Nakamura Mai Proudly Presents

Detective Conan Multichapter FanFiction

When Shinichi Gone ( Prolog )

Disclaimer : Detective Conan © Aoyama Gosho

WARNING! : cerita mudah ditebak, berlebihan, penggunaan diksi yang masih kurang, cerita amatiran, mirip sinetron, nggak jelas, abal-abal.

Don't Like Don't Read !

Sinar senja kala itu menyinari bumi ini dengan indahnya. Semburat berwarna jingga itu menerpa wajah seorang perempuan cantik yang sedang berdiri di atas bukit. Bibirnya terangkat dengan manis, namun pandangan matanya menyimpan sejuta kesedihan yang amat dalam. Bagai sebuah palung, takkan ada yang bisa menyelami dalamnya kesedihan itu.

Mengapa ia menangis?

...

5 hari yang lalu.

Minggu pagi, di kota Beika. Ran bangkit dari tidurnya, sejenak mengembalikan kesadarannya. Kemudian dengan terhuyung, ia berjalan ke arah jendela kamarnya, dan menyingkap tirai yang menutupi sinar mentari pagi yang indah. Matanya yang indah itu terpejam sesaat. Entah mengapa, cahaya menyilaukan ini tiba-tiba saja mengingatkannya akan mimpi tadi malam.

Otaknya pun melintaskan sebuah nama, yang merupakan buah tangan dari mimpinya malam itu.

Shinichi...?

"Ran, apakah kau sudah bangun?" panggil ayahnya. Ran segera tersadar dari lamunannya.

"Sudah, Ayah." Ran segera berjalan keluar kamar. Ketika pintu kamarnya dibuka, dilihat ayahnya sudah berpakaian rapi sekali. Ran terheran melihatnya.

"Pagi-pagi buta begini, Ayah hendak kemana?" tanyanya penasaran. Ayahnya tersenyum bangga, sepertinya ia menantikan pertanyaan itu meluncur dari mulut putrinya.

"Aku hendak menemui Eri hari ini. Namun, ada beberapa hal yang harus ku persiapkan untuknya. Maka dari itu, ayah harus menyiapkan segalanya sebelum siang hari," Selesai ayahnya berkata, sebuah senyuman merekah di bibirnya. Matanya berbinar bahagia.

"Waah, berarti sebentar lagi Ayah akan berbaikan lagi dengan ibu, kan?" tanyanya senang, ayahnya mengangguk meyakinkan.

"Tentu saja, aku tidak mau kita berlama-lama dalam kondisi seperti ini. Sebenarnya kendala kami untuk bersatu, karena kita sama-sama saling membesarkan ego. Ah, andaikan ibumu mengerti apa yang ayah lakukan waktu itu padanya. Tapi, yang penting, keluarga kita akan bersatu lagi, Ran." Ayahnya menatap lembut putri semata wayangnya itu.

Ran membalas menatap ayahnya, penuh perasaan kasih. Ia memeluk ayahnya erat, dan berbisik dengan suara yang lembut sekali 'aku ingin seperti dulu'. Seakan mengerti, ayahnya mengangguk.

Ternyata, ia melupakan seseorang...

...

Ran, dan Sonoko berjalan beriringan menuju sekolah mereka. Sekolah mereka yang baru, Universitas Beika. Baru beberapa minggu yang lalu, ia dan Sonoko mendaftar di sana. Gedung sekolah itu terlihat dari kejauhan. Ran menatap jauh gedung itu. Baginya, ada perasaan yang ganjil yang terus bergelayut di hatinya belakangan ini. Namun, entah apa.

"Ran, ada apa denganmu? Mukamu pucat?" tanya Sonoko. Lambaian tangan gadis nyentrik ini, mampu membuat Ran terloncat dari lamunannya.

"Ah, eh, anu, tidak apa-apa kok. He." Ran hanya tersenyum kecil. Sonoko memperhatikannya, penuh rasa iba, namun terlihat seperti sebuah perasaan sangat bersalah. Sonoko menatapnya sedih.

Apakah baik terus membiarkannya seperti ini ? pikir Sonoko.

Ran membalas memandangnya heran.

"Anu, Sonoko, ada apa?" tanyanya. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia masih memandang Ran dengan perasaan iba. Tiba-tiba, ia memeluk Ran erat, sangat erat. Ran semakin tidak mengerti.

