Fandom: Persona 3 Portable
Pairing: Ryoji/Minako
Disclaimer: P3P © Atlus
Warning: Modified canon, spoilers.
Notes: Saya jatuh cinta pada pairing ini. Saya—cinta—setengah mati—sama pairing ini. Dan, oh God, mengapa jarang sekali ada orang menulis OTP kesayangan saya ini fgdsajdfhjsfgjhdjg.
Notes2: Uuuh, maaf kalau OOC atau gimana. Saya udah berusaha untuk tetap stay in-chara—tapi sisi fangirling saya selalu menghancurkan segalanya. ;_;
*Edited at 14/01/2011. Terima kasih untuk Hayato Arisato yang sudah menunjukkan typo nista saya. ;3;
—Hellbound—
© heylalaa
Ryoji berpikir untuk berkata, aku mencintaimu, seperti novel-novel remaja yang pernah ia lihat di toko buku, atau film-film romansa yang beberapa kali ditayangkan di bioskop. Namun ia melihat wajah gadis itu, memandang cahaya cantik di bola mata yang kini memancarkan kesedihan, menatap lengkung masam yang tak pernah cocok untuk singgah di bibir merah mudanya, dan berujar,
"Bunuh aku, Minako-chan."
Lalu, sewaktu Minako menggeleng tegas, Ryoji menghela napas untuk kesekian kalinya, kemudian mengalihkan pandangan.
"Ryoji—"
Dan—
Ada seorang perempuan (dan kematian yang merantai kedua pergelangan kakinya).
Ada seorang lelaki (dan monster yang bersiap untuk menghancurkan segala hal yang disayanginya).
Ada sebuah dunia, merangkul keduanya dengan cahaya kekuningan sang rembulan dan bau darah yang menusuk hidung (berserta ingatan masa lalu yang terkunci jauh di dalam batin).
Lalu, ada setitik perasaan nostalgia (yang melukiskan segaris benang merah di kelingking keduanya tanpa mereka sadari).
(Dan pertanyaannya adalah: yang manakah yang seharusnya tak ada?)
Aku pernah bertemu denganmu.
Hal itulah yang pertama kali terbesit di benak Ryoji kala sebuah senyuman terbentuk di wajah oval Minako.
Ada sesuatu yang familiar dari cara Minako melengkungkan bibirnya, kemudian memiringkan kepala dan menengadahkan wajah untuk menatap Ryoji. Ada sebuah perasaan yang aneh (nostalgia? rindu?) memenuhi dirinya sewaktu mendengar perempuan itu tertawa sembari ia melontarkan celotehan kepada Junpei. Ada sebuah sengatan listrik yang membuatnya terpaku, terdiam, tak mampu mengalihkan pandangan dari permata merah Minako yang elok dan ceria dan indah dan melukiskan segala hal tentang manisnya kehidupan.
Ada sesuatu yang berbeda dari Minako, yang menyebabkan Ryoji ingin memeluk remaja tersebut dan tidak pernah melepaskannya (lagi).
"Senang bertemu denganmu, Ryoji-kun," ujar Minako seraya ia menyembunyikan kedua lengan di belakang punggung, cengiran bertambah semakin lebar (semakin cantik) dan matanya menatap dengan rasa penasaran yang kekanak-kanakan.
Sementara jauh, jauh di dalam hati Ryoji, sebuah suara terkekeh pelan, kemudian berbisik, tidak, kau seharusnya tidak merasa senang, gadis kecil.
(Dan jauh, jauh di dalam dirinya, sesuatu terasa seolah akan patah dan—dan hancur.)
Ryoji mengabaikan bisikan tersebut, kemudian mengulurkan tangannya dan balas tersenyum.
Minako cantik. Minako manis. Minako menawan.
Namun ia tidak tersenyum dengan pipi memerah ketika Ryoji mengatakan hal-hal tersebut. Ia hanya tersenyum kecil, kemudian menepuk pundaknya seraya mengucapkan kata terima kasih. Seolah Ryoji baru saja mengembalikan pulpen yang terjatuh di bawah meja, atau meminjamkan penghapus kala ia membutuhkannya. Seakan Ryoji tidak sedang berdiri di sini, di hadapannya, dengan tangan terkepal dan keinginan untuk menggenggam jemari kecil tersebut dan membawanya pergi ke ujung dunia.
