BLACK PEARL Chapter 1
.
.
THE REPRESENTATIVE
.
.
"Hun!"
Luhan setengah berlari menyusul. Wajah rupawannya sumringah. Luhan memang cowok ramah yang terkenal murah senyum, tidak seperti Sehun. Hanya saja, senyuman Luhan yang kali ini lebih cerah. Sehun rasa, Luhan bawa berita keren.
"What's with your hair ?"
Wajah Sehun tertekuk seketika. Dia tahu rambutnya bakal dibahas. Setelah insiden ledakan di kelas ramuan, Sehun mendapat banyak kekacauan. Wajahnya gosong, rambutnya ditempeli banyak sekali ter lengket warna biru yang bakal sulit dihilangkan, dan sebuah detensi dari Profesor Chen di gudang sapu besok malam.
"Big explosion. Another chaos. Detensi besok malam. Jangan dibahas," timpal Sehun dengan wajah yang benar-benar ditekuk.
Luhan terkekeh. Saudara kembarnya mendapat detensi adalah sesuatu yang paling sering didengar Luhan selama enam tahun terakhir. Sehun tidak bisa mengendalikan sihirnya dengan baik. Makanya banyak menimbulkan kekacauan.
"Salam buat Profesor Chen."
Sehun mendengus.
"Dan apa ini ? Ter ?" Luhan mencoba mencabut segumpal ter yang menempel di rambut panjang Sehun dan langsung dihadiahi pukulan keras.
"Sakit, Bodoh!" Sehun mengelus kepalanya sendiri. Mencabut ter sama sakitnya dengan mencabut permen karet dari rambut. Atau mungkin lebih parah.
Luhan angkat tangan. Sehun kalau ngamuk sangat menakutkan.
"Oh, iya," Luhan menggamit tangan Sehun dan membawanya ke ruang pengumuman di depan aula besar.
Sehun dan Luhan mengamati poster besar yang tertempel di papan pengumuman. Sebuah poster dengan gambar obor biru besar yang bergerak-gerak terletak paling tengah, menindih pengumuman yang lain.
"Liga Ivy ?" tanya Sehun.
"Yes, my lovely twin sister," jawab Luhan. "Aku mendaftar siang ini."
"Aku tidak akan mendaftar siang ini," timpal Sehun sambil mengamati saudara kembarnya. Lalu kembali mengamati poster.
"Ayolah," Luhan merengkuh bahu Sehun. "Ini tahun terakhir kita di Ivy. Ada banyak mantra yang sudah kita pelajari."
Sehun menggeleng.
"Aku bakal mengacau, percayalah," ucap Sehun.
"Baiklah. Let's make it simple," Luhan mendekatkan wajahnya pada telinga Sehun. "Glory, fame, girls–"
"I don't need girls," potong Sehun cepat.
"Oke, oke. Kita ganti. Glory, fame, boys–" Luhan menggantung kalimatnya. "That Teta boy, Kris ?"
Buru-buru Sehun mendorong Luhan menjauh.
"Aku tidak butuh cowok lagi. Sudah banyak cowok di hidupku. Kau, Daddy–" Sehun berdecak. "More than enough."
Luhan terkekeh lagi.
"Awas saja kalau kau sampai jadian dengan si Teta itu. Aku bakal membuang semua koleksi gelangmu di Danau Hitam. Awas saja," ancam Luhan sambil berjalan mundur. "Aku pergi dulu."
Luhan menghilang di belokan setelah melambai pada Sehun.
Mau tidak mau Sehun tersenyum. Luhan selalu bisa memperbaiki keadaan. Di saat mood Sehun menukik turun karena detensi yang didapatnya, Luhan bisa membuat segalanya terasa lebih baik. Dengan candaannya yang selalu membuat Sehun sebal sekaligus senang, Luhan memang saudara yang sempurna, sempurna untuk Sehun yang tidak sempurna.
Luhan pintar, terkenal baik, punya banyak teman. Sementara Sehun terkenal karena sering membuat kekacauan dengan sihirnya. Sangat bertolak belakang jika orang-orang mengabaikan wajah mereka yang sangat mirip.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, Sehun buru-buru keluar dari gedung utama, menyeberangi halaman dan setengah berlari menuju arena panahan. Sehun tidak ingin melewatkan pelajaran yang satu ini.
Satu-satunya pelajaran yang bisa Sehun lalui dengan baik, satu-satunya pelajaran yang bisa Sehun raih dengan nilai Super Expert–SE, tidak perlu sihir, insting yang bermain, pelajaran memanah.
Sekitar tiga lusin siswa sudah berada di arena panahan dengan busur dan sekantung penuh anak panah. Tanpa pikir panjang, Sehun menyambar sebuah busur yang tersisa beserta kantung kulitnya. Sehun agak kaget ketika menyentuh busur panah itu. Rasanya seperti ada aliran listrik yang mengalir dari busur panah itu ke tangannya, selalu begitu. Tapi Sehun lebih suka mengabaikannya.
"Silence!"
Profesor Minseok berdiri di atas undakan sambil petentengan. Pipinya yang bulat seperti pantat tupai sama sekali tidak cocok dengan gayanya. Sehun sampai heran sendiri. Profesor Minseok lebih mirip siswa Ivy ketimbang guru mengingat usianya yang masih terhitung muda dan wajahnya yang sangat kekanak-kanakan.
"Hari ini kita main tangkap bendera," ucapan Profesor Minseok barusan dihadiahi erangan frustasi dan 'boo' dari hampir setengah murid. Kecuali Sehun.
Sehun bersorak dalam hati. Permainan tangkap bendera adalah permainan favorit-nya. Mata banteng yang di arena panahan membuat Sehun mati kutu. Sehun butuh objek bergerak untuk dipanah karena lebih menyenangkan.
"Silence," Profesor Minseok mengangkat tangannya. "Peraturannya masih sama. Tembaki setiap mungus dengan tanda X di punggung, ambil bendera di Kepalan Zeus, dan kembali. Yang tercepat akan menang. Dan akan ada hadiah."
Gemuruh mulai terdengar lagi. Tidak biasanya Profesor Minseok memberi hadiah.
