Haaai, minna-chamaaa! Masih pada inget saya? #nggaaak #diusir. Hwhwhwhw, jangan jahat-jahatlaah, ntar dikutuk loh :'3 #dor. Okeey, selamat menunaikan ibadah puasa untuk seluruh umat muslim yang ada di dunia :3 semoga puasa kita berkah, ya! Aamiin ya robal alamiin~
Ehm. Masih ada yang inget dengan fic alay yang saya publish sekitar bulan Januari 2014 lalu? YEP! Fic Omegle! Siapa yang udah pernah baca itu? Kangen sama ficnya gak? Hohoho untuk membuat rasa kangen kalian terbalaskan(?) akhirnya... eng-ing-eeeeng, sesuai janji, saya membuat sekuelnya! Yippie! #yaudah. Sekuelnya ini, mungkin akan banyak kekuarangan, soalnya... percayalah, semenjak Author nista ini lulus SMA, otak humor saya ngestuck dan garing. Jadi maap ya kalo fic ini juga garing!
Btw kalo judulnya alay, maap yak. Itu gara-gara saya nonton (Bukan) Empat Mata :'D HEHEHEHE #dor
Oiya, fic sekuel ini ceritanya Miku dkk belom lulus, dan settingnya sebelum epilog di prekuel Omegle-nya ;)
Enjoy!
(Bukan) Omegle 2
a VOCALOID FANFIC
By : EcrivainHachan24
Desclaimer by Yamaha Crypton Future Media
Sekuel dari fic geblek; Omegle (disarankan baca itu dulu baru baca ini. Monggo liat di profile saya)
Miku Side
WARNING!
Typo(s), alay, humor garing, etc.
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
.
.
.
.
Chal chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya
Chal chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya
Chal chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya
Chal chaiyya chaiyya chaiyya chaiyya
Saare ishq ki chhaaon chal chaiyya chaiyya
Saare ishq ki chhaaon chal chaiyya...
Lagu tadi beneran bikin aku emosi, dan sontak, aku ngedobrak pintu kamarku dengan napsu—keluar dengan brutal bagai singa ompong yang siap menerkam mangsanya yang malang (dan enggak, aku nggak ompong, Jenderal. Ini cuma perumpamaan kok) dengan muka gahar tingkat dewa, aku memelototi si oknum norak yang melongo menatapku yang mirip titisan Hitler. Tapi lalu rautnya berubah tenang, dan kedua alisnya terangkat.
"Kenapa lu?" tanyanya (sok) polos. "Kebauan sama kentut sendiri di dalem kamar, ya?"
Dasar brengsek. Berani-beraninya dia bilang aku kebauan sama kentutku sendiri. Aku kan nggak mungkin secupu itu. Lagian, seharusnya dia tuh ngaca, siapa yang kentutnya lebih bau. Terakhir kali dia kentut seenak jidatnya, hal itu sukses membuat nyokapku ngamuk-ngamuk lantaran beliau punya idung supersensitif yang langsung meraung; "SIAPA NIH YANG PUP SEMBARANGAN?!" yang tentu saja, nggak ada jawabannya. Soalnya orang idiot mana yang bakal pup sembarangan?
Tapi rupanya emakku itu tetep kagak terima ada bau-bauan gaje di daerah kekuasaannya.
Sementara itu, si pelaku diem-diem aja tanpa merasa berdosa udah membuat seisi rumah nyaris punya penyakit paru-paru dadakan.
(Catatan : pada malam harinya, aku menyusup masuk ke kamarnya dan meletakkan kaos kaki milik ayahku yang superbau ke wajahnya yang setengah mangap karena ngorok. Yeah kau bisa menebaknya, pagi-pagi terdengar sumpah serapahnya pada kaos kaki bermotif macan tutul itu).
"Enak aja lo!" hardikku memelototinya, aku berkacak pinggang. "Volume tontonan norak lu ngeganggu gue belajar, tauk!"
"Tontonan norak?" ujarnya tersinggung. "Ini tontonan elit, tauk! Gak semua orang bisa kayak mereka!" bela orang norak itu.
