25 Desember 2012
Setelah proses pemikiran panjang, penulis akhirnya memutuskan untuk mem-publish cerita ini di FFn. Bagi yang tidak nyaman dengan genre Gender Bender dan memang tidak menyukai pairing Kuroba Kaito/Kudo Shinichi, dengan amat sangat disarankan untuk tidak membacanya. Karena penulis tidak akan meladeni rintihan yang berhubungan dengan dua topik di atas. ^^
Selamat membaca ^^
Disclaimer: D.C/Case Closed bukan milik penulis dan merupakan sebuah mahakarya dari Gosho Aoyama, di sini penulis hanya memiliki hak penuh atas fanfic ini dan akun di mana fanfic ini berada.
.
.
Chapter 1: Yellow Rose
'Di hadapan rembulan aku berjanji, suatu saat kita bertemu nanti, aku bukan lagi seorang anak kecil yang kau lihat saat ini. Aku akan tumbuh dan membawanya ke hadapanmu, rembulan itu.'
.
.
Dengan kedua kaki yang di hentakan keras di atas permukaan berbulu sebuah karpet merah, seorang bocah berusia tidak lebih dari 10 tahun terlihat menyeringai lebar. Kedua tangannya yang terkepal di depan dadanya ikut bergerak naik turun seiring dengan gerakan tubuhnya yang menandakan bahwa ia tengah bersemangat. Tidak sabar menantikan sesuatu yang menyenangkan.
"Kaito, duduklah dengan tenang." Kuroba Chikage, seorang wanita dengan rambut sebahu yang tertata rapih berujar pelan. Itu merupakan peringatan yang ketiga kalinya yang ia serukan kepada putra semata wayangnya sejak ia dan Kaito — putranya — sampai di sebuah hotel ternama di kota Haido. "Seseorang bisa menjatuhkan gelasnya jika kau terus bergerak seperti itu."
"Tapi aku bosan!" seru Kaito dengan suara keras. "Aku ingin segera melihat sulap!"
Chikage menghela napasnya pelan. Sambil berjongkok, wanita itu lalu mengusap kepala putranya pelan dan tersenyum kepada Kaito kecil. "Masih ada 30 menit sampai pertunjukan dimulai, bagaimana jika kau nikmati dulu makanan yang ada?"
Kaito menggembungkan pipinya, menunjukan rasa sebal terhadap ide alternatif yang diberikan oleh ibunya. Ia ingin menonton pertunjukan sulap ayahnya, karena itulah ia ikut bersama ibunya dari Ekoda ke kota Haido, bukan untuk menikmati hidangan hotel berbintang yang hanya dengan mencium baunya saja sudah membuat perut berteriak karena kelaparan.
Ah, ya. Mungkin tidak ada salahnya mengisi perutnya sebelum pertunjukan dimulai. Karena begitu pertunjukan ayahnya dimulai, Kaito sudah berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan mengalihkan perhatiannya dari aksi ayahnya. Walaupun hanya untuk berkedip.
Mengangguk kecil, bocah berusia 8 tahun itu lalu berbalik arah dan berjalan menjauhi ibunya. Tentu ia tidak akan berlari terlalu jauh, karena — bukan karena takut tersesat. Ia sudah biasa mengalaminya, tersesat karena terlalu sibuk mengikuti rasa penasarannya akan tempat-tempat baru, namun hingga saat ini, ia berhasil pulang kembali ke pangkuan ibu serta ayahnya dengan selamat — ia tidak ingin melewatkan sedetik pun aksi ayahnya, dan kebetulan lokasi buffet-buffet makanan pun letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi tempat duduknya.
Kaito pun berjalan mendekati salah satu booth makanan ringan dan mengamati ragam khas kue yang tersedia di sana. Mousses, pudding, tarts, bavarois, ganache, crepes, cookies, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semuanya tertata rapih di atas sebuah piring yang terbuat dari kristal dan disusun bertingkat mengelilingi sebuah patung es di tengah meja.