"Untuk tim yang tercepat, aku akan memberi hadiah," Profesor Minseok merogoh celananya. "Sarung tangan kulit untuk memanah. Harganya 50 galleons. Sangat langka."
Sehun berdecak saat Profesor Minseok mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Itu adalah sarung tangan yang sangat diinginkan oleh Sehun sejak dulu. Tangannya sudah sering berdarah dan kapalan karena memanah dengan tangan kosong. Semangat Sehun terbakar habis-habisan. Sehun harus menang hari ini.
"Permainan akan dimulai setelah terompet kerang ditiup. Bentuk tim, tiga orang, masuk ke dalam hutan! Cepat!"
Dalam hitungan detik murid-murid Ivy lebih terlihat seperti segerombol lebah yang terbang menjauh karena ada api, sedangkan Sehun diam saja. Ketika semua orang saling melobi untuk menjadi sebuah tim, Sehun lebih suka menunggu, menunggu sisa orang-orang yang mau satu tim dengannya.
Sekali lagi, Sehun punya reputasi lumayan jelek soal pelajaran. Tidak sedikit yang meremehkan kemampuan memanahnya–padahal jelas-jelas Sehun selalu dapat nilai SE.
"Yo~" Sehun menoleh ketika seseorang menepuk bahunya. "Re-unite ?"
Baekhyun, cowok berambut ungu dari asrama yang sama dengan Sehun tersenyum sampai matanya tinggal segaris. Cuma Baekhyun yang selalu mau sekelompok dengan Sehun saat permainan tangkap bendera.
"Sure," Sehun menyalami Baekhyun. "Butuh satu lagi."
"Yeah, kita bakal menemukannya," Baekhyun mulai melihat sekeliling. Tapi, tidak ditemukannya satupun murid yang belum kebagian kelompok. "Oke, sepertinya kita bisa melakukannya cuma berdua. Kau dan aku."
"Yeah."
Sehun meninju dada kiri Baekhyun pelan, lalu mereka terkekeh bersama.
Belum sempat Sehun dan Baekhyun menyusun rencana, terompet kerang sudah ditiup, menandakan permainan akan segera dimulai lima menit lagi. Itu artinya, hanya ada lima menit bagi Sehun untuk bersembunyi di dalam hutan sekaligus mengatur rencana. Posisinya kali ini kurang meguntungkan. Sehun hanya berdua dengan Baekhyun sementara Baekhyun kurang mahir memanah. Sehun tidak yakin hari ini dia bakal menang.
Walaupun sarung tangan kulit yang dijanjikan Profesor Minseok itu benar-benar membakar semangatnya.
Jadi Sehun dan Baekhyun mulai berlari memasukki hutan seperti monyet kesetanan. Sehun membimbing Baekhyun melewati sayap kiri, menyusuri Danau Hitam menuju ke Kepalan Zeus. Sayap kiri terasa lebih nyaman bagi Sehun mengingat siswa lain lebih suka lewat jalur utama. Isinya jalan berlumpur, para peri pohon cerewet, dan ada banyak sekali hewan-hewan menyebalkan. Walaupun sayap kiri terlalu banyak rintangannya, paling tidak ini adalah jalur tercepat dan teraman, menurut Sehun.
Sesekali Sehun mendengar suara peri pohon cekikikan dari atas dahan. Mungkin mereka berfikir Sehun dan Baekhyun kelihatan bodoh karena mau-mau saja melewat jalan berlumpur sementara ada jalur utama yang jauh lebih normal. Ingin rasanya Sehun melempari peri pohon itu dengan batu, atau apa saja, yang penting mereka diam.
"Yang lain tidak lewat sini," ucap Baekhyun sambil melompat ke atas sebuah batu.
"Itu alasannya kita lewat sini," timpal Sehun sambil membenarkan letak kantung kulitnya. "Lebih aman. Lebih pendek. Kalau kita bisa bergerak cepat, kita bisa jadi yang pertama sampai di Kepalan Zeus."
"Oh, ya. Jalan berlumpur dan peri-peri bawel itu memang aman," sindir Baekhyun.
Sehun sudah hafal hutan ini di luar kepala. Sejak tahun pertamanya, Sehun sudah sering mendapatkan detensi. Tak jarang ia dibawa oleh Pak Jung si penjaga sekolah ke dalam hutan, seperti membersihkan kotoran centaurus atau membersihkan rumah para peri pohon. Sehun sampai lupa sudah berapa kali ia masuk ke dalam hutan ini.
Sehun mematung saat mendengar suara pergerakan di semak-semak dekat batu yang mereka pijak. Secara instingtif Sehun menarik sebuah anak panah dari kantung kulitnya dan mengacungkan busurnya ke arah semak-semak itu.
Jantung Sehun bertalu-talu. Telinganya berdenging. Adrenalinnya dipacu habis-habisan. Sehun berusaha berkonsentrasi tapi Baekhyun di sebelahnya sama sekali tak membantu. Sehun sulit konsentrasi jika ada orang lain di sebelahnya.
Sehun hampir melepas anak panahnya saat seseorang muncul dari balik semak-semak. Cewek berambut pasir itu kelihatan kaget saat melihat Sehun siap menembakkan anak panah tepat ke arahnya. Namun, cewek itu langsung mengendalikan diri dan mulai menyapa Sehun dan Baekhyun.
"Hai," sapanya dengan senyuman lebar.
Sehun mengamati cewek berambut pasir panjang itu. Dandanannya nyentrik. Cewek itu memakai banyak sekali aksesoris aneh. Sehun tidak bisa mengabaikan dua buah giwang berbentuk burung hantu yang menggantung di kedua daun telinganya, juga kalung dengan liontin berbentuk unicorn yang menggentung di lehernya. Semuanya. Sehun tidak bisa mengabaikan semua aksesoris yang bergantungan di tubuh cewek itu.
Ngomong-ngomong, cewek itu namanya Yixing. Cewek aneh dari asrama Alfa.
"Hai Yixing," Sehun menurunkan busurnya. "Dimana anggota timmu yang lain ?"
Senyum Yixing memudar. Dimple yang bertengger di pipinya menghilang seketika. Sehun rasa, Yixing baru saja diperlakukan tidak pantas, seperti biasa.
