Summary :
Jika sosok kecil yang menyayangimu ini mati-matian kau benci dalam hati, bagaimana dengan sosoknya saat dewasa nanti? Apa kau akan tetap berusaha tak acuh, balas membencinya, atau mungkin malah menaruh perhatian padanya?
.
.
Sejak kecil... aku selalu dirawat oleh Ibu seorang—hanya dia.
Bisa dibilang Ibu adalah single parent. Selama bersamaku, dia tidak pernah menceritakan apa-apa tentang ayah atau tentang keluarganya yang lain. Kata Ibu, kami tidak mempunyai kakek, nenek, paman, bibi, atau pun sepupu. Di dunia ini ia hanya punya aku. Dan aku pun hanya punya dia.
Kami cuma hidup berdua. Dan seperti keluarga yang lain, aku menerima kenyataan ini dan bahagia.
Tapi... mendadak 'dia' datang. Awalnya aku tidak tau dia siapa. Yang kutau pria berambut pirang itu mulai sering datang ke rumah, dan menghabiskan waktu berduaan dengan Ibu.
'Dia Minato, pacar ibu. Tampan, ya? Mungkin suatu saat nanti dia bisa menjadi ayahmu...'
Kupikir kalimat yang Ibu keluarkan bersama senyuman tadi akan menjadi sesuatu yang baik di masa depan. Karena sesuai keinginan Ibu, ia ingin aku mempunyai seorang ayah yang bisa mengisi kekosonganku selama ini. Jadi keluarga kecil kami pun bisa lengkap. Ada Ayah, Ibu, dan aku.
Dan lama-kelamaan... impiannya terkabul. Orang itu menikahi Ibu. Sekarang aku memiliki seorang ayah.
Namaku berganti dari Ino Yamanaka menjadi Ino Namikaze.
Namun nyatanya... ini bukan drama yang berakhir bahagia. Ini kehidupan nyata.
Di saat ibuku hamil, kami baru tau kalau ayah ternyata masih mempunyai istri—yang ternyata bukan cuma dirinya. Ibuku hanya selingkuhan yang dia nikah sirihkan. Ayah menyesal dan dia meminta maaf. Semuanya menyisakan Ibu yang menangis histeris, terutama saat ayah mulai meninggalkan kami tanpa kabar.
Lalu karena Ibu terlalu stress, Naruto—nama adikku—akhirnya lahir prematur.
Naruto selamat, tapi Ibu meninggal.
Sekarang di dunia ini hanya tersisa aku dan Naruto.
Kutatap Naruto yang pada waktu itu masih kecil. Bersama iris sapphire-nya, bayi berambut pirang itu menatapku dengan pandangan berbinar.
Lucu...
Tapi bagiku memuakkan.
Naruto mirip ayah.
Karena itu... aku membencinya.
Aku tidak suka...
Karena dia...
Karena dia juga, Ibu menjadi bodoh dan meninggalkanku sendirian di dunia ini...
.
.
.
HEART & CLOVER
"Heart & Clover" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[Naruto Namikaze x Ino Yamanaka]
Romance, Family, Hurt/Comfort
AU, OOC, Typos, Incest, Semi-M, etc.
.
.
FIRST. Keluarga
.
.
Sesaat waktu sudah menunjukan pukul 08.00 pagi, sinar mentari yang cerah menjadi pemandangan indah di kota Konoha—daerah tempatnya tinggal. Burung-burung mulai berkicau, dan angin segar berhembus pelan memasuki jendela rumah yang sengaja dibuka lebar-lebar.
Di dalam rumah yang bernuansa kuning pucat, di sana ada seorang anak kecil. Namanya adalah Naruto Namikaze. Bocah berumur 6 tahun itu sedang memeluk erat wadah berisi beras menggunakan tangan mungilnya. Sedangkan salah satu tangannya lagi sibuk menggeserkan kursi kecil—yang kaki kursinya cukup pendek—ke depan tempat cuci di dapur.
Setelah itu ia berdiri di atas kursi, sehingga pandangannya bisa menyamai tinggi keran. Ia nyalakan air dan ditampungnya ke dalam wadah. Ia menggulung terlebih dulu lengan baju tidurnya yang panjang. Lalu di aduk beras tadi sampai bersih.
Tidak ada lagi yang bersuara di dalam rumah tersebut. Hanya ada suara beras yang dibersihkan dan juga air keran yang mengalir.
Namun tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki seseorang yang menuruni tangga dari lantai dua. Dan beberapa detik kemudian, terlihatlah sosok seorang gadis SMA yang sudah siap dengan seragam sailor-nya. Namanya Ino, kakak dari Naruto yang berumur 17 tahun. Tanpa bertanya atau pun menyapa, gadis pirang yang rambutnya diberi gaya ponytail itu melewati dapur dan meja makan—mengabaikan Naruto. Ia langsung menuju ke depan pintu rumah untuk memasang sepatunya.
