The Week That Changes Me
Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto
Pair: Itachi Uchiha dan Ino Yamanaka
Rated T
Genre: Romence, Drama, Angst, Hurt/Comfort dll.
Warning
AU, OOC, Typo(s), Gaje, Abal, Ide pasaran, dan warning-warning lainnya.
Don't Like Don't Read
Don't Like Don't Read
Don't Like Don't Read
.
.
.
Gadis cantik bermanik sebiru laut itu kembali terlihat murung setelah kepergian teman-teman seprofesinya. Duduk menghadap cermin besar di ruang kostum. Jari lentiknya kembali bekerja menghapus bekas make up dengan tissue basah. Namun pandangan matanya sama sekali tak tertuju pada objek apapun. Kosong. Manik seindah blue sky itu terlihat redup tanpa cahaya sebagaimana selalu terlihat di hadapan banyak orang. Yamanaka Ino. Gadis cantik yang sedang bersinar di dunia modeling. Usianya baru menginjak tujuhbelas tahun. Namun karir yang baru ia bangun selama dua tahun ini, sudah melesatkan namanya dalam jajaran top model di Jepang. Parasnya yang cantik di topang dengan tubuhnya yang langsing dan tinggi semampai, membuatnya begitu mudah menaiki tangga kesuksesan. Namun siapa yang tahu 'dalamnya' seorang Yamanaka Ino. Mereka hanya mengetahui, Yamanaka Ino begitu terlihat cantik dan indah ketika berjalan diatas catwalk, atau begitu mempesona ketika berpose di depan kamera. Tidak ada yang kurang dari seorang Yamanaka Ino. Ia dianugrahi paras cantik dengan segudang prestasi –terutama di dunia modeling. Lahir dari keluarga yang berada –Ayahnya seorang Kepala polisi divisi investigasi. Ya. Terlihat begitu sempurna di mata semua orang. Namun sekali lagi tidak ada yang sempurna selama manusia hidup di muka bumi ini. Tidak ada yang tahu bahwa hidupnya –lebih tepatnya hatinya- terasa begitu kosong. Dulu, mungkin hidupnya memang benar seperti yang terlihat di mata orang-orang –terlihat begitu sempurna. Walaupun ia dibesarkan tanpa seorang ibu, namun Ayahnya mampu berperan ganda dalam membesarkannya. Alhasil ia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Ia juga mempunyai teman-teman yang menyayanginya. Ia juga bersekolah di salah satu High School ter 'elit' di Konoha –tempat tinggalnya. Kehidupan remajanya normal dan baik-baik saja. Sampai ketika gadis bersurai pirang ini menemukan bahwa dirinya telah sampai pada masa 'mengenal cinta'. Seorang Yamanaka Ino tidak asing dalam dunia 'pria' tapi bukan berarti ia sering berhubungan dengan banyak pria dalam tanda kutip. Bukan itu. Tapi karena gadis itu mempunyai sifat yang periang dan juga parasnya yang cantik, tidak susah bagi Ino untuk menarik lawan jenisnya. Dari sewaktu masih sekolah dasar sampai sekarang, mungkin sudah berpuluh-puluh pria yang patah hati karena uluran cinta mereka hanya di balas oleh sebuah senyuman dan ucapan maaf dari gadis pujaannya. Tidak ada satupun yang bisa meluluhkan hatinya. Sampai usianya menginjak tujuh belas tahun. Tuhan ingin membuat hidup gadis penyuka warna ungu ini lebih berwarna. Hanya dengan satu pertemuan yang tak disengaja, kehidupan gadis Yamanaka yang sebelumnya terlihat sempurna ini mendadak menjadi lebih sempurna. Ia yang sebelumnya tidak pernah merasakan dadanya berdetak cepat namun menyenangkan. Ia yang sebelumnya tidak pernah menangis karena pria –prialah yang menangis karenanya. Ia yang selalu dikejar bukan mengejar. Semuanya berbalik dari kehidupannya yang dulu. Hanya karena sebuah pertemuannya dengan seorang pria yang mampu mencuri hatinya. Bisakah ia menyesalinya? Tidak bisa . Ia tidak akan menyesali pertemuan itu. Karena pria itulah seorang gadis cantik bernama Yamanaka Ino mengenal sebuah rasa yang begitu menyenangkan di dadanya. Walaupun ia belum seutuhnya menggapai rasa itu, ia akan berusaha. Berusaha mengambil hati seorang Itachi Uchiha.