"Mereka meninggalkanku," Yixing kembali tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang sangat manis itu. "Lalu aku melihatmu hanya berdua dengan cowok berambut ungu itu-"
"Namaku Baekhyun, Non," potong Baekhyun dengan ketus.
"-dan aku mengikutimu."
Yixing tersenyum sangat lebar. Mau tidak mau Sehun ikut tersenyum. Yixing memang terkenal aneh, tapi Sehun suka cara Yixing memperlakukannya. Yixing selalu bertingkah kalau Sehun spesial. Yixing selalu bertingkah kalau Sehun punya kemampuan 'terselubung' dan pantas untuk diikuti. Dan hal itu membuat Yixing menjadi orang terfavorit ketiga bagi Sehun setelah ayahnya dan Luhan.
"Ikuti saja kami," ucap Sehun dan langsung dihadiahi sebuah sikutan menyakitkan dari Baekhyun.
"Kau gila, huh ?" bisik Baekhyun. "Dia hanya merepotkan."
Sehun menatap tajam Baekhyun.
"Ikuti aku."
Sehun kembali memimpin perjalanan. Mereka masih menyisir tepian Danau Hitam. Tanah berlumpur masih terus muncul, bahkan makin parah karena kedalamannya bertambah. Beberapa kali Yixing mengeluh sepatunya terlepas dari kakinya, atau Baekhyun, bahkan Sehun.
Sesekali Sehun menembakki mungus yang dengan santainya melintas di hadapan mereka. Mungkin para mungus itu mengira tidak akan ada tim permainan tangkap bendera yang bakal melintasi sayap kiri dan tim Sehun hanyalah segerombol anak nakal yang nyasar di tengah hutan.
"Sebenarnya mungus itu apa, sih ? Sampai sekarang aku tidak tahu apa alasan Profesor Minseok memelihara hewan-hewan bodoh itu," celetuk Baekhyun sambil membenarkan posisi kantung kulitnya yang melorot.
"Semacam hewan virtual. Mereka dibuat dari ramuan dan sihir tingkat lanjut. Profesor Minseok mungkin menganggap mereka imut," timpal Yixing.
"Mereka sama sekali nggak imut," tukas Sehun sambil melompat ke sebuah batu besar.
"Setuju deh," Baekhyun menanggapi.
Sementara Baekhyun dan Yixing masih di bawah, Sehun mulai mengamati sekeliling. Kepalan Zeus sudah sangat dekat. Hanya perlu mendaki sebuah undakan di depan dan Kepalan Zeus berdiri tegak di sebuah ceruk tepat di bawah undakan itu.
Sehun membersihkan tangannya, lalu membasahi jari telunjuknya dengan air liurnya sendiri. Kemudian, Sehun mengangkat tinggi-tinggi jarinya dan mulai membaca arah angin. Tapi, Sehun tidak merasakan pergerakan apapun. Angin tidak berhembus dari arah manapun dan itu terasa janggal mengingat ini masih awal musim semi.
"Apa kalian merasakan panas ?" tanya Sehun.
"Ya," Baekhyun bersuara. "Aku sampai berkeringat."
Ini aneh. Seharusnya angin masih bergerak mengingat ini masih awal pergantian musim. Kalau tidak membaca angin, Sehun tidak bisa menembak dengan baik, dan ini gawat. Bisa-bisa Sehun gagal mendapatkan sarung tangan kulit seharga 50 galleons itu.
"Naik ke atas pohon. Aku yakin Profesor Minseok membuat sebuah jebakan di dekat Kepalan Zeus. Tidak ada angin di sini."
Baekhyun berdecak kagum. Berkali-kali ia memuji insting Sehun yang sangat tajam. Baekhyun bilang, dia tidak akan bisa menemukan partner sehebat Sehun di tim lain. Orang-orang pasti menyesal sudah meremehkan seorang Lu Sehun.
Jadi, mereka bertiga mulai mendaki dan memanjat sebuah pohon yang berada di puncak undakan. Mereka bertengger di dahan-dahannya. Sehun sengaja membawa Yixing tetap di sebelahnya mengingat anak itu agak takut ketinggian, sementara Baekhyun bertengger di dahan yang lain.
Dari atas sini, seluruh ceruk terlihat jelas. Kepalan Zeus tepat berada di tengahnya. Sebuah bendera berwarna emas dengan lambang Sekolah Ivy ditancapkan tepat di antara jari telunjuk dan jari tengah dewa langit itu. Namun, yang membuat Sehun tidak ingin terburu-buru menyambar bendera kemenangan itu adalah jejak-jejak kaki besar di sekelilingnya.
Ada banyak sekali jejak kaki besar di sekeliling Kepalan Zeus. Jejak itu memiliki dua jari dengan kuku runcing di setiap ujungnya. Ukurannya lumayan besar, hampir sebesar setengah dari Kepalan Zeus yang diameternya nyaris enam meter. Sehun bisa memperkirakan kalau makhluk yang dilepas Profesor Minseok pasti, not to mention, besar.
"Itu tanda apa ?"
Suara Yixing menginterupsi pemikiran sepihak Sehun.
"Apa ?"
"Itu," Yixing menunjuk tanda lahir yang berada di telapak tangan Sehun. "Itu tanda apa ?"
Sehun mengamati telapak tangan kirinya. Sebuah tanda lahir berbentuk garis segi empat yang agak pudar berada di sana.
"Ini tanda lahirku," jawab Sehun.
Yixing tersenyum penuh arti.
"Bentuknya indah sekali," tambahnya.
Sehun terkekeh.
"Ya, bentuknya memang indah, atau bahkan aneh," Sehun kembali mengamati telapak tangannya. "Aku pernah menanyakan soal ini pada Daddy. Dia bilang, dia tidak tahu apa arti dari tanda lahir ini. Tapi, dia sempat menyebut soal para penganut ajaran Hazama di Jepang. Mereka adalah orang-orang yang bisa menghancurkan roh jahat dengan perisai berbentuk kubus. Mereka bertugas untuk menjaga tanah Karasumori dari roh-roh jahat. Para legitimate successor penjaga Karasumori punya tanda ini. Jadi, menurut Daddy, mungkin aku salah satu keturunan mereka."
