This Vampire Wants You

1 : Start

.

.

Summary:

Saat Seijuurou diculik di depan matanya sendiri, Seiko tidak bisa melakukan apapun. Sebagai gantinya ia terus berusaha selama 4 tahun mencari adiknya. Walau segala pencarian itu menuntunnya pada pembunuhan berantai dan sesuatu yang mungkin disebut cinta.

.

Copyright:

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

This Vampire Wants You © Lee Audrey

Ide(s):

Dracula Untold (movie)

miyazaki rully bee's Blood Series Vol. 1: Passion Chap. 1 (fanfiction)

.

Pair: Nijimura Shuuzou x FEM! Akashi Seijuurou (Seiko)

Genre: Romance, Mystery

AU, OOCs, typos, genderbends

.

.

.

.

.

-:-

Tokyo, Kamis, 29 Oktober 2015—

-:-

Gedung bioskop sepi hari itu, tak banyak antrian dan Akashi bisa masuk ke ruang pemutaran film dengan cepat. Setiap tahun di minggu terakhir bulan Oktober, bioskop ini selalu menyuguhkan film-film horor atau bertema monster tanpa henti. Hari ini adalah hari khusus vampir, dan saat ini Akashi sedang menunggu pemutaran film dari sang monster penghisap darah, Dracula Untold.

Ia selalu datang pada minggu Halloween di hari Kamis, tepat jam sembilan malam, karena bioskop ini tidak pernah melewatkan setahun pun tanpa film yang dibintangi aktor tampan dan berkarisma, Luke Evans, tersebut. Bukan. Akashi menjadikan film ini menjadi tontonan wajibnya setiap tahun bukan karena keindahan fisik dan keseksian jiwa sang aktor. Tapi karena film ini, dan film ini satu-satunya, yang menceritakan vampir secara mendekati kenyataan.

Sebut saja Akashi sudah pernah membaca semua cerita dan menonton semua film tentang vampir, tapi hanya ini yang mampu memuaskannya. Ia tidak peduli tentang pamor cerita mengenai akademi vampir, atau vampir yang harus berebut manusia dari werewolf, atau vampir pemilik hotel, atau yang lainnya. Baginya, cerita-cerita itu hanyalah hiburan dan sebagai referensi bagaimana manusia melihat vampir.

Lima menit berlalu, dan lampu di ruangan bioskop di matikan. Sebelum itu, Akashi menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, dan menyimpulkan hanya ada tujuh orang yang memenuhi bangku yang ia yakin setengahnya akan tertidur di tiga puluh menit pertama. Tapi, sudahlah. Berapa banyak orang yang menonton dengannya tidak pernah menjadi masalah asalkan mereka tidak mengganggu.

Cerita dimulai dengan narasi seorang anak kecil mengenai kehidupan Transylvania di tahun 1442 dan penjelasan singkat tentang prajurit paling kuat Turki, Vlad "Son of The Dragon", yang kemudian menjadi Pangeran Transylvania. Tak lama sosok menawan yang dinanti Akashi pun muncul di layar, dengan kerutan di kening ketika ia berpikir dan tatapan tajam yang menyisir sekitarnya dengan cermat.

Astaga, sorot mata itu. Akashi merinding dibuatnya.

Film berjalan dan menampilkan ketegangan di setiap menit. Seperti yang ia duga, sudah ada saja orang yang tertidur, namun tak sedikit yang masih fokus memperhatikan. Wanita di depannya bahkan menjerit dan memeluk sang kekasih ketika Vlad berhadapan dengan Master Vampire, manusia terkutuk yang merupakan anak iblis yang juga cikal-bakal vampir sebenarnya. Akashi tak menganggap teriakan itu menganggu, malah seperti sorakan gembira yang membuat adrenalinnya berpacu. Apalagi ketika adegan berperang dan Vlad tanpa ragu menebas dan menusuk musuh-musuhnya, darah yang terciprat begitu indah. Sayangnya di beberapa adegan sang sutradara menahan menunjukkan darah yang menyembur terlalu banyak, padahal seharusnya itulah inti dari film ini.