Merasakan kehadiran Ino di lantai satu, Naruto berhenti sejenak dan menoleh. Mata bulatnya menatap sang kakak yang sedang memunggunginya dari kejauhan.
"Ino?" Panggilnya perlahan.
"Hm?"
"Aku baru mau masak nasi..."
"..."
"..."
Ino menunggu kalimat Naruto. "Iya, lalu?"
"Aku ingin... sekali-sekali kita makan bersama." Naruto sedikit menelan ludah. Sebenarnya ia lumayan ragu untuk mengatakannya.
Ino menghela napas. Kemudian ia berbalik, menatap Naruto melalui tatapan bosannya. "Memangnya kau membuat nasi untuk berapa orang?"
Merasa ditanggapi, sontak saja raut wajah Naruto berbinar. Segeralah ia memasang senyuman lebarnya.
"Dua. Dan soal lauknya, nanti aku bisa memanaskan kare yang kemarin—"
"Sudahlah." Ino menyela. "Aku pernah bilang padamu, kan? Aku tidak akan mau makan nasi di pagi hari. Dan juga... berhentilah membuatkanku makanan. Aku bisa beli roti di kantin sekolah."
Sekarang Naruto memutuskan untuk diam.
Dan saat ia mencoba melihat kakaknya lagi, Ino baru saja menggeser pintu depan rumah. Tampaknya ia akan pergi bersekolah. Tidak mau menyerah, Naruto menaruh wadah berasnya ke atas meja dan berlari mengejar Ino sebelum gadis itu benar-benar menutup pintu.
Setelah ditahannya pintu agar tidak tertutup, Naruto memasang wajah memelas.
"Tapi... ini hari pertamaku masuk SD."
Alis Ino mengernyit. "Terus kenapa?"
"Perayaan kecil... dengan makan bersama." Nada Naruto semakin pelan, lalu sedikit mengadah—karena Ino jauh lebih tinggi darinya. "Kumohonnn..."
"Aku ini murid SMA. Aku sibuk, Naru." Ino memalingkan wajah. "Kau bisa makan sendiri, kan?"
"Iya. Sebenarnya sih bisa."
"Ya, sudah. Tidak ada bedanya juga—"
"Ah! Tunggu!"
Baru saja Ino akan benar-benar menutup pintu rumah, Naruto langsung menggenggam erat tas jinjing Ino.
"Apa lagi?"
"Ino-nee, aku—"
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu." Mendadak Ino menyelanya dengan kalimat sinis dan penuh penekanan.
Naruto menggigit pelan lidahnya sendiri. Lagi-lagi ia salah kata—karena memang sudah sedari dulu Ino tidak mau dia panggil menggunakan embel-embel '-nee'.
"Ma-Maaf."
"Lebih baik kau cepat katakan apa maumu. Aku bisa terlambat kalau kau menahanku terus."
Naruto sedikit memandang kedua iris aquamarine Ino. "Aku tidak tau jalan ke SD-ku..."
"..."
"..."
Ino berpikir sebentar. "Kau tau di mana minimarket yang terletak di dekat sini, kan?" Jelasnya tidak acuh. "Dari sana tinggal lurus dan belok kiri. Itu sudah sampai ke sekolahmu."
"Tapi—"
Trrrr...
Mendadak ponsel Ino berdering, dan menyerobot kalimat Naruto.
Tanpa memedulikan Naruto lagi, gadis itu langsung memasang senyum ceria dan menyapa seseorang yang meneleponnya.
"Halo? Gaara-kun?"
"Kau mau menjemputku? Iya, aku mau. Nanti malam, ya?"
Mau tidak mau, Naruto harus menyerah apabila kakaknya sudah berbicara dengan Gaara Sabaku—pacar Ino. Jadi ia biarkan Ino dengan cekikikan membalas kalimat Gaara sambil berjalan keluar rumah.
Dan semuanya menyisakan Naruto yang hanya bisa bersabar di depan pintu rumah.
"Ino-nee..." Bisiknya sedih, lalu menutup pintu. "Itterasshai..."
.
.
~zo : heart & clover~
.
.
Sesampainya di depan kelas yang bertuliskan 12-A, Ino menggeser pintu dan memasuki ruangan. Ia letakan tas jinjingnya yang berwarna biru muda ke atas meja—yang terletak di deretan tengah. Sesudah mengambil sebuah majalah fashion yang sengaja dibawanya dari rumah, Ino membacanya sekalian menyandarkan punggungnya ke bangku.
Sreek.
Pintu kelas kembali terbuka, kali ini oleh sesosok gadis berambut merah muda. Itu sahabatnya, Sakura Haruno.
"Aa, Ino! Rupanya kau sudah datang..."
Ino mengangguk singkat saat Sakura mendatangi mejanya. "Kau dari mana saja?"
"Tadi aku dipanggil Kakashi-sensei ke ruang guru. Biasa, ada tugas OSIS."
"Kau sih masih betah di organisasi aneh itu..."