Aku menatapnya galak. "Tau dari mana lo, hah?!"
"Mereka bisa tuh cuma nari-nari sambil nyanyi-nyanyi terus ngelendotin tiang, ceweknya bisa langsung jatuh cinta sama dia. Lah gue? Kalo gue gitu ke cewek, yang ada gue diusir satpam!"
Tampangku sekarang pasti aneh banget. "Lo tau gak?"
"Apa?" dia mengerjap.
"Lo itu bener-bener goblok," hardikku, lalu melipat tangan. "Tampang lo sebenernya udah kriminal sih. Gausah gaya-gaya norak lu pasti udah diusir satpam duluan!"
"Eheeey, stop right there, young lady!" dia mengacungkan telunjuknya padaku. "Nggak seharusnya lo ngatain abang sepupu lo yang ganteng sejagad raya ini goblok dan kriminal!"
Yep. Orang yang daritadi kuperlakukan (dan kukata-katai) dengan tidak hormat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Hatsune Mikuo— kakak sepupuku. Tepatnya, si bangke ini adalah anak dari tanteku dan juga merupakan kakak mamaku. Dia berumur duapuluh tahun—berbeda dua setengah tahun denganku—dan saat ini sedang dalam tahap penyusunan skripsinya. Kebetulan, dia kuliah di salah satu universitas ternama yang ada di kotaku. Sebelumnya, dia pulang pergi naik kereta dari rumahnya ke kampus. Tapi demi skripsinya, dia numpang sementara di rumah orangtuaku karena dekat dengan kampusnya.
Dan itu juga malapetaka untukku.
Mikuo itu berisiknya luar biasa. Orangnya agak-agak nyentrik dan nyaris membuatku minum obat sakit kepala satu strip setiap harinya. Dia tipikal cowok yang bakal bawa-bawa majalah porno ke mana-mana (dan percayalah aku tau koleksinya dengan cara yang lumayan tidak menyenangkan, terima kasih) terus geblek, dan hobinya bikin nangis anak orang.
Apa? Mau diceritain detailnya aku bisa tau dia ngoleksi gituan dari mana?
Oke. Aku ceritain.
Jadi, sewaktu aku umur sebelas tahun (kelas enam SD), aku pernah minjem hapenya dia. Waktu itu, Mikuo umurnya udah tigabelas taun (kelas dua SMP) terus ada folder mencurigakan judulnya '69' terus aku buka aja, karena penasaran, eh ketemu folder lagi judulnya 'yakinbuka' terus aku klik lagi, eh ada folder lagi ampe tiga kali berturut-turut, dan… aku menemukan gambar nista itu.
Gambar cewek pake beha merah dan buset itu oppainya bisa dipake buat sandsack kali, ya (ekstrim). Dan mukanya itu loh menggoda banget. Sementara gue cuma bisa syok memandangi gambar yang astaganagabujugbunengapaantuh itu dengan mulut setengah terbuka.
Mau tau judul folder itu?
Judulnya adalah 'INILAH YANG KUIMPIKAN'.
HEBAT. HEBAT BANGET ANAK SMP PUNYA IMPIAN KAYAK GINI.
CETEK AMAT DEH IMPIANNYA! *lemparin Mikuo pake beha nenek*
Huhuhuh.
Dan sejak saat itu, gue nggak pernah bisa memandang abang gue itu dengan cara yang sama lagi.
Tapi sekarang sih aku udah biasa aja ke dia. Emang dasar cowok, biologisnya ya begitu. Walau tentu saja, aku tetep nganggep dia rusak kelas berat dan musuh bebuyutan.
"Lagian gue juga tau lo bukannya belajar," cibir Mikuo mengganggu acara flashback-ku. "Lo lagi berantem sama cowok lu ya?"
Aku memelototinya dengan sinar setajam laser. "Sok tau lo!"
"Emang tau kali," jawabnya cuek. "Suara marah-marah lo kedengeran sampe sini, makanya volume pilem Indianya gue kerasin. Suara lo cempreng banget."