Tapi, secara keseluruhan, Akashi kembali dan lagi-lagi jatuh cinta. Bukan hanya pada sang aktor dan perannya, tapi juga cerita dan kisah cintanya. Tidak ada yang menandingi keloyalan Vlad para kerajaannya, bahkan rela berubah menjadi monster. Dan kesetiaan Mirena, sang ratu, padanya sungguh indah. Ia tetap menerima sang suami dan mendukungnya walau telah berubah menjadi monster. Bahkan menawarkan darahnya ketika Vlad sudah diambang batas.

Salah satu hal terbaik dari film ini adalah akhirannya yang bahagia. Tidak persis seperti di cerita dongeng, tapi cukup untuk tidak membuat kecewa. Vlad, yang pada akhirnya menjadi abadi, bertemu dengan seorang wanita yang merupakan reinkarnasi Mirena berabad-abad kemudian. Mereka langsung akrab saat itu juga, dan dengan itulah cerita selesai.

Ini baru romansa sejati. Seleranya sebagai perempuan sangat tinggi jika menyangkut cerita percintaan. Dan baginya, hanya kisah cinta Vlad dan Mirena yang bisa membuatnya kagum. Diam-diam Akashi berandai, apakah dirinya juga bisa mendapat cinta sejati yang sama.

Bersamaan dengan lampu ruang bioskop yang perlahan dinyalakan, wanita muda dengan terusan hitam itu menghembuskan napas untuk menghilangkan kekakuan tubuhnya setelah dua jam duduk tak bergerak, dan mulai berdiri.

Seseorang yang berjarak beberapa bangku darinya, meregangkan tubuh dengan erangan rendah sebelum ikut berdiri. Sepertinya dia termasuk orang yang tertidur selama pemutaran film, tapi anehnya, Akashi selalu melihat orang itu setiap tahun, sama sepertinya, selalu duduk di bangku yang sama.

"Apa orang itu selalu di sini?" tanya Akashi, yang tanpa sadar tidak diucapkannya lewat pikiran.

Pemuda itu menoleh padanya, membelalakkan mata yang berkantung sambil mengulum bibir. Tatapannya seolah berkata, 'Kau bicara padaku?' dan ia berkedip untuk memastikan itu. Dan Akashi ikut berkedip.

Aneh. Padahal Akashi yakin mengucapkannya dengan suara yang sangat kecil.

"Tidak selalu. Hanya ketika film ini diputar," balas pemuda itu, dengan suara yang tak kalah kecil, namun bisa didengar Akashi.

Sekarang ia benar-benar yakin bahwa ada orang yang memasuki bioskop hanya untuk tidur.

"Aku nonton, kok. Aku bahkan seperti tidak berkedip. Tapi pekerjaanku hari ini tiba-tiba menjadi sangat berat dan aku kelelahan. Tanpa sadar aku tertidur di tiga puluh menit terakhir, padahal bagian itulah yang paling bagus," jelas pemuda itu dari tempatnya berdiri. Ia bercerita panjang lebar dan tanpa beban, seolah Akashi adalah teman lamanya. Wanita muda itu sendiri tidak keberatan, namun kemudian ia sadar bahwa hal ini tidaklah wajar.

Jadi ia memberi senyum sopan. "Selamat malam."

Ketika hendak menyusuri tangga, pemuda itu menaikkan nada bicaranya, "Kau juga selalu di sini." Akashi tahu jelas itu bukan pertanyaan, jadi ia berhenti dan menoleh. "Kau menyukai filmnya juga?"

"Ya, hanya film ini yang mendekati kenyataan—maksudku, logis."

Pemuda itu terkekeh. "Heh, meminum darah iblis dan menjadi kelelawar, logis?" Perlahan, ia mendekat. Akashi bisa melihat jelas deretan gigi putih dan rapi pemuda itu ketika ia tersenyum. "Anehnya aku juga berpikir seperti itu. Kau menarik."