"Berat ya, hidup yang kau jalani. Aku sangat kasihan padamu, Ran. Maafkan aku yang tidak selalu bisa berada di saat posisimu seperti ini. Maafkan aku." Air mata Sonoko mengalir begitu saja. Ran terenyuh hatinya, ia mengangkat Sonoko dari pelukannya.

"Usaplah air matamu, Sonoko. Lagipula, kenapa di tempat umum, sih kau tunjukkan rasa ibamu?" Ran memberinya sehelai sapu tangan, dan dengan pelan Sonoko mengambilnya, lalu mengusapnya.

"Habis, belakangan ini Ran kerjaannya hanya melamun saja. Aku khawatir," Sonoko dengan nada manja, berkata demikian. Ran hanya membalasnya dengan senyum. Senyum yang selalu menahan rasa sakit dan perihnya menunggu. Menunggu.

"Aku sudah bilang beberapa kali padamu. Aku sudah biasa dengan keadaanku sekarang. Masalahku, tidak seharusnya kamu juga memikirkan. Hanya aku saja," Ran terdiam sesaat. "Lagipula, bukankah sebaiknya kau memikirkan bagaimana pertunanganmu dengan Makoto? Aku akan senang, kalau kalian akan bertunangan secepatnya." ujar Ran menenangkan Sonoko. Sonoko tampak terlihat bingung. Seperti biasa, Ran pandai menyembunyikan perasaannya. Sonoko tersenyum.

"Ran, hal yang tidak aku suka darimu, adalah ini. Kau bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kebiasaan buruk." Ia menyikut Ran. "Ayo, percepat langkahmu. Nanti kita telat masuk kelas." Ia kemudian berlari, sembari menarik Ran. Ran hampir kehilangan keseimbangannya.

"Tu ... tunggu, Sonoko!" rajuk Ran pada Sonoko.

Sonoko hanya tersenyum, dan melepaskan pegangan tangannya. Ran kemudian menyusul Sonoko, yang masih terus berlari.

Sampai pada waktu itu, ia tetap melupakan seseorang.

...

Kelas sedang berlangsung. Namun, Ran tetap tidak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang sekarang sedang berlangsung. Ia masih bisa merasakan perasaan ganjil itu, perasaan yang makin menggebu-gebu.

Menurut hatinya, ia sedang melupakan seseorang.

Sebenarnya, apa yang telah ia lupakan? Ia tidak pernah menemukan jawaban. Rasanya, ia menemukan keganjilan yang ada pada kehidupannya, setelah kejadian naas itu. Kejadian naas? Ia tidak pernah mengetahui kejadian itu. Pernah, suatu ketika ia menanyakan peristiwa itu pada Sonoko. Namun, Sonoko enggan mengatakannya. Menurutnya, itu adalah kejadian paling terburuk yang pernah ada.

Ia tidak akan pernah mengetahuinya.

...

Akhirnya, kelas telah berakhir. Ran memasukan alat belajarnya ke dalam tas berwarna cokelat sepia itu. Sepia? Warna yang menyedihkan, sepertinya.

Ia berjalan keluar kelas, bersama dengan Sonoko.

"Ran." Terdengar namanya dipanggil.

Langkahnya dihentikan tiba-tiba oleh seseorang. Ketika ia membalik, terlihat seorang perempuan dengan rambut sebahu yang berwarna cokelat kopi. Wajahnya yang setengah orang asing itu, tersenyum manis menatapnya.

"Ah, Miyano–sensei," Ujarnya. Sonoko menatapnya tidak suka.

"Ran, bisa kita berbicara sebentar?" Ajak Miyano pada Ran. Ran mengangguk setuju.

"Mari ikut aku!" Ran mengikuti Miyano dari belakang. Namun, langkahnya ditahan oleh Sonoko.

"Hei, Ran! Bukankah kita ada janji setelah ini?"

Ran tersenyum, "Setelah aku berbicara dengan Miyano-sensei, aku akan kembali padamu. Jangan lupa hubungi aku, ya?" Ia melambaikan handphone-nya pada Sonoko. Sonoko sedikit tercengang. Handphone itu, kan ...

"Mouri, mau tidak?" tanya Miyano ketika menyadari bahwa Ran tidak mengikutinya.

