Fic pertama saiia, maaf kalau kurang memuaskan (?). Ada OC saiia juga yang namanya minjem dari chara Death Note, tau kenapa saiia tergila-gila sama nama ini. Happy reading minna.
Disclaimer : Bleach tetep punya Om Tite sampai beliau meninggal terus Bleach jadi milik gue. *dirajam om Tite dan Bleach Fans* Dan nama River Nate punya Takeshi Oobata.
Warning : Fic pertama, OOC, OC, typo terus don't like don't readlah.
You And My Best Friend
Kuchiki Rukia, gadis berumur 17 tahun ini diam tertunduk. Hanya menatap kosong cangkir berisi tehnya yang mulai terasa dingin. Dihadapannya ada seorang gadis berambut panjang sepunggung bewarna hitam kemerahan menatapnya tajam. Sunyi. Tak ada yang berniat untuk memecah kesunyian di antara mereka. Jam sudah menunjukan pukul 22.15 malam tapi tak satu pun dari mereka yang beranjak untuk tidur.
"Haaah.." hela gadis itu. Dia pun berdiri dari duduknya lalu mengangkat tangannya ke atas bermaksud merenggangkan badannya yang sudah pegal-pegal. Sudah 3 jam mereka duduk dan terdiam selama satu setengah jam. Waktu yang cukup lama dan membosankan bukan? Awalnya mereka hanya duduk santai dan mengobrol ringan lama-kelamaan arah pembicaraannya menjadi serius. Gadis berambut kemerahan itu melontarkan satu pertanyaan untuk Rukia yang sukses membuatnya bisu selama satu setengah jam.
"Jadi?" tanya gadis berambut mencolok itu, "Sesulit itukah untukmu membuat keputusan?" lanjutnya lagi.
Masih tidak ada jawaban. Entah apa yang dipikirkan Rukia sampai dia benar-benar enggan untuk menjawab pertanyaan ditunjukkan untuknya.
"Sekarang kau pilih, terus bersamanya dan berakhir konyol atau ikut denganku kita mulai dari awal lagi?" tanya gadis berperawakan cuek itu lagi.
Merasa dipojokkan Rukia berusaha menggerakan mulutnya, "Aa-aku... aku tidak tahu harus bagaimana Nate. Aku bingung," tangannya mengepal dan bergetar. Ia mengigit bibir bawahnya berusaha menahan gejolak emosinya.
Nate melihat Rukia nanar. Dia tidak tega, "Rukia kalau pertanyaanku membuatmu tidak nyaman lupakan saja," ucapnya sambil berjalan ke arah dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu yang hanya dibatasi sekat.
Dia mengaduk-aduk isi kulkas mencari makanan atau sekiranya cemilan untuk mengisi perutnya. *Ngemil malem-malem, kebiasaan Author. -plak*
"Bukan begitu, aku bingung. Aku tahu kau tidak bermaksud buruk. Kau cuma ingin membantuku khan," balas Rukia dari arah ruang tamu.
"Ya, aku memang ingin membantumu tapi sekaligus membuatmu susah," sahutnya sambil berjalan kembali ke ruang tamu dengan menenteng setoples stik keju yang dia temukan di lemari dekat kulkas dan beberapa kemasan makanan 'misterius' yang didapatkannya di laci dapur.
Rukia sweatdrop melihat nafsu makan gila-gilaan teman sejak kecilnya ini. Nate suka sekali makan malam-malam. Tapi entah kenapa hal itu tidak membuatnya gemuk. Sedangkan di luar sana para gadis mati-matian berdiet. "Justru kalau makan dipantang malah bikin gemuk dan sakit," ucap Nate suatu ketika dan sampai sekarang belum terbukti kebenaran tentang teorinya.
"Rukia, kau mau?" tawar Nate menyodorkan toples stik keju-nya.
"Tidak terima kasih, kita khan sudah makan malam tadi. Aku masih kenyang," tolak Rukia halus.
Nate pun mengambil posisi duduknya semula sembari membuka toples makanan-nya lalu memulai ritual ngemilnya.
"Uum.. Nate?"
"Ya?"
"Kau serius dengan ucapanmu tadi? Kau.. kau ingin aku putus?" tanya Rukia takut-takut.