Kalimat terakhir membuat bola mata Akashi melebar. Ia tertegun, memikirkan makna yang mungkin saja tersembunyi.

Sepertinya pemuda itu menyadari apa yang baru saja ia katakan, dan tiba-tiba berubah kikuk. Ia mengalihkan mata sebentar sebelum mengulurkan tangan dan berkata, "Nijimura. Shuuzou."

"Akashi Seiko."

Dan tangan besar itu akhirnya diraih oleh jemari lentik dan halus Akashi.

.

-:-

.

Akashi bisa melihat rambut biru muda Kuroko Tetsuna bahkan ketika gadis itu duduk di sudut restoran tua, menutupi wajah dengan buku, dan terhalang sekat di kanan-kiri. Baginya, warna itu terlalu mencolok untuk bisa membaur di gelapnya kayu dan remangnya penerangan.

Kuroko juga bisa mengetahui kedatangan sang sahabat dari dentuman sepatu stiletto yang menggema di penjuru restoran yang sepi. Ia lantas mengintip sedikit dari balik buku dan menunggu gadis berambut merah panjang itu menyapanya.

"Selamat malam, Tetsuna. Maaf membuatmu menunggu."

Kuroko menggeleng. "Tidak masalah, Akashi-san. Hanya penasaran kenapa lebih lama dari biasanya."

Akashi memiliki kebiasaan aneh menjelang dan pasca Halloween, yaitu berkeliling kota di malam hari. Sebenarnya ia tidak masalah berjalan-jalan sendirian, tapi selalu lebih menyenangkan jika ada teman yang dapat berbagi cerita sepanjang perjalanan. Dan satu-satunya orang yang bisa dimintainya adalah gadis pucat bermata besar ini, berhubung Kagami, kekasih Kuroko, tidak pernah mau berkencan selama malam-malam Halloween.

Sayangnya, Kuroko lebih memilih menyendiri di pojok ruangan demi menyelesaikan novel yang dibacanya, daripada harus menemani Akashi menonton film yang sama untuk yang kesekian kali.

Akashi mengedikkan bahu sekilas, dan tersenyum jahil. "Hanya mengobrol sebentar dengan pemuda tampan yang kutemui."

Saat itulah Kuroko langsung menutup bukunya hingga berdebum. "Benarkah?" Sepasang mata biru itu membulat. Jarang-jarang Akashi mau berbicara dengan pria asing. "Apakah dia setampan Luke Evans?" Dan jika Akashi berbicara dengan pria asing, selalu saja yang levelnya setingkat aktor Hollywood.

Akashi terkekeh. Tingkat khayalan temannya ini kadang tinggi juga. "Tidak."

"Berarti Theo James."

"Bisakah kau berhenti menyangkut-pautkan berbagai hal dengan Divergent?"

"Habis, mau bagaimana lagi." Kuroko memasukkan sekuel kedua Divergent, Insurgent, yang sedang dibacanya untuk kedua kali dalam rangka menyambut pemutaran filmnya, ke dalam tas selempang putih, dan berdiri. "Kau harus akui bahwa dia sangat menawan," tambahnya.

"Entahlah kalau Theo James. Aku lebih suka Four."

"Bukankah itu sama saja?"

"Ketika seseorang berakting, dia akan menjadi orang yang berbeda."

Dua gadis cantik dengan setelan selutut itu kemudian berjalan beriringan di jalan setapak Shibuya yang gemerlap. Penjuru kota masih ramai, bahkan terkesan lebih hidup di jam-jam segini. Mereka membahas film Insurgent yang sedikit berbeda dengan novelnya. Hingga terhenti tiba-tiba ketika Kuroko sadar Akashi sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, bagaimana pria yang tadi?" tanya Kuroko lagi, kembali mengintrospeksi. Tidak, dia tidak penasaran, kok. Hanya… sedikit ingin tahu saja.

"Pria yang sama yang selalu duduk di bangku yang sama untuk menonton film yang sama setiap tahun."