.
.
.
Sinar mentari menyeruak memasuki sebuah kamar bernuansa ungu. Seorang gadis masih bergelung nyaman membelakangi jendela yang membuat tidur nyenyaknya terganggu.
"Sampai kapan kau akan tetap tidur Hime?"
Sampai sebuah suara berat namun menenangkan terdengar oleh gendang telinganya.
"Apa kau tidak ingin ke sekolah hn?" imbuh suara yang sama. Aquamarine itu mulai nampak dari balik kelopaknya. Dan sebuah lenguhan kecil terdengar samar dari bibir yang masih mengatup itu.
"Ia Tou-san, aku akan bangun lima menit lagi…" suara parau nan lembut keluar dari bibir mungilnya.
"Hn, lima menitmu sama saja dengan membuat pekerjaan Tou-san menumpuk selama satu jam..hime.." Seketika , gadis bersurai pirang panjang itu bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman. "Gomen ne Tou-san?" ucapnya lantang ketika ia memasuki kamar mandi. Sedangkan sang Ayah hanya mengulum senyum bahagia ketika setiap pagi selalu melihat wajah putri kesayangannya.
.
"Hari ini Tou-san tidak bisa menjemputmu pulang Hime, karena Tousan hari ini harus keluar kota. Hati-hatilah kalau pulang nanti," kata sang Ayah yang duduk di balik kemudi. Yamanaka Inoichi tidak pernah membiarkan putri satu-satunya itu berangkat dan pulang sekolah sendirian. Sesibuk apapun pekerjaannya, ia selalu menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput Ino.
"Ya, tak apa Tou-san, tapi apakah nanti malam Tou-san pulang?" tanya Ino memastikan.
"Hn, walaupun malam, Tou-san akan usahakan untuk pulang," jawabnya dengan seulas senyum untuk putrinya tersebut.
Ino turun dari mobilnya tepat di depan gerbang sekolahnya.
"Apakah hari ini kau tidak ada pemotretan atau semacamnya?" Tanya sang Ayah sebelum melajukan kembali mobilnya.
"Um, tidak ada Tou-san, aku masih merasa lelah karena fasion show tadi malam. Nah… hati-hati di jalan Tou-san sampai nanti? Ia melambai pada Ayahnya sebelum berbaur dengan siswa lain memasuki gerbang yang menjulang itu.
.
.
.
Sebelum ia benar-benar duduk di kursinya, serentetan pertanyaan terlontar dari teman-temannya yang langsung mengerubunginya.
"Bagaimana fasion show tadi malam Ino-chan, apakah sukses?" tanya salah satu temannya yang paling bersemangat.
"Gomen ne, aku tak bisa datang karena Sai-kun tiba-tiba datang ke rumah," imbuh gadis itu lagi.
"Yah, tak apa Sakura-chan,?" jawabnya singkat. Hari ini ia memang sedang tidak bergairah untuk bersemangat seperti biasanya. Alhasil semua teman sekelasnya yang tadi mengerubunginya langsung menyingkir mengetahui mood Ino yang terlihat sedang kurang baik.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya Sakura memastikan. Karena tidak biasa sahabatnya yang satu ini terlihat murung. Biasanya Ino akan megomel apabila Sakura ingkar janji padanya. Tapi kali ini yang ia lihat, Ino hanya menanggapinya dengan santai. Karena terganggu dengan bel yang sudah berbunyi nyaring, akhirnya Sakura menunda pertanyaan yang sudah mengganjal dalam benaknya itu.
.
.
.