Melirik ke arah ibunya, Kaito menyeringai lebar ketika dilihatnya ibunya kini tengah berbincang dengan seseorang yang baru saja menghampirinya. Sepertinya teman ayah, karena Kaito ingat pernah melihat orang itu di salah satu album foto milik ayahnya yang tersimpan rapih di dalam ruang kerja ayahnya. Bocah berusia 8 tahun itu lalu berjinjit dan mengambil sebuah piring kecil untuk kemudian digunakan sebagai alas untuk meletakan kue-kue yang akan dimakannya.
"Selagi Kaasan tidak melihat~" ujarnya senang dan mulai mengambil masing-masing satu kue dari setiap jenis yang ada. Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, piring kecil milik Kaito sudah terisi penuh dengan makanan manis sehingga membuat bocah berusia 8 tahun itu kesulitan untuk melangkah.
Bocah itu kemudian, dengan hati-hati, berjalan menjauhi booth makanan. Mencari sebuah spot aman untuk menghabiskan seluruh kue yang diambilnya yang tentu saja harus ia lakukan selagi ibunya tidak melihat. Karena, jika ibunya tahu ia memakan terlalu banyak makanan manis, apapun itu, ia bisa mendapat sebuah hukuman paling kejam yang pernah ada di dunia ini; Dijauhkan dari makanan manis.
Mengambil tempat di balik sebuah pot tanaman besar, Kaito pun akhirnya mendudukan diri di atas karpet merah dan meletakan piringan berisi kuenya di hadapannya. Kedua bola matanya membulat sempurna, berkilauan penuh semangat dan otaknya dengan tidak sabar telah merefleksikan setiap wujud kue yang kini siap untuk di santapnya, membuat gemuruh rasa lapar dalam perutnya semakin mengeras.
"ITTADAKI—" Kaito mengerjapkan matanya, menghentikan gerakan tangannya yang hampir meluncurkan sebuah kue untuk masuk ke dalam mulutnya dan menatap bingung ke depan, di mana seseorang kini berada dan tengah menatapnya. "—Masu…"
Bocah itu kembali mengerjapkan matanya.
"Kenapa kau tidak memakannya?" tanya sebuah suara yang berasal dari seseorang yang menjadi penyebab utama mengapa ia menghentikan kegiatan makannya. Sosok itu kemudian memiringkan kepalanya, menatap bingung wajah Kaito yang kini menganga lebar di hadapannya. "Ada apa?"
Kaito sekali lagi mengerjapkan matanya dan sosok di hadapannya masih menatapnya dengan kedua bola mata bulat besar yang kini terlihat memantulkan wajah Kaito yang tengah menganga lebar. Bocah itu lalu menutup mulutnya dan dengan pandangan menyelidik, ia memperhatikan sosok di hadapannya.
"Kau mau?" tanyanya tanpa basa-basi pada sosok dihadapannya dengan satu tangan yang memegangi kue terulur ke arah sosok tersebut.
Sosok itu menggeleng pelan. Tanpa menjawab, sosok itu lalu mendudukan diri di hadapan Kaito dan kembali menatap Kaito dengan dua bola mata besar miliknya.
"Kau yakin tidak mau?" tanya Kaito memastikan dan sosok itu kembali mengangguk. "Kue ini pasti sangat enak, Kaasan bilang pembuatnya adalah seorang rasional."
"Profesional."
"Itu maksudku," ujar Kaito sambil menggaruk pipinya yang memerah. "Mau?"
Sosok itu kembali menggeleng dan Kaito pun menyerah. Bocah itu lalu menyantap kue yang dipegangnya, mengabaikan tatapan dua bola mata bulat besar berwarna biru cerah yang masih merefleksikan imaji dirinya tengah menyantap kue.
"Enak?" tanya sosok itu pelan ketika dilihatnya Kaito menelan apa yang sudah dimasukan ke dalam mulutnya. Kaito mengangguk dan melanjutkan aksinya pada kue selanjutnya, sebuah mini crepes yang dilumuri saus coklat dan potongan strawberry. "Kau sepertinya suka coklat," ujar sosok itu setelah berhasil mengalihkan perhatiannya dari Kaito dan menatap lurus tumpukan kue di atas piring milik Kaito.