"Selamat, Akashi-san, ternyata kau tidak sendiri."

"Yah, aku rasa aku beruntung."

Mereka pun terdiam ketika Kuroko kembali pada kebiasannya, membaca sambil berjalan, dan angan Akashi terbang ketika memikirkan pria yang ditanyakan Kuroko.

Tadi, mereka keluar dari bioskop bersama sambil membahas film Dracula Untold. Lelaki itu selalu tenang, tapi dari intonasi dan sorot matanya, Akashi bisa tahu bahwa ia bersemangat. Ia pun turut senang karena akhirnya ada orang yang bisa berbagi opini tentang film kesukaannya, karena Kuroko tidak terlalu suka vampir.

Mereka berhenti sebentar di depan Starbuck. Lelaki itu, Nijimura, membeli secangkir kopi hitam panas untuk menghilangkan kantuknya. Ia sempat menawari Akashi, dan gadis itu pun akhirnya memilih menu yang sama.

Mereka pun berjalan-jalan santai di sepanjang jalan sebelum akhirnya berpisah di persimpangan jalan. Sebelumnya mereka sempat mengganti topik ketika tak ada lagi yang bisa dibahas. Nijimura menengadahkan kepala, berseru pada Akashi, "Hei, ada bintang jatuh!" sebelum secara reflek menutup mulutnya ketika sadar bahwa mungkin saja Akashi tidak melihat apa yang ia lihat. Benar, orang biasa tidak mungkin bisa melihat bahkan bintang sekali pun ketika berada di tengah-tengah kota gemerlap seperti Tokyo, khususnya Shibuya.

Tapi, Akashi malah melebarkan senyumnya dengan mata berbinar. "Kau benar. Mereka banyak sekali. Aku sudah lama tidak melihatnya. Apakah kau mau membuat permohonan?"

Mendengar itu, Nijimura terdiam menatap Akashi. Ekspresi terkejutnya sangat kentara, sehingga membuat wanita itu ikut menoleh dengan perasaan khawatir.

"Kau juga… melihatnya, kan?"

Memikirkan itu membuat bulu roma Akashi kembali berdiri. Lebih baik ia bertanya pada Kuroko daripada membuat asumsi bahwa pria itu adalah bagian dari khayalannya karena kesepian.

"Tetsuna," panggilnya, walau tak berhasil membuat Kuroko mengalihkan mata dari barisan kalimat panjang di tangannya. Gadis itu hanya menggumamkan, "Hm?" dengan pelan.

"Langitnya indah, ya. Bintangnya banyak sekali."

Barulah Kuroko menurunkan bukunya dan melihat ke arah yang dilihat Akashi. Setelah lima detik, ia menoleh pada sahabatnya, "Akashi-san, langitnya berawan dan tidak ada bintang malam ini."

Maka benarlah firasat buruk Akashi.

.

-:-

.

Jumat, 30 Oktober 2015—

-:-

Hari ini adalah hari khusus zombie. Akashi tidak terlalu menyukai makhluk busuk yang jelek dan menjijikkan itu, tapi ia tidak bisa menolak ketika Nijimura mengajak bertemu di bioskop keesokan harinya.

Jadi di sinilah dia, berdiri di depan bioskop dengan dress hitam selutut, anting emas panjang, bibir terpoles merah sempurna, blazer marun, boots kulit coklat dan tas selempang yang ia genggam, sedikit merasa bodoh. Kenapa ia berdandan sampai seperti ini? Apakah ini kencan?

Paling-paling mereka hanya akan menonton film bersama dan mampir di Starbuck lagi. Tidak benar-benar seperti kencan, kan?

Kadang ia juga tidak mengerti dirinya.

Ketika ia melihat jam raksasa di seberang jalan, ia mulai mempersiapkan diri untuk menunggu lima menit lagi. Tidak, Nijimura tidak terlambat. Akashi yang terlalu cepat.

"Selamat malam. Kau datang duluan."