"Hari ini jadwal anda adalah rapat dengan semua dewan direksi pukul sembilan pagi, bertemu dengan direktur dari perusahaan shiba di restouran Yakiniku pada jam makan siang, dan terakhir bertemu dengan klien dari perusahaan konstruksi dari Jerman,"
Pria itu memijit keningnya ketika mendengar sekertaris pribadinya selesai membacakan agenda hariannya. Ia merasa begitu lelah. Di usia mudanya, ia telah kehilangan hari-hari yang menyenangkan sebagaimana anak muda pada umumnya. Hingga sekarang usianya menginjak duapuluh lima tahun, ia sudah benar-benar melupakan masa-masa itu. Hari-harinya hanya didisi dengan bekerja dan bekerja. Bukan karena ia kekurangan uang atau semacamnya. Bukan itu. Harta keluarganya tidak akan habis ia makan seandainya ia tidak pernah bekerja seumur hidupnya. Uchiha Itachi, seorang pengusaha muda yang sukses. Tampan, pembawaannya yang tenang membuatnya digilai banyak wanita, berkepribadian tertutup dan cenderung misterius, dan yang terpenting dia adalah seorang yang gila kerja. Tapi entah kenapa ia lebih suka menghabiskan waktunya di kantor dan di rumah mewahnya bersama keluarganya yang hangat. Itachi hampir tidak pernah meluangkan waktunya hanya untuk minum diluar atau bersenang-senang dengan wanita. Ia akan pergi ke club malam, itupun apabila salah satu temannya menyeretnya dengan paksa diselingi dengan nasihat 'bawa sebagai pria muda kita harus meluangkan waktu sejenak untuk bersenang-senang' . Memang kata-kata itu tidak ada yang salah. Tapi Itachi yang terkenal pendiam dan tertutup tidak suka pergi ke tempat yang membuat telinganya sakit dan tubuhnya pegal-pegal karena para wanita penghuni tempat itu yang tidak henti mencubitinya.
.
Kali ini, pria muda berusia dua puluh lima tahun ini, terlihat lelah bukan karena fisiknya yang terkuras ataupun pekerjaannya yang menumpuk. Ia sudah terbiasa dengan hal itu. Ada sebuah alasan yang membuatnya terlihat lelah. Dan tentunya hanya dirinya yang tahu. hatinya yang berkecamuk penuh rasa bersalah, namun bibirnya tak kunjung mampu mengungkapkannya. Alhasil, ia hanya mampu menyembunyikannya dalam ekspresi tenang.
"Hn kau boleh keluar Karin, dan batalkan pertemuan dengan pengusaha Jerman itu," ucapnya datar.
"Tapi… Itachi-sama, tuan Khiel akan kembali ke negaranya besok pagi. Dan kita su-"
"-tidak bekerjasama dengannya kali ini tidak masalah bagiku," potong Itachi dengan ketenangan yang masih terlihat luar biasa. Sang sekertaris sudah tidak mampu menyanggah keputusan atasannya tersebut. Walaupun tenang, Itachi cukup keras kepala dalam mempertahankan keputusan yang ia ambil. Maka dengan berat hati, akhirnya Karin keluar dari ruangan director-nya itu. Setelah kepergian sekertarisnya, wajah Itachi yang tadinya terlihat tenang, kini sedikit terlihat ekspresi kalut di wajah tampannya. Ia harus melakukan sesuatu untuk sedikit mengurangi rasa bersalahnya. Dan ia sudah memutuskan langkah terbaik apa yang akan ia ambil.
.
.
.
"Kau akan selalu duduk disini kalau sedang terlibat masalah Pig," komentar seseorang terdengar dari balik punggung Ino yang sedang duduk di depan piano klasik.
"Kenapa kau kemari jidat," balas Ino tanpa mengalihkan pandangannya dari piano yang sama sekali tidak ia sentuh.
"Ruang music ini bukan punyamu. Dan siapa saja boleh memasukinya kan?" jawaban Sakura benar-benar membuat alisnya berkerut sebal.