"Tidak apa-apa. Lagian seru kok. Kau sih tidak mau ikut saat ada pemilihan perangkat OSIS—di beberapa bulan yang lalu."
"Aku memang tidak mau." Ino tersenyum.
"Iya, iya..."
Iris hijau Sakura menatap jam dinding, tampaknya 15 menit lagi bel sekolah akan berbunyi. Dikeluarkannya segala keperluan yang berhubungan dengan pelajaran jam pertama. Dan sewaktu ia akan mengambil tempat pensil, secara tidak sengaja ia melihat ponselnya yang terdapat gantungan kunci berbentuk makanan. Sontak Sakura teringat sesuatu hal yang sedari tadi ingin ia katakan ke Ino.
Setelah beres-beres buku, ia melirik ke Ino yang masih membaca majalah.
"Ino..." Panggilnya. Senyuman Sakura mengembang. "Aku belajar masak lagi loh."
Ino yang mendengar hal itu sontak saja menoleh ke Sakura dan tertawa. "Benarkah? Kupikir kau sudah menyerah mengembangkan kemampuan burukmu itu."
"Iya, aku disuruh ibuku. Katanya latihan supaya jadi istri yang baik."
"Ibumu benar kok. Apa gunanya istri jika tidak bisa memasak, Sakura?"
Sakura mengerucutkan bibirnya. "Iya, aku tau..."
"Kau buat makanan apa?"
"Bitterballen!" Sakura kembali sumringah sesaat ia mengucapkan nama makanan tadi.
"Bitterballen... lagi?" Ino mengingat-ingat benda berbentuk bulat yang pernah Sakura masakan kepadanya dulu—sekitar beberapa tahun yang lalu.
"Hm! Kali ini lebih enak dibandingkan buatanku yang kemarin-kemarin~"
"Bitterballen-mu lebih cocok disebut perkedel kentang, tau."
Cubitan pelan langsung mengenai pipi mulus Ino.
"Ino-pig jahat! Bitterballen itu beda sama perkedel kentang. Ini tuh memakai wortel, brokoli, daging, dan potongan melted cheese di dalamnya..."
Sambil mengelus pipinya, Ino mengangguk maklum. Sakura sudah beratus-ratus kali menjelaskan hal itu.
"Kau mau coba, tidak?" Belum sempat Ino menjawab, Sakura kembali meneruskan. "Ah, tapi aku lupa bawa. Jadi besok, ya? Nanti aku bawakan bitterballen yang banyak, jadi kau bisa makan berkali-kali di rumah."
Ino sweatdrop. "Iya, terima kasih deh."
"Oh, ya. Kalau tidak salah, Naru-chan juga suka sama bitterballen-ku..."
"Naru?"
"Iya. Kan waktu kita masih kelas 8, aku pernah membawakan bitterballen juga ke rumahmu. Saat itu Naru-chan masih berumur 2 tahun, tapi dia makannya dengan lahap—padahal aku yakin rasa bitterballen-ku masih jauh dari kata enak..."
"Bayi memang pemakan semua hal, Foreheaad..."
"Memang sih. Tapi aku tidak mau tau, pokoknya aku tetap akan membawakan bitterballen untukmu dan Naru-chan!"
Sesaat kemudian, senyuman di wajah Ino sedikit memudar. Ia memalingkan wajah dan kembali membaca majalahnya. "Tidak perlu. Besok kau kasihkan saja ke Lee atau siapapun, asalkan jangan ke aku."
"Aaaa... jangan begitu! Aku membuatnya dengan susah payah. Apa lagi aku sudah membungkuskan banyak untukmu. Terima, ya?"
Ino menghela napas pasrah. "Iya deh. Karena kau sahabatku, apa sih yang tidak?"
"Nah! Jadi kalau nanti Naru-chan tanya itu dari siapa, bilangnya dari Sakura-neechan yang cantik ini, oke? Pasti dia akan senang~" Sakura tersenyum manis sesaat membayangkan bocah kecil berambut pirang—adik dari sahabatnya—itu mengucapkan terima kasih dengan wajahnya yang berseri-seri.
"Iya, iya... lagian bitterballen penuh usahamu itu lumayan enak di lidahku juga—setidaknya lebih enak dari pada masakanmu yang lain." Ino susah payah menahan kikikannya pas mengingat masakan Sakura yang selalu tidak karu-karuan di praktek memasak sekolah.
"Huu... payah nih. Masa sih ada orang yang mengejek masakan sahabatnya sendiri sih? Naru-chan saja tergila-gila dengan masakanku. Sahabatku itu kau atau Naru-chan, sih?"
"Aku juga heran kenapa dia bisa suka masakanmu, Sakura. Mungkin dia buta rasa..."
"Dasar Ino menyebalkan..."
Setelah mereka selesai tertawa bersama, Sakura memandangi Ino. Gadis pirang itu masih terus sibuk melihat-lihat katalog fashion. Dan karena kebetulan di saat ini Sakura sempat terbayang wajah Naruto yang pernah menerima masakannya dengan tulus, ia tersenyum lebar lagi.
