Summary: [GakuKai] Dia sering kali bertanya apakah pemuda itu sungguh ada atau hanyalah salah satu fragmen dari ingatan palsunya. 01: Shion. Ada sekelompok bunga liar bermahkota ungu di tangannya, kelopaknya mekar bagaikan matahari sendu. "Kau bisa mendengarku, Gacchan?"

Warn: Gakukai. Surreal theme. Penulisan yang tidak baku. Don't like? Pleas, don't read!


Di antara dengung mesin yang mengambang di udara, aku mendengar—

"Nee, kikoemasu ka?"

.

Dunia ini adalah tempat di mana semua selalu berganti, hari berganti, bulan berganti, dan musim berganti seiring dengan berjalannya setiap satuan waktu. Tempat di mana langit berubah dari merah jadi biru jadi kelabu jadi pekat arang berhias gemintang dalam satu kedipan mata. Tempat di mana nama-nama terlupakan begitu saja dan semua individu datang tiba-tiba dan pergi secepat datangnya. Tempat di mana ketidakpastian menyelimuti semua kemungkinan yang ada.

Ini adalah dunia di mana insan terlupakan keberadaannya seperti dihembus angin saja.

.

.

[memento]

.

.

.

#01: Shion

Disambutnya sebutir putih di telapak yang terbuka dan menatap lumeran salju di tangannya.

Sapporo tak pernah terlalu jauh berbeda dari yang pernah diingat olehnya. Dengan langit mendung yang terlihat siap untuk menangis kapan saja dan keramaian yang selalu mengelilingi dimana pun, kapan pun. Kepadatan ketika dia melangkahkan kakinya untuk menyeberang ke sisi lain jalan serta kerumunan orang-orang kelabu yang dia kenal sebagai cameo di panggung kehidupannya. Butir salju mulai berguguran dari awan seperti helai daun sakura di bulan April. Gakupo mengingat semuanya dengan jelas seperti dia tak pernah pergi meninggalkan kota itu untuk tiga tahun lamanya.

Bulan apa sekarang? Di mana tepatnya dia berada? Dan yang paling penting—

.

Mengapa dia ada di sini?

.

.

Gakupo Kamui adalah seorang pria yang sempurna bagi mayoritas wanita, dari sudut pandang mana saja. Entah apakah dari prestasi internasional yang diraihnya akhir-akhir ini atau sekedar penampilan fisiknya yang menarik dalam sekali pandang. Helai rambutnya yang tersepuh warna merah bungur terikat rapi, begitu elok dan cocok dengan perawakannya yang tegap. Iris matanya yang senada melengkapi lirikannya yang tajam dan atraktif. Pria ideal itu datang satu paket dengan pembawaan yang menarik sekaligus sopan, praktis membuat wanita mana saja yang dia lewati segera menoleh.

O, tapi siapa gadis yang berjalan bersamanya itu? Mengapa mereka terlihat begitu menikmati dunia mereka sendiri?

Sedikit yang tahu bahwa Yukari Yuzuki adalah saudara satu ibu pemuda itu, untungnya.

Sebagai seorang peraih award dari ajang musik bergengsi di Eropa, tak banyak yang tahu bahwa Gakupo lahir di Negeri Bunga Sakura dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Ayahnya komposer ternama kelahiran Norwegia bertemu dengan seorang violinis Jepang di suatu orkestra dan mereka berkenalan karena musik menyatukan mereka. Kisah romansa yang akan berlanjut hingga tua kalau saja kecelakaan speed boat di suatu musim panas yang cerah tak merenggut nyawa sang Ayah.

Sang Ibu menikah kembali dengan Pria Yuzuki yang sederhana.

Gakupo menjadi kakak ketika berumur sepuluh tahun.

Ah, Yukari, adik kecilnya yang manis.

