Perasaan ini mendatanginya lagi. Bau darah...bau mayat...bau para titan. Bau asap, bau pembantaian, aroma 'ruang utama' santap masal, serta suara teriakan ketakutan dan horor.
Mikasa sebenarnya sudah biasa dengan itu semua. Namun ketika tubuhnya nampak rapuh tanpa perlengkapan perang seperti ini...jika diingat-ingat lagi, ini semua seperti mimpi buruk yqng tak pernah selesai.
Ia membiarkan air hangat shower membasuh habis seluruh bau amis yang menempel dari tubuhnya. Keringat, darah, liur para titan, air mata rekan-rekannya yang gugur; kulitnya serasa menjerit dengan sendirinya, menciptakan nuansa mencekam yang abnormal.
Ia tidak takut; oh, dia pemberani. Semua orang tahu itu. Bahkan Jean juga tak pernah mengingkarinya.
Namun...Mikasa hanya tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya jika Eren 'kembali' meninggalkannya.
Kedua lengan Mikasa jatuh serta berayun pada kedua sisi tubuh berlekuk sempurnanya. Sisa-sisa busa sabun beraroma campuran bunga masih membuih dari tangannya. Padangannya menusuk ke lantai kamar mandi, memperhatikan berliter-liter air yang membentuk pusaran sebelum akhirnya tersedot lubang aliran.
Mikasa teringat pada kematian kedua orang tuanya... Mikasa teringat dengan nasib ibu angkatnya juga... Ia teringat dengan ratusan rekan-rekannya yang gugur dalam gelimang danau darah...
Lalu, Eren.
Ia memang tak melihat langsung kematian pemuda yang dimaksud. Namun Mikasa merasakan napasnya begitu sesak saat itu. Wajah Armin juga menjadi cermin yang memantulkan kejadian mengerikan tersebut, membuat Mikasa semakin kalap, hilang kendali; yang namun, menutup perasaan sebenarnya menggunakan topeng dingin serta profesional.
Ia selalu dikenal sebagai perempuan yang tenang dan memiliki kekurangan dalam berekspresi. Tapi sekarang, rekan-rekan seangkatannya telah mengerti, betapa emosionalnya 'kah perempuan bernama Mikasa Ackermann jika itu sudah menyangkut Eren Jäger. Ia kuat, namun dihadapan Eren ia merasa begitu lemah; selalu tak cukup kuat.
Ia ingin melindungi Eren; tak ingin ada lagi 'keluarga' yang meninggalkannya.
Tubuhnya mengejut.
Air hangat masih membasuh bersih tubuh Mikasa yang kini sudah nampak begitu halus dan tanpa cela. Aliran air menari dengan gemulai membelah tiap lekuk tubuhnya. Ia menggigit bibir, dan menjalankan tangannya ke bagian bawah perut. Eren,
Eren,
Eren,
Hingga hampir tak pernah Mikasa sadari sampai detik ini, keberadaan Eren begitu berarti bagi dirinya. Ia telah dan selalu melihat Eren melewati batasan kakak-beradik. Ia rela menumpahkan berapa literpun darahnya asalkan itu demi Eren.
Teringat akan Titan Eren yang mengamuk serta melindungi Mikasa dan yang lainnya, membuat si gadis semakin yakin bahwa kematian ada dimana-dimana. Kematian dirinya... Titan juga bisa mati, mereka tidak kebal; begitupula Eren. Mereka berdua bisa mati kapanpun juga, terpisah selamanya; bahkan detik ini.
Siapa yang bisa menjamin kalau esok ia masih akan hidup?
...Kalau Eren masih akan tetap berada disisinya?
Sisi kepala Mikasa menabrak dinding shower, mengingat rupa Eren dan bagaimana senyumannya itu selalu bisa mencerahkan suasana hati Mikasa. Sepasang jari-jemarinya masih belum bisa berhenti beraktifitas, terbawa aroma keberadaan Eren yang bisa ia ingat dengan sangat baik.
