CONFLATED

Disclaimer : Harry Potter J.K. Rowling

Pairing : Draco Malfoy x Harry Potter

Genre : Romance, Humor.

Rated : T - M

_

.

.

.

oOo

Selain faktor keberuntungan dan takdir yang selalu membayangi pahlawan sihir kita, ada beberapa faktor keberhasilan yang menunjang seorang Harry Potter dalam pencapaiannya saat ini. Salah satu sifat gigih, tak pernah putus asa dan pastinya sifat pantang menyerah sebelum mendapatkan sesuatu yang diinginkannya justru membuatnya seperti seseorang yang memiliki sifat obsesi yang berlebihan pada dirinya.

Harry Potter, sang pahlawan sihir dan segala obsesi yang membumbung tinggi, yang selalu membuat Harry menjadi lebih berani dan nekat selain ditunjang dengan sifat alami Gryffindornya.

Walau obsesi selama 7 tahun hidupnya berada di Hogwarts adalah untuk membunuh penyihir gila bernama Voldemort yang membuatnya memiliki julukan sebagai pahlawan sihir. Bukan berarti dia melupakan satu sisi kehidupan asmaranya.

Kehidupan asmaranya sungguh tidaklah mulus seperti yang dia harapkan sebelum-sebelumnya. Entah bagaimana obsesi yang ia miliki pada orang-orang yang pernah singgah di dalam hatinya itu pun sejujurnya memang tak bisa ia sandingkan dengan perasaan suka atau cinta yang seharusnya ada.

Seperti tahun ke-empatnya dimana ia sungguh terobsesi pada Cho Chang, kapten Quidditch dari asrama Ravenclaw. Harry bahkan nyaris akan mengutuk Cedric Diggory karena telah membuat Cho menolak ajakan Harry untuk datang ke pesta dansa bersamanya, walau ia tak bisa melakukannya karena Hermione-lah yang selalu mengingatkan Harry bahwa tugas-tugas yang akan dihadapinya dalam Turnamen Triwizard jauh lebih penting daripada menunjukkan kompetitif konyol dengan Cedric Diggory hanya karena satu gadis Ravenclaw itu, justru bukan menelan satu fakta bahwa Cedric adalah saingan terberatnya dalam Turnamen.

Pada tahun ke-enam dimana Harry benar-benar jatuh cinta atau bisa disebut terobsesi pada Ginny Weasley dan ia selalu meyakini bahwa gadis itu adalah tambatan hatinya untuk yang terakhir dan kelak akan menjadi istrinya lalu akan memberikan anak berambut merah yang lucu-lucu.

Tapi sekali lagi, harapan konyolnya itu harus kandas ditengah jalan seperti yang sudah-sudah. Entah karena hubungannya dengan Ginny berlangsung membosankan atau karena Harry telah sadar akan suatu balas budi atas kebaikan keluarga Weasley bukanlah dengan menikahi putri bungsu mereka.

Tetapi yang Harry sadari adalah untuk mendapatkan Ginny sangatlah mudah. Semudah membalik telapak tangan. Berbeda dengan Cho, dimana ia harus berkompetitif dengan Cedric untuk mendapatkannya. Harry selalu menanamkan di dalam pikirannya bahwa mendapatkan sesuatu dengan tantangan adalah suatu bentuk kepuasan tersendiri.

Harry tidak dapat merasakan itu semua untuk mendapatkan Ginny. Sehingga ia tak merasakan apapun ketika bersama Ginny menyebabkan hubungannya berjalan dengan sangat hambar dan membosankan. Dan benar saja ketika ia mencoba melepaskan Ginny, Harry sama sekali tak merasakan kepedihan yang berarti. Justru saat itu Harry sama sekali tak memikirkan Ginny sekalipun, karena saat itu ia sedang terobsesi untuk menjadikan kedua sahabatnya, Ron dan Hermione, untuk naik satu tingkat lebih lanjut dari sekedar sahabat menjadi pasangan yang paling fenomenal di asramanya. Sedikit sulit bagi Harry karena Ron yang payah dan Hermione yang terlalu jual mahal.