Surai perpaduan antara ungu dan merah muda itu—fuschia—terlihat setia dikuncir dua. Jaket hitam dengan aksesori telinga kelinci pemberian Gakupo setia memeluk tubuhnya yang kecil. Ah, Yukari, adik kecilnya yang manis. Selalu sanggup membuat harinya lebih cerah beberapa derajat, terutama setelah sebuah perjalan dua belas jam melelahkan antara Paris dengan Tokyo lengkap disertai jetlag dan kenyataan dia belum sempat beristirahat dengan benar sejak melangkahkan kaki di Bandara Narita.

Jika jarak umur mereka tak terlampau jauh dan mereka bukan saudara satu ibu, mungkin Gakupo akan sungguh-sungguh mencintai—

"Yang benar saja, Oniisan!"

Rupanya pemikiran barusan terucapkan agak terlalu keras. "Tidak, aku hanya bercanda, Yukari. Tenang saja. Mau bagaimana pun, bagiku kau adalah adik saja. Tidak lebih. Lagipula pernikahan satu keluarga memperburuk gen."

"Oniisan!"

Gakupo tertawa. Pemuda itu mengelus lembut puncak kepala adiknya, yang kemudian juga tertawa kecil. Nah, lihat saja. Tawa yang begitu polos dan cantik dan terlihat seakan menyinari wajah itu dengan lembut. Angin dingin berhembus dan kedua kuncirannya bergoyang samar di samping kepalanya. Gadis itu mendongak, menatapnya dari balik punggung dengan sepasang irisnya yang begitu bening. Senyum kecil terpulas di sana.

"Untung saja Oniisan pulang sekarang! Begitu tepat waktu!"

"O, ya? Mengapa?"

"Luka-san berulang tahun hari ini, pestanya besok."

Gakupo menyimpan tangannya ke dalam saku mantel, mengepalkan di dalam sana. Kemudian menengadah menatap langit yang mendung, mengernyit. Dia merasa ada sesuatu yang salah dan yang terlupakan, tetapi tak terlalu mengerti apa itu. Ulang tahun Luka? Benar, bulan Januari. Tetapi apa yang aneh dari hal itu?

"Bagaimana kalau kita membeli bunga untuknya, nee, Oniisan?"

Mengeratkan ikatan syal, tersenyum kepada adiknya, "Ya, tentu saja."

.

.

Mereka berjalan menuju ke sebuah toko bunga. Yukari berkata itu adalah toko bunga langganannya, kesenangannya, kesukaan ibu mereka. Mawar, gladiol, lily, aster, dan berbagai bunga hias lainnya dipajang di depan toko itu. Begitu berwarna dan segar serta semerbak harumnya memenuhi udara. Yukari mulai memilih bunga-bunga yang dianggapnya akan disukai Luka serta mengobrol dengan seorang gadis perempuan berambut hijau di sana.

(Kupikir dia seperti bunga gladiol ini. Tapi rangkaian bunga akan membosankan jika hanya satu jenis bunga, kan?

Bagaimana dengan bunga kelahiran? Bunga kelahiran? Aah! Benar juga! Kalau begitu bunga kelahiran bulan ini—)

Gakupo mendapati tatapannya terkunci pada sekelompok bunga yang berkumpul di sudut display, bersama daun-daun dan bunga-bunga kecil lainnya, lama sekali. Dia merasa tahu nama bunga itu, ada di ujung lidahnya, tetapi dia tak dapat mengingatnya.

.

"Itu bunga shion, Oniisan. Menurutmu Luka-san akan suka?"

"Ya... aku yakin shion adalah bunga liar."

"Itu bukan masalah, kan?"

"Tidak, tapi kenapa warnanya ungu?"

"Tentu saja karena memang itu warnanya!"

Yukari menerima sebuket bunga anyelir yang dirangkai dengan beberapa bunga gladiol merah muda dan shion di pinggirnya.

Dalam hatinya, Gakupo merasa bahwa shion tak seharusnya berwarna ungu.

.

.

.

Luka Megurine adalah salah seorang yang menarik pandang Gakupo sejak mereka bertemu.