Walau kini mata si pemuda hanya diisi dengan pembalasan dendam dan genosida para titan, dimanapun dirinya berada disanalah rumah Mikasa; disanalah tempatnya bernaung serta beristirahat. Disanalah Mikasa merasa hidup.
Kejutan demi kejutan menyetrum seluruh bagian tubuhnya; sensasi yang lain daripada yang lain menyergapnya. Membuka mulutnya; pandangannya lemah, Mikasa mendesah basah, "...Eren,"
xxx
Dingin diluar untuk menutupi kehangatan didalam yang ia miliki terhadap Eren. Kekuatan unggul pada permukaan, namun kerapuhan fatal juga dapat ditemui di hati seorang Mikasa Ackermann.
Ia melihat Eren lebih seperti sosok pahlawan dalam hidupnya. Ketika ia tak memiliki tempat berpaling, Eren mengajak dirinya untuk 'pulang ke rumah.' Ah, kisah yang hampir berumur 11 tahun itu. Bagaimana Eren memerintahkan Mikasa untuk bertarung; bertarung untuk hidup.
Mulai dari hari yang ditakdirkan itu, ia bertarung untuk hidup; bertarung untuk hidup dan melihat Eren sekali lagi. Bertarung untuk hidup demi melindungi.
Ia hidup...demi Eren.
Entah sejak kapan filosofi 'bertarung untuk hidup' itu berevolusi, Mikasa tidak pernah sedikitpun menyadarinya. Ia hanya tersadar ketika Eren 'mati.' Itu membuat jiwa raga Mikasa terbakar oleh amarah, kesedihan, dan duka-membuatnya menyadari satu-satunya harta karun hidupnya yang paling berharga.
Ia bahkan tak peduli apa yang terjadi dengan para titan nantinya.
Hanya satu saja. Hanya satu saja; bagaimana agar dirinya bisa bersama Eren lagi. Bagaimana agar semuanya bisa kembali seperti dulu.
Mikasa kini telah berbalut dengan gaun malam berwarna merah muda.
Berulang kali ia memutar balikkan tubuhnya di atas kasur, ia tetap tidak bisa terlelap. Isi kepalanya begitu gelisah. Jangankan beristirahat, bayangan Eren yang lenyap dari sisinya kembali menghantui Mikasa. Beberapa kali hal ini terjadi padanya. Ini adalah episode PTSD* yang kembali menyerang dirinya selepas shock kematian Eren tempo hari. (*Post-Traumatic Stress Disorder)
Lantas ia melangkah keluar kamar, meninggalkan Sasha yang mendengkur dan bergumam 'ubi rebus' di bunker atas kasur mereka.
Mikasa melilitkan syal merahnya mengitari leher serta pundak, memberikan celah kosong untuk membiarkan udara malam memasuki lingkar lehernya. Kedua pipi serta hidungnya merona akibat udara dingin yang bertabrakan dengan hangat wajahnya. Kedua mata amber gelapnya memindai seluruh sisi lorong bernyalakan deretan lusinan obor.
Semuanya tengah terlelap.
Nampaknya hanya dirinya yang terjaga. Berada seorang diri seperti ini memang cukup menyenangkan untuk mempraktikkan hobinya berkontemplasi. Namun, kehadiran Eren mungkin akan disambut dengan lebih senangnya (selebar mungkin senyuman yang dapat wajah pasif itu berikan.)
"...Mikasa?" Panjang umur.
Si gadis terhenti. Ia nyaris saja tersandung jika saja pegangannya pada dinding berbatu tidak cukup kuat. "Mikasa...itu kau?"
Gadis yang dimaksud masih bersembunyi dibalik sisi tiang besar. Apakah sebaiknya keluar saja? Dia bahkan tak mengerti, kenapa sampai berepot-repot diri untuk berembunyi dan menghilangkan keberadaan dirinya.
Si gadis mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekatinya. "Aku bisa melihatmu...syal ini," Ketika sudah berada didekatnya, Eren meraih benda yang dimakud dan kembali menjatuhkannya ke dada si gadis. "Syal ini tidak akan pernah nampak berbeda dimataku sampai kapanpun juga."