"Ngomong-ngomong... adikmu itu imut banget, ya? Kalau sudah besar, pasti dia akan jadi pria yang tampan..." Lalu ia mengguncang tangan Ino agar mendapatkan perhatiannya. "Benar, kan? Kau sadar tidak sih?"
Ino sama sekali tidak menanggapi.
Ingat dengan kebiasaan Ino yang selalu seperti ini jika ia membicarakan Naruto, Sakura menghela napas kecewa.
"Hei, Ino..."
"Hm?"
"Mau sampai kapan kau begitu sama Naru-chan?" Sakura melipat kedua tangannya di meja dan menopang dagunya di sana. "Kupikir dia tidak salah apa-apa loh. Lagi pula kasihan juga, kan? Sejak umur 3 tahun kau sudah tidak memperhatikan—"
"Sakura, bisa kita ubah topik pembicaraan?"
Sakura terdiam sambil memandangi kedua mata Ino yang tidak sedang menatapnya. Mungkin Ino marah.
"Oke, aku ganti topik deh. Tapi wajib dijawab, ya?" Kali ini Sakura langsung memasang wajah serius. Akhir-akhir ini dia memang ingin bertanya sesuatu tentang hubungan Ino sama seorang siswa dari sekolah lain.
"Apa?"
"Aku mau bicarain Gaara—pacarmu yang menyeramkan itu."
Ino sedikit mengernyit dan membalas tatapan Sakura. "Ada apa dengan Gaara?"
Sakura bergumam sebentar. Sedikit menimbang-nimbang apakah kalimat yang akan dia lontarkan ini pantas atau tidak jika ia katakan di depan Ino-nya secara langsung.
"Kalau boleh terus terang, menurutku dia bukan tipikal pria baik-baik..."
"Siapa? Gaara?"
"Hm..."
Ino tertawa kecil. "Aku tau kok."
"Lalu, bagaimana?"
"Bagaimana apa?"
"Dia pernah berbuat hal yang... aneh padamu?" Tanya Sakura penasaran. "Kan kalian sudah pacaran dua bulan."
Ino sedikit memalingkan wajahnya. Tanpa disadari oleh Sakura, Ino memang menyimpan sesuatu rahasia—yang tampaknya pada saat ini belum bisa ia umbarkan ke Sakura, meskipun ialah sahabatnya sendiri.
Si pirang pun tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak. Kau salah. Gaara orang baik. Dia manis walaupun sifatnya memang sedikit berlebihan."
"Berlebihan dalam maksud apa nih?" Sakura menaikkan salah satu alisnya, curiga.
"Sedikit posesif. Tapi aku fine-fine saja. Perempuan kan memang butuh perhatian lebih." Ino geli melihat raut wajah Sakura yang seperti sedang menyelidikinya. Kemudian, ia sandarkan punggungnya ke bangku dan merilekskan tubuhnya yang pegal dengan menghela napas. "Setidaknya bersama Gaara aku bisa menghilangkan stress-ku sejenak..."
Sakura bergumam. "Asal kau juga bisa menjaga dirimu sendiri, aku tetap mendukung hubungan kalian kok."
"Tentu saja, Forehead." Ino tersenyum, kali ini lebih lemah. "Terima kasih..."
.
.
~zo : heart & clover~
.
.
Setelah mengenakan seragam SD-nya yang baru, Naruto—yang sudah mandi dan bersiap-siap—memandang dirinya di depan permukaan cermin kamar. Dia perhatikan penampilannya sendiri, dimulai dari kemeja putih yang terdapat lambang sekolah di bagian dada, sampai celana pendeknya yang berwarna biru muda. Perlahan pun ia tersenyum lebar. Berhubung ini adalah hari pertamanya menggunakan seragam, tentu saja Naruto senang.
Naruto melirik jam dinding. Sekarang pukul 08.24 pagi. Tandanya masih ada banyak waktu sebelum bel masuk sekolahnya berdering—karena jam masuk kelas 1 SD adalah jam 09.00 tepat.
Tapi karena ia masih belum tau arah sekolah, Naruto tidak mau mengambil resiko. Cepat-cepat ia memakai topi yang juga termasuk seragam resmi sekolah dan memasang tas selempangnya. Ia akan pergi sekarang.
"Naru-chan!"
Saat ia baru mengunci pintu rumah, suara tadi membuat Naruto menoleh. Ah, rupanya itu tetangga sebelah, Kurenai Yuuhi. Seorang wanita berumur 27 tahun yang sedang mengandung anak keduanya. "Ada apa, Yuuhi-neesan?"
Mendengar sahutan polos Naruto, Kurenai tertawa kecil. Tidak disangka olehnya ia masih dipanggil dengan embel-embel barusan—walaupun umurnya sudah hampir mencapai kepala tiga. "Tidak apa-apa. Kudengar kau baru masuk SD? Selamat, ya..."