"Aku jengah melihat sikapmu selama tiga bulan ini. Kau terlihat sangat berbeda. Walaupun kau selalu menampakan senyum ceria andalanmu, tapi matamu benar-benar tak mampu berbohong. Setidaknya di depanku. Sekarang waktunya kau mengatakan yang sebenaranya padaku atau kalau tidak…. Aku yang akan mencari tahu sendiri. Dan kau tahu selanjutnya apa yang akan terjadi…? ada jeda sejenak , "hasil investigasiku akan ku sebarkan pada semua murid di sekolah ini, bahkan mungkin media juga perlu tahu," seringai Sakura terlihat mengerikan setelah menyelesaikan ucapannya yang diakhiri dengan sedikit ancaman itu. Tangan kirinya ia letakkan di atas piano sebagai penopang berat kepalanya. Pupil hijau itu memandang lurus kearah Ino yang masih menunduk memandang tuts-tuts piano.
"Kau tidak akan berani melakukan itu," komentar Ino santai. Suaranya masih terdengar tenang.
"Banarkah? Kau lupa bahwa aku mampu melakukan apapun demi mencapai tujuanku?" nadanya lebih terdengar seperti polisi yang tengah menginterogasi buronan.
"Oke baiklah, apa maumu sekarang Jidat?" suara Ino sedikit meninggi. Pupil biru itu sedikit berkilat penuh emosi. Antara rasa kecewa pada seseorang dan menahan kejengkelan karena keusilan sahabat pink-nya ini. Sakura tidak akan berhenti merecokinya sebelum ia mengungkapkan kebenaran. Alhasil ia menyerah setelah sekian lama berusaha menyembunyikannya. Sakura menyeringai melihat ancamannya tadi membawa pengaruh yang menguntungkan untuknya.
"Kau harus menceritakan dari awal, sebenarnya apa yang terjadi padamu," Sakura mengambil tempat disisi Ino.
"Kau tahukan, aku benci melihat kesedihan dari semua orang yang kusayangi. Setidaknya berbagilah padaku walaupun mungkin aku tak bisa membantu apa-apa," ungkap Sakura. Ino mengalihkan pandangannya pada Sakura yang sudah duduk di sampingnya. Mata biru itu terlihat sedikit berkabut karena cairan yang mulai terkumpul di pelupuk matanya. Ino lupa, bahwa disekelilingnya terdapat orang-orang yang begitu peduli padanya. Sakura memang keras kepala, tapi ia selalu ada disaat Ino membutuhkannya. Seperti saat-saat seperti ini.
"Sakura-chan…. Aku,..?" Ino menghentikan kalimatnya sejenak. Berusaha menahan sesuatu yang ingin menyeruak keluar.
"Tenanglah Ino-chan, kau tidak perlu terburu-buru. Aku akan menjadi pendengar sampai akhir ceritamu," kata-kata Sakura terdengar lebih menenangkan. Ino mengangguk. Dengan suara pelan, gadis bersurai pirang itu memulai kisahnya.
.
.
.
Flashback tiga bulan yang lalu.
.
.
.
Pagi ini adalah pagi yang sangat spesial bagi gadis berkuncir kuda ini. Setiap hari minggu di musim panas, ia selalu mengunjungi seseorang yang sangat berharga bagi hidupnya. Setelah menyantap sarapan dengan Ayah tercinta dan meninggalkannya sendirian dalam rumah mungil mereka, ia langsung bergegas ke sebuah toko bunga dengan membawa sepeda mini kesayangannya.
.
Criiing
.
Suara nyaring dari lonceng di depan pintu toko bunga berbunyi nyaring saat gadis berpupil aquamarine itu memasukinya. Sontak sang penjaga toko langsung menyambut bahagia kedatangan pelanggan pertamanya.
"Selamat datang," sapanya ramah. "Ah Ohayou Ino-chan, apa pagi ini kau membutuhkan bunga seperti biasanya?"
"Ohayou mo Tayuya Baa-san, ya… tentu saja satu buket besar lili putih" balas Ino dengan tak kalah ceria.
"Hai, segera siap, dan tunggu sebentar," jawabnya sambil berlalu mengambil bunga pesanan Ino.
"Apakah aku selalu menjadi pelanggan pertama di setiap minggu pagi ne… Tayuya Baa-san," tanya Ino sambil memperhatikan sang pemilik toko merangkai bunga pesanannya.
"Untuk pagi ini, kau kalah cepat ne Ino-chan?"