Seperti biasa. Dengan senyuman yang luar biasa tipis, juga ekspresi datar tersebut, Mikasa menatap balik wajah pemuda yang dimaksud. "...Itu karena syal ini memang milik Eren."
"Jangan bicara bodoh." Respon si pemuda. "Syal ini sudah menjadi milikmu sejak hari itu."
Berdiri disana untuk beberapa detik, diiringi dengan orkestra jangkrik serta dengkuran burung hantu, baik Eren dan Mikasa hanya terdiam. Eren beralih jongkok dan menatap bulan di langit sana, sementara Mikasa berdiri sambil menyenderkan punggung pada dinding dibelakangnya.
Ini nuansa yang serupa ketika dulu mereka menunggu kepulangan sang ayah dari perjalanan jauh. Hingga pagi hari, bahkan, pada suatu waktu yang lain. Terkadang Eren mencibirkan wajah lantaran si ayah yang tak kunjung kembali dari waktu yang telah dijanjikan. Namun Mikasa dilain pihak, hanya mengeluarkan emosi pasifnya. "...Teringat dengan 'waktu itu,' ya?"
Senyuman merekah di wajah si pemuda. "Waktu itu...waktu itu aku begitu bodoh...naif." Eren menggaruk belakang kepalanya. "Padahal cuma telat sehari, tapi setiap kali ayah pulang terlambat dari waktu yang dijanjikan...itu membuatku khawatir."
Mikasa memperhatikan cinta serta rasa sayang yang dimiliki Eren untuk sang ayah. Wajah tampak samping itu, senyuman mungil dari wajah yang kian dewasa tersebut. "Ngomong-ngomong," Suara si pemuda kembali memecah keheningan si gadis lulusan pertama akademi Recon Corps. "Pakaianmu saat ini mengingatkanku pada...Mikasa kecil dulu."
Bibir si gadis terpisah mungil, serta kedua matanya melebar satu-dua milimeter. Ia kini tengah mengenakan gaun malam tergerai lepas serta syal merah yang dibiarkan melilit longgar lehernya. Imagi tampilannya begitu mirip dengan dirinya saat kecil dulu. "O-oh, begitu...?"
Eren mengangguk. "Tidak bisa tidur?"
Pandangan Mikasa kembali fokus kemanapun dirinya dapat melirik. "...Sedikit. Butuh udara segar." Ia hanya tengah menimbang-nimbang, apakah tidak apa mengatakan perasaannya. Satu saja yang selalu terkunci dari diri Mikasa: isi hatinya. Eren adalah sumber traumanya, tapi,
Eren memilih untuk diam. Memberikan privasi demi saudari angkatnya. "Kalau Eren...?" Tanya dari Mikasa memecahkan lima detik keheningan.
"Mengapa tidak bisa tidur?" Kini Mikasa yang mengangguk. "...Entahlah. Begitu banyak yang dipikirkan."
"Seperti...?" Mikasa ingin mengobrol banyak dengan Eren, tidak ingin membiarkan kesunyian menenggelamkan mereka berdua.
"Ck...banyak. Kematian... Rekan-rekan yang gugur... Titan," Setelah mengucapkan subjek terakhir, Eren mengerutkan kedua alis matanya. "...Diriku,"
Mikasa melihat Eren yang meremas dada kirinya. Ini murni firasat, namun Mikasa menyadari si pemuda yang juga meremas 'kunci misterius' peninggalan ayahnya dibalik baju. Ia tersesat, ia tak mengerti, ia bingung. Sama bingungnya dengan Mikasa saat ini.
