Count Down (REMAKE)

Boku no Hero Academia milik Horikoshi Kouhei-sensei

Warning's: Typo's, OOC, Gaje

.

Doumo! Aku author baru di fandom ini karena aku mau melarikan diri dari nerusin fanfic sebelumnya . GOMEN MINNA-SAMA!.

Aku sangat suka dengan Aizawa-sensei, jadi aku akan mendedikasikan fanfic ini khusus untuknya ^.^.

Ah, alasan aku me-remake fic ini adalah karena temanku, Miruuchain, dengan ide brilliantnya ingin merubah fic ini menjadi DOUJINSHI! YAAAAY! BOKU URESHISSU! ^.^

.

Sudah cukup.

Aizawa pusing menjadi baby sitter di kelas 1-A.

Ia bahkan kurang tidur hanya untuk memastikan bahwa murid-muridnya baik-baik saja. Saat berada di latihan sederhana yang ia lakukan dengan murid-muridnya, Bakugou tidak akan tanggung-tanggung untuk membakar gedung sekolah dan Izuku selalu kembali dalam keadaan terluka parah. Dan yang menjadi puncaknya adalah surat tagihan khusus dari kepala sekolah Nedzu yang menunjukkan betapa pintarnya Bakugou dalam menghancurkan sesuatu. Ia sedikit menyesal mengapa ia memilih untuk memasuki pekerjaan merepotkan seperti ini.

" Eraser-head..."

Seseorang dari kejauhan mengamati Aizawa yang sedang sibuk untuk mengurus murid-muridnya lewat jendela kelas. Ia lalu tersenyum.

" ..Aku akan menghapus namamu..."

.

.

.

Hari ini hujan turun dengan deras. Aizawa yang sedang mengajar, melihat ke arah jendela dengan tidak tenang. suara rintikan air yang membentur kaca sangat mengganggunya. Sepertinya sebentar lagi badai akan datang.

PRAAAANG!

Badai benar-benar datang.

Tiba-tiba, kaca jendela kelas mereka di pecahkan dari luar. Aizawa melempar buku yang ia pegang ke meja Tsuyu dan segera meraih googlenya. Villain itu masuk dan meloncat ke arah anak muridnya, Aizawa segera menangkap lawannya dengan kain dan menariknya mendekat. Kalau saja villain yang ia tangkap tidak melemparkan meja ke arah Aizawa, ia bisa menggunakan kakinya untuk menendang lawannya. Aizawa lalu meloncat, tetapi kepalanya hampir saja tertusuk oleh pedang yang melesat dan menancap di papan tulis.

Ia menjambak rambut lawannya dan membenturkannya berkali-kali ke lantai tanpa henti. Hingga sebuah bom dilemparkan ke atas mukanya dan meledak, membuat Aizawa terlontar. Tubuh kurus Aizawa membentur dinding dan jatuh, tulang rusuknya patah. Nafas Aizawa memburu. Ia menunggu pedang itu kembali menusuk ke arahnya.

CRAAAKH!

Aizawa melihat ke samping kirinya. Ia menyeringai kecil.

" Pertama, kau menyerang sesuai prediksimu... kedua, AKU TIDAK KIDAL!"

BRAAAKH!

Aizawa menendang pinggang bagian kanan lawannya. Ia lalu meloncat ke atas meja dan mengambil sebuah penggaris besi panjang milik Deku. Aizawa tidak tahu apa yang diincar oleh lawannya, tetapi ia akan bisa mencari tahu dengan leluasa setelah kondisinya lebih menguntungkan. Ia lalu melakukan kayang ketika pedang itu kembali berusaha menusuk kepalanya, tetapi sekarang mempunyai sasaran tepat di tengah. Kaki Aizawa melingkar ke pinggang lawannya dan menjatuhkan diri mereka dari atas meja, sementara ia menggunakan penggaris untuk menahan kepala lawannya agar jatuh lebih dulu.

Ada beberapa kemungkinan mengapa lawannya menghindari pertarungan fisik. Pertama, ia ingin meracuni Aizawa dengan pedang itu. Kedua, ia mempunyai Quirk yang berhubungan dengan darah. Ketiga, ia lemah dengan fisiknya.

