dapur yang dingin.

"Lihatlah dirimu ..." ujar Naruto dengan jijik yang kentara saat dia berjalan mengitar.

Hinata bangkit berdiri, menatap lantai, menunggu pukulan yang dia tahu akan terjadi.

Laki-laki itu berjongkok sampai mata mereka sejajar, memperhatikan wajah Hinata dengan saksama. Hinata mengira Naruto mencari bagian terbaik untuk dipukul, pikiran yang menyebabkannya tersentak dan Naruto mengerutkan hidungnya dengan jijik.

"Tidak berguna," ujar pria itu memutuskan, kemudian menatapnya. "Untuk berpikir bahwa banyak pria dulu sangat menginginkanmu. Betapa beruntungnya aku ... Tch Seharusnya aku menikahi jalang berambut pink itu, kau tahu? Dia jauh lebih cantik darimu.

Maksudku, tentu saja kau punya payudara yang besar, "matanya menjelajah dari wajah ke dada Hinata.

"Tapi itu saja, selain itu kau bukan apa-apa. Satu-satunya alasan mengapa payudaramu begitu besar adalah karena kau gemuk."

Wanita bermata opal itu menunduk, tidak ingin menatap pria itu lagi. Dia bisa merasakan air mata meluncur di pipinya, jatuh di kancing biru kemeja.

"Lihat aku jalang," Naruto menuntut, menyambar rambutnya lagi dan memaksanya untuk menatap. "

Kau pikir kau siapa?"

Hinata menggelengkan kepalanya dengan panik, matanya melebar takut saat dia melihat Naruto berdiri, menariknya untuk berlutut.

Pria itu mendorong kedua tangannya ke rambutnya, mengangkat kepalanya ke atas sehingga dia tidak punya pilihan selain menengok ke arah si pria.

"Sungguh memalukan bahwa bahkan posisi ini tidak berarti apa-apa bagiku. Kau benar-benar tidak berguna."

Si Hyuuga sangat ingin mengalihkan pandangannya ke tempat lain tapi tahu itu hanya akan membuat Naruto semakin marah jika dia melakukannya. Mungkin jika dia melakukan apa yang Naruto katakan, pria itu akan meninggalkannya sendiri.

"Aku tidak percaya aku benar-benar menyia-nyiakan waktuku untukmu selama tiga tahun bermain menjadi Tuan Baik-baik tanpa alasan sama sekali. Semua orang mengira kau hebat di ranjang, apakah kau tahu itu?" tanyanya sambil mencengkeram rambut Hinata erat-erat.

Dia menunggu Hinata untuk menjawab tapi yang dia dapatkan hanyalah tetesan air mata di wajah wanita itu.

"Berhentilah menatapku seperti itu, jalang! Kamu benar-benar menyeramkan ...!" teriaknya histeris pada Hinata sambil menggoyang-goyangkan rambutnya.

Hinata terisak-isak, tak bisa mengendalikan diri. Itulah yang membuat Naruto marah. Setiap saat. Selalu. Terisak-isak. Hal itu membuat Naruto gila. Dia sudah menjelaskan tentang hal-hal semacam itu. Tangisan Hinatalah penyebabnya. Bukan yang Hinata katakan atau lakukan.

Wanita itu pasti berpikir dengan menangis akan membuatnya merasa bersalah. Tapi cara Naruto menangani rasa bersalah itulah yang paling membuat Hinata takut. Hinata bahkan tidak terkejut saat merasakan tangan Naruto memukul keras di tulang pipinya; Sebagai gantinya, dia menyambut kegelapan yang mengikutinya. Dia lebih baik di sana dimana dia tidak bisa mendengar, melihat, atau merasakannya.

.

.

.

.

Hinata menghabiskan waktu berjam-jam memplester dan merapikan make-up di atas kulitnya yang memar, melakukan usaha terbaiknya untuk memastikan bahwa warna kulitnya rata. Ketika dia akhirnya selesai, pekerjaan itu kelihatan sangat sempurna sehingga nampak seperti tidak ril. Keindahan plastik, begitu dia menyebutnya.

Saat Hinata berjalan menyusuri lorong perusahaan, wanita itu tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa bahwa semua orang menatapnya. Seolah-olah mereka semua tahu rahasia kotornya. Mereka semua sadar akan fakta bahwa suaminya adalah seorang bajingan narisistik yang menganggap semua yang salah dalam hidupnya adalah ulah Hinata. Dan mereka menertawakannya. Atau lebih buruk lagi, mengasihani dia. Meskipun ada perubahan nama belakang, dia adalah Hyuuga dan Hyuuga adalah orang yang berbangga dengan diri mereka sendiri, mereka tidak menerima rasa kasihan. Dari siapapun.