Melihatnya yang seperti itu, lantas si gadis ikut mencangkung diatas kedua kakinya. Mikasa kemudian menyentuhkan telapak mulusnya diatas punggung tangan Eren yang bertumpu pada ujung dengkul. "...Kau bersedih,"
Itu bukanlah pertanyaan maupun pernyataan. "Tidak, Mikasa. Aku...juga tak begitu mengerti...mungkin, lebih tepatnya kecewa." Eren kembali menatap kosong lapangan bersimbah cahaya bulan dihadapannya. "Kecewa pada diriku yang lemah...kecewa pada ayah,"
"Jangan...jangan kecewa pada beliau." Mikasa menjawab tegas. Pandangannya penuh akan determinasi. Jika ada satu hal yang ia mengerti, itu adalah bagaimana seorang ayah selalu memberikan yang terbaik demi anak-anaknya. Mikasa hanya mengerti itu hingga membuat hatinya sakit. "Ada jawaban yang telah disediakannya untukmu."
"...Aku tahu," Eren menggaruk sisi kepalanya lagi. Ia mengalihkan wajahnya dari tatapan Mikasa yang seolah bisa menggeledah hatinya. "Dasar kau ini,"
"Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan?" Mikasa bertanya dengan spontan dan sopan.
"Tidak." Eren mengangkat kedua bahunya. "Hanya saja...setiap kali kau bertanya padaku, kau selalu memberikanku 'tatapan itu.' Tatapan yang saat ini kau pasang."
Mikasa segera menarik dirinya, kembali bersender menghadap ke depan. Ia juga tak mengatakan apapun lagi. Menenggelamkan hidung serta mulut kebalik syal, tak tahu harus menjawab apa; ia hanya merasa tak enak. "Hei, bukannya aku tidak suka," Eren membuat Mikasa kembali menatapnya. "A-aku...err, aku belum pernah bilang ya? Aku suka dengan tatapan matamu. Setiap kali melihatnya, aku teringat dengan...tatapan ibu. Penuh perhatian dan...rasa sayang."
"...Aku menyayangimu."
Angin malam berhembus, menabrak mereka dari sisi Eren. Hingga beberapa detik yang lalu situasi dan kondisi disekitar mereka tidaklah penting. Namun tak ada lagi cahaya dari obor menyinari lorong ini. Situasi berubah gelap gulita jika saja tak ada rembulan di langit cerah diatas sana.
Di kegelapan malam, Eren bisa melihat wajah Mikasa bersinar. Kulit putih oriental-nya bersinar sehat dan merah redam menghiasi kedua pipinya. Sepasang mata berpupil coklat gelap membara miliknya selalu bisa membuat Eren terdiam. Sejuk dan hangat secara bersamaan. Aneh memang. Eren juga tak pernah ingat pernah bertanya seperti ini di dalam hatinya,
Apa Mikasa memang secantik ini?
Kedua bibir si gadis nampak begitu mungil namun berisi. Dengan pantulan dari rembulan diluar, bibir Mikasa nampak mengkilap. Walau umurnya 18, di mata Eren, sosok Mikasa tidaklah menjadi lain atau berbeda. Masih kelihatan begitu akrab dan tidak membuat aneh sama sekali. Ia masih bisa melihat kepolosan dan ketegasan tulus dari wajah Mikasa.
"...Ha?" Jika orang lain mendengar respon dari Eren, mungkin mereka akan berpikir bahwa ia tengah menghina pengakuan hati si gadis. Wajah Eren terpaku padanya.
"Aku menyayangimu."
"Mikasa?"
"Aku menyayangimu, Eren." Mikasa menggigit bibir bawahnya karena tetap tak mau diam.
Ia kembali mengingat perasaan ketika Eren tak berada disekitarnya. Hancur, terluka, putus asa, hampa. Disini, ia melihat Eren. Wajah serta kulit lengan yang terbakar matahari, kedua mata berwarna samudra nan tajam namun memiliki kelembutan milik Eren; Mikasa meraih lengan si pemuda dan menyentuhnya.
Bibirnya gemetar, namun ia kembali menggigitnya. Mikasa memberikan hukuman kembali kepada bibirnya karena juga sudah memperlihatkan kelemahannya secara terang-terangan.
Namun sekali lagi ia pikirkan, ia memang lemah jika dibandingkan Eren.