Sehun ingin tertawa saat mengingat kesimpulan yang dibuat ayahnya.
"Tapi, sudah jutaan kali aku mencoba untuk membuat perisai pengusir setan bahkan sampai mengejan, tidak ada yang terjadi. Sepertinya aku bukan bagian dari para penganut ajaran Hazama itu," Sehun menutup penjelasannya.
Yixing tidak menanggapi, tapi Sehun tahu ia mendengarkan semuanya.
"Apa Luhan juga punya tanda itu ?" tanya Yixing.
"Tidak," Sehun menggeleng. "Luhan punya tanda lahir juga. Di punggungnya. Tapi, bentuknya berbeda. Tanda lahir milik Luhan lebih terlihat seperti bekas iler di bantal."
Sehun dan Yixing tertawa sementara Baekhyun yang tidak mendengarkan keseluruhan obrolan mereka menatap Sehun dengan tatapan dia-bisa-ngobrol-dengan-makhluk-aneh-itu ?
Sehun berhenti tertawa saat melihat makhluk aneh muncul dari balik pohon di seberang cerukan. Tingginya tidak sampai satu setengah meter, mungkin. Bentuknya mirip kurcaci cebol dengan rambut mohawk berwarna merah. Wajahnya kotak dan galak. Sehun yakin makhluk aneh itu punya tempramen buruk.
Yang membuat makhluk aneh itu makin aneh adalah, dari perut ke atas, makhluk itu punya bentuk mirip kurcaci. Sementara dari perut ke bawah makhluk itu cuma punya satu kaki bersisik dengan dua jari bercakar yang super besar hingga menibulkan dentuman di setiap langkahnya. Ternyata, jejak-jejak yang ada di sekitar Kepalan Zeus adalah jejak kaki dari si makhluk cebol itu.
"Itu apaan ? Jelek banget," Baekhyun bergumam.
"Dufflepuds."
Sehun benar-benar mengagumi pengetahuan Yixing yang sangat luas. Dia tahu soal mungus, dan sekarang makhluk cebol aneh itu. Mungkin, karena dia tidak punya teman, Yixing banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan dan membaca buku-buku sejarah.
"Apa mereka berbahaya ?" tanya Sehun.
"Tidak. Tapi tempramen mereka buruk. Buruk sekali," jawab Yixing. Dugaan Sehun tidak meleset sama sekali. "Mereka berbahaya jika ada orang yang memasukki wilayah mereka. Aku rasa mereka sudah mengklaim Kepalan Zeus menjadi teritori mereka."
Sehun mengerang. Jadi ini yang menyebabkan angin-angin menghilang di sekitar Kepalan Zeus. Para dufflepuds bisa jadi berbahaya jika ada orang yang memasukki wilayah mereka. Bahkan para roh angin pun enggan berada di sekitar mereka.
"Mereka berkoloni ?" tanya Sehun lagi.
"Ya," Yixing bergerak tidak nyaman. "Aku heran kenapa dufflepuds di bawah itu sendirian. Dia pasti kesepian."
Sehun dan Baekhyun sweatdrop. Keadaannya tidak pas untuk mengasiani dufflepuds itu.
"Pasti ada cara untuk mendekati Kepalan Zeus," ucap Baekhyun. "Haruskah aku mengalihkan perhatian mereka ?"
"Tidak," tolak Sehun cepat. "Kata Yixing mereka bahaya."
"Tidak masalah. Aku punya panah," Baekhyun mengangkat busurnya.
Sehun menatap Yixing dan Baekhyun bergantian. Dia bukannya sombong atau jahat atau bagaimana, dia cuma mengkhawatirkan Baekhyun yang kurang mahir memanah. Bagaimana jika Baekhyun tembakannya meleset ? Sehun tidak bisa untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri jika Baekhyun sampai terluka saat berada di luar pengawasannya.
"Aku akan ikut bersamanya."
Sehun serasa dilempar ke jurang. Baekhyun yang pergi untuk memancing makhluk berbahaya saja sudah sangat mengkhawatirkan. Dan sekarang Yixing juga ? Sehun bakal membunuh dirinya sendiri jika dua orang yang sekarang menjadi anggota timnya itu terluka.
"Dua lebih baik," Baekhyun mengajukan pendapat walau kedengaran ragu.
"Kami akan memancing dufflepuds itu dan kau mengambil benderanya. Kami akan mengikutimu di belakang saat kembali," tambah Yixing, berusaha meyakinkan.
Sehun berada di zona bimbang. Sehun tidak mungkin menahan dua temannya itu tetap berada di sisinya. Bagaimanapun juga, ini permainan tim. Harus ada kerja sama. Tidak boleh egois. Ya. Tidak boleh egois.
"Oke," Sehun mengambil hampir seluruh anak panah yang ada di kantung kulitnya dan menyisakan tiga di dalam. "Ini buat tambahan."
Sehun memasukkan setengah anak panahnya ke dalam kantung kulit Yixing, sisanya ia serahkan pada Baekhyun.
"Ingat. Kalian harus tenang saat memanah. Jangan terburu-buru, oke ?" Baekhyun dan Yixing mengangguk serempak. "Baiklah. Hati-hati."
Baekhyun dan Yixing memanjat turun sementara Sehun menetap. Sehun tidak yakin rencana Baekhyun bakal berhasil. Baekhyun tidak suka Yixing. Sehun tidak yakin mereka bisa bekerja sama. Mungkin bisa, paling tidak hanya untuk beberapa detik sebelum Baekhyun jengah dengan tingkah aneh Yixing.
Sehun terus memperhatikan saat Baekhyun dan Yixing menyisir luaran ceruk Kepalan Zeus. Sehun bisa melihat Baekhyun siap dengan panahnya. Mungkin Baekhyun bakal membuat tembakan acak dan membuat dufflepuds itu mengikutinya. Atau ada rencana lain. Entahlah. Di sini Sehun bukan pemimpinnya.
Baekhyun dan Yixing berhenti di balik sebuah batu di sisi lain ceruk itu. Baekhyun bersiap membidik sementara Sehun bersiap untuk melompat turun dan menyambar bendera. Sedangkan, si dufflepuds berambut merah itu sedang asyik melompat dengan satu kakinya mengelilingi Kepalan Zeus.