Meski tak terima dikata-katai cempreng, aku menghela napas. Kata-katanya emang bener sih…
Aku berantem sama Len.
"Adeeh, jangan galau gitu ah," Mikuo mengibas tangannya. "Sini sini, deh…"
Aku cemberut, tapi manut aja dan setengah menghentakan kaki, aku berjalan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya. Abangku itu nyengir.
"Kenapa lu mukanya ditekuk kayak jeruk purut? Ceritalah…,"
Aku melotot lagi padanya. "Jeruk purut? Emang gue setan?!"
"Tenang dulu, Bos," Mikuo mengangkat kedua tangannya melihat kegalakanku. "Kalo lu setan, udah pasti gue enggak takut, sih,"
"Yeah," sinisku. "Kecuali kalo gue ngehantuin elo seumur idup."
Dia bergidik. "Amit-amit. Mending dihantuin mantan pacar gue!"
Aku memutar kedua bola mataku. "Mantan pacar lo yang mana?"
"Yang mana ajalah," jawabnya cuek. "Daripada dihantuin sama lo."
Yep, biar otaknya miring-miring gak penting, Mikuo adalah cowok dengan seabrek-abrek mantan pacar yang (anehnya) cantik-cantik. Aku enggak tau pacar-pacarnya itu ditodong atau bahkan disogok Mikuo untuk jadi pacarnya atau apa, tapi cewek-cewek itu terlihat benar-benar sayaang sekali pada abangku (sementara aku sendiri bingung apanya dari Mikuo yang harus disayang? Huek). Mikuo emang punya tampang cowok-cowok bandel yang tengil tapi menarik, tapi tolong banget, sifatnya itu mirip orang kesurupan setiap hari.
Aku jadi keinget mantannya yang terakhir, kalau nggak salah, namanya Rikka. Cewek itu manis banget dengan rambut kemerahan panjang sepunggung, mata ungu yang menghipnotis, agak pemalu, dan sekalinya dia malu beneran, seluruh wajahnya berubah merah, asli imut banget, apalagi ditambah senyumnya yang malu-malu. Aku nggak tau kenapa dia bisa mau sama orang itu *tunjuk Mikuo* yang bahkan pernah minum air cat yang disangkanya es kopi (jangan tanya, ceritanya panjang). Tapi belakangan aku tau sesuatu.
Abangku itu playboy kelas berat.
Jadi, begini ceritanya, sewaktu aku liburan setelah UTS, aku chatting lewat BBM dengan Rikka. Rikka itu juniornya Mikuo di kampus. Aku lumayan deket sama Rikka, soalnya umur dia cuma setaun di atasku. Beginilah kira-kira isi BBMnya:
Gue : Rikka, kenapa bisa mau sama abang gue itu? Kan dia bego.
Rikka : (emot ketawa) Aku suka Mikuo-kun apa adanya kok, Miku-chan. Walau emang bego.
Gue : Oh, jadi intinya lu tau dia bego tapi tetep mau sama dia?
Rikka : Iya (emot malu)
Ya Tuhan, maso abis. Untung gue gak muntah.
Terus nggak lama, dia pamit ada kelas kuliah lagi. Langsung aja aku BBM si abangku itu.
Gue : Bang, di mana lu?
Mikuo : Lagi jalan sama cewek gue, Mik. Kenapa?
Gue : … Hah? Cewek lu? Cewek lu yang mana?
Mikuo : Yang biasalah…
Gue : Tapi tadi gue BBMan ama dia, dia lagi di kampus, ah. Nggak lagi jalan sama lu.
Mikuo : Mik.
Gue : Ha?
Mikuo : Jangan punya cowok kayak gue, ya.
Gue : *end chat*
Intinya, abangku itu bener-bener anomali dalam kehidupan yang sempurna ini. Kurasa Raja Neraka juga ogah banget ketemu dia cepet-cepet. Hal ini terbukti waktu aku sakit demam tinggi, dia menemaniku sepanjang malam, tapi nggak ketularan (sementara kedua orangtuaku ikut demam walau gak tinggi) dan dia nyengir sehat-sehat aja.