Nate menghentikan kegiatannya, ditatapnya serius gadis bermata violet yang berada di sampingnya.
"Memang aku ingin kau putus, bahkan aku sudah memberikan alasan dan argumen yang bagus untuk kau putus dengannya," ujar Nate.
Sekali lagi Rukia diam, diraihnya minuman tehnya yang sudah tinggal setengah. Dihabiskannya teh itu sekali teguk. "Hem..." gumamnya seraya menaruh kembali cangkir itu di atas piring kecil yang coraknya sama dengan cangkirnya. Nampaknya Rukia lebih rileks sekarang. Tangannya sudah tidak bergetar lagi. Dia tidak segugup yang tadi. Mungkin karena Nate sudah bersikap seperti biasanya.
Baru pertama kalinya Rukia melihat sahabatnya menjadi serius dan menakutkan seperti 2 jam yang lalu. Setiap harinya Nate bersikap cuek, keras kepala dan jahil. Jahil? Ya, jahil, kalian akan tahu nanti. Tapi malam ini Nate terlihat berbeda, membuat Rukia takut menghadapinya.
"Entahlah Nate," kata Rukia yang baru tersadar dari lamunannya, "Kau benar dalam beberapa hal, hanya saja aku tidak mungkin memutuskannya begitu saja. Kesannya aku egois sekali. Ini namanya keputusan sepihak," jelasnya.
Nate melipat kedua tangannya di dada, tidak setuju dengan penuturan Rukia, "Kau bilang kau egois?" katanya dengan menaikkan volume suaranya, "Siapa yang lebih egois dari dulu heh? Aku memang tidak terlalu akrab dengan pacarmu tapi aku melihat semuanya," serunya emosi sambil memasukkan 5 batang stik keju sekaligus ke mulutnya. "Kau selalu menangis dan terlihat sedih 5 menit setelah pulang kencan dengannya. Atau kalau tidak aku mendengar 'Dia' marah-marah tidak jelas dan berteriak kesal padamu, setelah itu 'Dia' akan meninggalkanmu termanggu di depan rumah, tanpa mengucapkan sepatah kata maaf. Lalu kau akan masuk ke rumah dengan aura kesedihan tingkat 5 dan saat kutanya kenapa, kau hanya menjawab singkat, 'Tidak ada apa-apa, aku cuma sedih karena harus berpisah lagi dengannya.' Alasan yang bagus sekali Rukia mengingat 'Dia' tinggal di Seireitei sedangkan kau di sini. Di Karakura. Tapi kau selalu mengucapkan kata-kata itu. Aku muak mendengarnya dan aku muak melihat kau menderita karenanya," cecar Nate tanpa ampun.
"Kau mendengar semua obrolan kami?" tanya Rukia tidak percaya.
Nate memutar bola matanya, "Salahkan dirimu sendiri kenapa saat adegan itu kalian berdua ada di depan rumahku."
Rukia mengerutkan keningnya, emosinya mulai terpancing karena ucapan Nate, "Oh maafkan aku, wajar bukan kalau seorang pacar mengantarkan gadisnya pulang ke rumahnya. Dan aku memang tinggal.. koreksi menumpang di rumahmu, maaf kalau itu mengganggumu lain kali aku akan mencari tempat yang aman untuk mengobrol. Aku tahu aku tidak berhak bicara begini, tapi hargailah privasi orang. Kau jadi suka mencuri dengar pembicaraan orang lain ya," sindir Rukia.
"Hei, aku buka tuna netra ataupun tuna rungu dan jendela kamarku tepat menghadap keluar rumah. Meskipun kamarku ada di lantai dua, aku masih bisa mendengar dan melihat dengan jelas apa yang terjadi antara kau dan dia," cetus Nate tidak mau kalah, "Kuakui belakangan ini aku memang sengaja memperhatikan kalian akan tetapi itu karena aku mengkhawatirkanmu. Kau jadi pemurung dan terlihat sedih sejak setengah bulan lalu. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu. Padahal saat satu bulan setelah kalian jadian, semua baik-baik saja."
Kini sikap Nate sedikit melunak, ditaruhnya toples stik keju yang sudah tak tersisa. Diraihnya salah satu bungkusan makanan 'misterius-nya' lalu dihabiskannya dengan sadis.