Jantung Sehun kembali berpacu luar biasa cepat. Kalau sampai rencananya gagal, Sehun tidak tahu harus bagaimana lagi.
Jadi, Baekhyun menembak tepat ke arah jari kelingking Zeus. Anak panah itu menancap di sana. Si dufflepuds berambut merah itu menegang seketika. Radar di tubuhnya mungkin menangkap sinyal kalau ada sesuatu yang asing masuk ke dalam wilayahnya, dan makhluk cebol itu mulai melompat mengelilingi Kepalan Zeus.
"Di sini, makhluk cebol!"
Baekhyun berteriak dari balik batu besar dan mulai berlari menjauh. Seperti yang diperkirakan, dufflepuds itu mengikuti kemana arah perginya Baekhyun. Si dufflepuds itu kelihatan marah karena ada yang memasukki wilayahnya. Sehun bisa mendengar suara raungan naga dari mulut kecilnya. Ya ampun, makhluk ini aneh sekali.
Setelah memastikan dufflepuds itu benar-benar mengejar Baekhyun dan Yixing, Sehun melompat turun. Sehun buru-buru menuruni ceruk dan memanjat Kepalan Zeus untuk meraih bendera. Beberapa kali Sehun mengumpat karena terpeleset saat memanjat. Batu-batu itu licin sekali. Mungkin para dufflepuds itu tidur dan mengiler di atas Kepalan Zeus. Sepertinya Sehun harus mandi lagi setelah ini.
Sehun berhasil sampai di puncak setelah bersusah payah memanjat tumpukan batu setinggi hampir tujuh meter itu. Sehun tidak tahu bagaimana Kepalan Zeus bisa ada di tengah-tengah hutan dekat sekolahnya. Mungkin Zeus sengaja atau tangan salah satu patungnya jatuh dari langit dan mendarat di hutan ini, lalu membuat sebuah cerukan dalam. Pokoknya Sehun ingin Kepalan Zeus enyah.
Sehun tersenyum lebar saat melihat bendera kemenangan hanya tiga meter jauhnya. Sehun tinggal berjalan, menyambar bendera itu, dan kembali ke arena panah secepat mungkin sambil berasumsi Baekhyun dan Yixing bisa menyusulnya.
Sayangnya, baru Sehun melangkah untuk meraih kemenangan, tubuhnya didorong jatuh dari Kepalan Zeus. Tubuhnya menghantam tanah dengan kuat dan Sehun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.
.
.
.
.
Sehun mimpi bertemu dengan ibunya yang sudah meninggal saat dia berusia delapan. Ibunya sangat cantik dan masih muda, masih sama saat terakhir kali Sehun melihatnya.
"Hai, Bu," sapa Sehun. Ibunya hanya tersenyum sambil mengelus kepalanya.
Kehangatan menjalar dari ubun-ubun hingga seluruh tubuh Sehun. Sensasinya sangat nyaman, masih senyaman dulu ketika ibunya masih sering mengelus ubun-ubunnya
"Bu, aku kangen ibu."
Hanya itu yang keluar dari mulut Sehun. Ibunya tidak menanggapi. Yang dilakukannya hanyalah tersenyum masih sambil terus mengelus ubun-ubun Sehun. Jika terlalu lama diperlakukan seperti ini, bisa-bisa Sehun tidur di dalam mimpinya sendiri.
"Apa yang ibu lakukan di sini ?"
Tentu saja itu pertanyaan bodoh karena jelas-jelas ibunya sudah pergi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, waktu Sehun masih delapan. Ingatan masa kecilnya mengingat dengan jelas bagaimana maut menjemput ibunya.
Seekor ular phyton raksasa menyusup masuk ke dalam rumah dan dengan ajaibnya ular itu berhasil mencapai kamar Sehun dan Luhan yang ada di lantai dua. Ular itu, entah kenapa, hanya berusaha membunuh Sehun kecil padahal jelas-jelas ada Luhan di sebelahnya.
Ibu terkejut bukan main saat masuk ke dalam kamar anak kembarnya. Dengan berani, dengan insting keibuannya yang kuat, ibu mengalihkan perhatian ular itu dengan tongkat sihirnya. Sayangnya, ular itu lebih cepat dan langsung menghantam tubuh ibu dengan tubuh bersisikya. Ibu terpental ke tembok dan sejak saat itu, Sehun tidak pernah melihat ibunya.
"Bangun, sayangku," ucap ibuku. "Bangun."
Sehun tersentak. Kesadarannya sudah kembali.
"Bagaimana perasaanmu ?"
Sehun mengamati Baekhyun dan Yixing yang ada di sebelahnya. Wajah mereka kelihatan khawatir luar biasa. Sesuatu pasti sudah terjadi. Tapi Sehun tak ingat apapun. Yang dirasakannya sekarang adalah tubuhnya sakit semua. Terutama di tangan kanannya.
"Apa kita menang ?" tanya Sehun.
"Itu nggak penting sekarang," timpal Baekhyun.
"Apa yang terjadi ?" Sehun berusaha bangun dan Yixing membantunya.
"Conor bersaudara terlalu bersemangat. Mereka melompat ke atas Kepalan Zeus dan mendorongmu jatuh," jelas Baekhyun.
Sehun mengaduh pelan. Pantas saja Sehun tidak ingat apa-apa. Tubuhnya jatuh dari ketinggian tujuh meter tanpa pengaman apapun. Pasti kepalanya terbentur atau bagaimana, jadinya Sehun tidak ingat apa yang sudah terjadi.
"Aku tidak sengaja, sungguh!"
Sehun menoleh ke sumber suara. Conor bersaudara berdiri di ujung kasur yang lain. Rambut hitam mereka acak-acakan dan mereka masih pakai seragam memanah. Tubuh mereka yang tak lebih tinggi dari Sehun kelihatan kumal. Pasti mereka diserang habis-habisan oleh dufflepuds itu.
"Maafkan aku, Lu Sehun. Aku tidak bermaksud mendorongmu, sungguh!" Jimin, si Conor yang sebelah kanan kembali bersuara.