Dan di tahun ke-delapan ini, ia telah memiliki gairahnya kembali. Setelah berbulan-bulan lamanya ia mengesampingkan segala hal semacam asmara dan hanya berfokus untuk melenyapkan Hocrux dan bersiap untuk perang, untuk pertama kalinya setelah itu semua rasa itu datang lagi. Gairahnya akan seseorang itu datang dengan perasaan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Tapi Harry tidak yakin, atau sepenuhnya ia takut bahwa ini hanyalah sebuah obsesi lain-lainnya seperti dulu lagi atau bagaimana. Tapi perasaan ini benar-benar membuatnya kacau, dan rasa ini jelas berbeda dari sebelumnya. Harry sadar jika kali ini bukanlah hanya rasa obsesi lagi, tapi justru lebih dari itu. Harry menyukainya atau.. bisa disebut dengan jatuh cinta padanya?

Entahlah, rasa itu tiba-tiba saja datang dan tumbuh pesat menjadi perasaan yang membuncah yang semakin lama tidak bisa ia bendung lagi. Bahkan Harry nyaris gila karena sudah dua bulan ini perasaannya benar-benar semakin menyesakkan. Belum lagi ia selalu kehilangan seluruh keberanian Gryffindornya tiba-tiba ketika ia cukup dekat dengannya.

Harry bahkan curiga, sebelum Voldemort hancur pasti ia telah mengutuk Harry dengan membuatnya merasakan perasaan yang membuatnya gila dan jatuh berkali-kali dalam pesona salah satu pengikut setianya.

Ya, Harry jatuh cinta pada salah satu pengikut setia Voldemort. Mantan Pelahap Maut yang bahkan ingin menyerahkan Harry pada Pangeran Kegelapan. Orang yang termasuk dalam salah satu riwayat musuh terbesarnya setelah Voldemort. Orang yang bahkan berkali-kali ingin membunuhnya.

Draco Malfoy.

Nama yang dulu selalu membuatnya ingin melemparkan kutukan, justru kini nama itulah yang selalu membuatnya berdesir halus.

Mungkin Harry sudah tidak waras, mungkin saja tidak. Yang jelas kini hati dan pikirannya hanya berputar penuh pada sosok Draco Malfoy. Entah sejak kapan dan bagaimana mulai terbentuknya perasaan itu, Harry tidak perduli. Yang ia perdulikan saat ini adalah bagaimana cara mendekati mantan musuhnya itu. Karena selama dua bulan terhitung ia benar-benar kehilangan sifat Gryffindornya membuat Harry hanya bergerak pasif dan ia hanya bisa memandang pewaris tunggal Malfoy itu dari kejauhan.

Kini Harry mulai membuka peta Marauders-nya untuk mencari-cari nama Draco Malfoy. Kegiatan seperti ini sudah sering ia lakukan sejak tahun ke-enamnya ketika ia selalu mengawasi semua pergerakan pewaris Malfoy itu. Tetapi bedanya dengan dulu adalah karena ia mencurigai Draco Malfoy sebagai Pelahap Maut, tapi sekarang Harry benar-benar merasa seperti penguntit seseorang dan bertindak layaknya pemuja rahasia dari Pangeran Slytherin itu.

Mata Harry menyipit sejenak dan bergumam sesuatu lalu senyum cerah menghiasi wajahnya saat ia menemukan nama Draco yang bergerak-gerak dari ruang bawah tanah asramanya menuju pada koridor Aula Besar. Harry mengasumsikan bahwa Draco mungkin tidak akan melakukan kunjungan pekan ke Hogsmeade kali ini.

Bagus. Kini beberapa rencana tersusun di dalam otaknya. Karena hari ini adalah akhir pekan, setidaknya murid-murid akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di Hogsmeade dan tentunya itu adalah kesempatan yang bagus untuk Harry mendekati Draco tanpa terlihat banyak orang.

Harry memantapkan diri sendiri dan mencoba menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Harry merasa inilah tantangan sesungguhnya. Entah bagaimana, menurut Harry mendekati Draco Malfoy jauh lebih menegangkan daripada menghadapi Naga yang ia lawan pada Turnamen Triwizard lalu.