"Aku pun tidak mengerti apa yang mengubahnya. Dulu dia begitu baik, begitu perhatian membuatku jatuh cinta padanya. Sekarang dia... begitu terlihat berbeda," ujar Rukia lirih.
"Kau masih mencintainya?"
Rukia menganggukan kepalanya.
"Setelah dia menyakitimu, kau masih mencintainya?"
Tanpa ragu Rukia kembali menganggukan kepalanya.
Hap. Nate melahap cemilannya yang ketiga. "Kurasa kau sakit Rukia, kau terkena sindrome 'Aku Cinta Mati Padanya' dan sulit menemukan penawarnya," Nate sudah mulai ngaco.
Rukia menoleh ke arah sahabatnya, memutar bola matanya. Tidak peduli dengan ucapan aneh Nate.
Nate terkikik geli, "Well, paling tidak penyakit itu tak menular."
"Penyakitku lebih baik daripada perilaku aneh seorang gadis remaja 15 tahun yang melihat laki-laki tampan tapi tak bereaksi sama sekali dan mengatakan buku lebih menarik," ledek Rukia sarkastis sambil mengibaskan rambut ravennya ke belakang.
Sontak Nate menenggelengkan kepala menghadap Rukia, merasa disinggung. Matanya menyipit, "Hei, sudah kukatakan aku memang tidak tertarik dengan laki-laki. Masih banyak hal yang ingin kulakukan dibandingkan mencoba menjalin suatu hubungan. Lagipula aku benar, laki-laki tampan belum tentu tipeku wajar aku tak menggubrisnya."
"Aku tidak menyebutkan namamu tadi, kenapa kau tersinggung?" tanya Rukia skeptis.
"Ck, mengalihkan pembicaraan ya. Kutanya sekali lagi kau mau putus dengannya atau tidak?" Nate melontarkan pertanyaan yang sama seperti 2 jam yang lalu.
Rukia menunduk pasrah, suasana di ruang tamu itu berubah dingin. Sekarang malam makin larut ditambah bulan ini sudah memasuki musim dingin menggantikan musim gugur yang hangat tapi salju masih belum turun. Hawa dingin di luar mulai menelusup masuk melalui celah-celah ventilasi membuat penghuni rumah itu merapatkan tubuhnya. Nate menggeser meja agar tidak menghalanginya untuk jongkok di depan Rukia. Ia genggam tangan mungil Rukia erat.
"Aku ingin kau berpisah dengannya. Ini untuk kebaikanmu, jahat memang. Tapi Rukia aku berjanji akan mencarikan lelaki yang jauh lebih baik darinya dan memberikan kebahagiaan untukmu," dilihatnya Rukia dari bawah, "Aku hanya tidak ingin melihatmu menderita…" lanjutnya.
"Aku tahu itu," Rukia mengangkat sedikit wajahnya, "Dia orang yang kucintai dan kau adalah sahabatku. Kalian berdua sangat berharga bagiku."
"Berbeda dariku, dia selalu membuat jantungmu berdetak lebih cepat sehingga rona merah di pipimu muncul saat mengingatnya, memberikanmu kehangatan, menjadikanmu seorang gadis dengan cinta, sampai dia menyakitimu! Sedangkan yang bisa kuberikan hanyalah rasa sayang sebagai sahabat dan sedikit perhatian, tapi aku sangat menyayangimu, kau sudah kuanggap saudara perempuanku sendiri."
"Itu tidak benar, kau sudah memberiku lebih dari cukup. Dia memang sudah menyakitiku tapi pasti ada alasannya, lagipula aku selalu berbuat hal bodoh di depannya."
Rukia menggeser posisinya agar Nate bisa duduk di sampingnya.
"Menurutmu apa pendapat Byakuya kalau mengetahui hal ini?" tanya Nate tiba-tiba.
Rukia tersentak, "Tidak, jangan nii-sama aku mohon," erang Rukia. "Kau tahu khan tindakan apa yang bisa dilakukan nii-sama?"
"Ya, mungkin nii-samamu akan menghampiri pacarmu sambil menenteng pedang pusaka keluarga Kuchiki, Senbonzakura. Untuk ditancapkan di kepala lelaki itu."