Tak ada yang bisa melupakan begitu saja rambut merah muda panjang dan sepasang iris biru yang secerah langit musim panas (dan jangan lupakan tubuh semampai yang dapat membuat pria paling sopan saja melirik). Terutama jika pemiliknya kebetulan menghadang dengan panik selepas jam makan siang untuk mencari ruang musik, lengkap dengan gitar jumbo yang dijinjing susah payah. Pemuda itu dengan cepat mengingat sosok gadis yang dia temui di awal tahun sekolah menengahnya walau tak mengetahui namanya. Nama adalah urusan satu minggu setelah pertemuan pertama, begitu pikirnya.

Gakupo kerap kali memperhatikan lekat-lekat bagaimana Luka memetik gitar dengan jemarinya yang panjang dan bertanya-tanya mengenai banyak hal. Banyak sekali. Dia memang tertarik pada gadis itu di saat-saat pertama, pada senyumnya yang manis dan pada pembawaannya yang lembut. Oh, ya. Cantik, manis, lembut—seperti gulali. Orang seperti apa yang bisa berada di sisi gadis seperti itu tanpa memiliki hubungan yang lebih dari teman? Mau berapa kali pun dikatakan, tak ada yang percaya bahwa mereka tak memiliki hubungan khusus apapun.

Ada kabar burung bahwa mereka berdua berkencan selama dua tahun terakhir di sekolah.

Yang lain mengatakan Gakupo telah jatuh kepada yang lainnya hingga tak sempat melirik gadis itu.

Yang lain lagi mengatakan, Megurine Luka selamanya akan mengalami cinta tak berbalas pada pemuda itu.

.

.

Tiga tahun tak bertatapan langsung membuat Gakupo merasa asing melihat Luka sekarang. Gadis itu tengah mengoordinasi beberapa pemuda pekerja, dengan raut wajah kaku dan rambut diikat kencang, ketika mereka sampai di kediamannya. Kediaman Luka, adalah rumah bergaya Eropa yang megah dan dapat membuat orang tak percaya mereka masih berada di Jepang. Gakupo merasa tak ada bedanya antara sehari yang lalu dengan sekarang.

Wajah Luka segera melembut ketika Yukari memanggil dan mengembangkan senyum manis ketika melihat tamunya datang. Gadis itu melambai dari kejauhan sebelum kemudian berjalan mendekat.

"Sepertinya aku mendapat kejutan manis di hari ulang tahunku, Gakkun!" nada kebahagiaan tak dapat disembunyikan dengan baik oleh Luka.

Gakupo tertawa kecil, antara mendengar kalimat Luka dan mendengar nama akrabnya diucapkan. Kemudian berkata, "Sepertinya begitu. Kami membawa hadiah kecil untukmu."

Yukari memberikan apa yang ada di tangannya kepada Luka setelah mendapatkan isyarat itu. Luka menerima dengan wajah yang bersinar. Gakupo mau tak mau ikut tersenyum melihat Luka terlihat begitu bahagia. Biarpun terakhir kali mereka bertemu secara langsung sebelum ini Luka menghadiahinya sebuah pukulan telak dengan wedge setebal sepuluh sentimeterdan kalimat "Jangan pernah kau berani menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!" serta "Jangan kau berani menginjakkan kaki di Jepang lagi!".

"Oh! Karangan bunga yang cantik sekali! Terimakasih, Yuka-chan, Gakkun!" Luka membawa karangan bunga itu dengan hati-hati seperti membawa seorang bayi.

Yukari mengangkat bahu, dalam gerakan rendah hati, "Bukan masalah, Luka-san."

"Aku akan meletakkannya di vas terbaikku, tenang saja!"

"Ah, itu terlalu berlebihan, Luka-san!"

Luka kemudian mengatakan pada Yukari sesuatu yang membuat anak gadis itu meninggalkan mereka berdua. Gakupo memperhatikan adiknya menjauh, sebelum kembali menatap Luka yang tersenyum penuh arti. Gakupo mengangkat sebelah alisnya, merasa gadis itu menanti sesuatu.

