Pagi yang cerah, terlalu cerah
Saat melihatmu tersenyum begitu lebar, melihat deretan gigi mungilmu, dan mata rusamu yang menghilang menjadi garis lurus.
Diseberang sana tanganmu melambai dengan semangat, menunggu lampu penyebrangan menjadi hijau.
Tiga detik sebelum nya, aku tersenyum menyambutmu, tak terelakan ketika aku tak kuasa menahan diriku.
Aku hampir saja mengangkat tanganku, membalas lambaianku, kemudian saat detik yang berbeda akal sehatku menahan gerakanku. Sial. Hampir saja.
Terlihat kau menyebrang dengan sedikit berlari kecil. Hatiku memekik melihat betapa lucunya dirimu.
Tepat dihadapanku kau berhenti, lalu membalikkan tubuh mu kearah kanan, menggandeng tangan seseorang, menariknya dan kemudian berjalan bergandengan tangan.
Aku mendengar suara retakan dari dalam diriku.
Ku pandang punggung mu menjauh. Apa kau menyihirku? Kau menghangatkan hatiku dalam waktu sedetik, lalu kau menghancurkannya di detik setelahnya.
Sial.
Aku menyebrang jalan setelah lampu hijau yang kedua.
Kemudian di pagi yang lain, aku melakukan hal yang sama. Mengulanginya, dejavu yang berkelanjutan. Tapi aku tidak mau menghentikannya.
Di pagi yang kesekian
Di tempat yang sama
Masih dengan orang yang sama
Namun dengan rasa berbeda
Ini bukan dejavu
Aku tak melihat mata rusa mu, yang kau lakukan hanya menunduk. Memainkan kedua kaki mu selagi menunggu hal yang sama.
Oh Tuhan, apa yang terjadi padamu? Kemana senyummu? Lambaian tanganmu?
Kau bahkan menyebrang dengan tertunduk. Aku melangkahkan satu kakiku ketika kau hampir terjatuh karena tertabrak orang. Tapi tiba tiba kau sudah sampai dihadapanku. Membalikkan tubuh mu ke kanan seperti biasa. Namun tidak ada yang kau raih lagi. Setelah menghembuskan nafas keras pergilah kau dengan punggung sendumu. Apa yang terjadi dear?
Kemudian aku resah, menoleh pada penghitung waktu lampu lalu lintas, ku tolehkan lagi pada punggungmu. Tapi, lampu hijau kedua tersisa beberapa detik, kalau aku tidak pergi sekarang, aku akan terlambat.
Logika ku mengajakku menyebrang jalan, sekarang. Tapi hatiku ingin sebaliknya. Dan sepertinya tubuhku mendukung hatiku, karena tanpa sadar kakiku melangkah mendekati punggung itu. Entah apa yang aku lakukan, namun aku menarik tangannya dengan cepat tanpa melihat bagaimana reaksinya dan berjalan dengan cepat, tanpa menghiraukan protes dari mulutnya pula. AKU GILA. APA YANG AKU LAKUKAN. LIHAT TANGANMU YANG SEDANG AKU GENGGAM. YA TUHAN.
Kita berhenti didepan sebuah kedai. Aku suka menyebut kata kita jika itu denganmu. Masih kugenggam tanganmu, aku membalikkan badan dan kau menatapku dengan tatapan bingung. Sungguh, kau sangat menggemaskan. Belum ada kata yang keluar dari bibirku, aku kelu untuk memulai, yang kulakukan hanya memandangmu.
Namun kemudian kau yang memulai. "Bukankah kau ingin membawaku kabur? Kenapa kita berhenti disini? Kau tau kan kalau aku ingin ke pantai? Mungkin sebaiknya kita harus berhenti di depan halte bus." Kenapa kau mengatakannya dengan enteng sekali. Kau bahkan tak terlihat sendu lagi. Aku bahkan membuka mulutku melongo, sungguh tidak bisa membaca jalan fikirmu sama sekali.
"Ayo, aku tahu kau tidak bisu, tapi kau tidak pernah mengatakan sepatah katapun padaku, bahkan setiap hari saat aku berhenti didepanmu." Kau memasang wajah sendu sambil menatap mataku. Dan aku tidak tahan untuk tidak menangkup pipimu dan mengecup bibirmu.
Dan untuk pertama kalinya bibirku mampu berucap "Aku bahkan tidak tahu namamu, tapi ayo berkencan Nona."
Dan reaksimu sangatlah diluar dugaan, kau menangkup pipiku dan mengecup bibirku lama. "Kau sangat lamban". Lalu kau tersenyum dan menggenggan tanganku.
"Sepertinya berkencan dengamu tidaklah buruk, Tuan tanpa nama."
END