Glek, Rukia menelan ludahnya, "Mustahil Byakuya nii-sama melakukan itu, fantasimu terlalu mengerikan."
"Tidak ada yang tidak mungkin bagi seorang Byakuya, semua akan diperbuatnya jika tahu adik kesayangannya disakiti. Setidaknya aku salah tentang Senbonzakura, Byakuya tidak akan menodai pusaka berharga milik Kuchiki hanya untuk membantai satu orang laki-laki. Toh, dia punya koleksi pedang lain."
"Hentikan ocehanmu, aku benar-benar merinding sekarang," Rukia membayangkan khayalan Nate menjadi kenyataan, "Tolonglah Nate jangan adukan kasusku pada Nii-sama bisa-bisa aku diseretnya pulang ke Seireitei. Apa kau lupa perjuangan kita untuk aku tinggal di Karakura?"
Nate menggelengkan kepalanya kuat, mengingat ekspresi dingin dan menakutkan Byakuya yang sanggup membuat orang-orang yang tidak kuat imannya mati berdiri.
"Sensasi ketika aku mendebat Byakuya agar kau diijinkan pindah ke Karakura masih terasa hingga sekarang."
"Karena itu jangan katakan apapun pada nii-sama. Beruntung Ibumu seorang Pengacara, sepertinya keahliannya menurun padamu sehingga kau berhasil meluluhkan hati nii-sama."
"Mengalahkan Kuchiki Byakuya tepatnya," Nate mengoreksi ucapan Rukia, "Kakakmu yang terkenal angkuh, dingin, jenius, dan tak terkalahkan akhirnya menyerah dihadapanku," sambungnya narsis.
"Aku juga banyak membantu."
"Sedikit," bantah Nate.
Dari dulu Nate jago berbicara juga sifat tidak mau kalahnya menambah kepercayaan dirinya, dia tak pernah kalah dalam adu mulut.
"Terserah," putus Rukia tidak peduli. Ia berdiri dari duduknya, tangannya terkepal ke udara, layaknya seorang atlet mengumumkan kemenangan.
"Yosh, kuputuskan akan melupakannya! Sebenarnya sejak tadi aku memikirkan semua pendapatmu dan bermaksud mengikuti saranmu."
"Benarkah?" mata merah Nate berbinar-binar sekarang, "Tapi jangan paksakan dirimu jika masih terasa sulit untukmu."
"Sudahlah, aku sudah membulatkan tekadku," kata Rukia meyakinkan.
"Kalau begitu kita mulai dari memutuskan komunikasimu dengannya," Nate bersemangat.
"Caranya?"
"Hapus nomornya jadi kau tidak bisa menghubunginya lagi. Jika dia yang menghubungimu reject saja,"
Dengan polosnya Rukia langsung melaksanakan perintah Nate, tanpa dia sadari...
"Akh.. Aku tidak ingat nomornya. Sudah terlanjur kuhapus," Rukia menjambak rambutnya, "Bagaimana aku memberi tahunya kalau aku minta putus?"
"Enam bulan kau pacaran tapi tidak ingat nomornya sama sekali?"
"Kau sendiri memangnya ingat nomor handphonemu?"
"Karena tidak penting, aku cepat melupakannya. Cek panggilan terakhir pasti masih ada nomornya," Nate memberi saran.
"Kau benar, aku masih menyimpannya," kata Rukia setelah mengecek, "Aku akan mengirimnya pesan. Hem, kupikirkan kata-katanya di kamar saja."
"Ya. Sudah larut sebaiknya kau tidur. Besok aku tidak mau jogging pagi karena kau telat bangun lagi. Naiklah ke atas duluan, aku mau membereskan sampah-sampah ini dan mengunci pintu," kata gadis bermata merah itu seraya menepuk pundak Rukia, "Jangan khawatir, aku akan membantumu melupakannya. Aku selalu di sisimu."
Rukia tersenyum mendengar perkataan Nate, "Terima kasih. Senang mengenalmu kawan."
"Aku memang menarik."
Ruang kamar yang tidak terlalu besar tapi dalamnya cukup rapi, penataan barang-barangnya sederhana dan terkesan simple. Dindingnya dilapisi cat putih polos. Satu tempat tidur berukuran single terletak di pojok sebelah kiri ruangan menghadap ke Utara, di sampingnya ada meja kecil tempat meletakan lampu dan satu meja belajar berwarna cream berada di seberang tempat tidur dan satu lemari pakaian.