(Untuk menghancurkannya, sebuah suara familiar kembali berbisik, dan Ryoji dapat mendengar seringai yang tersirat di antara kata-kata itu.)
Ryoji menggelengkan kepala.
"Ryoji-kun?" panggil Minako, dan sewaktu Ryoji menoleh kepadanya dengan senyuman terpaksa, ia mengernyit. "Kau baik-baik saja? Mukamu agak terlihat... pucat?"
Mendengarnya, Ryoji hanya memiringkan kepala dengan lengkung bibir yang mengisyaratkan permintaan maaf. Ia mencondongkan wajah, mendekati Minako yang mengerjap melihat gestur tersebut, kemudian berkata, "Aku tak apa-apa. Hanya saja, kau terlihat sangat cantik hari ini, Minako-chan."
Lalu, Minako tergelak.
"...namun entah mengapa, rasanya sakit melihatmu secantik ini," lanjut Ryoji seraya ia menunduk, menyembunyikan kesedihan (dan kebingungan dan ketersesatan dan suara tawa yang menggelegar di telinganya) di balik syal kuning. Ia terdiam beberapa saat, sementara Minako menunggu dengan tangan memangku wajah. Kemudian perlahan, Ryoji mengangkat kepalanya berserta kening yang berkerut, dan bertanya, "Apakah menurutmu ini hal yang aneh?"
Namun, Minako tidak menjawab apa pun. Ia hanya mengeluskan jemari lentiknya di atas kepalan tangan Ryoji, dengan mata terpejam dan senyum tenang menghiasi sudut-sudut bibir.
Ryoji berpikir, mungkin ia berkata 'tak apa'.
(Namun lagi-lagi, suara di dalam dirinya terkekeh pelan, seolah mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya.)
"Katakan padaku, Minako-chan, mengapa kau selalu terlihat begitu manis—bahkan di pagi hari seperti ini, hm?"
Dan seperti biasa, Minako selalu membalasnya dengan tatapan seperti itu—tatapan yang tidak mengerti bahwa apa yang Ryoji katakan adalah kebenaran. Bahwa yang ia ucapkan kini bukanlah sekadar kata-kata biasa. Bukanlah sebuah rayuan yang selalu ia tebarkan kepada bunga-bunga di luar sana dengan senyum terkembang. Bukanlah sebuah kalimat yang mudah untuk dirangkai dan dilontarkan tanpa merasa bahwa hatinya seolah akan retak.
(Bukanlah sesuatu yang semestinya Ryoji katakan kepadanya.)
"Katakan padaku, Ryoji-kun, mengapa kau begitu mudah melontarkan rayuan gombal seperti itu, hm?" balas Minako dengan seringai nakal bermain di wajah, sementara sebuah tepukan lembut yang mendarat di lengan sang pemuda.
Ryoji ingin membalas, hal ini tidak mudah, kau tahu?
Ia ingin menjawab bahwa sulit untuk melihat betapa cantiknya Minako dan tahu bahwa waktu terus berputar dan esok akan selalu datang. Ia ingin berujar kepada gadis di sampingnya ini, yang begitu indah dan ceria dan—dan hidup, bahwa kau adalah segalanya bagiku, dan aku ingin mengajakmu pergi jauh dan menghindar dari segala sesuatu yang mampu mencuri kerlipan bahagiamu itu.
Aku ingin melindungimu.
(Dan entah mengapa, kata-kata itu terasa salah di lidahnya. Terasa asing. Terasa... palsu.)
Namun yang Ryoji lakukan hanyalah balas tersenyum, dan ikut tertawa, seraya menatap lautan yang begitu biru terbentang lebar di bawah rel kereta, berkilauan tertimpa sinar mentari pagi.