Sebuah pedang kecil hampir merobek perut Aizawa, jika saja Aizawa tidak menyadarinya dengan instinct dan refleks menahan pedang itu dengan penggaris besi. Sekarang, mulut lawannya meludahkan jarum ke arahnya. Aizawa segera memiringkan kepala. Ia tidak bisa menggunakan alat ninjanya di sini karena jika salah langkah, ia malah membunuh muridnya. Tiba-tiba, baju bagian belakang Aizawa ditarik dan membuat Aizawa terguling. Sekarang, giliran lawannya yang berada di atas.

Aizawa berusaha semampunya untuk menghindari tusukan pedang yang dihujamkan ke atas kepalanya. Kedua tangan Aizawa di injak dan ia tidak bisa bergerak. Ia berusaha meraih jarum yang tadi diludahkan oleh lawannya sendiri, tetapi tiba-tiba, lawannya melihat dan akhirnya menusuk lengan kiri Aizawa.

JRAAASH!

" AAAAARGH!"

Aizawa mengerang, membuat seluruh jantung muridnya berdetak cepat. Tsuyu menutup matanya. ia tidak tahan lagi.

Setelah menempelkan tangan Aizawa di lantai dengan pedangnya, lawannya berdiri dan melihat ke belakang. Ia berlari dan hampir saja menusukkan kedua jarumnya di mata Deku, sebelum tiba-tiba ia merasakan sebuah benda dingin menempel di lehernya. Ia menoleh. Aizawa sudah berada di belakangnya. Guru mereka menangkap ke dua tangan Villain itu dan mematahkannya ke belakang, hingga terdengar suara 'KRAAAK' dan melemparnya ke depan kelas. Mata Aizawa memancarkan sinar merahnya, bertanda bahwa ia mulai serius. Ia tidak akan membiarkan muridnya terluka begitu gampangnya tanpa dirinya yang melakukan sesuatu. Ia tidak ingin menyesal untuk seluruh sisa hidupnya.

Jantung Aizawa berdetak kencang, ia tidak mengerti, mungkin karena pertarungan ini berlangsung lebih dari lima menit. Tetapi tidak biasanya ia seperti hampir bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Aizawa lalu mencengkram jantungnya sedikit. Villain yang tersungkur di depannya tertawa dengan sedikit mencemooh. Ia berdiri dengan perlahan.

" Mulai merasakan sesuatu, sensei?"

Aizawa baru saja menyadari sesuatu. Cih. Racun, ya?.

" Aku bertanya-tanya apa yang akan kau lakukan dengan sisa waktu 5 hari mu?"

Aizawa melihat ke arah tangannya yang mempunyai bekas tusukan. Luka itu mengalirkan buih putih yang tidak Aizawa mengerti kenapa bisa keluar dari sana. lawannya tiba-tiba sudah berada di depannya.

" Sensei~ kenapa? Kau sangat lambat~"

" Kuh!"

Aizawa hanya mampu menghindar dari tebasan pisau lipat tepat di depan hidungnya. Seluruh tubuhnya terasa melemah. Ia lalu memukul pipi lawannya, tetapi lawannya tidak bergeming dan hanya menyeringai semakin lebar. Aizawa melebarkan matanya.

BRUAAAAKH!

" KYAAA! SENSEI!"

Aizawa tersungkur di antara kursi dan meja yang sekarang berserakan. Darah mengalir deras dari hidung dan mulut, menetes dengan bentuk bulatan besar yang kental. Beberapa anak membantunya berdiri. Aizawa meraba tulang rusuknya. Ia bisa merasakan beberapa bagian yang patah dan retak tersebar di sana-sini.

" Sensei baik-baik saja?!" tanya Ochako. Aizawa melihat ke arah muridnya lewat pandangan yang mulai perih terkena darah.

" Apa yang kalian lakukan?! Segera menjauh dari sini!" teriak Aizawa, walaupun suaranya sudah sangat melemah. Tsuyu mulai menangis. Aizawa berdiri dengan sedikit gemetaran. Ia mengambil kainnya yang terjatuh ke lantai.

" Aku akan baik-baik saja, pergilah," kata Aizawa berusaha menenangkan murid-muridnya yang tidak berguna, tetapi sangat- sangat ia sayangi.