Rukia menghempaskan tubuhnya ke kasurnya, dengan posisi punggung menghadap ke atas, membenamkan wajahnya ke bantal. Mengambil ponsel di sakunya, mulai mengetik sebuah pesan, sejenak dia terdiam memikirkan kalimat selanjutnya kemudian jempol mungilnya menekan tombol send ke nomor tanpa nama. Ada setitik air mata menggenang di mata violetnya. Buru-buru ia hapus sesuatu yang asin di matanya.
Setelah itu ia hapus history call-nya dan menutup kupingnya kalau-kalau ada sms atau panggilan masuk dari pacarnya.. bukan mantannya, ini keputusan sepihak. Sepuluh menit berlalu, ponselnya tak menunjukan tanda-tanda akan berdering. "Baka, terang saja Rukia, sudah jam 12 malam lewat kau kira dia masih terjaga!" rutuknya dalam hati.
Dia pun menekan tombol power ponselnya hingga benda itu tak mengeluarkan cahaya kehidupan lagi dan layarnya berubah gelap. Tetap saja Rukia takut kalau tiba-tiba ada balasan sms dari 'mantannya'. Kemudian dilemparkannya ke sembarang arah tepat mengenai besi ranjangnya.
Rukia mencoba memejamkan matanya berharap dapat membuatnya terlelap, terbuai dalam mimpi indah dan melupakan cinta pertamanya. Tapi sanggupkah ia?
After the Scene
Author : "Lho, akhir ceritanya bisa dibilang udah tamat gak sih?" *garuk-garuk kepala*
Ichigo : "Tamat gimana, wong gue tokoh utamanya aja belum muncul. Bukannya gue yang diceritaiin malah OC loe yang dikeluarin."
Author : "Eh, Ichigo dari mana loe bisa masuk sini? Pergi! Kolom ini cuma buat chara yang tampil di Fic barusan." *nendang Ichi keluar*
Rukia : "Heh, gue kok dibuat OOC gitu sih. Berani bener loe 'author baru' macem-macem sama gue?"
Author : "Maklum Ruki gue baru kali ini bikin Fic, OOC no jutsu gue keluar dah. *smirk*
Rukia : *diem*
Nate : "Bahkan loe juga buat gue OOC."
Author : "Masa? Khan loe OC gue tau dari mana loe tau gue buat OOC?"
Nate : "Gue udah baca profil buat gue di kompi loe. Bener-bener beda jauh."
Author : "Perasaan loe aja kali. Gue gak gitu kok orangnya." *ngeles no jutsu*
Nate : *ngeluarin zanpakutou*
Author : "Wait! Mau ngapain loe?"
Rukia : "Biar gue bantu, mae Sode no Shirayuki."
Author : "Cih, keroyokan nih mainnya. Gue gak takut sama kalian. Gue punya jurus maha sakti. Eniwei, 1 lawan 2 mending gue kabur." *langsung minggat*
RukiNate : *cengo*
Author's Note
Ceritanya agak membingunkan ya? Saiia memang payah soal deskripsi, tapi nekat mem-publish cerita. Ibu ampuni anakmu ini (?). Tokohnya juga baru dua, awalnya sama mau buat prologue tapi kepanjangan jadi gak jadi deh. *ketahuan blo'onnya*
Nah, readers maafkan saiia. Karena baru Fic pertama udah pake OC. Soalnya menurut saiia emang perannya pas buat Nate. Gak kepikiran pake chara di Bleach. Lagian ada alasan utama kenapa saiia pake OC. Nanti kalian juga tau, nfufuufu... *dibakar gara-gara sok*
Ng.. anu setelah update beberapa Fic saiia akan menghilang sebentar, menikmati masa muda. Sebut saja liburan. Karenannya jangan hajar saiia, belum apa-apa udah minta cuti dan gak sempet review Fic senpai. Gomen.
'Readers yang baik adalah readers yang meninggalkan sesuatu untuk authornya... misalnya Review.' *copas dari forum tetangga* *dibantai readers*
Kritik? Saran? Flame? Roti? Untuk author? Boleh...