"Tapi kau mendorongnya sampai pingsan, Bodoh," timpal Baekhyun sengit.
Sehun baru sadar kalau ia berada di ruang kesehatan.
"Tangan kananmu patah, Sehun," ucap Yixing. "Sebaiknya kau jangan banyak bergerak."
Mata Sehun jatuh pada tangan kanannya yang diperban tebal. Lengannya digantung dengan sebuah kain yang membelit dari leher hingga tangannya. Sehun mengerang frustasi. Sembuhnya bakal lama. Bisa-bisa Sehun tidak ikut memanah untuk waktu yang lama.
"Sekarang jam berapa ?" tanya Sehun.
"Jam dua," jawab Taehyung, kembaran Jimin.
Sehun serasa dipukul palu. Luhan bilang, dia akan membakar namanya di obor Liga Ivy siang ini. Jika ini sudah jam dua, berarti Sehun sudah melewatkan kesempatan untuk melihat saudara kembarnya mendaftar. Luhan pasti kecewa sekali.
Jadi Sehun melompat turun dari kasur dan memakai sepatunya buru-buru. Baekhyun dan Yixing terus memperingatkan agar Sehun tidak banyak bergerak sementara si kembar Conor berusaha membuatnya kembali ke kasur. Tapi, rasa bersalah Sehun jauh lebih tinggi daripada tinggi si kembar Conor. Dan dengan mudah, Sehun kabur dari ruang kesehatan.
.
.
.
.
Sehun berlari menuju aula besar. Beberapa kali ia menabrak anak kelas satu dan dua karena terburu-buru. Sehun mengabaikannya dan tetap berlari tanpa minta maaf. Sehun berfikir minta maafnya bisa dirapel nanti saja.
Aula besar sangat ramai. Hampir sepuluh lusin murid yang berkumpul di sana. Meja dan kursi makan sudah disusun rapi di piggir, jadi para siswa bisa duduk di sana sambil menonton temannya membakar nama di obor Liga Ivy yang meretih tepat di tengah-tengah aula besar.
Mata Sehun mulai beredar mencari kembarannya. Sehun tahu bakal sulit mencar orang dalam keadaan ramai seperti ini. Tapi, Sehun tidak pernah kesulitan mencari kembarannya. Tinggal cari gerombolan terbanyak, dan fiola, Luhan tepat berada di tengah-tengah gerombolan itu.
Sehun berlari ke ujung aula untuk menghampiri saudaranya. Begitu Sehun sampai, beberapa orang yang mengelilingi Luhan mengamatinya dengan tatapan aneh, seolah Sehun adalah hewan kotor yang harus dijauhkan. Tapi Sehun tahu Luhan tidak mungkin seperti teman-temannya.
"Apa yang terjadi ?!"
Luhan melompat turun dari kursi, lalu menghampiri saudara kembarnya.
"Tanganmu kenapa ?"
Luhan kelihatan panik luar biasa. Mau tidak mau, Sehun tersenyum. Bagaimanapun juga dia merasa menang atas teman-teman Luhan. Sebagaimanapun Luhan baiknya pada mereka, tetap saja Luhan menganggap Sehun yang paling spesial. Jadi Sehun menatap salah satu cewek yang duduk di belakang Luhan dan cewek berambut merah itu melengos.
"Jatuh saat permainan tangkap bendera. Conor bersaudara terlalu bersemangat," jawab Sehun santai.
"Perlu aku hajar dua orang cebol itu ?" Luhan menawari.
Sehun memukul lengan Luhan.
"Jangan rusak reputasimu."
Luhan terkekeh.
"Apa kau sudah membakar nama ?" tanya Sehun sambil mengamati obor biru yang meretih di tengah-tengah aula besar.
"Belum. Aku menunggumu," Luhan merengkuh bahu saudara kembarnya. "Hun, aku tidak yakin, ngomong-ngomong."
Sehun berdecak sebal. Luhan selalu seperti itu, ragu-ragu dan penuh pertimbangan. Walaupun Luhan ganteng dan keren, kadar kegantengannya bakal berkurang kalau dia sudah mulai banyak pertimbangan. Luhan bisa lebih pertimbangan dari Sehun.
"Apa yang membuatmu tidak yakin ?" Sehun mencengkeram lengan kanan Luhan penuh ancaman.
"Entahlah, Hun. Aku tidak yakin aku masuk seleksi. Aku biasa saja, tidak punya kemampuan khusus," timpal Luhan.
Sehun memutar bola matanya jengah. Luhan sering berkata seperti itu padahal jelas-jelas dia punya kemampuan. Nilainya Outstanding di semua pelajaran, bahkan SE di beberapa mata pelajaran. Jika Luhan merasa masih kurang punya kemampuan, Sehun rasa Luhan harus ditenggelamkan di Danau Hitam.
"Bakar namamu, Bodoh," Sehun merogoh kantung celana Luhan dengan tangan kirinya. "Apa susahnya, sih, melakukan ini ?"
Sehun mengangkat kertas nama yang ia curi dari kantung celana Luhan.
"Perlu aku yang melakukan ?" Sehun selalu penuh ancaman.
"Kenapa kau tidak membakar namamu sendiri ?" Luhan membela diri.
Sehun menatap Luhan dengan tatapan oh-ayolah-kau-tahu-alasannya dan Luhan dengan patuh seperti anak anjing tetangganya di Alabama menuruti perintah Sehun.
Luhan merebut kertas namanya dan berjalan menuju obor biru itu. Seketika keheningan menghampiri aula besar. Semua mata tertuju pada Luhan, si anak pintar dan baik yang, akhirnya, membakar nama di obor untuk mendaftar Liga Ivy. Sehun mau tidak mau kagum pada saudaraya itu. Luhan punya efek cukup besar bagi murid lain.
Luhan berhenti di depan obor. Sekilas ia melirik Sehun yang mendelik kesal karena Luhan masih ragu-ragu, lalu dengan hati berat ia memasukkan kertas namanya ke dalam obor. Seketika kertas namanya terbakar dan menghilang, tidak meninggalkan abu.
Seluruh murid yang ada di dalam aula bersorak sambil bertepuk tangan. Sehun memperkirakan mereka sudah menunggu momen ini.