Aizawa sudah bersiap untuk serangan selanjutnya, tetapi tiba-tiba All Might masuk dengan wajah marahnya. Ia meninju Villain itu yang dalam sekejap hilang tertiup angin. Hero no.1 itu menoleh dan tersenyum dengan ekspresi yang menurut Aizawa sangat bodoh, dan menambahkan kata-kata heroic seperti biasa.

Aizawa menghela nafasnya. Kedua kaki Aizawa gemetaran hebat. Ia terbatuk kecil, tetapi lama kelamaan tidak bisa berhenti seiring dengan suaranya yang makin parah. Aizawa memuntahkan darah di setiap batuknya. Ia membungkuk. Nafasnya tersengal-sengal dan terdengar sangat sesak. Ia mencengkram dadanya dan perlahan berlutut, sebelum akhirnya jatuh.

" AIZAWA-SENSEEI!"

" Sensei!"

Kepalanya pusing dan pandangannya kosong. Ia tidak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Di dalam pikirannya, yang ia bisa jabarkan hanya rasa sakit membakar di dada yang sangat menyiksa Aizawa perlahan. Darah Aizawa mengalir hingga menyentuh kaki All Might yang melangkah ke arahnya. Bajunya basah akan darah dan keringat. Suhu tubuhnya mendingin. Luka Aizawa berdenyut. Ia tidak bisa menggerakkan badannya, setiap inchi tubuhnya terasa seperti kesemutan. Hanya getaran lemah yang menandakan tubuhnya sedang berurusan dengan rasa sakit yang tidak tertahankan. Giginya bergemeretak.

Ia kembali memuntahkan darahnya sebelum seluruh penglihatannya menghilang.
.

.

.

Suara EKG yang berbunyi secara monoton membangunkan Aizawa. Ia masih merasa berat. sudah berapa lama ia pingsan?. Lebih tepatnya, tinggal berapa hari lagi sisa waktu yang bisa ia pergunakan di dunia ini?.

Terasa sangat bukan Aizawa jika ia takut akan kematian. Tetapi, sedikit saja, di dalam hatinya, mungkin ia sedikit ketakutan. Jantungnya masih berdetak cepat sedari tadi. Ia mencoba melupakan permasalahan itu dan melihat ke sekelilingnya. Hingga pupil matanya berhenti ketika ia bertemu dengan sosok yang sangat familiar dengannya, karena sudah sangat lama ia kenal.

" Aku tidak tahu kalau kau mempunyai sisi yang tenang," komentar Aizawa saat ia melihat Mic mulai membalikkan halaman bukunya. Mic sedikit kaget dan menoleh. Ia tersenyum.

" Aku tidak ingin membangunkanmu," dan Mic menaruh bukunya. Seluruh perhatiannya beralih dan ia dedikasikan untuk sahabatnya yang baru terbangun. Muka Aizawa begitu pucat. Masker oksigen memutih karena embun seiring dengan tempo nafasnya. Aizawa masih tidak kuat untuk bangun, hingga ia akhirnya memutuskan untuk tetap tidur. Harusnya begitu. Faktanya, sekarang ia sedang berusaha bangun.

" Khh..."

" S- Shouta?!"

Aizawa masih berusaha untuk mendorong dirinya sendiri dengan tangannya yang tidak terluka untuk duduk, tetapi Mic menahannya.

" Apa yang kau lakukan?!" tanya Mic.

Sedikit terengah-engah, Aizawa menatap mata Mic yang –menurutnya- mata terindah yang pernah ada di dunia mereka. Ia tersenyum, membuat Mic heran.

" Aku hanya ingin sesekali menjadi seorang yang bukan diriku. Lagipula, hidup kita masih lama, bukan?"

Kenapa?.

Kenapa ia seperti ini?.

Apakah hitung mundur ini membuat kepribadiannya berubah tanpa sadar?.

Mic menghela nafasnya. Setiap perkataan Aizawa membuat dadanya berdenyut sakit. Ia akhirnya memutuskan untuk membantu Aizawa duduk, alih-alih menghalanginya lagi. Setelah itu, kamar yang di tempati Aizawa hening.

" Tentang sisa waktu hidupku, aku sudah tahu dari awal,"

DEG!