"Benarkah?"
"Pemuda tampan yang mendahuluimu," bisik sang pemilik toko dengan terkekeh. Ino hanya mengerucutkan bibirnya menanggapi ucapan bibi penjaga toko tersebut.
"Kalian membeli bunga yang sama," bisiknya lagi sambil mengangsurkan bunga yang telah jadi pada si pemesan.
"Arigatou, Baa-san…Apakah dia juga membeli bunga sebanyak ini?" tanya Ino sambil memberikan uang pembayaran.
"Tentu," jawabnya singkat. Setelah itu, Ino keluar dari toko bunga menuju kesebuah tempat yang menjadi peristirahatan seseorang yang sangat ia cintai.
Gadis cantik itu memarkirkan sepedanya di pinggir jalan. Di belakang sebuah mobil sport mewah. Ino sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mobil tersebut. Setelah memastikan sepeda kesayangannya terparkir dengan aman, ia melanjutkan perjalanan dengan menaiki beberapa tangga sebelum ia sampai ketempat tujannya. Ino meletakkan buket bunga lili putih di depan sebuah nisan yang bertuliskan nama ibunya.
"Ohayou, Kaa-san… pagi ini sangat cerah, semoga Kaa-san selalu bahagia disana," suaranya terdengar lirih. Namun Ino tidak menangis. Bukan. Bukan karena ia tak merindukan ibunya, tapi karena ia sudah merelakan ibunya pergi ketempat yang lebih indah. Tidak seperti beberapa tahun silam. Setiap ia berkunjung ke makam ibunya, ia selalu menangis tersedu. Itulas sebabnya sang Ayah tidak pernah mengijinkan ia pergi ke makam ibunya sebelum Ino merasa dewasa dan merelakan kepergian ibunya. Ia berdoa sejenak sebelum memutuskan untuk menyudahi kunjungannya. Dan ketika ia membuka mata blue sky-nya dan memandang ke depan, ia melihat sesosok pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya. Entah kenapa, gadis Yamanaka itu mendadak terpaku dan terus melihat punggung lebar itu, sampai tanpa ia sadari sosok itu telah berbalik menghadapnya. Kesadaran Ino kembali ketika mata seindah malam itu bersirobok dengan mata aquamarinenya. Seketika Ino langsung menundukkan kepalanya karena tertangkap basah memandangi pria tak dikenal. Pipi putihnya yang jarang merona ini, tiba-tiba terasa begitu panas dan ia yakin pipinya mungkin sudah semerah pipi Hyuuga Hinata –salah satu temannya. Pria itu berjalan mendekati Ino. Gadis itu benar-benar merasa gugup –takut dimarahi dan malu karena ketahuan menatap orang tak dikenal. Tapi alangkah kecewanya gadis itu, ketika pria yang dimaksud hanya berjalan melewatinya tanpa terlontar sepatah katapun atau sebuah tatapan. Kecewa? Apakai ia mengharapkan sebuah obrolan ringan dengan pria itu atau sekedar tatapan mata? Ino langsung menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan semua pikiran aneh yang mendadak muncul di kepalanya. Ino memegangi jantungnya yang berdetak liar entah karena apa. Ia mengingat kembali sorot mata yang begitu tajam, tinggi tubuh yang begitu proporsional, rambut hitam panjang terkuncir rapi, wajah yang begitu tampan dengan hidung mancung, rahang tegas khas laki-laki dewasa dan bibir sensual yang begitu menggoda. Pengamatannya yang hanya beberapa detik itu sukses tercatat sempurna dalam otaknya yang memang cerdas. Hanya dalam waktu singkat ia bisa mengingat setiap detil wajah pria yang membuat jantungnya semakin menggila? Ada apa dengannya? Bukankah melihat setiap pria tampan adalah konsumsinya setiap hari sebagai seorang model terkenal? Dan ia tidak pernah mencatat sedetail tadi tentang seberapa indah pria yang pernah ditemuinya. Dan tentunya, tidak sampai membuat jantungnya berdebar keras.
