"Aah aku capek sekali hari ini!" Keluh Tsukuyo menghela nafas panjang sembari menghempaskan tubuhnya di kursi di salah satu kedai kafe terkenal di Tokyo.

Ia memejamkan matanya sejenak meluapkan rasa lelahnya sebentar sementara ia mengistirahatkan tubuhnya disofa empuk milik kafe kopi itu.

Orang didepannya hanya menatapnya datar.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini Gintoki?" Tanyanya memecah kesunyian diantara mereka semenjak memasuki tempat itu.

Gintoki mengedikkan bahunya "biasa saja" sahutnya cuek sekenanya.

Perempuan pirang itu mengedipkan matanya sedikit tercengang dengan polah Gintoki yang agak ketus. Tsukuyo berpikiran mungkin dia sedang kelelahan juga, jarang-jarang pria yang sering banyak bicara itu diam seribu bahasa dari awal mereka memasuki kedai itu.

"Aku hari ini menangkap 2 pelaku pembunuhan lo! Kau tau kan pembunuh berantai yang santer terdengar di berita akhir-akhir ini! Aku bisa menangkapnya bersama Toushi" jelasnya bangga sambil menangkupkan dua tangannya senang dan menatap Gintoki mengharap kekasihnya itu memuji atau menanggapinya.

"Hmmmm..." Gintoki mengerang mengiyakan, matanya yang malas tetap fokus dengan ponselnya.

"Sebenarnya salah satu pelaku hampir saja melukaiku tapi Toushi berhasil melindungiku, aku sangat bersyukur padanya, kau harus berterima kasih juga padanya Gintoki" lanjutnya tertawa pelan memancing agar pria itu merespon dengan apa yang baru saja ia alami.

Gintoki kembali menatapnya datar dengan mata ikannya setelah Tsukuyo mengucapkan itu tapi pandangannya kembali teralih ke parfait stroberi yang baru saja di pesannya.

Perempuan berprofesi sebagai polisi itu mengerutkan keningnya sedikit risih karena sedari tadi Gintoki hanya berdehem atau menyahut sekenanya dengan ceritanya yang berhasil menangkap pelaku kriminal bersama rekannya Hijikata Toshirou di kepolisian wilayah Tokyo di divisi yang sama, Divisi kejahatan pembunuhan.

Tsukuyo menyentuh tangan Gintoki yang berada di atas meja.

"Ada apa denganmu Gintoki? Kau ada masalah? Ceritakan padaku" ujarnya pelan menatap lembut Gintoki yang tak bergeming dari tempatnya.

Entah kenapa saat itu Gintoki merasa Tsukuyo sedikit berbeda dari biasanya saat memanggil namanya, tidak semanis biasanya, tidak seindah saat diawal mereka menjalin hubungan.

"Aku tidak apa-apa" balasnya menjawab kecemasan Tsukuyo.

Gintoki tahu jawabannya tidak akan memuaskan pertanyaan perempuan yang sudah menemaninya selama 9 bulan, perempuan itu bahkan sangat mengenalnya meskipun mereka sangat jarang bertemu karena kesibukan pekerjaan masing-masing, Tsukuyo adalah seorang polisi wanita yang sibuk yang selalu harus on time dan stand by dengan pekerjaannya dan Gintoki seorang guru di sebuah SMA terkenal di Tokyo.

"Kau bohong Gintoki!" Tsukuyo semakin erat memegang tangannya.

Gintoki sudah bisa menebak dia dengan mudah bisa mendeteksi kebohongannya.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku, katakan!?" desaknya menuntut.

Gintoki menyendok parfaitnya mencoba mengalihkan keadaan.

Tsukuyo tertawa kecil melihatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke depan.

Cup

Perempuan bermata amethyst itu berblushing ria, wajahnya semerah tomat.

Gintoki merasakan benda hangat dan lembut di sekitar mulutnya.

Tsukuyo menciumnya.

Gintoki sedikit membuka mulutnya, kaget, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah kembali seolah tidak terjadi apa-apa.

Tsukuyo memalingkan wajah cantiknya yang merona karena malu. Ia menunjuk gugup ke arah wajah Gintoki "a..aku tidak bisa menahannya, kau belepotan..." Ia tertawa pelan mencairkan suasana.

"Aku menjadi merasa bersalah..." Ucap Gintoki gelisah.

Tsukuyo memiringkan wajahnya, raut mukanya bingung tapi menunggu Gintoki meneruskan kalimatnya.

"Ada yang harus ku katakan padamu Tsukuyo.." Lirihnya berpaling ke arah lain mencoba tidak menatap balik tatapan Tsukuyo.

"Katakan saja.." Sahutnya meyakinkan Gintoki.

"Aku ingin kita berakhir" kata-kata itu keluar dengan lancar dari mulut Gintoki dan kembali menatap Tsukuyo.

Satu detik.

Dua detik

Tiga detik.

Butuh tiga detik untuk Tsukuyo untuk mencerna kalimat yang barusan pria itu katakan, ia tidak percaya dengan pendengarannya.

Hening.

"Hahaha kau bercanda seperti biasa kan Gintoki? Kau bohong kan?" Ada sedikit nada bergetar di kalimatnya barusan, mencoba meyakinkan kalau hanya itu sebuah gurauan bodoh yang sering ia lontarkan.