Kaito mengangguk kecil lalu mengambil potongan ketiga, Chocolate Macaroons. "Ya! Coklat adalah makanan kesukaanku, tapi 'Kaasan tidak pernah memberiku izin untuk memakan kue coklat besar yang dibuatnya sendirian. Aku harus berbagi dengan Oyaji atau Jii-chan!"
"Jika kau habiskan sendirian, gigimu bisa sakit."
"Ah, itu yang biasa 'Kaasan katakan! Sangat mirip!" ujar Kaito sambil tertawa. "Bagaimana denganmu, apa kau suka coklat?"
Sosok itu mengangguk pelan.
"Kalau begitu, coba ini!" Kaito, dengan satu tangan memegang potongan kue yang sudah digigitnya separuh, menyuap paksa sosok di hadapannya. Sosok di hadapannya terkesiap lalu reflek mendorong tubuhnya untuk mundur dan menjauhi tangan Kaito. Namun sayang, ruang gerak yang terbatas membuat kepalanya tanpa sengaja membentur dinding dan ia menjerit tertahan karenanya.
"Ugh…" gerutu sosok itu sembari mengusap kepalanya dengan kedua tangannya. Melihat hal ini, Kaito dengan cepat menggunakan sebuah tissue untuk mengelap tangannya dan segera mendekati sosok di hadapannya untuk melihat kondisi sosok itu.
"Sakit…"
"Kau baik-baik saja?" tanya Kaito khawatir dan mencoba membantu sosok itu untuk menghilangkan rasa sakitnya dengan meniup kepala sosok itu.
Sosok itu tidak menjawab, hanya menunduk dan masih terlihat mengusap kepalanya yang tentu saja membuat Kaito semakin khawatir dan merasa bersalah.
Kaito menunduk, memiringkan kepalanya untuk menatap wajah sosok di hadapannya, namun rambut sosok itu tergerai hingga menghalangi pandangannya. Dengan satu tangan Kaito menyibakan perlahan rambut sosok itu dan menatap kembali dua bola mata bulat besar berwarna biru cerah yang kini tampak berkaca-kaca.
Dengan satu alis terangkat Kaito menatap lurus bola mata itu. "Kau menangis? Kenapa? Apakah sangat sakit? Maafkan aku! Ini salahku! Ayo, biar 'Kaasan memeriksamu!"
Sosok itu menggeleng lemah.
"Tapi kau menangis. Pasti sangat sakit, 'kan?"
Sosok itu kembali menggeleng dan kali ini ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya, kembali menunduk dan mulai menangis.
Merasa panik karena seorang menangis karena ulahnya, Kaito kemudian berdiri dari tempatnya dan menggerakan kedua tangannya di udara, mencoba menghibur sosok di hadapannya yang semakin keras tangisannya. Bocah itu kemudian melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari pertolongan untuk meredakan rasa sakit serta tangis sosok itu, namun ia sendiri pun tidak tahu harus berbuat apa.
Apa yang akan Oyaji lakukan jika 'Kaasan menangis? Pikirlah Kaito! Pikir! AH!
Bocah berusia 8 tahun itu kembali mengelilingkan pandangannya, menatap sekelilingnya yang mulai terlihat ramai oleh para tamu undangan dan penonton yang ingin menyaksikan pertunjukan sulap ayahnya. Kedua matanya kemudian berhenti mencari ketika dilihatnya sebuah meja yang terletak di dekat jendela kaca. Meja itu, jika dibandingkan dengan meja lainnya yang sudah terisi penuh dengan tamu undangan, terlihat kosong. Hanya ada dua kursi dan sebuah papan 'Reserved' di atas mejanya.
Mengulurkan tangannya, Kaito kemudian memegang pergelangan tangan sosok di hadapannya dan menarik sosok itu menjauhi lokasi di mana mereka berada, berlarian menuju meja kosong yang tadi dilihatnya. Sosok itu awalnya mencoba mengelak, namun karena Kaito yang sama sekali tidak ingin melepaskan pegangan tangannya, ia kemudian hanya diam dan mengikuti kemana Kaito membawanya.