Wanita bermata opal itu menunduk saat dia berbelok di tikungan, berusaha sebaik mungkin untuk sampai ke mejanya tanpa terlihat. Dia tidak berminat untuk tersenyum; Dia tidak ingin berpura-pura di hadapan semua orang hari ini. Yang dia ingin lakukan hanyalah duduk di belakang mejanya dan menjelajahi web sampai pukul lima dan dia tidak punya pilihan selain pulang ke rumah.

Untuk sekali ini, harapannya menjadi kenyataan dan dia berhasil sampai ke mejanya tanpa gangguan.

"Syukurlah," dia menarik napas, menggeser kedua tangannya di bawah roknya dengan rapi sebelum duduk.

Dengan sedikit desahan ia menyalakan komputernya dan menunggu layar desktop untuk tampil.

"Selamat pagi, Hinata-chan!"

Butuh bertahun-tahun untuk mengendalikan dirinya agar tidak memutar mata sebal ke temannya yang super aktif.

"Pagi, Tenten-san."

Tapi, seperti biasa, Si Hyuuga selalu bersikap sopan.

"Apa kabar?"

Apakah itu lelucon? Apakah Tuhan mengejeknya?

"Aku baik-baik saja," jawabnya pelan, bahkan menambahkan senyuman kecil. "Dan kau?"

Tenten tertawa cekikikan seolah-olah dia memiliki rahasia indah dan menunggu seseorang untuk bertanya kepadanya.

"Aku sangat baik hari ini. Tapi aku tahu siapa yang tidak," katanya berjongkok di depan meja Hinata, suaranya berubah menjadi bisikan.

"Fukumi-san dipecat, Jumat adalah hari terakhirnya."

Mata Hinata membelalak sedikit. Dia senang laki-laki itu pergi. Fukumi adalah bos paling sulit di dunia. Dia memperlakukan Hinata dan Tenten seperti mereka adalah budaknya dan tidak pernah menghargai apa pun yang Hinata lakukan untuknya. Fukumi-san mengingatkannya dengan suaminya.

"Tapi yang lebih baik lagi penggantinya sudah ada, sepertinya perusahaan sudah berencana memboyong dia untuk sementara waktu sekarang."

"M-mungkin ..."

Tenten tersenyum padanya. "Apakah kau tidak senang?"

Tidak.

"Hn. T-tidak perlu bersih-bersih -atau menjemput putrinya dari latihan musik."

Tenten tertawa mendengarnya. "Benar, mudah-mudahan laki-laki pengganti ini jauh lebih baik."

Untuk alasan yang dia tidak bisa menjelaskan, Hinata melanjutkan pembicaraan.

"Bagaimana kau tahu dia laki-laki?"

"Haruhi di bidang keuangan mengatakan kepadaku bahwa dia melihat laki-laki itu pagi ini, Haruhi bahkan terus mengatakan betapa seksinya dia. Aku senang aku memakai bra push-up hari ini. Beruntung, beruntung," katanya sambil tersenyum.

Hinata hanya menggelengkan kepalanya sedikit. Teman kerjanya adalah penggoda laki-laki. Dia punya lebih banyak pria daripada celana dalam, dan itu adalah sesuatu.

"Selamat pagi."

Kedua wanita itu saling mendongak saat mendengar suara laki-laki yang nyaring.

Tenten segera berdiri tegak, sengaja membiarkan laki-laki itu melihat betapa baiknya Tuhan memberkatinya secara genetis.

"Selamat pagi," sapanya manis, membuat senyum menggoda.

Laki-laki, yang tampaknya tidak terpengaruh hanya mengangguk ke arahnya sebelum mengalihkan pandangannya ke Hinata.

"Selamat pagi," sapa Hinata pelan, suaranya serak.

Haruhi benar, laki-laki itu memang tampan.

Laki-laki itu seperti sesuatu yang langsung keluar dari majalah yang diproduksi perusahaan mereka. Hinata bertanya-tanya kenapa bukan dia orang yang jadi sampul majalah untuk edisi bulan ini.

"Hn, sebutkan nama kalian."

"Hisagaia Tenten," si berambut cokelat itu menjawab yang pertama.

Mata hitam pria itu berguling ke arah wanita bermata opal berikutnya.

"Uzumaki Hinata," jawabnya lembut, sambil tersenyum kecil.

"Sasuke Uchiha."

"Senang bertemu denganmu, Uchiha-san," Tenten menimpali.

"Hn," gumam Hinata, mengangguk sedikit.

Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai balasannya. Dia tidak tampak seperti orang yang senang untuk berbasa-basi.