Sasuga.
Kekuatan orang gila emang sasuga.
"Ya deh," aku cemberut. "Lo emang brengsek."
Mikuo tertawa. "Jadi kenapa nih adek kesayangan gue? Cowok berani mati mana yang bikin lu galau?"
Yeah, biar sering nangisin anak orang, dan playboy, dia tetep adalah abang sepupuku yang protektif dan penyayang. Dia sayang banget padaku, dan aku tau itu. Y-yah, aku juga sayang padanya sih. Tapi tentu saja aku nggak akan mengakuinya di depan dia. Ogah cuih.
"Cowok berani mati itu adalah pacar gue," sinisku. "Kayak yang lu bilang."
"Maksud gue, dia ngapain ampe bikin lu marah-marah gitu?" kurasakan tangannya membelai kepalaku dengan sikap sayang. "Ayok cerita sama gue."
Aku menghela napas, lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya yang bidang. "Jadi gini…"
1 jam sebelumnya…
Aku meletakkan novelku ke pinggir kasur, lalu meraih ponsel yang berdering-dering. Yep, sudah nyaris empat bulan ini aku pacaran dengan Len Kagamine, brondong tengil yang kukenal lewat situs sakti; Omegle*. Kami lumayan sering bertemu di akhir bulan karena dia sering ke mari saat akhir bulan itu untuk menjenguk neneknya dan bertemu denganku juga. Selebihnya, kami bener-bener bergantung pada social-media, handphone yang berpulsa penuh, dan telpon.
Dia meneleponku.
"Halo," sapaku riang di telepon.
"Hei," balasnya dengan suara yang bahkan bisa kurasakan senyumnya. "Kangen aku?"
Aku mendengus. "Elah pede banget sih lo. Pengen banget dikangenin aku?"
Dia terkekeh. "Ya pengenlah. Jahat bener lo ama pacar sendiri. Dasar Mikulek!"
"Eeeeh, ati-ati ya ngomongnya," aku pura-pura marah. "Kamu yang lebih jahat, dasar brondong geblek."
Len ketawa. "Geblek apaan, geblek itu sebagian dari iman, Mik."
"Ngaco lu," kekehku. "Masih sesat aja. Eh iya," aku teringat sesuatu. "Aku mingu depan mau ke puncak!"
"Oh ya?" suara Len terdengar tertarik. "Sama siapa aja?"
"Yaah, sama temen-temen sekelas sih," jawabku. "Perpisahan kelas gitu. Tapi aku ke sananya bareng Leon, Gumiya ama Rinto!"
Ada jeda sebentar. "Oh sama mereka. Iya deh."
Aku mengernyit. "Kamu kenapa? Kok bête gitu? Lagi ada masalah?"
"Nggak," kilah Len. "Naik apa?"
"Naik mobilnya Leon. Dia kan udah punya KTP sama SIM, jadi bisa seenak jidat nyetir ke puncak! Bwahahaha!" tawaku teringat Leon yang pamer SIM (hasil nembak)-nya ke seluruh kelas sambil bilang "LEON NAIK PANGKAT, EMAAAK!"
"Oh…," balas Len. "Iya iya."
Oke, ini makin aneh aja. Gak biasanya Len lemes lesu gitu. "Kamu kenapa sih? Aku gamau terima jawaban gak ada apa-apa!"
Len menghela napas. "Sebenernya udah lama aku mau ngomong ini ke kamu, Mik."
Aku mengernyit. "Apaan?"
Dia diam sejenak—kayak lagi mikirin kata-kata yang pas. "Gini lho… aku tau, kamu sahabatan sama Leon, Gumiya ama Rinto itu udah lama…"
Aku mengangkat alis mendengar ucapan Len yang setengah-setengah kayak twitter. "Ya, terus?"
"… dan kamu tau kan, aku ini jauh dari kamu?" ucap Len lamat-lamat.