Akashi berbalik, terkejut bahwa pria yang ia tunggu sudah berdiri di belakangnya, memasukkan tangan ke saku celana. Penampilannya cukup sederhana, namun Akashi bisa tahu bahwa bukan hanya dirinya yang berusaha lebih soal penampilan malam ini. Sederhana, karena kaki panjang itu kembali terbalut jeans hitam, seperti kemarin, dan seperti kebanyakan orang sepantarannya di sekitaran distrik ini. Agak berbeda, karena kali ini Nijimura mengenakan jaket kulit hitam yang terbuka di luar kaus putihnya. Dan dengan sebuah syal berwarna merah marun—yang Akashi yakin semata-mata untuk menghalau hawa dingin musim gugur, bukan menyesuaikan dengan dandanannya—dapat membuat penampilan pemuda ini terbilang… menawan.

Tapi yang lebih membuatnya terkejut, bahwa Akashi tidak merasakan kedatangannya sama sekali.

"Ayo, filmnya akan dimulai."

Seperti kemarin, bioskop sepi dan mereka bisa mendapatkan tiket dengan cepat. Segera mereka mengambil tempat duduk, kali ini bersebelahan. Tapi baru saja menyandarkan punggung dan seorang pria gemuk memasuki ruangan, Akashi langsung menyerengitkan hidung dan Nijimura bahkan sudah menutup hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.

"Aku… mau ke toilet dulu." / "Aku mual."

Mereka bertatapan, mata kembali melebar. Sadar atau tidak, mereka mengucapkannya bersamaan.

Nijimura mengerti apa yang sepertinya terjadi, dan yakin Akashi juga merasakan hal yang sama. Jadi, tanpa pikir dua kali disambarnya pergelangan mungil si gadis dan menyeretnya keluar. "Kita nonton lain kali saja."

Mereka melewati si pria gemuk yang duduk di barisan paling depan dengan susah payah karena harus menahan rasa mual dan pusing yang menjadi-jadi. Dan begitu keluar dari gedung bioskop, barulah mereka menarik napas dalam-dalam, mensyukuri indra penciuman mereka yang ternyata belum rusak karena masih bisa merasakan kabut polusi di tengah udara dingin musim gugur.

"Aku rasa hidungku hampir rusak," omel Nijimura, setengah bergurau. Ia memencet-pencet hidungnya.

"Yah, penyakit pria itu sudah sangat parah." Akashi mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan menghirup aromanya dalam-dalam. Wangi mawar selalu membuat hidungnya lebih baik.

"Kanker pankreas, ya? Umurnya tidak akan lama."

"Aku rasa yang benar kanker lambung."

"Benarkah? Yah, apapun itu, darahnya bau sekali."

Mereka bertatapan, kemudian terkekeh sejenak.

Akashi tersenyum. "Aku tidak menyangka bisa bertemu kaumku semudah ini."

"Aku sudah mengira kau bukan manusia dari pertama melihatmu."

Mereka pun mendekat, masing-masing mengambil satu langkah maju. Ternyata benar firasat Akashi bahwa bukan dia yang aneh, tapi Nijimura juga sama sepertinya. Entah kenapa, menyadari hal itu membuatnya nyaman. Ia bisa tahu bahwa bukan hanya dia dan keluarga kecilnya yang tersisa di seluruh dunia.

"Kau klan serigala dari mana?" / "Kau vampir juga, kan?"

Angin dingin tiba-tiba berhembus, membekukan keduanya dengan mata yang membelalak.

Oh, astaga.

.

.

.

.

TBC.

.

.

Omake

.

Berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, Akashi mengerutkan bibir. Bukan, bukan yang ini. Masa ia menemui seseorang yang ia temui kemarin dengan pakaian yang sama juga? Orang itu akan berpikir bahwa Akashi tidak memiliki pakaian lain.

Lantas, dengan sekali jentikan jari, dibukanya lemari pakaian empat pintu yang langsung memamerkan deretan pakaian merek dunia, lengkap dengan jajaran sepatu dan tas di atasnya.