"Naiklah!" ujar Kaito setelah menarik salah satu kursi dan ia sendiri mendudukan diri di kursi lainnya yang berada di hadapan kursi pertama. Sosok itu hanya diam namun terlihat patuh dengan mendudukan dirinya sesuai perintah Kaito. "Lihat itu!"
Sosok itu memiringkan kepalanya, menatap Kaito bingung dengan mata basah sebelum akhirnya memalingkan wajahnya ke arah yang dimaksudkan oleh Kaito. Kedua bola mata itu kemudian terlihat semakin membesar, membelalak kagum menatap keindahan bulan purnama di antara langit malam di tengah padatnya gedung-gedung pencakar langit, dan seulas senyuman ikut turut serta menghiasi wajah sosok itu.
"Cantiknya," ujar sosok itu pelan sebelum kembali menatap Kaito yang juga ikut menatap ke arah yang sama.
Kaito kemudian menoleh, menyeringai lebar ke arah sosok di hadapannya. Bocah berusia 8 tahun itu kemudian mengulurkan tangannya, meraih bunga mawar kuning yang tertata indah di dalam sebuah vas bunga kecil di atas meja dan menyerahkan bunga itu pada sosok di hadapannya. Dengan wajah memerah Kaito Kuroba kemudian berkata, "Suatu saat nanti aku akan jadi pesulap seperti ayahku dan saat itu aku akan memberikan bulan itu padamu!"
Sosok itu menatap datar bunga mawar kuning yang diberikan Kaito lalu kembali menatap Kaito dengan tatapan bingung. "Tapi bulan itu terlalu besar dan tidak mungkin—"
"Kuroba Kaito tidak mengenal kata tidak mungkin!"
"Tapi—" sosok itu terdiam, merapatkan bibirnya setelah dilihatnya Kaito menatapnya tajam. Bukan marah ataupun ancaman, tatapan mata Kaito, bagi sosok itu, terlihat penuh keyakinan dan harapan. Hanya dengan melihatnya saja sosok itu bisa tahu, bahwa kata-kata yang diucapkan oleh Kaito bukanlah sesuatu yang penuh dengan janji dan bualan, namun sesuatu yang nantinya akan menjadi seperti mimpi yang menjadi nyata.
Ia harus mempercayainya.
Ia harus memberikan kesempatan bagi Kuroba Kaito untuk memenuhi janjinya.
Suatu saat nanti.
"Baiklah," sosok itu mendongakan kepalanya, menatap lurus manik mata Kaito. "Tepati janjimu!"
.
.
.
.
"Kemana saja kau, Kuroba Kaito?" suara keras Kuroba Chikage membahana di lobby hotel. Kedua matanya menatap tajam putra semata wayangnya yang kini berdiri di hadapannya dengan senyuman aneh di wajahnya.
Tidak, tentu tidak bagus.
Setiap putranya memperlihatkan senyuman seperti itu, pasti ada sesuatu yang terjadi. Atau mungkin sudah terjadi dan hanya tinggal menunggu efek sampingnya. Senyuman itu, atau mungkin lebih tepat disebut seringai, adalah sebuah pertanda buruk bagi keluarga Kuroba.
"Kau tahu? Aku mencarimu sejak tadi. Kau bahkan tidak menonton aksi ayahmu sendiri, 'kan?"
"Gomen," gumam Kaito pelan saat kembali teringat bahwa ia benar-benar melewatkan aksi ayahnya malam itu. Aksi yang sudah ingin ia lihat sejak lama. Semuanya ia lewatkan karena harus menemani sosok itu.
"Sudahlah," ujar sebuah suara dari balik punggung Chikage. Si pemilik suara lalu berjalan mendekati keduanya dan merangkul pinggang Chikage untuk menenangkan wanita itu. "Ia masih bisa melihat hasil rekaman Jii, benar?"