Itu pikiran terbodoh yang pernah terlintas dalam otaknya. Tapi Harry tak perduli, hanya satu yang ada di dalam benaknya saat ini, Harry harus berhasil mendekati Draco hari ini.

Sekarang atau tidak selamanya.

xxx

Harry berjalan seraya berusaha keras memantapkan hati dan nyalinya yang tiba-tiba menciut ketika ia telah sampai di depan pintu Aula Besar. Perutnya terasa mulas dan mual bersamaan ketika ia menyadari bahwa Aula Besar masih sangat ramai. Ia sama sekali tak menyangka bahwa cukup banyak anak-anak yang tinggal dan tak menghabiskan waktu pekan mereka untuk kunjungan Hogsmeade. Dengan merutuki kesialannya ia menutup matanya menenangkan hatinya yang mulai bimbang. Apa ia harus melanjutkan atau tidak?

Tetapi keputusan Harry telah bulat. Mencoba tidak perduli dan tetap berjalan dengan langkah berat, mengabaikan semua orang yang menyapanya dengan nada kagum di dalamnya yang bagi Harry sangat memuakkan.

Harry mengarahkan pandangannya pada meja Slytherin yang hanya terisi setengah murid saja mengingat tak banyak siswa Slytherin yang kembali pasca perang besar.

Harry menyisir matanya dan menemukan Draco duduk di ujung meja Slytherin yang dikelilingi oleh Zabini dan Parkinson. Harry mematung dan merasakan jantungnya seolah melompat dari tempatnya ketika pandangan matanya dan Draco bertemu. Harry berkedip dan Draco menatapnya dengan berkerut-kerut. Sedetik kemudian Draco memutuskan kontak matanya dan kembali pada makanannya.

Momen itu seharusnya adalah hal wajar, tapi sungguh, Draco Malfoy menatapnya dengan penuh kecurigaan penuh-walaupun hanya beberapa detik-itu mampu membuat keberanian Gryffindornya kembali menguap entah kemana.

Sambil menelan ludahnya paksa, ia sesaat ingin kembali berbelok dan kabur dari Aula Besar. Tapi itu sungguh perbuatan konyol dan memalukan. Walaupun Harry tidak yakin dimana letak memalukannya, tapi tetap saja..

Harry menghela nafas berat dan dengan langkah yang bergetar sembari memanggil keberanian Gryffindornya yang tercecer. Harry kembali berjalan walau ia merasa seolah ada yang mengunci kedua kakinya. Masih dengan mengabaikan semua sapaan yang tertuju padanya.

Harry hanya tinggal beberapa langkah lagi dengan tempat duduk trio Slytherin, tetapi ia merasakan kini seluruh Aula menatapnya dengan heran ketika melihat Harry tidak berbelok menuju meja asramanya namun berbalik ke arah sebrang dimana meja Slytherin berada. Tetapi Harry tak perduli. Ia sengaja menulikan semua indranya dan hanya berpusat pada Draco Malfoy seorang.

"Draco." Harry berdiri kikuk dan tampak salah tingkah sesaat setelah ia memanggil Draco.

Harry menggigit bibir bawahnya dan berdiri sangat gugup.

"S-selamat pagi, Draco." Harry mencoba seriang mungkin ketika menyapa Draco, walau sepertinya gagal total. Tetapi kini Harry telah duduk di samping Draco yang benar-benar melongo menatap pergerakan Harry.

Harry tersenyum manis pada Draco yang kini menatap Harry horor seolah Harry adalah Dementor. Ekspresi Draco benar-benar lucu di mata Harry maka ia tertawa kecil sambil membalik piring di hadapannya dengan santai.

"Boleh kan aku makan di sampingmu, Draco?"

Draco tidak menjawab tetapi suara keras di samping Draco membuat Harry menoleh. Ia melihat Parkinson menjatuhkan kepalanya tepat di atas pie buah, mungkin pingsan atau apa. Zabini yang duduk tepat di depan Harry dan Draco menyemburkan jus labunya membuat genangan sendiri di hadapan Harry yang mengernyit. Lalu Harry mendongak dan merasakan tubuhnya membeku saat semua mata yang berada di Aula tertuju padanya tanpa terkecuali. Bahkan semua guru juga melihat ke arahnya. Seluruh yang berada di Aula terdiam hanya memandang Harry dan Draco bergantian.