Mic mengangkat wajahnya. Ia sangat kaget. Ia tidak tahu harus merespon apa. Mukanya menegang. Padahal ia sengaja menjauhkan topik tabu itu dari kepalanya sejak recovery girl memberi tahu masalah ini. Sebenarnya itu salah satu alasan utama mengapa Mic diam sejak satu jam yang lalu.

" Sekedar informasi, sisa waktumu... Hanya tinggal 4 hari lagi," kata Mic sembari tersenyum. Perih. Bibirnya seakan tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ia tidak kuat untuk melihat Aizawa yang sekarang menutup matanya dengan sebelah telapak tangan. Aizawa tidak ingin Mic melihat tatapan paling pedih yang pernah ia rasakan selama hidupnya.

" Tidak setiap hari aku memikirkan tentang kematian... Tetapi ketika saat seperti ini... aku malah..." perkataan Aizawa berhenti di tengah jalan. Ia terdistraksi oleh pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya. Siapa yang akan menjaga murid-murid yang sangat ia sayangi?. Siapa yang akan menemani Mic di setiap waktu makan siang?. Siapa yang akan memberikan kucing jalanan itu makan?.

" Shouta...," mata Mic berkaca-kaca. Suaranya bergetar. Ia berusaha sekuat tenaganya untuk tidak menangis. Seluruh waktunya bersama Aizawa hanya terasa sebentar hingga akhirnya mereka berada di akhir perjalanan. Ia tidak ingin melepaskan Aizawa begitu saja. Sebisa mungkin ia ingin ikut dan tertawa di samping Shouta hingga mereka tidak tahu waktu untuk pulang. Seandainya hitung mundur ini tidak di mulai.

Dan sekarang, mereka berdua bisa mendengar suara jam yang berdetak setiap detiknya, mengisi ruangan mereka. Semakin ia menghirup udara, semakin berat ia bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Mic tidak tahu apakah ia akan bisa menerima kenyataan yang di luar nalarnya. Ia bahkan mengira recovery girl sedang mengerjainya. Tetapi ini terlalu nyata untuk menjadi bahan tertawaan. Seakan mimpi buruk yang tidak membiarkan mu terbangun, Mic hanya bisa berharap seseorang akan membangunkannya.

Dalam waktu pendek, ia tidak bisa lagi melihat muka Aizawa yang sejajar dengannya, dan dalam empat hari lagi Shouta akan masuk ke dalam sebuah peti dingin yang terbuat dari kayu. Tubuh Shouta akan dibakar dan menghilang dalam bentuk abu. Sebuah peringatan kematian akan diadakan, dengan wajah Shouta yang membeku di dalam foto berpigura hitam.

Indera penciumannya bisa mencium bau obat yang sekarang menguar dari tubuh Aizawa. Garis-garis biru bercabang terlihat di pipi Aizawa, seperti pembuluh darah di bawah kulit yang berwarna terlalu terang. Selang-selang yang Mic tidak tahu digunakan untuk apa menempel dengan jarumnya yang tajam dan tersemat di kulit Aizawa. Hanya dengan melihat lengan penuh dengan selang itu, cukup untuk membuat Mic sedikit ngilu.

Dan sejak awal, ia tahu bahwa Aizawa tidak akan bertahan.

Ia hanya tidak mau menerima kenyataan.

.

.

.

Langkah kaki Mic terasa berat. Setiap kali ia menapakkan kakinya di tanah, ingatan tentang wajah Aizawa di sampingnya akan selalu terngiang. Ia seakan menggila. Nafasnya bergetar. Dinginnya bulan Oktober hanya memperparah ingatan Mic. Di jalan yang sama, Aizawa pernah memberikan syal kepada Mic yang lupa untuk membawa miliknya. Ia tidak pernah lupa betapa senang dirinya waktu itu dan rasa hangat yang syal itu berikan kepadanya.

Mic lalu meraba lehernya sendiri. Ah. Ia lupa membawa syalnya kembali.

Melanjutkan langkahnya, Mic lalu berhenti di depan sebuah pohon besar. Di saat musim panas, mereka berdua akan datang kemari. Biasanya Aizawa akan mendengarkan lagu pilihan Mic lewat earphone yang dipakai berdua sampai mereka berdua tertidur.

Air mata Mic mengalir. Ia tidak tahan lagi.

" AAAAAAH!"

.

TBC

.