Luhan kembali melirik Sehun. Luhan kelihatan kikuk. Tidak biasanya Luhan seperti ini. Luhan selalu bisa mengatasi keadaan dan mengatur emosinya. Tapi kali ini... sepertinya Luhan sedang banyak pikiran. Sehun rasa, Luhan masih menimbang-nimbang soal keikutsertaannya dalam Liga Ivy.
Jadi Sehun berusaha menghibur Luhan dengan mengacungkan tangan membentuk isyarat 'aku menyayangimu'.
.
.
.
.
Sehun turun ke ruang rekreasi tepat jam tujuh malam. Luhan sudah menunggunya di sebelah perapian. Luhan sudah memakai seragamnya dengan lengkap. Rambut hitamnya tertata rapih. Sehun senang punya saudara kembar seganteng Luhan.
"Kemana seragammu ?" tanya Luhan saat Sehun duduk di sebelahnya. Sehun cuma pakai sweater besar berwarna navy dan celana jeans panjangnya.
"Di kamar. Aku tidak akan ikut pengumuman, Han. Aku ada detensi. Kau tahu, Profesor Chen," jawab Sehun sambil mengikat rambut panjangnya.
"Kau tidak akan melihatku ?" Luhan terdengar sedang berusah apercaya diri, tapi Sehun tahu betul saudara kembarnya itu gugup bukan main.
"Maafkan aku," Sehun menyentuh bahu Luhan. "Aku harus pergi sekarang. Pokoknya, nanti aku harus dengar kau jadi perwakilan dari asrama Alfa."
Sehun mengecup pipi Luhan.
"Aku akan menemui sebelum tidur."
Sehun berjalan menyeberangi ruang rekreasi dan menghilang di balik lukisan Dahlia Draycott.
.
.
.
.
Koridor riuh ramai di malam hari, tidak seperti biasa. Semua murid sudah berseragam lengkap, berisap untuk upacara pengumuman peserta Liga Ivy beserta pembukaannya. Beberapa guru dan profesor juga terlihat berlalu-lalang, saling menemui satu sama lain untuk berkoordinasi.
Jadi, Liga Ivy adalah sebuah kompetisi sihir yang diadakan setiap sepuluh tahun sekali oleh Sekolah Sihir Ivy. Dari setiap asrama, Alfa, Beta, dan Teta akan diambil satu representatif untuk menjadi peserta dari kompetisi ini.
Ada beberapa babak yang harus dilewati oleh para representatif. Semakin sering menang, semakin baik, karena, yang nomor satu akan mendapatkan hint paling banyak untuk babak berikutnya. Walaupun begitu, babak terakhir adalah yang paling menentukan. Siapa yang menang di babak terakhir, dialah yang jadi ultimate champion Liga Ivy.
Banyak hal yang bisa didapatkan setelah memenangi Liga Ivy. Seperti yang Luhan katakan. Kemenangan, kejayaan, orang yang kita sukai, dan gelar penyihir terhebat untuk satu dekade sudah menunggu di depan mata.
Sayangnya, Sehun sama sekali tidak tertarik dengan hiruk pikuk itu.
Jadi, Sehun langsung menyelinap ke lorong selatan dan menuruni tangga spiral menuju ruang bawah tanah. Profesor Chen bilang, Sehun harus menjalani detensinya di ruang penyimpanan sapu bawah tanah. Sehun, sih, baik-baik saja. Toh dia sudah sering menerima detensi di sana sejak kecil.
Sehun berhenti di depan pintu kayu tua di ujung tangga. Beberapa kali Sehun mengetuk pintu tapi Profesor Minseok tak kunjung muncul. Sehun mulai tidak sabar. Tapi, sebelum Sehun menyentuh gagang pintu, pintu tua itu terbuka dan kepala seorang peri rumah menyembul dari baliknya.
"Hai," sapa Sehun ramah sambil mengangkat tangan kirinya yang tidak patah.
"Lu Sehun," sapa peri rumah itu balik. Mata besarnya berbinar terang. Sehun sampai harus menahan diri untuk tidak memeluk peri rumah yang imut itu.
"Boleh aku masuk ?"
"Tentu!"
Peri rumah itu membuka pintu ruang penyimpanan sapu lebar-lebar supaya Sehun bisa masuk.
"Dimana Profesor Chen ?" tanya Sehun saat menyadari kalau di dalam ruangan itu cuma ada si peri rumah.
"Profesor Chen membantu Profesor Joonmyun untuk memindahkan obor. Jadi, Profesor Chen meninggalkan ini."
Peri rumah itu merogoh kantung baju kumalnya dan mengeluarkan secarik perkamen. Sehun menerima perkamen itu dan membaca isinya.
Bersihkan lantai gudang. Bantu Harfan.
- Kim
Sehun mengamati peri rumah itu.
"Namamu Harfan ?" tanya Sehun lagi. Peri itu mengangguk.
"Tidak banyak yang tahu nama Harfan," timpalnya.
"Oh, baiklah. Senang bertemu denganmu, Harfan."
Setelah perkenalan singkat, Sehun mulai membantu Harfan membersihkan lantai ruang penyimpanan sapu. Kotorannya tebal sekali, bahkan sudah menempel hingga berkerak di atas lantai batu itu. Sehun sampai kuwalahan, apalagi ia harus membersihkan lantai hanya dengan sikat dan menggunakan tangan kiri. Tidak seperti Harfan yang memakai tongkat sihirnya.
"Pakai tongkat sihirmu, Lu Sehun," ucap Harfan.
"Aku tidak bisa," timpal Sehun. "Aku bakal mengacau."
"Jangan seperti itu," Harfan menyingkiran sekeping kerang yang berhasil dicongkelnya dari lantai. "Jangan berfikir Sehun tidak bisa. Sehun bisa. Sehun cuma tidak mau mencoba."
Sehun diam saja. Harfan tidak mengerti. Sehun tidak mencoba karena ia tahu hasilnya bakal di bawah harapan. Mantra yang dilontarkannya selalu meleset dari apa yang dia inginkan. Dan hal itu membuat Sehun teringat sesuatu. Sudah berapa lama ia tidak memakai tongkat sihir yang dbelikan ayahnya di Diagon Alley tujuh tahun lalu ?