Aku mendengus dengan gak sabar. Gak ngerti ke mana arah pembicaraan gaje ini. "Ya ya ya, terus? Apaan sih, intinya aja bisa?"
Dia berdeham. "Aku punya satu permintaan. Dan satu syarat."
"Apaan?" sergahku.
"Syaratnya, kamu jangan marah. Dan permintaan aku… tolong… bisa jangan terlalu deket lagi sama mereka?"
Bagai disambar petir, aku sampe gatau mau ngomong apa.
"Hah?" hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Jangan marah dulu," ucap Len cepat-cepat mendengar nadaku yang berbahaya. "Ini demi hubungan kita, Mik."
Sesaat, aku masih gak bisa berkata-kata dan terguncang. "Demi apa kamu bilang?"
"Mik, jangan marah…"
"Udah telat! Aku udah marah duluan!" potongku kasar. "Kamu ni apa-apaan sih?! Kok jadi egois gini?!"
"Bukannya aku egois," suara Len terdengar defensif. "Tapi sebagai pacar kamu, aku gak bisa bayangin ada cowok yang bakal selalu ada di deket kamu dan lebih ngerti kamu dibanding aku. Oke, mereka emang temen-temenmu, tapi aku juga punya perasaan, Mik…"
Aku tertawa tanpa suara. "Pikiran yang kayak anak kecil. Kenapa, kamu nggak percaya sama aku? Gitu?"
"Bukaaan," suara Len terdengar frustrasi. "Aku… kamu juga tau kan, aku bukannya gak suka sama mereka bertiga? Malahan aku ngegame bareng Rinto dan Gumiya, dan kadang main basket juga sama Leon. Tapi aku… cemburu, Mik. Aku gak bisa bohong, itu yang kurasain…"
"Cemburu kamu gak beralasan," balasku dingin. "Tinggal bilang kamu enggak percaya sama aku, susah banget, ya? Aku udah pernah bilang dari awal kan? LDR itu nggak gampang dijalanin, tapi kamu bilang itu bukan masalah. Dan sekarang, coba liat, siapa yang cari masalah?!"
"Miku," tegur Len dengan nada yang agak rikuh. "Kamu bisa ngerti gak sih, ini manusiawi banget. Aku mau jalanin hubungan ini sama kamu, karena aku sayang sama kamu. Ini komitmen besar soalnya kita terpisah jarak. Aku cuma berusaha mencegah hal-hal yang kemungkinan bisa ngerusak komitmen itu!"
Amarah bergumul di dadaku. "Oh," aku tertawa sinis. "Jadi menurut kamu temen-temen aku—sahabat-sahabat aku itu—adalah hal-hal yang bisa ngerusak hubungan kita, gitu ya?" tanyaku pedih.
"Miku…"
"Len, kamu tega banget ya," air mata nyaris tumpah di pelupuk mataku. "Masa' kamu nyuruh aku milih? Kamu serius tega ngelakuin hal ini ke aku?"
Len terdiam agak lama. "Iya. Maaf, Mik. Tapi kali ini, aku mau kamu milih."
Aku nggak memercayai pendengaranku, tapi Len keburu bicara. "Untuk sementara, aku bisa kasih kamu waktu untuk berpikir tentang pilihan kamu. Aku bakal hargain semua pilihan dan keputusan kamu. Selamat mal—"
Aku mematikan ponselku sebelum Len selesai bicara. Aku memandangi handphoneku dengan tatapan tidak percaya. Napasku terasa memburu, dan wajahku panas bukan main—terutama mataku yang terasa pedih banget—aku mengusap keningku.
Apa ini?
Ini cuma mimpi buruk kan?
Aku merosot, lalu duduk di kasurku. Berusaha menenangkan diriku sendiri.
Aku akan jujur, aku sayang pada Len. Tidak. Aku sayang sekali padanya. Kata orang, pacaran dengan brondong itu malah bikin sakit hati terus, tapi aku nggak menemukannya pada diri Len. Dia bahkan lebih dewasa dibanding diriku, menaungiku, mengerti tentangku, dan dia satu-satunya cowok yang nggak kabur kalau moodku sedang jelek dan menjutekinya habis-habisan. Len adalah pribadi yang berjiwa sosial tinggi, humoris, cerdas, dan mudah bergaul. Aku sama sekali nggak pernah menyangka itulah pikiran Len tentang hubungan kami.