"Ibu, apakah yang tadi kulihat adalah seorang malaikat?" gumamnya tanpa sadar. Setelah ia merasa kembali normal, Ino langsung berpamitan dengan ibunya untuk pulang..
.
.
.
Tidak hanya satu kali gadis itu berjumpa –secara tidak sengaja- dengan pria asing yang bahkan tidak di ketahui namanya itu. Minggu kedua lagi-lagi gadis itu bertemu dengan pria misterius itu di makam. Dengan keadaan yang hampir sama seperti sebelumnya –hanya saling menatap tanpa mengeluarkan suara. Minggu ketiga bahkan lebih sering. Dimulai dari toko bunga Tayuya floris, Ino yang waktu itu baru masuk toko dan pria itu keluar toko. Sampai akhirnya mereka bertemu lagi di makam –yang lagi-lagi tanpa suara dan hanya saling menatap. Kebetulan yang menyenangkan –bagi Ino- berusaha tidak ia hiraukan, karena semakin sering bertemu dengan pria misterius tampan tersebut, semakin membuatnya makin penasaran. Dan yuang terpenting adalah jantung Ino yang sama sekali tidak bisa diatur oleh sang pemilik apabila ia melihat pemuda itu. Gadis itu kesal dengan reaksi hatinya yang mendadak menghangat diiringi dengan jantungnya yang akan berpacu begitu keras. Ino tahu, apabila perasaan ini tidak cepat-cepat ia tepis, maka hasilnya akan membuat kepalanya pusing. Pasalnya ia bisa benar-benar jatuh cinta dengan pria misterius yang hanya di jumpainya di depan sebuah pemakaman tak jauh dari makam ibunya. Menyebalkan bukan? Seandainya gadis cantik sepertinya jatuh cinta dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal? Padahal bagi seorang Yamanak Ino, tidak sulit mendapatkan pemuda yang tidak kalah tampan dan berkharisma seperti pria yang ia jumpai setiap minggunya di pemakaman itu. Tapi selama ini, ia tak sekalipun merasakan hal semenyenangkan ini di hatinya kala ia menatap seorang pria. Dan di minggu keempat saat ia mengunjungi makam ibunya seperti biasa, ia tidak menemukan sosok itu lagi. Ino menghembuskan nafas lega diselingi sedikit perasaan kecewa. Tapi setidaknya itu lebih baik. Karena ia sama sekali tidak ingin jatuh dalam perasaan menyenangkan yang hanya seperti ilusi baginya. Dan entah kenapa, saat itu ia ingin mengetahui makam siapa yang sering di kunjungi pria misterius itu. Manik aquamarinenya membaca sebuah nama perempuan yang meninggal kurang lebih sejak lima tahun silam. Gadis itu menyimpulkan, mungkin perempuan yang meninggal itu adalah kekesihnya atau istrinya dilihat dari tanggal lahir si perempuan –yang kalau sekarang masih hidup usianya mungkin sebaya dengan pria misterius itu. Istri? Tiba-tiba Ino merasa tidak rela jika pemuda itu ternyata pernah beristri. Setelah berkutat dengan pikirannya yang mendadak –seperti tidak berfungsi dengan baik- akhirnya gadis yang rambut pirangnya ia gerai dan memakai sebuah topi rajut untuk menutupi sinar mentari yang panas -walaupun masih pagi. Akhirnya memutuskan untuk pulang. Dan pada minggu kelima, Ino sengaja datang ke makam ibunya pada sore hari. Walaupun hati kecilnya benar-benar ingin melihat sosoknya lagi, tapi pikiran rasionalnya berusaha melawan sekuatnya. Alhasil ia memutuskan untuk berkunjung ke makam ibunya sore hari menghindari pria itu –walaupun Ino juga tidak tahu apakah pria itu datang lagi atau tidak. Keberuntungan benar-benar sedang tidak memihak gadis periang itu. Baru beberapa menit ia sampai di pemakaman, tiba-tiba cuaca mendung dan tanpa bisa menghindar lagi, hujan turun begitu lebatnya. Ino hanya bisa mendesah kecewa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup akibat hujan yang begitu lebat. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berdiri di depan makam ibunya tanpa perlindungan apapun. Dalam suasana seperti ini, mendukung seseorang untuk mengingat semua hal yang melankolis. Berlaku juga untuk gadis yang selalu terlihat ceria ini. Tanpa Ino sadari, hatinya mendadak begitu sedih dan ingin menangis. Ia mengingat semua hal yang pernah ia lalui tanpa ibu disampingnya.