"Tajam seperti biasa, Nona Luka?"

"Hoho, begitulah Gaku-san. Kau kelihatan ingin sekali bicara berdua denganku."

"Hanya dalam harapanmu, Luka, dalam harapanmu."

"Tapi, aku benar, 'kan?"

Luka menatap Gakupo dengan iris sewarna langitnya dan Gakupo bertanya-tanya apakah dia benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengan gadis cantik di hadapannya selain teman. Dari sini, gadis itu terlihat tidak berubah sama sekali. Bahkan gaya rambutnya ketika gadis itu melepaskan ikat rambutnya pun masih sama dari yang ada di ingatan.

"Jadi bagaimana Eropa? Pasti begitu menyenangkan bertemu dengan para musisi tingkat dunia."

Gakupo mengangkat sebelah alisnya, tertarik, "Oh, apa aku mendengar nada cemburu?"

"Haha! Kau semakin lucu, bukan begitu, Gaku-chan? Monsieur di sana mengajarimu menjadi komedian?"

"Tidak, tapi mereka mengajari cara efektif membungkam mulut seorang gadis cerewet."

"Oh, aku tertarik! Keberatan mengajariku?"

"Dan apa yang aku dapatkan sebagai ganti?"

"Ucapan terimakasihku."

"Sungguh menggoda."

Luka tertawa puas, sementara Gakupo tak terlalu mengerti apa yang begitu lucu dari pembicaraan seperti ini. Gadis itu jadi nampak seperti wanita gila karena tertawa tanpa sebab, tetapi tawa itu menular dan membuatnya ikut tertawa kecil.

"Wah, Gakkun tertawa!"

"Ya," Gakupo mengiyakan, mengangkat bahunya sembari tersenyum.

"Entah kenapa aku punya perasaan Gakkun tidak akan tertawa selama masih menginjakkan kaki di Jepang. Kenapa, ya?"

"Bagaimana aku bisa tahu?"

Luka membenarkan pegangannya pada buket bunga pemberian Yukari, kemudian menelengkan kepalanya, membuat helai rambut merah mudanya terjatuh dengan anggun ke sisi kanan dan melewati bahu. Gadis itu tersenyum lagi.

"Aku mau mencari vas, ikut?"

Gakupo mengiyakan.

.

.

"Oh!"

"Ada apa?"

"Bunga shion!"

"Kenapa? Kau tidak suka?"

"Yah, shion itu artinya kan—

.

[—Aku tak akan melupakanmu."

Saat itu adalah hari paling dingin dalam semua musim dingin yang pernah dia rasakan. Seperti helai daun sakura di bulan April, salju berguguran dari awan. Pohon-pohon tanpa daun menjelma menjadi sosok-sosok berjemari panjang dibias cahaya matahari petang. Gakupo mengingat dengan jelas bagaimana ranting-ranting itu bergoyang, dan dia teringat pada rasa kehilangan ganjil yang menelusup ke dalam dada.

Ada sekelompok bunga liar bermahkota ungu di tangannya, kelopaknya mekar bagaikan matahari yang beduka. Itu bahkan tidak akan dijual di toko bunga.

"Kau bisa mendengarku, Gacchan?"

Dia hanya dapat melihat pemuda itu berdiri di hadapannya, syal biru membungkus lehernya erat, dan ada senyum yang terasa getir ketika Gakupo melihat. Kedua tangan yang disakukan membuatnya tak dapat mengenggamnya, merasakan untuk terakhir kalinya bagaimana jemari itu. Atau rengkuh, jika saja dia dapat merentangkan lengannya dan memeluk sosok itu erat dan tak akan melepas.

Jika saja diberi kesempatan untuk satu kali ini saja, dia dapat merubah segalanya.

"Ganbatte, Gacchan. Kau pasti bisa."

Senyum itu bergetar dan pemuda itu berputar. Telinganya berdenging ketika melihat punggung kurus itu dan kakinya terpaku. Tidak, tidak seharusnya begini, teriaknya dalam hati, dia harus mengejarnya dan merengkuhnya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Kemudian ketika hari esok datang mereka akan memulai hari lain yang baru t

api,

dia t

idak

bisa—

"Sayonara."