Tapi… Akashi sudah sering memakai semua pakaian ini. Bisa dibilang, ini adalah pakaiannya di hari-hari biasa. Tidak mungkin ia menemui orang baru dengan pakaian biasa.

Lalu, apa yang harus ia pakai? Harus sesuatu yang menarik dan elegan, tapi tidak terlalu mencolok. Sesuatu yang casual sepertinya cocok. Seperti blazer marun dan boots coklat panjang ini. Lalu, untuk membuatnya tenang, ia memilih terusan dengan warna kesukaannya, hitam. Dan untuk sentuhan terakhir, sepertinya anting emas panjang berbandul ini cocok untuk menambah kesan elegan.

Oh, ya, Akashi memang jarang menggunakannya, tapi apakah ia harus memakai lipstick untuk hari ini saja? Bibirnya sudah bersemu merah jambu sejak awal, tapi sepertinya di tengah lampu malam hari akan terlihat pucat. Kedengarannya tidak bagus.

Tiga puluh menit kemudian—waktu yang cukup lama untuk seorang Akashi Seiko berdandan—ia menuruni tangga menuju lantai satu, menciptakan suara dentuman yang keras dari hak rendah sepatu boots coklatnya, hingga membuat Kagami Taiga menoleh dari layar televisi.

Sepupunya itu menatap Akashi dengan heran. "Kau mau kencan?" ujarnya, hanya dengan sekali tatap.

Akashi menegang. "Apakah aku terlihat seperti itu?" Ia sudah memikirkan hal ini, tapi terus saja mensugestikan diri bahwa ini hanya pertemuan biasa. Walau, pada kenyataannya, ia tetap tahu bahwa dandanannya sedikit tidak biasa. Apakah salah?

Tapi, toh, Kagami tidak terlalu peduli. Pemuda berbadan kekar itu kembali mengunyah burgernya. "Jika kujawab 'tidak', bisakah kau berhenti menculik pacarku untuk hobi anehmu itu?"

"Tidak, Taiga. Kita sudah sepakat bahwa Tetsuna akan menemaniku selama malam-malam Halloween."

Kagami kembali menoleh pada adik sepupunya yang masih berdiri di anak tangga. "Kalau begitu, jawabanku, ya. Lebih tepatnya kau seperti sedang jatuh cinta." Sejurus kemudian, ia kembali tidak peduli dan beralih pada televisi. "Walau aku tidak pernah melihatmu jatuh cinta sebelumnya," gumamnya, tidak bermaksud untuk didengar.

Tapi, Akashi mendengarnya. "Oh, ya?"

"Syukurlah. Ternyata kau juga cewek normal."

"Aku anggap itu sebagai pujian."

"Yah, walau aku rasa, kau harus lebih mencontoh diriku." Ucapan Kagami sedikit tidak jelas berkat mulutnya yang penuh, ditambah mata masih terfokus pada televisi. "Lihat aku. Burger, televisi, sofa, pacar manis yang berteman baik dengan sepupuku—bukankah itu definisi normal?"

"Kalau begitu, coba kau refisi ulang perbendaharaan katamu," balas Akashi, dingin walau penuh sindiran. Senyum miringnya kini terukir. "Akan benar-benar hebat jika kita bisa sepenuhnya 'normal'," tambahnya.

Bel pintu depan berbunyi dua kali, pertanda bahwa 'jemputan' Akashi telah tiba. Dengan langkah elegan dan lebar, gadis yang kembali menggerai rambut merahnya itu berjalan melewati ruang tengah, mengambil sedikit kesempatan untuk mencubit hidung Kagami dan berkata, "Jangan terlalu banyak makan burger. Darahmu bisa berlemak," sebagai wujud kesalnya pada sang sepupu karena telah mendebatnya, dan tersenyum hangat ketika membuka pintu depan.