"Ibu…aku merindukanmu…" gumamnya disela isak tangisnya. Sudah hampir satu jam ia terus berdiri ditengah guyuran hujan yang belum terlihat tanda-tanda akan berhenti. Ia mulai menggigil. Setelah merasa tubuhnya sudah tak mempu menahan dinginnya air hujan, dengan perlahan ia mulai beranjak dari tempat itu. Dengan kepala yang tertunduk, Ino mulai melangkahkan kaki jenjangnya perlahan. Tiba-tiba di depan tanah yang sedang ia pijak, Ino melihat sebuah sepatu hitam tepat berada di depan kakinya. Seketika ia menghentikan langkahnya. Perlahan ia mendongakkan kepalanya yang terasa begitu berat. Aquamarinenya menangkap sesosok pria yang tanpa ia sadari, begitu dirindukannya. Wajah itu, bibir itu, dan mata sehitam malam yang mampu menenggelamkannya pada dunia ilusi. Benarkah? yang ia lihat atau hanya –lagi-lagi- imajinasinya? Belum sempat percaya dengan apa yang ia lihat, tiba-tiba ia merasa tubuhnya sudah tak mampu menopang berat badannya dan segalanya mendadak gelap. Ino tak tahu apapun lagi setelah itu.
.
.
.
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merasa tubuhnya begitu hangat dan berbaring di atas tempat tidur yang begitu nyaman. Ia menghirup aroma bantal yang begitu menenangkan. Ia hampir menutup aquamarinenya kembali kalau saja kesadaran tidak menamparnya –bahwa ia tidur di tempat asing dengan aroma bantal yang sangat menenangkan dan itu bukan aroma khas bantalnya. Sontak gadis periang itu terduduk. Aquamarinenya menatap kesana kemari. Visualnya menangkap sebuah kamar luas bercat putih yang minim hiasan dinding.
"Dimana aku.." gumamnya. Ino langsung beranjak dari ranjang berukuran king size. Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat pakaiannya sudah di ganti dengan piyama yang sungguh kebesaran di tubuhnya yang langsing. Ia menatap horror dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang, Ino langsung keluar kamar mencari siapapun penolongnya itu. Ia bisa melihat ruang tengah dengan LCD TV tigapuluh inci yang masih menyala tanpa seorangpun. Ino masih berdiri di ruangan itu dan nampak bingung.
"Kau sudah bangun," suara baritone yang datar menghampiri gendang telinganya. Sontak ia menolehkan kepalanya kesamping kanan guna mencari sumber suara itu. Dan betapa terkejutnya ketika pupil birunya menangkap sosok pria yang selalu menghantui tidurnya.
"K-kau…" hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir yang sedikit pucat itu.
"Kau pingsan saat aku lewat. Dan aku tidak menemukan apapun untuk membawamu pulang ke rumahmu. Jadi terpaksa aku membawamu kesini," jelas pria yang menenteng dua gelas berisi colelat hangat itu. Ino masih diam. Belum sanggup merespon semua kata yang keluar dari bibir pria bermata onyx tersebut. Melihat gadis yang sudah ia tolong terlihat sedikit canggung, akhirnya ia berinisiatif membuka percakan lagi.
"Duduklah… kau perlu sesuatu yang hangat," ia meletakkan satu gelas diatas meja dan satunya lagi langsung ia sesap. Mata onyx itu kembali menatap Ino yang masih berdiri. Mengetahui tatapan yang seperti berkata 'duduk' akhirnya gadis itu mendudukkan dirinya di salah satu sofa yang berseberangan dengan pemuda berambut panjang itu.
"Terimakasih, dan maaf aku sudah merepotkanmu," suara Ino terdengar sedikit serak.
.
.
. TBC
..
Tanks for reading Minna…
.
.
-Bird.