"Hm!" Naruto mengangguk dengan semangat.
"Lalu di mana Ino? Apa dia tidak mengantarmu?"
"Ino-nee kan juga sekolah, karena itu dia tidak bisa mengantarku."
Kurenai menghela napas. "Oh, iya. Coba saja kalau aku tidak sedang hamil besar, pasti aku akan mengantarmu." Katanya. "Lalu... apa kau hafal jalan ke sekolah?"
Kali ini Naruto menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Sebenarnya sih tidak. Tapi aku bisa bertanya ke orang-orang kalau misalnya aku tersesat."
"Ya, ampun..." Kurenai menggeleng. Ia lumayan kagum melihat keberanian anak kecil yang satu itu. "Bagaimana kalau aku menggambarkan peta ke SD-mu? Siapa tau bisa membantu..."
"Boleh! Terima kasih, Yuuhi-neesan!"
Sekarang, dengan berbekal selembar peta ringkas, Naruto berjalan penuh semangat ke sekolahnya. Kurenai benar-benar bisa diandalkan. Dia jadi tidak perlu ragu untuk menentukan arah apabila ada belokan atau pun pertigaan di depannya.
Tapi, saat Naruto akan ke kiri—agar sampai ke jalan besar kawasan dekat sekolah—ia terdiam. Sesuatu di pinggir jalan membuatnya membatu di tempatnya berdiri. Naruto memiringkan kepalanya, lalu ia sedikit mengernyit, mencoba memfokuskan pandangannya ke sana. Ada empat pria remaja yang berdiri di depan sebuah ruko yang terbuka. Dengan kendaraan bermotor yang diduduki oleh masing-masing, mereka semua mengobrol. Entahlah sedang membahas apa. Namun Naruto yakin kalau ada salah seorang dari mereka yang bernama Sabaku Gaara, pacar kakaknya.
Pria berambut merah yang sedang menghisap rokok itu terlihat memasang seringaian. Walaupun Gaara tidak memandangnya, itu tetap saja membuat Naruto takut. Karena tidak ingin lebih tau urusan Ino—karena Ino sendiri yang melarangnya untuk tau—Naruto berakting membaca peta sambil berjalan begitu saja. Ia berniat melewati mereka tanpa masalah.
"Hei, Gaara. Kau cerita juga dong tentang pacarmu."
"Iya, kudengar-dengar dia cukup cantik, kan?"
Pembicaraan yang terdengar membuat Naruto tersentak. Segeralah ia pelankan laju jalannya. Itu ia lakukan karena ingin mendengarkan, namun ia bertingkah seolah-olah sedang berjalan biasa.
Gaara mendengus. "Kenapa? Kau iri?"
"Iyalah! Kau pikir siapa yang tidak iri? Sudah berapa kali kau melakukan itu dengannya? Banyak, kan?"
"Cih, curang. Pacarku hanya mau melakukannya kalau aku membelikannya barang mahal." Ujar salah satunya dengan berdecak malas. "Memangnya kau tidak kesusahan saat mengajaknya?"
"Tidak." Gaara mengangkat bahu. "Karena itu lebih baik kau mencari pacar korban broken home. Orang stress kadang lebih mudah dipengaruhi."
Salah satu temannya itu menggeleng, tapi tetap saja keluar tawa yang mengerikan dari sana. "Parah! Kalau dia tau kau hanya memanfaatkannya, kau hanya membuatnya semakin hancur! Kau jahat, Gaara!"
Gaara menghembuskan asap rokoknya dengan acuh. "Biarkan saja."
"Oke, kalau begitu kapan-kapan kenalkan Ino-mu ke kami dong. Siapa tau kau bisa berbagi dengan teman. Iya, kan?"
"Ya, kapan-kapan. Kalau aku sudah bosan, kukasih ke kalian."
Naruto menggigit bibir bawahnya sendiri. Ia memang tidak mengerti sebagian besar dari porsi pembicaraan tersebut, tapi iya yakin—bahkan sangat yakin—kalau Gaara bukanlah pria baik-baik.
Ia harus memisahkan Gaara dari Ino...
Naruto pun segera berlari menuju sekolahnya.
Semoga waktu lebih cepat berjalan, sehingga ia dapat memberitahukan hal ini ke Ino sesegera mungkin.
.
.
~zo : heart & clover~
.
.
Beberapa jam kemudian, Naruto yang sudah pulang dari jam 15.00 yang lalu telah berganti baju. Seperti hari-hari sebelumnya, ia—yang hari ini memakai kaus putih dan celana pendek—itu selalu di rumah. Beres-beres dan memasak sebisanya.
Tapi hari ini berbeda. Biasanya jika semua kerjaannya selesai, anak itu pasti akan menghabiskan waktunya untuk menonton TV. Namun kali ini TV ia matikan. Naruto duduk di sofa sambil memerhatikan jam dinding di ruang tamu.