Kuroko Tetsuna pun membalas dengan senyuman. Kali ini gadis mungil itu mengenakan celana pendek berwarna coklat dan stoking hitam serta sepatu kets. Tubuh mungilnya ditutupi oleh sweater wol dan syal tipis. Ia rambutnya dengan gaya mengkuncir kuda—sesuatu yang tidak biasa.

Kagami, yang ikut menuju depan pintu untuk melihat kekasihnya, terpana dan menganga selebar-lebarnya. Pacarnya selalu jauh dari kesan 'seksi'. Dia punya cara sendiri untuk memikat orang—terlebih, pacarnya sendiri.

"Selamat malam, Akashi-san, Kagami-kun." Gadis berambut biru langit itu mengangguk sekilas. "Jadi, sudah siap?" ia bertanya pada Akashi.

Namun yang ditanya malah menggeleng. "Aku berubah pikiran. Aku pergi sendiri malam ini. Kau di sini saja dengan Taiga. Dia suka ketakutan saat sendirian di rumah."

"Oi! Aku tidak takut!"

Kuroko merasakan sesuatu yang aneh, terlebih lagi setelah memperhatikan dandanan Akashi. Jadi, ia memiringkan kepala dan bertanya, "Kau akan menemui seseorang?"

"Dia ada kencan," celetuk Kagami.

Akashi melirik sepupunya dengan tajam.

"Oh, baguslah. Aku senang." Kuroko tersenyum sumringah—sebenarnya hanya sedikit lebih lebar dari senyum sebelumnya karena gadis ini tidak pintar berekspresi. Pada dasarnya memang inilah yang dia inginkan—berdiam diri di rumah bersama Kagami, sambil membaca buku atau menonton sesuatu dengan cemilan dan coklat hangat. Ia memang suka jalan-jalan dan tidak keberatan menemani Akashi, tapi jika setiap hari… bukankah itu sedikit berlebihan? "Lelaki yang kemarin?" tanyanya.

Akashi mengangguk. "Ya, lelaki yang kemarin." Wajahnya bersemu, dan itu membuat Kagami sedikit curiga.

"Tunggu. Jangan bilang dia pria yang tidak kukenal." Dia menatap Akashi dengan tajam.

"Apakah semua pria yang mendekatiku harus kaukenal?" Akashi tersenyum jahil. Dengan itu, gadis dengan rambut sepunggung itu segera menyingkir dari depan pintu dan menuruni tangga. Sebelum pergi, ia berbalik. "Jangan nakal dengan sahabatku, Nii-san."

Kagami hanya bisa berseru malu dipanggil seperti. Bukanlah suatu kebiasaan di keluarga mereka untuk memanggil dengan panggilan keluarga. Mereka lebih terbiasa memanggil satu sama lain dengan nama depan. Jadi, tentu saja jika salah satu memanggil yang lainnya seperti itu, akan terasa aneh dan… memalukan. Terlebih jika di depan seorang kekasihnya. Pasti, setelah ini, Kuroko akan menggunakan panggilan tersebut untuk mengoloknya. Lagipula, kenapa Akashi harus mengatakan hal itu terang-terangan?—maksudnya, bagian 'nakal' itu.

"Bye, Akashi-san. Hati-hati." Kuroko melambai pada sahabatnya, sebelum berbalik dan memasang senyum jahil yang sama. "Jadi… apa yang sebaiknya kita lakukan malam ini, Nii-san?"

"Inilah yang kubenci dari kalian berdua."

Kagami menarik Kuroko masuk sambil tersenyum miring. Perlahan, ia menutup pintu di belakangnya, dan menguncinya.

.

.

.

.

Sebenarnya poin dari Omake di atas adalah menunjukkan Akashi yang secara tidak sadar menganggap ajakan Nijimura sebagai kencan, sedangkan alam sadarnya tidak. Yah, salah satu indikasi kalau jatuh cinta.

But I don't know why this ended up with KagaKuro. Maybe below my consciousness I still love them.

-:-

(Wednesday April 8, 2015)
Hope you like it!
-Lee Audrey