Gakupo menatapnya menghilang, tetapi satu pertanyaan yang tergiang di benaknya—

(bagaimana wajah pemuda itu? apakah dia tersenyum dan tertawa? ataukah menangis bahagia? mengapa dia merasa begitu sedih?)

.

siapa?]

.

.

"GAKUPO!"

.

.

.

.

Ketika pemuda itu membuka kelopak matanya, dia tahu bahwa ini bukanlah tempat seharusnya dia berada. Gakupo menyentuh keningnya, seakan hal itu dapat mengurangi pening yang menyerang tanpa ampun bagai ratusan jarum imajiner di udara. Bangkit dari sofa itu, yang tak terlalu familiar dengannya pula, bertanya-tanya dalam kesadaran yang terombang-ambing di mana kah dirinya. Pasang irisnya melirik, dilihatnya sebuah vas mewah serta karangan bunga yang sangat dia kenal. Bunga ungu itu—

_ shion?

"Sungguh momen yang sangat berharga, melihat Gaku-sama terbaring lemah!"

Snickers.

Gakupo melihat gadis berambut merah muda itu menyeringai, kemudian mendengus kesal, sudah bisa menebak dengan tepat apa yang terjadi. Hal yang cukup memalukan, tetapi untuk apa mempedulikan hal itu sekarang? Gakupo menerima aspirin serta segelas air putih yang disodorkan oleh Luka, sembari terus memikirkan mimpinya barusan. Atau benarkah? Sungguh hanya mimpi, kah? Samar-samar Gakupo dapat mengingat pemuda itu di sudut ingatannya.

Aspirin tertelan, sakit kepalanya mulai reda biar samar, tetapi pertanyaan itu tetap menggantung di pikiran. Digoyangkannya gelas kosong yang ada di tangan, sementara iris mengikuti gerakan gadis berambut merah muda. Luka mengeluarkan sesuatu dari dalam kabinet di tengah ruangan, terlihat seperti sebundel buku—buku tamu? Keh, kelihatannya gadis itu dulu ataupun sekarang sama saja keteraturannya. Satu hal lagi yang tak berubah mengenai Luka Megurine.

Gakupo membuka mulutnya, "Kau mengundang siapa saja ke pesta ini, Luka?" Apa orang itu akan datang?

"Mmm, coba lihat—aku mengundang Shiyuu, Neru, Haku, Kiyoteru, Yuuma, lalu—"

"Bagaimana dengan Kaito?"

Luka, yang sedari tadi membelakanginya, memutar tubuh dengan gerakan yang gemulai dan cantik. Sepasang kristal birunya menatap Gakupo lekat-lekat, hingga sang tertatap merasa gadis itu akan murka seperti terakhir kali mereka membahas pemuda yang sama. Tetapi gadis itu mengangkat alis, roman heran tercetak jelas di paras si cantik.

"Kai—?"

"Kau lupa? Dia kakak kelas kita. Kaito Shion. Pemuda yang selalu memakai syal biru tua."

"Kaito Shion?" Luka mengerjap, menatapnya dengan sepasang mata biru yang besar dan bertanya,

.

.

.

.

"Siapa?"

.

.

[01:shion]—end.

Vocaloid © Yamaha & Crypton Corporation (saya tidak mengambil profit apapun dari penulisan fanfiksi ini.)

Some concept inspired by SILENCER © 紅零

memento © melted sunflower

.

.

A/N:

[1]Aster tataricus: atau shion adalah bunga kertas yang tumbuh liar, dengan mahkota bunga berwarna ungu.

[2]Penerbangan antara Paris ke Jepang adalah salah satu penerbangan tanpa transit terlama di dunia, kalau tidak salah.

[3]Memento— [is an object which you keep because it reminds you of a person]—

.

.

Sampai ketemu di chapter depan!