Dua bulan mungkin ?
Entahlah. Sehun lupa dan tidak mau ingat.
Lamunan Sehun hancur saat pintu ruang penyimpanan menjeblak terbuka. Profesor Minseok berdiri di depn pintu dengan wajah tak terbaca. Matanya lurus menatap Sehun tajam dan itu benar-benar mengganggu.
"Lu Sehun," panggilnya. "Ikut aku."
"Maafkan aku, Profesor," Sehun berdiri. "Tapi aku sedang menjalani detensi."
Profesor Minseok menimpali dengan tindakan. Profesor Minseok menarik tangan Sehun yang terluka dan menyeretnya menaiki tangga. Sehun bisa mendengar suara Harfan memanggil-manggil namanya dan itu sungguh menyakitkan. Ada apa dengan profesor berpipi tembam ini ? Tidak biasanya Profesor Minseok bersikap kasar.
Sehun mengaduh kesakitan. Profesor Minseok agak sinting, menurutnya. Bagaimana bisa ia menyeret tangan salah satu anak didiknya yang terluka. Pokoknya setelah ini Sehun tidak akan menemui Profesor Minseok lagi.
Ternyata, Profesor Minseok membawa Sehun ke aula besar. Sehun sempat bertanya-tanya kenapa Profesor Minseok membawanya ke sini. Kalau untuk alasan semua siswa harus ikut upacara pembukaan Liga Ivy, Sehun ingin memukul guru memanahnya itu. Jelas-jelas Profesor Chen yang menyuruhnya berada di bawah bersama Harfan.
Sehun serasa dipermalukan.
Saat memasukki aula, semua mata tertuju pada Sehun. Hampir semua murid menatapnya dengan tatapan sebal dan benci, walaupun ada beberapa juga yang menatapnya kasihan. Entahlah, pokoknya keduanya terasa tidak menyenangkan.
Pandangan Sehun bertemu dengan pandangan Luhan, saudara kembarnya yang berdiri di barisan agak depan. Wajahnya tidak terbaca dan tatapannya dingin. Sangat dingin. Sehun tidak pernah ditatap Luhan seperti itu untuk waktu yang lama. Terakhir kali Luhan menatapnya seperti itu adalah saat Sehun secara tidak sengaja menumpahkan tinta ke paper tugas akhir Luhan. Dan itu sudah empat tahun yang lalu.
Mungkinkah Luhan marah padanya ? Tapi kenapa ?
Sehun memutus kontak matanya pada Luhan dan melihat ke ujung aula. Di sana, obor Liga Ivy masih meretih-retih. Di sebelahnya ada kepala sekolah-Profesor Joonmyun, serta beberapa profesor lain. Di sisi lain obor, berdirilah dua cowok jangkung yang berada di tahun yang sama dengan Sehun, Kai Kim dari asrama Beta dan Kris Wu dari asrama Teta. Pipi Sehun memerah saat menyadari kalau cowok tinggi berambut hitam itu benar-benar Kris.
Jika mereka adalah representatif dari asrama masing-masing, lalu, mana representatif asrama Alfa ? Seharusnya Alfa sudah dibacakan terlebih dahulu.
Profesor Minseok mendorong Sehun untuk berdiri di sebelah Kris dan Kai. Sehun bergerak tidak nyaman karena ia berdiri di sebelah Kris sementara Kai menatapnya dengan tatapan tidak enak. Sehun ingin bersembunyi di balik ketiak Luhan sekarang.
Profesor Joonmyun berdeham sambil membenarkan letak kacamata capungnya, lalu mulai berbicara dari mimbar burung hantunya.
".. dan representatif dari asrama Alfa, Lu Sehun."
Riuh ramai mulai terdengar. Hampir tiga perempat murid di tahun yang sama dengan Sehun bersuara tidak setuju, bahkan hampir semua penghuni asrama Alfa bersuara sama.
Sehun membuka mulutnya lebar-lebar, tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sehun menatap Kris dan Kai bergantian, lalu Profesor Minseok, dan kemudian jatuh pada saudara kembarnya yang berdiri mematung di antara murid-murid yang kelihatan kesal.
Sehun memandang Luhan dengan penuh kebingungan. Dia tidak tahu apa-apa soal ini.
Sehun tidak pernah berniat untuk ikut Liga Ivy. Sehun tidak pernah memasukkan namanya ke dalam obor. Sehun tidak pernah ingin jadi representatif.
"Selamat," Profesok Joonmyun menyalami Sehun sambil tersenyum menenangkan, sama seperti biasanya. "Selamat, kau sudah jadi peserta."
Sehun mencelos.
"Profesor!"
Suara Sehun terlalu keras sampai seluruh riuh ramai yang ada di aula besar menghilang seketika. Semua mata tertuju lagi padanya.
"Profesor, aku rasa ada kesalahan," suara Sehun terdengar memohon. "Aku tidak pernah memasukkan namaku ke dalam obor. Bagaimana bisa aku menjadi peserta ?"
Gemuruh bisikan datang, menyebar ke seluruh penjuru aula besar. Profesor Joonmyun memandang Sehun bingung.
"Benarkah ? Tapi namamu keluar dari obor. Tak kurang dari lima menit yang lalu. Enam ratus pasang mata sudah jadi saksi, Lu Sehun," ucap Profesor Joonmyun.
Sehun menatap barisan murid yang sudah tidak rapi lagi. Mereka semua menatap Sehun dengan tatapan kau-pasti-bercanda dan semacamnya. Kalau Sehun punya kesempatan, dia benar-benar ingin menghlang saja sekarang.
"Tapi.. aku tidak memasukkan-"
"Kompetisi ini punya kontrak sihir, Lu Sehun," bisik Profesor Minseok. "Kau tidak bisa mundur."
Sehun serasa dilempar ke jurang terdalam. Digodok di dalam kuali. Dihantam ombak badai super besar. Bahkan tiga hal terburuk itu terasa tidak terlalu buruk kalau dibandingkan dengan hal yang harus dihadapinya. Sehun tahu hari-hari beratnya bakal dimulai dari sekarang.
.
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
.