"Aku tidak berharap terlalu banyak dari kalian berdua karena aku lebih suka melakukan segala sesuatu sendiri, namun satu-satunya hal yang aku minta dari kalian adalah jangan terlalu sering menggangguku."

Tenten, nampaknya kecewa, sedikit cemberut sebelum mengangguk. Hinata di sisi lain tidak terlalu keberatan dan mengangguk juga.

Dan dengan itu, bos baru mereka melewati Tenten dan menuju kantornya, menutup pintu dengan tenang di belakangnya.

"Tch ... itu mengecewakan."

Hinata tersenyum sedikit pada rekan kerjanya. "Sisi baiknya ... Kita tidak perlu bekerja terlalu keras ..."

Tenten menoleh ke arah Hinata, bibirnya sedikit cemberut sebelum dia mengangkat bahunya dan meluncur ke mejanya.

"Kurasa itu benar."

Hinata tersenyum.

Dia tersentak sedikit saat merasakan kantungnya bergetar, berbunyi di pahanya. Dia memasukkan tangannya ke sakunya, mengeluarkan telepon genggamnya untuk melihat namanya yang berkedip di layar. Ketakutan memenuhinya, ekspresi wajahnya mencelos.

Naruto.

"Hn? Kamu baik-baik saja, Hinata-chan?"

Ragu-ragu, dia menatap rekan kerjanya dan mengangguk sedikit. "Aku-aku baik-baik saja ..."

"Kau tidak terlihat baik-baik saja ... Kau terlihat seperti ... takut, siapa itu? Apakah kau dalam masalah?"

"T-tidak aku -"

Sebelum dia bisa melanjutkan, dia merasakan teleponnya berdengung lagi di tangannya. Dia menutup telepon dan menelepon lagi.

Dengan ketakutan, dia menjawab telepon.

"H-Halo?"

"Kenapa kau tidak mengangkat tadi?!"

"Aku-aku minta maaf ..."

"Itu masalahmu, kau selalu minta maaf!"

Naruto menghentikan dirinya sebelum dia bisa melanjutkan. Hinata mendengarnya menarik napas dalam-dalam di ujung telepon, menenangkan diri.

"Maafkan aku."

Hinata terdiam beberapa saat; Dia tahu ke mana arah percakapan ini.

"Hanya saja ... kamu membuatku sangat marah kadang-kadang, aku tidak ingin menyakitimu Hinata, aku mencintaimu."

Pembohong.

"Aku hanya ingin kau melakukan apa yang aku katakan, jadi aku tidak akan perlu untuk memukulmu, ya sayang?"

"Y-iya ..."

"Kau tahu aku mencintaimu, bukan?"

Hinata terdiam beberapa saat sebelum dia menjawabnya. "Aku tahu."

"Katakan kau mencintaiku kalau begitu."

Hinata menelan ludah di tenggorokannya dan menahan air matanya.

"Aku mencintaimu…"

Naruto terdiam sesaat sebelum melanjutkan.

"Jangan menangis oke, sayang?"

"Hn."

Tapi sudah terlambat, air mata sudah menggelegak di pelupuk matanya.

"Baiklah, aku harus kembali bekerja sekarang, tapi aku hanya ingin mengatakannya kepadamu, aku mendapatkan sesuatu yang menurutku akan kau sukai, aku akan memberikannya kepadamu nanti di rumah."

"O-oke."

Hinata tidak mengatakan apa-apa lagi sebelum dia mendengar bunyi klik lembut dari panggilan berakhir. Dia menarik telepon dari telinganya dan mengusap mata dengan punggung tangannya.

"Hinata-chan ... siapa itu -oh tuhanku, Hinata-chan! Wajahmu! Apa yang terjadi padamu?"

Eh?

Wanita bermata opal itu memandang rekan kerjanya heran untuk menemukan bahwa Tenten memberinya tatapan paling khawatir yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Tapi kenapa? Matanya melirik ke bawah dan melihat make up yang tercoreng di kulitnya. Oh tidak.

"Tidak apa-apa ... Bukan apa-apa," Hinata menjelaskan, bangkit berdiri dan meraih dompetnya.

"Hinata-chan, ada apa? Siapa yang melakukan itu padamu?" Tenten tidak menyerah, dia mencengkeram pergelangan tangan Hinata.

"Aku bilang itu bukan apa-apa, aku baik-baik saja," jawab Hinata kesal saat dia menarik tangannya dari tangan Tenten.

Hinata lebih benci ditahan.

"Sungguh."

Lalu buru-buru, dia bergegas ke kamar kecil, tangannya menangkupkan matanya untuk menyembunyikan memar mengerikan yang dibuat suaminya.

.

.

.


To be continued


.

.

Terima kasih sudah membaca. Mind to review? hehe