"Oyaji!" seru Kaito seraya melebarkan tangannya untuk memeluk ayahnya yang baru saja datang bergabung. Di saat seperti ini memang ayahnya adalah satu-satunya yang bisa meredam kerasnya teriakan ibunya.
"Tapi sayang sekali, kau melewatkan sesuatu yang penting, Kaito."
"Sesuatu yang penting?" ulang Kaito dengan kepala yang dimiringkan dan raut wajah penuh rasa ingin tahu. Kedua mata bocah kecil itu lalu menangkap gerakan mengangguk yang dilakukan ibunya dan perubahan ekspresi yang dapat diartikan sebagai sebuah kekecewaan. Apa yang ia lewatkan? Hingga membuat ibunya sekecewa itu…
"Ya, seorang teman ayahmu datang dari Amerika bersama keluarganya. Ia mengajak istri dan putrinya ke acara ini dan kami berencana ingin mengenalkan putrinya padamu. Sayang, kau menghilang saat mereka tiba di sini," jelas Chikage diselingi sebuah helaan nafas.
"Lalu dimana mereka?" tanya Kaito dengan satu alis terangkat.
"Dalam perjalanan pulang," jawab Kuroba Touichi dengan satu tangan bergerak mengacak rambut putranya. "Yusaku bilang ia datang ke Jepang hanya untuk menghadiri acara ini lalu akan kembali ke Amerika begitu acara selesai."
Kaito mendengus pelan, "Tidak masalah. Aku bisa bertemu dengan teman Oyaji lain waktu. Yang terpenting, ayo kita pulang! Aku ingin cepat-cepat belajar sulap!"
Touichi dan Chikage mengangkat alis mereka bersamaan. Mereka saling bertukar pandangan sesaat hanya untuk menemukan sebuah tanda tanya besar dalam kepala mereka atas perilaku putra mereka yang sangat tiba-tiba. Kaito bahkan menggunakan kedua tangannya untuk menarik ayah dan ibunya yang masih berdiam diri dan merengek saat kedua orangtuanya masih tidak mau bergeser.
Dan ini sangatlah jarang terjadi.
Mungkinkah hilangnya Kaito selama acara berlangsung adalah alasan kenapa saat ini Kaito merengek meminta pulang dan memaksa ayahnya untuk mengajarinya trik sulap? Atau mungkin putra semata wayang mereka telah memakan sesuatu yang aneh? Atau Kaito tiba-tiba menabrak sesuatu hingga terjadi gangguan pada dirinya?
Entahlah.
.
.
.
.
"Apa menurutmu sesuatu terjadi pada Shin-chan?" tanya Kudo Yukiko pelan seraya menutupi tubuh putrinya dengan sebuah jaket yang tidak lain adalah milik suaminya, Kudo Yusaku. Wanita itu kemudian memiringkan kepalanya, menatap bingung setangkai mawar berwarna kuning yang kini tengah ditatap lekat-lekat oleh Yusaku. "Itu bunga yang sejak tadi dipegang Shin-chan, benar?"
Yusaku mengangguk sesaat lalu menoleh ke arah istrinya. Dari sudut matanya pria itu lalu melirik ke arah putrinya yang kini tertidur lelap di pangkuan istrinya dengan seulas senyuman yang tidak hentinya menghiasi wajahnya.
Friendship and Hope.
"Apapun itu, Touichi sepertinya tidak akan senang jika ia mengetahuinya."
.
.
.
.
A/N:
1) TCaDWaD akan terus di-update selama penulis belum mencantumkan kata 'On-hiatus', hanya tanggalnya saja yang tidak bisa ditentukan kapan. ^^; Mohon maaf atas ketidaknyamanannya~ ;)
2) Judul cerita ini didapat penulis dari sebuah film pendek berjudul sama yang dibuat oleh salah seorang teman penulis. Penulis hanya memakai judulnya, ceritanya dapat dipastikan 99,99% berbeda, lho. ;)
3) Rating cerita dapat naik di tengah chapter karena satu-dua hal ^^
Jika tidak ada halangan dan perubahan rencana, maka fanfic ini akan hadir dalam 5 chapter. Penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. ;)
