Ting!
Pintu lift perlahan terbuka, aku bergegas keluar dan menapakkan kaki di lantai delapan. Sudah sekitar lima hari Zilong, tunanganku kembali dirawat di rumah sakit. Dia menderita penyakit leukimia sudah cukup lama, sekitar dua tahun yang lalu.
Rencananya kami akan menikah dalam hitungan enam bulan dari sekarang. Tepatnya saat dia ulang tahun, tanggal 22 Juni nanti.
Aku membuka pintu kamar no. 71 perlahan-lahan. Zilong terbangun dari tidurnya dan menoleh ke arahku. "Yah, bangun juga" kataku sambil nyengir dan menutup pintu kamar.
"Nggak kok, aku nggak tidur beneran, cuma tutup-tutup mata doang" katanya sambil tersenyum kecil padaku. Aku duduk di bangku samping tempat tidurnya sambil mengeluarkan bungkusan sterofoam dari plastik, "Nih aku barusan beli bubur di sebrang kantor, baru buka kemarin stand-nya"
Zilong terkekeh pelan, "Alu aku udah gede" Aku tersenyum melihatnya, "Hm? Nggak ah, kamu masih dedek bayi dimataku" ledekku.
"Gimana ngantornya?" tanyanya dengan suara parau. "Lancar kok, kamu sendiri kondisinya gimana?" aku bertanya balik sambil menyendokkan bubur untuknya. "Yah, kayak biasanya"
"Hm, yaudah, ayo buka mulutnya, makan dulu" kataku sambil menyodorkan suapan pertapanya. "Aku makannya setengah aja ya? Gusiku tadi berdarah, nggak enak rasanya"
"Ih, abisin dong, ini enak kok"
"..."
"Kamu baru lima hari disini aja udah agak kurusan, apalagi sebulan, apalagi kalo makannya cuma setengah... Nanti kalo sakitmu begini-begini terus kita nikahnya gimana?" bujukku.
"Iya deh aku abisin"
Satu demi satu suapan kuberikan padanya, "Gimana? Suka nggak?" tanyaku. Ia mengangguk pelan. Meski memakan waktu sedikit lama dari biasanya, Zilong menghabiskan makanannya. Aku mengelus kepalanya bagai anak kecil, beberapa helai rambutnya menyangkut di sela jariku.
"Kenapa? Mulai rontok ya?" tanyanya sambil menatapku yang menyingkirkan helaian rambut di sela jari. Aku mengangguk dan tersenyum, "Tapi nggak masalah, yang penting kamu sembuh. Aku tetep sayang sama kamu apa adanya kok" ia mencibir, "Gombal"
Aku cekikikan mendengar perkataannya barusan.
"Oh iya, kamu nggak bosen?"
"Bosen apa?"
"Nemenin aku melulu disini, kerjanya cuma duduk doang"
Aku mengelus pipinya yang pucat, "Apa sih yang nggak buat kamu?". Ia tersipu-sipu sambil memegang tanganku. "Tanganmu dingin banget, Zi" kataku sambil menempelkan kedua telapak tangannya di kedua pipiku. "Yah, namanya juga orang sakit" jawabnya singkat.
"Bentar" Aku bergegas menuju sofa di sudut ruangan, mengambil jaket biruku yang tergeletak di samping ransel hitamku. "Nih, kamu pake jaketku aja biar nggak kedinginan" kataku sambil menyorongkan lengan jaketku dilengannya.
Ia tersenyum kecil padaku, "Makasih".
"Sebelum aku lupa... Aku ada urusan kerja ke luar kota mulai besok"
"Oh" Zilong sedikit tertunduk, ekspresi kecewa nampak jelas terpampang diwajahnya. Meski ia tidak bercerita panjang lebar, dia kalau kecewa pasti terlihat jelas.
"Cuma tiga minggu kok"
"Tiga minggu kan lama, Alu"
"Sebentar kalau kita telponan terus"
Kami berdua terkekeh bersamaan, "Ntar pulsa kamu abis"
"Lebih baik kehilangan pulsa daripada kamu" ledekku
Zilong terdiam saja.
Aku membelai rambut coklatnya yang tergerai panjang. "Zi, kamu nggak usah banyak mikir, sayang. Kan nggak selamanya kamu bakal terbaring diatas tempat tidur"
"Iya"
Aku tersenyum padanya, ia menghela nafas pelan. "Kamu bener. Nggak selamanya aku bakal begini terus" Aku mengangguk. Zilong kembali terdiam, begitu pula aku.
"Umurku nggak bakal tahan lama"
"Kok kamu ngomongnya gitu sih?"
"Alu, kamu liat sendiri aja. Kalo kondisi udah begini pasti udah tunggu waktu aja"
"...Zilong, kamu nggak bisa prediksi masa depan, sayang. Kita kan nggak tau, siapatau kamu bisa sembuh. Ya, emang penyakit kamu parah, tapi kalau emang bisa sembuh gimana? Pokoknya aku dukung kamu biar cepet sembuh dan umurnya panjang"
Ia kembali tersenyum kecil padaku, "Makasih".
"Aku minta maaf ya aku nggak bisa duduk disamping kamu selama tiga minggu kedepan. Tapi kan kamu tetep ada temennya, Chou bakal gantiin aku sementara"
Zilong mengangguk pelan, "Asal kamu balik lagi, aku nggak masalah"
Aku tersenyum dan mencium tangan kirinya, "Bakal kangen gak nih sama aku?"
"Nggak" jawabnya singkat.
"Ih"
Ia terkekeh pelan.
"Yaudah aku siap-siap dulu ya, aku terpaksa harus pulang hari ini. Kamu baik-baik ya disini. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, aku pasti angkat kok. Jangan mikir yang aneh-aneh, abisin makananmu. Biar kamu cepet sembuh" bujukku. Ia mengangguk setuju, "Iya, kamu hati-hati disana ya" katanya pelan. Aku mencium dahinya dan bergegas menyandang tasku.
"Alu"
Aku menoleh kearahnya, "Jaketmu"
"Simpen aja"
"Aku udah nggak kedinginan lagi kok"
Aku kembali menghampirinya sejenak dan mengambil jaketku. Kami berdua saling melemparkan senyum satu sama lain. "Cepet sembuh ya" kataku sambil mengelus kepalanya sebentar lalu bergegas pergi meninggalkannya.