Sekarang sudah jam enam sore lewat beberapa menit. Jika Ino tidak ada janji bersama Gaara atau teman-temannya yang lain, kadang kakaknya itu pulang jam segini. Jadi dengan tatapan harap-harap cemas ia selalu memandangi jam dan pintu masuk rumah, tentu untuk menunggu Ino.
Sreek.
Mendadak suara yang diharapkan oleh Naruto terdengar. Pintu geser rumahnya terbuka dan muncullah gadis pirang yang sedang sibuk berbicara dengan Gaara lewat ponsel—lagi.
"Hm? Hari ini tidak bisa, ya? Tapi kalau besok aku bisa sih." Katanya. "Benarkah? Terima kasih Gaara-kun, aku menyayangimu..."
Merasa nama Gaara lagi-lagi disebut oleh Ino, wajah Naruto semakin menunjukan rasa ketidak sukaannya. Berpedoman ke rencananya hari ini, tanpa menghiraukan Ino yang masih sibuk di telepon, Naruto berlari mendekatinya.
"Ino!" Panggilnya sambil menarik tas Ino agar dia berhenti melangkah dan meliriknya.
Dilihatnya Naruto menggunakan pandangan bertanya, lalu ia meletakkan jarinya ke depan bibir.
"Sstt, aku sedang bicara."
"Ino! Dengarkan aku dulu!" Kaki kecil Naruto terus maju mengikuti Ino yang terus berjalan ke dapur. "Matikan teleponmu! Aku mau bicara tentang Gaara!"
"Kau itu kenapa sih?"
Melihat tatapan Ino yang seperti orang marah, nyali Naruto sedikit menciut. Tapi ia menelan ludah lalu mencoba untuk menjelaskan. "Gaara itu jahat, Ino! Dia hanya memanfaatkanmu!" Suara Naruto memelan. "Kau harus meninggalkannya..."
Ino mengernyitkan kedua matanya. "Dia memanfaatkanku? Yang benar saja. Memangnya kau tau apa? Kau ini masih kecil, Naru."
Naruto menggeleng. Lama kelamaan matanya berkaca-kaca. Karena tidak bisa menjelaskan lebih terperinci, tanpa segan lagi ia langsung merebut ponsel Ino dari tangannya. Sebelum Ino mengambilnya lagi, Naruto segera menutup sambungan telepon Gaara dan berlari ke arah tangga.
"Hei! Kembalikan! Naruto!" Ino berteriak sekaligus mengejar Naruto.
Sesampainya di puncak tangga, Naruto berbalik dan menyembunyikan ponsel Ino di balik punggungnya.
"Tidak boleh!" Naruto memejamkan kedua matanya rapat-rapat sambil menggeleng. "A-Aku..."
"Aku..." Kalimatnya nyaris tercekat. "A-Aku tidak ingin Ino bersama orang itu!"
"Naru—"
"Gaara... pacar Ino... jahat..."
Ino berusaha menjelaskan, tapi Naruto keburu menyelanya.
"Aku dengar sendiri..." Naruto terisak. "Katanya... d-dia hanya memanfaatkan Ino."
Butiran bening keluar dari kedua sudut matanya yang terpejam. Lalu ia menggunakan salah satu tangannya untuk menghapus linangan air mata yang membuat sungai di pipinya.
"Aku tidak mau... jika nanti melihat Ino dibuat menangis olehnya. Karena itu..." Naruto memberanikan diri untuk menatap kakaknya. "Aku tidak mau Ino bersama dia."
"Kau ini bicara apa, Naruto? Aku bahagia bersama Gaara! Sekarang, kembalikan ponselku!"
"Tidak! Mungkin Ino bahagia di hari ini, tapi nantinya tidak!"
"Kalau Gaara bukan orang baik, lalu aku harusnya sama siapa, hah?"
"Aku."
Ino mengernyit saat mendengar kata yang terucap dari bibir Naruto.
"Ino sama aku saja..."
Gadis pirang itu terdiam.
"Aku janji..." Ia berbisik. "Nanti kalau aku sudah besar, aku berjanji akan membuat Ino bahagia..."
Walaupun hanya terdengar suara isakan Naruto, entah kenapa Ino merasa tubuhnya merinding. Adiknya itu tidak menangis meraung-raung seperti anak kecil pada umumnya, ia hanya meneteskan air mata—yang masih terdengar seperti tertahan.
"Karena itu... aku minta... Ino meninggalkan Gaara—"
"Naruto."
Ino memanggil namanya. Ia pun menatap kedua mata Naruto yang kini menyipit dan basah.
"Kau masih ingat, kan? Alasan sebenarnya tentang apa yang membuat ibuku meninggal?" Jelasnya.
Kedua mata Naruto membulat.
"Lalu untuk apa kau memikirkanku menangis karena Gaara?"
"..."