Ketika malam tiba dan melunturkan warna-warna cerah lainnya di angkasa, mengganti biru menjadi hitam, membuang matahari dan melukiskan rembulan, Ryoji terbangun dengan mata terbelalak, tangan menggenggam erat seprai tempat tidur dan keringat dingin membasahi wajah. Ia terdiam di atas tempat tidur, melarikan tangan ke sela-sela rambutnya dan—dan... terpaku, diam dalam keheningan malam sembari mendengarkan jarum jam yang terus berdetak.
Tik tok tik tok. Tik tok tik tok. Tik tok tik tok.
Ia membuka jendela dan menatap bulan yang kini bersinar keperakan, terlihat kesepian tanpa bintang-bintang kecil yang menemaninya. Ryoji menatap bisu dunia sementara waktu terus melangkah, memaksa segala hal untuk mengikutinya dan menginjak siapa pun yang lambat dan tak mampu menyelaraskan langkah. Ryoji menatap bisu dunia sementara bayangan-bayangan samar mulai membanjiri benaknya (menggambarkan perempuan kecil dengan bola mata semerah darah yang menatap ketakutan; melukiskan rambut pirang dan mata biru terang yang perlahan-lahan kehilangan cahaya; memperdengarkan teriakan melengking dan tangisan seorang anak kecil yang kian lama kian menyayat hati).
Ryoji masih mampu mengingat bagaimana Minako melambaikan tangan dengan santai dan menyerukan, sampai jumpa besok! Ia masih dapat membayangkan bagaimana langkah kaki Minako terdengar begitu ringan, bagaimana ia melengkungkan bibir dan tertawa seolah semuanya terasa sangatlah mudah. Ia masih bisa mengingat bagaimana rasanya berlutut di hadapan remaja tersebut, menggenggam telapak tangannya dan mencium dengan lembut, sembari gelak tawa gadis itu menari-nari di pendengaran.
Ia masih dapat mengingat semua hal itu seolah segalanya baru saja terjadi kemarin.
Namun malam ini, ada suatu ingatan lain yang muncul di otaknya. Memori yang salah—yang palsu namun terasa begitu tepat; begitu nyata. Bayangan di mana Minako tidak sedang tertawa (melainkan menangis), dan ia tidak sedang mengecup telapak tangannya (melainkan mematahkan setiap buku-buku jarinya).
Dan bayangan itu tidak menyenangkan. Membuatnya kesal. Membuatnya—membuatnya—rindu?
(Tapi itulah kenyataanmu, bahkan jauh lebih nyata daripada semua yang saat ini kau jalani, suara itu kembali berbisik mengingatkan, dengan tawa merendahkan.)
Ryoji menggeleng tegas, kemudian menutup jendela dan menarik gorden, tidak membiarkan sinar rembulan menyinari dirinya.
Sementara dunia terus berotasi, waktu tak henti-henti menari di tengah malam, Ryoji menunggu (dan berusaha meyakinkan diri bahwa setiap gambaran yang bermain di dalam otaknya saat ini hanyalah mimpi buruk biasa).
Klik.
"Ryoji-kun?"
"Minako-chan!" seru Ryoji, terdengar begitu senang mendengar suara perempuan itu melantun dari seberang telepon, "Ah, maaf. Apa aku mengganggumu?"
Sebuah tawa lolos dari bibir telepon. "Tak apa kok, Ryoji-kun. Hmm, ada apa?"
Ryoji menghelakan napas lega. Minako baik-baik saja. Ia hidup. Ia berbicara. Ia tertawa. Ia masihlah Minako yang sama; yang selalu menampilkan kurva kebahagiaan dengan cara yang unik; yang dapat mencuri napasnya hanya dengan satu kerlingan mata; yang berjalan dan melangkah dan tertawa dan berbicara dan hidup dengan sangat mempesona.
"Aku—"
—merindukanmu, mencintaimu, menginginkanmu. Kata-kata manis yang entah mengapa kian lama kian terasa menyakitkan untuk diucapkan kepada gadis tersebut.
—mengotorimu, merusakmu, menghancurkanmu. Kata-kata yang—yang kini malah terdengar begitu cocok di lidahnya. Yang terasa bagaikan kebenaran.