Bahkan disaat-saat dirinya telah tiada pun, ia tetap melindungi Mikasa dengan instingnya. Dia disana; namun tak dapat diraih.
Tubuh Mikasa semakin mendekat kearah saudara angkatnya. "Tolong maafkan aku, Eren, tapi,"
Mikasa meraih pipi Eren yang lain dan menyentuhkan bibirnya pada pipi terdekat si pemuda. Kedua bola mata Eren melebar, mulai menyadari apa yang tengah terjadi. "M-Mikasa,"
Dengan segera, si gadis prodigy melepas keintimannya untuk segera berdiri. "Tunggu," Eren meraih pergelangan si gadis, kembali mendudukkannya. Punggung Mikasa sedikit terbentur pada dinding, mengakibatkannya mengeluarkan rintihan kecil.
"...M-maafkan aku, Eren, aku-aku,"
"Ada apa, Mikasa?" Eren tidak bisa melepas rona merah pada kedua pipi. Sama seperti yang Mikasa tampilkan di wajahnya saat ini. Namun perbedaannya, si gadis sama sekali tidak berani membalas tatapan lawan bicaranya. "Mikasa!"
"Aku tidak tahu," Suara Mikasa masih semulus angin malam, begitu lembut dan tanpa kontradiksi. Ia hanya mengeluarkan isi hatinya. "Aku tidak tahu, karena itu,"
"Tidak. Kau tahu, Mikasa," Eren menusukkan pandangannya pada tatapan bergetar Mikasa. Ia nampak geram. "Katakan padaku."
Untuk pertama kalinya, Mikasa merasa disudutkan oleh Eren. Ia merasakan tubuh dan pikirannya dikerubuni oleh jutaan Eren yang sama sekali tak bisa dihalaunya. Sekuat apapun ia ingin berpaling dan meninggalkan sahabatnya, ia tetap ingin kesana...dan memeluknya. Memeluknya erat, dan tak pernah dilepaskan lagi.
"Jangan tinggalkan aku lagi." Mikasa memberikan kesan kalau pernyataan barusan adalah isi beban hatinya selama ini. "Kau adalah keluarga terakhirku...kau adalah kakak angkatku... Aku menyayangimu,"
Air mata mulai membubul tinggi di pelipis bawah Mikasa. "...Aku tidak ingin kau menghilang...aku juga...aku juga kehilangan tujuan hidup dan makna hidup jika kau mati...seperti waktu itu. Aku ingin melindungimu. Aku ingin kau selalu ada disisiku, Eren."
"...Mikasa,"
"Aku mencintaimu, Eren."
~Bersambung
AN: Ini hanya project ringan. Seluruhnya ada tiga chapter dengan konklusi fic ini adalah one-shot. Tapi karena terlalu panjang saya bagi tiga. Fic sudah selesai tapi saya masih ingin dengar komentar readers.
Saya sengaja membuat Eren sedikit tenang disini, karena, satu: situasi juga sedang tenang dan dua, Eren sehabis recover dari perubahan titan 15 meter. Bisa dibilang ini hidden scenes antara episode 10-13. Yg jelas saya baru sampe episode 10, dan belum membaca manganya sama sekali. Setelah anime selesai, barulah mungkin saya akan ngikutin manga.
Ini mungkin cuma pendapat saya saja. Tapi saya tidak bisa melihat Mikasa sebagai orang yang dingin atau stoic. Terbukti dari setiap tindakannya di anime. Dia terbukti peka dengan sekitar, terutaman pada Eren dan Armin. Mikasa adalah perempuan yang emosinya keluar hanya secara terbatas. Ini mungkin bisa diakibatkan PTSD yang muncul akibat kematian kedua orang tuanya dulu. Singkat kata, walau ekspresinya datar seperti itu, Mikasa masihlah merupakan seseorang yang peka dan bisa merasakan perasaan serta rasa sakit hati.
Shingeki no Kyojin are owned by Isayama and related producers and Studio.