"Padahal kau sendiri tau, sebelum bertemu Gaara pun aku sering dibuat menangis karena... kau dan ayahmu." Ino berdesis. "Sejujurnya karena kalian berdualah aku bisa bersama Gaara. Aku butuh tempat untuk menyalurkan perasaan tertekanku ini..."
Mata Ino buram oleh air mata, entah kenapa sebuah perasaan sesak merasukinya. "Kalian berdualah... yang... membuatku tidak bisa bahagia lagi... atas arti keluarga."
Ino menghirup banyak udara, lalu mengeluarkannya lewat hidung. "Jadi... lebih baik kau tidak perlu repot-repot memikirkan kebahagiaanku... karena sebenarnya kalian kau lah salah satu orang yang sejak awal membuatku terpuruk seperti ini."
Ino memaksa dirinya untuk memejamkan kedua matanya sendiri. Tampaknya ia merasa bersalah telah mengungkit-ungkit hal itu di depan Naruto yang masih berumur 6 tahun.
Benar, Naruto sudah tau semua yang terjadi di keluarga mereka. Bahkan sejak umur 4 tahun, ia sudah mengerti kenapa Ino tidak mau menggunakan marga 'Namikaze' atau pun dipanggil 'Ino-nee' olehnya.
Karena itu... Naruto pun memalingkan wajah.
Ino mendekati Naruto yang terdiam. Ia ambil ponselnya dan melanjutkan. "Lebih baik sekarang kau kembali ke kamarmu."
.
.
~zo : heart & clover~
.
.
Sesampainya di kamar, Naruto langsung menabrakkan punggungnya ke pintu. Wajah Naruto yang semula hanya pucat, kini berubah memerah karena tidak bisa lagi menahan tangis. Kedua alisnya bertautan dan masing-masing tangannya terkepal erat.
Tapi karena emosi yang sudah tidak tertahankan, Naruto membiarkan butiran-butiran bening miliknya keluar dari sudut matanya. Menciptakan beberapa air mata yang langsung menetes ke permukaan ubin lantai.
Perlahan-lahan dirinya meringsut ke bawah, terduduk di depan pintu sambil menutupi wajahnya dengan salah satu punggung tangan. Kedua bahunya berguncang pelan, dan isakannya pun sedikit demi sedikit kian terdengar—walaupun masih susah payah ia tahan agar tidak terlalu keras.
Dia tau...
Dia tau kenapa ibu meninggal. Benar, semuanya karena dia dan ayahnya.
Tapi ia hanya ingin Ino tidak terjatuh di lubang yang diciptakan Gaara.
Ia takut suatu saat nanti Ino akan semakin menangis karena pria itu.
Ia tidak mau...
Masih dengan kepala tertunduk, Naruto menautkan kedua tangannya. Lalu dengan bibir yang sedikit bergetar karena tangisan, ia mencoba mengeluarkan suara.
"Jika aku dewasa nanti... aku ingin Ino-nee sayang padaku..." Bisiknya. "Setidaknya sampai Ino-nee melupakan Gaara."
"Aku..." Kedua alis Naruto semakin mengernyit. "Aku tidak ingin Ino-nee kenapa-napa..."
"Aku ingin menyelamatkannya..."
Namun tiba-tiba saja pandangan Naruto menjadi kabur—entah karena dirinya pusing atau apa.
Tuhan...
Naruto mulai menutup kedua matanya.
Bolehkah aku... meminta keajaiban?
Lalu beberapa saat kemudian... semuanya gelap.
.
.
~zo : heart & clover~
.
.
Pada malam ini, Ino berada di belakang Gaara yang sedang mengendarai motor besarnya dengan kencang. Angin dingin menerpa permukaan wajah cantik milik Ino, sedangkan kedua tangannya terus memeluk erat pinggang Gaara. Tak lupa dengan pipinya yang sengaja ia sandarkan ke punggung pria itu.
Lalu beberapa menit kemudian, kecepatan motor Gaara memelan. Artinya Gaara sudah memasuki daerah perumahannya.
"Sudah sampai..."
Sesaat motor berhenti, Ino melepaskan pegangannya dari Gaara. Ia turun dari motor besar itu, lalu Ino memeluk tangan Gaara yang masih terduduk di atas motor.
Pria berambut merah tersebut membuka kaca helm-nya, lalu menatap Ino yang sedang memandangnya dengan pandangan berbinar.
"Terima kasih untuk hari ini, Gaara-kun..."
Seperti biasa, orang dingin dan cuek seperti Gaara hanya bisa tersenyum singkat—bahkan tidak sampai setengah detik. Lalu ia mengangguk. Ino yang sudah terbiasa hanya tertawa kecil dan langsung mengecup pelan bibir Gaara sekilas.
"Pulangnya hati-hati, ya. Kapan-kapan datang ke rumah, oke? Aku menunggumu."
"Hm..."