"Ryoji-kun?"
Ryoji mendesah pelan, lalu memejamkan mata, membiarkan hembusan napas Minako yang terdengar dari seberang telepon mengantarnya ke dalam ketenangan. Berusaha untuk mencari sesuatu di balik nada-nada lembut tersebut yang mampu membuktikan bahwa ia ada di sini; bahwa ia benar-benar nyata dan hidup; bahwa hal yang sekarang ia sentuh dan ia alami bukanlah sekedar permainan cahaya belaka.
(Kekehan itu kembali datang, dan kali ini, ia mendesis, Jangan pernah berharap.)
Ryoji tidak ingat sejak kapan dunia terlihat begitu indah seperti ini. Sangat cantik. Sangat menawan dan mempesona dan entah mengapa membuatnya merasa begitu sulit untuk bernapas.
Angkasa membuka lengannya dan memperlihatkan permadani paling biru yang pernah ia lihat. Gedung-gedung menjulang tinggi, seakan-akan ingin menusuk langit dan merobek payung yang selama ini terus menaungi bumi. Anak-anak kecil berlarian di taman dan saling tertawa, melempar pasir dan dedaunan ke temannya yang lain seraya menggerakkan kaki kecil mereka. Angin-angin membisikkan kata-kata romantis kepada pepohonan dan bunga-bunga kecil di pinggir jalan, seraya burung-burung berdansa dan bernyanyi dengan sayap terkepak.
Dan di sampingnya, Minako menampilkan kurva termanis yang pernah ia tunjukkan. Hanya di sini. Hanya di depannya dan hanya kepadanya.
Hanya untuknya.
(Dan semua hal indah ini membuatnya muak.
Menyebabkan rasa perih yang menyerang ulu hatinya. Memaksa air mata yang kini tertahan di pelupuk mata untuk terus mendorong dan mematahkan pertahanannya.
Ini aneh. Bukankah ia seharusnya merasa bahagia?)
"Minako-chan."
Minako mengalihkan pandangan dari panorama di depannya, kemudian menatap Ryoji. Dengan permata merah yang cantik, yang menumpahkan segala hal menyenangkan dan mampu menenggelamkan setiap orang yang melihatnya ke dalam ketenangan. Dengan bola mata yang selalu menemani malam-malam sepinya dan begitu ia cintai.
(Yang akan segera kehilangan kerlipannya apabila kau menyentuhnya, sebuah suara kembali berbisik, dan Ryoji berharap agar ia bisa melenyapkan suara tersebut.)
Ryoji menatap ujung sepatunya, kemudian menengadahkan wajah. Telapak tangan mencengkram dada, menahan rasa sakit yang pelan-pelan mulai membuat matanya berair (karena sakit, atau karena sedih?). "Kau—kau... adalah satu-satunya bagiku," bisiknya perlahan, sembari Minako terbelalak, tak tahu harus membalas apa. "Satu-satunya yang kuinginkan."
"Ryo—Ryoji—?"
"Karena itu, kumohon," Ryoji menggenggam telapak tangan Minako, mengelusnya dengan lembut, kemudian melanjutkan, "Tetaplah di sampingku."
Keheningan mulai menyelimuti mereka. Keheningan yang terasa menenangkan; yang begitu lama dan terasa bagaikan selamanya; yang membisikkan berjuta-juta perasaan manis yang tak mampu tersampaikan oleh kata-kata; yang terasa seperti rumah—tempat tinggal, tempat berpulang, tempat merasa aman.
Dan kala Minako tersenyum kecil (dan entah mengapa selalu berhasil untuk membuat hatinya patah berulang kali) seraya mengangguk pelan, dengan pipi memerah berserta mata yang kini memancarkan cahaya lain, Ryoji balas tersenyum tipis.
Kemudian, mengeratkan genggamannya.
(Dan hal ini terasa—terasa... salah.)