"Harry, apa yang kau lakukan?! Kenapa kau duduk dengan ferret sialan itu?!" Teriak Ron dari seberang meja Gryffindor. Suara nyaringnya menggema di seluruh Aula Besar yang hening karena sampai saat ini masih belum ada yang bersuara dan masih menatap Harry dan Draco.

"Err.. aku..." Harry tak dapat melanjutkan ucapannya karena Draco kini menatapnya tajam.

Harry kembali terkejut ketika Draco membanting garpu dan pisaunya dengan keras. Memandangnya dengan sirat penuh kebencian yang membuat Harry mencelos.

"Enyah kau Potter!"

xxx

Draco melangkah meninggalkan Aula dengan sangat jengkel. Draco yakin wajahnya kini sangatlah memerah. Marah dan malu. Potter sialan itu telah mempermalukannya.

Seharusnya Draco tahu bahwa awal Potter berkedip padanya sejak memasuki Aula Besar bukanlah suatu tanda yang baik. Seharusnya Draco sadar bahwa Potter ingin melakukan suatu tindak kejahatan padanya. Dengan menyapa dan memanggil nama depannya seolah-olah mereka benar-benar akrab.

Bloody Hell.

Demi bulu dada Merlin yang keriting. Dia dan Potter teman akrab? Oh itu tak akan pernah terjadi.

Dan apa-apaan tadi Potter yang tiba-tiba duduk di sampingnya dan memberikan senyumannya yang paling manis. Tunggu dulu...

Kenapa dia barusan menyebut senyuman Potter itu manis?

Sinting.

Mungkin Draco sinting.

Draco jadi ingin membenturkan kepalanya yang sudah rusak. Itu terdengar seperti sebuah ide yang bagus.

Draco menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada siapapun yang melewati koridor itu. Lalu ia mengarahkan pandangannya pada tembok berbatu di sampingnya, tanpa ragu ia dengan kerasnya membenturkan kepalanya.

"Aw! Brengsek!" Draco mengumpat merasakan kepalanya yang berdenyut sakit. Ia mengusap-usap dahinya yang pasti memerah sekarang.

"Draco! Kenapa kau membenturkan kepalamu?"

Draco menoleh lalu mendelik ketika melihat Potter yang tiba-tiba muncul entah darimana. Tetapi sesaat Draco terpana ketika Potter menyingkap jubah yang menutupi tubuhnya. Rupanya benar bahwa Potter memiliki jubah gaib yang menjadi legenda itu. Sedikit terpana, Draco mengabaikan tatapan Potter yang panik.

"Draco, dahimu memerah. Kau harus-"

Draco menggeleng keras. Kembali memberikan Potter pelototan. Draco sadar, saat seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk mengagumi benda milik Potter, apalagi-

Draco hening ketika Potter sudah berdiri sangat dekat dengan wajahnya. Potter sedang meniup-niup dahi Draco yang memerah juga terasa panas.

Potter tampak kesusahan untuk meraih dahi Draco dengan berjinjit-tentu saja karena Potter pendek. Draco ingin menertawakan satu fakta tentang Potter yang pendek, tetapi ada satu hal yang kembali menyita akal sehat Draco.

Pertama, Potter berdiri dengan sangat dekat dengan wajahnya, masih dengan meniup dahi sialannya yang makin terasa panas dan yang kedua, Potter sangatlah manis jika dilihat dari sedekat ini. Draco langsung menepis semua pikiran tidak warasnya lalu menggantinya dengan pelototan pada Potter.

"Bloody Hell, Potter! Apa yang kau lakukan, Potty?!" Draco bersumpah serapah ketika ia baru saja tersadar atas apa yang terjadi dan mendorong Potter sampai terjatuh.

xxx

TBC.

Note : Ini adalah cerita pertama Drarry dari saya yang saya tulis dan publish disini, jika ada kesalahan penulisan mohon dimaafkan ya, hehe.

Saran dan kritik dipersilahkan :3

Terima kasih!