Gaara menutup kaca helm-nya lalu mulai bersiap-siap untuk pergi. Dan setelah Gaara pergi, dengan bersenandung ria Ino merogoh saku tasnya untuk mendapatkan kunci. Namun bukannya langsung membuka pintu, ia keburu dibuat heran oleh pintu depan rumahnya yang sudah terbuka.
Ino mengernyit.
Apakah Naruto lupa menutup pintu?
Anak kecil memang sering ceroboh, namun sepertinya tidak mungkin bagi Naruto—yang menurutnya sudah kelewat rajin dibandingkan anak-anak seumurannya. Naruto selalu mematuhi perintah-perintahnya—terutama hal kecil seperti mengunci pintu jika malam sudah tiba.
Apa...
Apa jangan-jangan ada pencuri yang masuk?
Ino menelan ludah. Ia dekatkan telinganya ke sela pintu, berusaha agar mendengarkan sesuatu dari dalam rumah. Tapi tidak ada suara lagi selain program TV yang sedang menyala. Setelah bermenit-menit terdiam dengan kecurigaan yang memenuhi kepalanya, ia membuka pintu rumahnya.
Bersama rasa keberanian yang terkumpul, akhirnya Ino masuk ke dalam tanpa menutup pintu. Saat ia melihat lurus ke depan, kedua manik matanya mengarah tepat ke ruangan tamu yang gelap—karena lampunya belum dinyalakan.
Lalu saat ia menyalakan lampu, mendadak ada suara yang terdengar dari balik sofa.
"Sudah pulang, eh?"
Ino segera berbalik pas mendengar ada suara pria dewasa yang menyambutnya dari ruang itu. Dan di detik tersebut, Ino baru menyadari ada seseorang yang sedang duduk di sofa—menghadap ke TV dan memunggunginya.
Tapi itu siapa?
Temannya? Tidak, Ino rasa ia tidak pernah mempunyai teman yang memiliki kunci cadangan rumahnya. Lagi pula nada suaranya pun juga masih terdengar asing.
"Kenapa tidak sampai pagi saja?"
"A-Apa maksudmu?" Sembari mengencangkan cengkeramannya pada tas, Ino mulai berjalan mendekat—jadi jika orang itu adalah penjahat, ia dapat langsung memukulnya.
"Setauku kau hobi menghabiskan malam di hotel bersama pria brengsek itu."
Ino menahan langkahnya.
Kenapa cara bicara orang itu seolah-olah orang yang sudah kenal dekat dengannya?
"Kau..." Nada Ino semakin ditekan sewaktu ia akan bertanya. "Siapa?"
Pria itu menyempatkan diri untuk menoleh dan meliriknya. Lalu ia pun menyeringai.
"Aku? Kau tidak mengenalku?"
Ino terbelalak, saat melihat sosok yang mulai menjelas.
Pria itu tinggi. Rambut pirang jabrik, iris sapphire di matanya yang tajam, dan ketiga garis halus yang menyerupai kumis kucing di masing-masing pipinya...
Tunggu.
Dia mirip—
"Aku Naruto."
Ya. Naruto.
Tapi... Naruto? Apa pria itu menyebutkan... nama adiknya?
"Aku tidak bercanda! Kau siapa!?"
"Sudah kubilang, aku Naruto, adikmu. Jangan bilang kau melupakanku."
Ino mengernyit. Lagi-lagi ia tidak mengerti.
Oke, memang penampilannya mirip—bahkan persis—seperti adiknya. Tapi entah kenapa dia terlihat seperti orang dewasa.
"Adikku masih kecil!" Ia berteriak. "Kutanya sekali lagi, kuharap kau tidak main-main menjawabnya! Kau siapa!?"
"Tsch, kau memang keras kepala..."
"Aku serius."
Lalu pria jabrik itu mendengus.
"Aku Naruto Namikaze. Anak dari Minato Namikaze dan Yuri Yamanaka. Salam kenal, Ino-neechan."
Di saat itu juga Ino terkejut sampai dirinya tidak bisa lagi mengeluarkan sepatah kata.
Apakah dia benar-benar Naruto?
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note :
Dramanya banget, haha. Maaf kalo kesannya sinetron banget. Maklum, masih belajar bikin Hurt/Comfort yang menjurus ke genre Family juga sih. Dan seperti apa yang kubilang di summary, ini adalah fict persembahan untuk Fujisaki Fuun, a.k.a Fvvn. Happy birthday! Maaf kalo hadiahnya multichap (?)—kan siapa tau ente gak suka fict ini. Dan sebagai penjelasan... mulai chap kedepannya, Naruto udah gede—umurnya sekitar 20 tahunan.
.
.
Next Chap :
"Aku tidak mau keluar. Ini juga rumahku."
"Kenapa? Terpesona dengan wajahku?"
"Kau pikir siapa yang seenaknya? Ini sudah sore, dan lebih baik kau suruh dia pulang sekarang."
"Tsch, aku memang tidak suka kau bersama Gaara!"
.
.
Review kalian adalah semangatku :')
Mind to Review?
.
.
THANKYOU