"Aku ingin melindungimu," ujar Ryoji, sembari ia merasakan jemari-jemari halus Minako menghapus air mata yang terus-menerus turun, menyebarkan rasa asin ke lidahnya yang hambar. "Aku—aku tak ingin membuatmu bersedih, atau terluka, atau menangis."
Minako mengangguk, dan ia berbisik lembut, "Aku tahu."
Ryoji menatap wajah remaja itu selama beberapa saat, kemudian menggeleng cepat. "Ada—ada sesuatu dalam diriku. Aku tak tahu apa itu. Tapi—aku hanya merasa bahwa akulah yang akan membuatmu bersedih. Akulah yang akan membuatmu terluka. Akulah—"
"Ryoji-kun—"
"—yang akan membuatmu menangis."
Kemudian, Minako melarikan tangan ke wajah Ryoji, menyentuh dengan penuh perhatian sembari memaksa kedua bola mata biru tersebut untuk menatapnya. Biru bertemu merah, rasa takut bertemu determinasi yang kuat, lelaki bertemu perempuan.
(Iblis bertemu malaikat.)
"Dengar, kau takkan begitu, Ryoji-kun," bisik Minako, dan Ryoji bermaksud untuk mengelak dan mengatakan, Ya! Aku akan melakukan hal itu dan kau tak tahu itu. Namun untuk kesekian kalinya, Minako lagi-lagi memotong—
—tiba-tiba yang ada hanyalah ia dan Ryoji dan dunia yang berputar di sekeliling mereka.
Yang ada hanyalah malaikat yang tersenyum sedih dan iblis dengan tanduk yang patah dan rantai berkarat yang kini mengikat keduanya. Yang ada hanyalah dua remaja, dan dua pilihan yang kini tidak lagi terasa penting. Yang ada hanyalah mereka, dan tangan Ryoji yang kini mencengkram bahu Minako dengan ragu (seolah tak tahu apakah ia harus menarik mendekat, atau mendorong menjauh), dan bibir kering yang kini menyentuh bibirnya dengan harapan yang telah terbakar bahkan sebelum diucapkan.
Seharusnya ini terasa manis. Seharusnya ini terasa mendebarkan dan menyenangkan dan romantis dan—dan segala hal yang film-film berserta cerita romansa itu tuangkan ke dalam otak para remaja.
Semestinya ini terasa benar, karena begitulah ciuman pertama sepatutnya terasa, bukan?
(Tapi ini terasa salah, dan Minako bahkan tak tahu di mana letak kesalahan tersebut.)
Namun yang saat ini Minako rasakan hanyalah keputusasaan, kebingungan, dan rasa asin yang kini mulai memenuhi lidahnya. Pipi mulai terasa basah, sementara tangannya sibuk mencengkram syal Ryoji, tak membiarkan pemuda tersebut untuk pergi menjauh setelah dengan mudahnya ia melangkah masuk ke dalam kehidupannya.
Di dimensi lain, di kisah lain di mana tak ada Shadow atau kematian atau rembulan yang bersinar kekuningan, hal ini mungkin akan terlihat romantis, manis—semua hal yang diinginkan gadis-gadis lajang yang haus akan euforia merah muda.
Namun di sini?
...Hal itu hanya terasa tragis.
—dan berkata, "Kita pasti akan baik-baik saja, oke? Percayalah padaku!"
(Dan jauh, jauh di dalam benak Ryoji, sebuah suara tertawa mengejek.)
Fin.
Notes3: Oh, maaf banget kalau kesannya ngerush. Hari ini saya bakalan study tour dan saya nggak mau harus nunggu selama satu minggu buat ngepublish fic Ryoji/MShe ini jdskjdfghsdhg. Makanya saya ngerush bikin ini. Maaf bangeeeeet.
Notes4: Udah ikutan polling IFA 2010 belum? Belum? AYO IKUTAAAAN! Datang ke profil saya dan klik link yang ada di sana, oke oke? ;)
Notes5: OH GOD SAYA BIKIN FIC PERSONA HELL YEAAAH.
Notes6: Em... bersediakah mereview? Kasih tahu ya kalau ada yang salah ketik atau bagaimana. Nggak sempet proofread. Oh. ;_;