"Ah, maaf Miyano-sensei." Ia kemudian berbalik menatap Sonoko. "Sonoko, aku akan segera menyusul." Ran meninggalkan Sonoko sendirian. Sonoko hanya bisa menatap kepergiannya.

"Ran andai kamu tahu, apa yang sudah dilakukan olehnya."

...

Ran dibawa masuk ke dalam suatu ruangan. Sebuah laboratorium kimia. Kebetulan, Miyano adalah seorang dosen mata pelajaran kimia disana. Miyano mempersilahkannya untuk duduk di salah satu kursi.

"Anu, Miyano-sensei, sebenarnya ada apa?"

"Sebelum aku berbicara masalah ini denganmu, aku punya satu permintaan padamu." Miyano tersenyum. "Tolong, jangan panggil aku Miyano-sensei, panggil saja aku Shiho. Kita seumuran," Setelah mendengar ucapan terakhir Miyano, Ran tersentak kaget.

"Benarkah? Tapi, kau guru disini. Sudah sepatutnya aku memanggilmu seperti itu," Ujar Ran masih menjaga rasa hormatnya. Miyano tersenyum pahit.

"Perlu kau ketahui, kita dulu adalah teman baik. Pernahkah kau mengetahuinya?"

"Benarkah?" tanya Ran, Miyano mengangguk. Miyano beranjak dari tempatnya berdiri tadi. Ia melangkah menuju lemari berkasnya. Kemudian mengambil salah satu berkas diantara berkas-berkas yang tersusun rapi di lemarinya.

"Aku hendak menunjukkan ini padamu." Ia mencari sesuatu di berkasnya itu, beberapa lama kemudian ia berhasil menemukannya. "Masih kenalkah dengan orang ini?" Miyano menunjukkan sebuah foto. Foto seseorang yang tak asing di matanya, namun sangat asing dalam pikirannya.

"Bukankah ini, Shinichi?" tanyanya. Miyano mengangguk.

"Ada apa dengan Shinichi?"

"Kau benar-benar tidak mengingatnya?" Ran mengangguk. Miyano menghela napasnya pelan.

"Sudah kuduga, ternyata kejadian itu telah mengoncang emosimu sehingga kau mengalami syok yang berat, sehingga mengakibatkan kau tidak bisa mengingat kejadian itu, ya?" Sebuah tekanan emosi? Pikir Ran.

"Memang, dokter waktu itu mendiagnosa kalau aku terkena amnesia. Namun, apa hubungannya dengan Shinichi?" Miyano menatap Ran iba.

Miyano dan Ran bertatapan sebentar. Namun, Miyano tidak sama sekali mengatakan apapun tentang Shinichi dan ingatannya. Ada apa sebenarnya?

Shinichi ...

...

Sinar senja sore itu perlahan mulai pudar. Tangisan Ran seolah tak bisa diberhentikan lagi. Ia sangat, sangat sedih. Kadang ia berpikir tentang siapa yang patut disalahkan dalam semua ini. Semua itu tidak berguna, sangat tidak berguna.

Ia berbalik menatap bukit yang terhampar luas. Air matanya yang sempat terhenti jatuh kembali. Melihat pemandangan yang menyedihkan, menyakitkan.

Sangat menyesakkan.

...

Next : When Shinichi Gone ( Part 1 )

Coretan (tidak) penting, seorang author T.T ! –-

Tes, tes, 1, 2, 3. Ehem...ehem. #check sound.

Terimakasih pertama-tama saya ucapakan untuk para pembaca yang sudi datang untuk membaca karya pertama saya. Saya ucapkan banyak terimakasih. Kalau boleh curhat, ini merupakan karya saya yang pertama, khususnya di fanfiction. Saya lagi semangatnya menulis, karena ini tantangan baru bagi saya. Jadi saya masih butuh bantuan, dari ladies and gentleman sekalian(?)

Mohon maaf, apabila dalam cerita ini ( baru prolog doang #ditimpuk ) banyak sekali kekurangannya. Prolognya terkesan lebay, dan membingungkan ( menurut saya), maklumlah saya seorang amatiran, hiks. Tapi terpaksa saya publish untuk mendapat respon positif untuk menilik kekurangan saya sendiri.

Hahaha, apa pidato saya kepanjangan? Untuk itu saya, —sekali lagi— haturkan rasa terimakasih dan maaf atas kekurangannya. Kritik dan saran positif di tunggu.

Mata Ashita!

Nakamura Mai