Hanya karena aku punya tiga sahabat lelaki?
Baik, aku memang pernah naksir-naksiran dengan Leon, tapi itu sudah lamaa sekali. Dan perasaan itu sama sekali sudah tidak berbekas karena kami lebih menghargai persahabatan kami, dan tidak mau merusaknya lantaran perasaan konyol semacam cinta-cintaan gaje itu, mana Leon sedang PDKT dengan adik kelas kami yang manis. Oke, Gumiya juga pernah naksir padaku, tapi Gumiya memang naksir cewek mana saja yang dilihatnya, dan kebetulan akulah cewek yang paling dekat dengannya, sehingga dia ngarep. Rinto? Demi Tuhan, cowok pendiam itu bahkan lebih rela perasaan cintanya diluapkan untuk game, game, dan game lagi.
Aku juga akan jujur, aku sayang sekali pada ketiga koncoku itu.
Maksudku, Leon yang populer dan easy-going adalah moodbooster semua orang dengan lawakannya yang segar dan kocak abis, Leon adalah penyemangat semua orang, termasuk aku. Leon itu supir pribadiku setiap pulang sekolah (karena rumah kami searah), dan rendah hati. Dia tidak pernah pilih-pilih teman dan main dengan siapa saja. Leon juga tidak sombong dengan popularitasnya, dan wajahnya yang tampan selalu mengumbar senyum pada semua orang. Intinya, dia digandrungi cewek-cewek yang naksir padanya, dan cowok-cowok yang pengen jadi temennya.
Gumiya, memang hobinya modusin cewek-cewek walau tampangnya pas-pasan (emang dia gatau diri kok), dia cowok yang sabar banget walau sering kecipratan peran jadi korban bulianku dan Author pengarang fic ini, tapi tidak pernah marah karenanya. Gumiya memang hobi tepe-tepe, tapi dia baaiik banget. Maksudku, nggak banyak cowok jaman sekarang yang rela menekan egonya demi menghibur semua orang.
Rinto, dia memang pendiam dan tidak pandai bersosialisasi. Lingkaran pergaulannya juga tidak seluas orang-orang kebanyakan. Tapi Rinto cowok yang tegar (terbukti saat orangtuanya bercerai, dia tetap masuk sekolah dan berperilaku seperti biasa), rendah hati (Rinto anak orang kaya, lho. Ayahnya adalah Ito Kagami, pengusaha teknologi paling maju nomor dua di negeri ini) dan pandai menyimpan rahasia. Bagi sebagian orang, mungkin Rinto tergolong cowok pendiam yang aneh dan misterius, tapi sebenarnya dia hanya butuh didengar.
Intinya, aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa mereka bertiga.
Aku juga tidak bisa menjalani kehidupanku tanpa Len di sisiku.
Dan sekarang, dengan teganya, dia menyuruhku memilih?
Apa yang harus kulakukan?
"Gitulah…," ujarku parau. "Menurut lu gimana?"
Dia terdiam sebentar sembari mengusap puncak kepalaku. "Sebagai cowok, gue bisa ngerti perasaan dia sih, Mik. Pasti egonya terluka banget kalo ada yang lebih mengerti dan selalu ada di sana buat lu. Itu akan membuat dia ngerasa gak guna."
Aku mendengus. "Ego, ego terus. Gue juga tau, egonya cowok itu tinggi. Tapi masa gak rela sih dikurangin dikit gitu demi cewek yang sayang dan disayang sama dia?"
Mikuo mengangkat bahunya. "Harusnya sih begitu, Mik. Tapi emang susah, karena itu naluriah," Miku memandangiku. "Sekarang lu gimana?"
Aku menghela napas. "Gue gatau, Bang. Asli pusing banget. Maksud gue, kok tega banget sih nyuruh gue milih? Dia sama temen-temen gue yang geblek itu sama pentingnya!"
"Ya emang," Mikuo mengangguk. "Menurut gue, dia nyuruh lu milih itu emang agak keterlaluan. Sama aja dia nambah-nambahin beban pikiran lu. Lu juga tau, gue brengsek. Tapi sebrengsek-brengseknya gue, gue nggak pernah nyuruh cewek gue milih antara gue sama sesuatu yang sama pentingnya kayak gue."
Hatiku terenyuh mendengarnya. "Sebenernya lo nggak brengsek sih, Bang. Cuma idiot dikit aja."
Dia menoyor pelan kepalaku. "Kalo gue idiot terus lu apaan? Dasar ketek sapi!"
Aku memelototinya, lalu menyepak kakinya. "Bawel amat sih lu, dasar kutil gajah!"
Dia mencibir. "Udah deh," dia terdiam sebentar. "Menurut gue, Mik… dia gak ngehargain hubungan kalian berdua, lho."
Kakiku terasa dingin saat mendengarnya. "M-maksud lo?"
"Iya," dia berkata dengan nada berpikir. "Gue ngerti tentang egonya yang terluka, tapi dia bocah banget dengan nyuruh elu milih, itu sama aja dia insecure tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain, dia takut kesaing sama temen-temen lu. Emang lu mau, pacaran sama cowok yang ngerasa harus saingan sama sahabat-sahabat lu sendiri?"
Kata-kata terakhirnya membuatku merinding. "Lu malah bikin gue nambah bingung tau gak!"
"Ya maap," Mikuo mengangkat bahunya dengan santai. "Gue cuma bilang apa yang ada di pikiran gue aja kok. Gue ini lebih banyak pengalaman, Mik, apalagi masalah romansa. Lu kan tau, gue pacaran nggak cuma sekali-dua kali, tapi puluhan kali. Lo kira gue nggak belajar apa-apa?"
Aku terdiam, lalu menggigit bibirku. "Jadi, gue harus apa…?"
"Ya terserah lu," Mikuo kembali mengeraskan volume pilem India itu dan ngemil keripik kentang di meja. "Keputusan seutuhnya ada di elu kok. Tapi…," dia memandangku. "Apapun keputusan lo, lo harus memprioritaskan kebahagiaan lu dulu. Lu pantes bahagia, Mik."
Pantes bahagia…
Apa artinya kalau itu sama aja membuatku harus melukai orang lain?
Seperti bisa membaca pikiranku, Mikuo angkat bicara lagi. "Yeah pasti bakal ada aja pihak yang tersakiti. Tapi itu risikonya, Mik. Itu konsekuensi. Bakal ada sebab-akibat dari setiap keputusan, dan lu udah gede. Lu harus bisa nentuin sendiri."
Kepalaku bertambah pusing, jadi aku mendengus, lalu berdiri. "Gue mau tidur."
"Yaudah sono. Oyasumi." Mikuo membalasku santai saat aku terseok-seok masuk ke kamar sambil membalas ucapan selamat tidurnya.
Padahal aku tau, aku gak bakalan bisa tidur malam ini.
To be Continue
Jangan gebukin saya. Saya nggak maksud bikin kalian semua galau padahal baru chapter satu *nyengir* #ditimpukayam. Konsep ini udah lama ada di kepala saya, jadi saya tuliskan aja dengan seenak jidat huehehehehe.
Sekuel ini emang bakal lebih memfokuskan pada friendship antara Miku-Leon-Gumiya-Rinto. Bakal tetep ada unsur romancenya, tapi nggak sebanyak friendship feelnya. Aku pengen banget coba bikin fic friendship, dan semogaaaa ini gak fail! *komatkamitberdoa*
Btw, fic ini (rencananya) akan diupdate setiap hari Minggu. Tapi karena otak humor saya lagi agak tersendat, maaf ya kalo nggak selalu tepat waktu ngapdetnya. Saya berusaha memberikan yang terbaik kok :3
Review?
V
V