Tsukuyo menatap Gintoki menuntut bahwa ia hanya bercanda tapi Gintoki menghindari mata amethystnya.

"Dengar Tsukuyo aku ingin kita masing-masing saja sekarang, aku ingin mengakhiri hubungan kita... Kau mengerti?" Gintoki perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Tsukuyo di atas meja.

Tsukuyo terdiam, terpaku di tempatnya masih berusaha memproses kalimat Gintoki, ia tidak menyangka apa yang ia dengar sekarang, hatinya berdenyut nyeri dan sesak, tubuhnya sedikit bergetar.

"Tapi...kenapa Gintoki??" Rintihnya pelan menatap Gintoki yang datar menghindari tatapannya.

Gintoki beranjak dari kursinya meninggalkan Tsukuyo yang terpaku diam di tempatnya. Ia tidak mengucapkan satu katapun setelah itu.

Keramaian di kafe itu membuat telinga Tsukuyo berdengung, ia merasa kosong, ia merasa tidak lagi berpijak di bumi.

Sosok Gintoki perlahan memudar menjauh, air mulai membanjiri matanya.

"Setidaknya berikan aku alasan kenapa kau mengakhiri kita Gintoki!?" Rintihnya disela isakannya saat berusaha menyusul Gintoki yang sudah berada di luar.

Pria itu perlahan melepas genggaman tangan Tsukuyo di lengannya tanpa berbalik menghadap Tsukuyo dan tidak mengetahui perempuan itu sedang meringis menahan sakit di tangannya yang sedikit lebam.

"Kau yakin ingin tahu?" sahutnya dingin.

"Aku tidak mencintaimu lagi Tsukuyo.."

Tsukuyo terkesiap mendengar kata-kata yang dikeluarkan Gintoki, ia tidak siap menerima kenyataan yang baru saja didengarnya, tanpa bisa melakukan apa-apa Tsukuyo hanya bisa melepas kepergian Gintoki yang melangkah pergi meninggalkannya tanpa menoleh sedikitpun padanya.

Tsukuyo hanya bisa tergugu ditempatnya, ia langkahkan kakinya gontai dengan hati berat, kepalanya penuh berkecamuk dengan beberapa pertanyaan yang dia sendiri pun tidak tahu jawabannya, kenapa Gintoki yang selama ini baik-baik saja tega mengatakan hal seperti itu padanya, memang kadang dia tidak bisa menebak apa yang pria itu pikirkan tapi selama ini ia selalu berusaha selalu ada untuknya, selalu meluangkan waktunya meskipun Dengan padatnya pekerjaannya.

Pria tegap berambut hitam dengan sebatang rokok di mulutnya itu baru saja memarkirkan motor sportnya didepan pekarangan apartemennya, ia meletakkan kedua tangannya di kantong celananya bersiap memasuki pintu apartemennya sebelum mata biru gelapnya menangkap sosok wanita di seberang jalan apartemennya sekarang, bergegas ia menghampiri wanita itu.

"Heeiii kau kenapa?" Tanyanya lembut dengan suara berat khas miliknya.

"Toushi...?" Ucapnya pelan, buru-buru ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya.

Hijikata Toushiro membungkukan sedikiti tubuhnya mensejajarkan tingginya dengan Tsukuyo agar bisa meliat wajah Tsukuyo dengan jelas.

"Kau menangis?" Hijikata menyentuh pipinya.

Tsukuyo menggeleng, menutupi kebohongannya.

Senyum terpaksa terukir di wajahnya, ia mengangkat lengannya yang lebam "aku menahan sakit Toushi, kau tahu kan aku terkilir gara-gara kejadian siang tadi" Tsukuyo berusaha mengatur nada suaranya supaya tidak terdengar serak habis menangis sepanjang jalan.

Hijikata mendengus, sudut bibirnya terangkat " heh! kau bisa saja membohongi orang lain Tsukki, tapi tidak denganku"

"Kau tidak secengeng itu untuk menangisi luka fisikmu" ungkapnya menyeringai.

Tsukuyo menatap Hijikata, sahabatnya ini memang paling mengerti dirinya. Ia menelusupkan kedua tangannya ke tubuh tegap Hijikata, memeluknya erat dan menangis sepuasnya.

"Aku pinjam bahumu Toushi huaaaa..." Teriaknya pelan di dada Hijikata.

"Siapa yang kau panggil Toushi, huh!!!?" Bentaknya pelan di telinga Tsukuyo, ia mencoba menghibur sahabat kecilnya yang sedang sesunggukkan di pelukannya.

"Katakan padaku siapa yang membuat teman cantik kecilku ini menangis!!? Jangan bilang si kriting bajingan itu" Hijikata mengisap dalam rokoknya dan menghembuskan kasar.

Tsukuyo diam, semakin ia mengingat kata-kata Gintoki semakin luka hatinya, hatinya berdenyut untuk ke sekian kalinya, tangisan yang semula reda kembali menghiasi wajah cantiknya. Ia semakin mengencangkan pegangannya ke punggung Hijikata berharap semua sakit yang ia rasakan bisa sedikit menguap karena sahabat yang sudah ia anggap saudara ini selalu bisa menenangkannya dalam keadaan apapun.

Hijikata mengusap-ngusap punggung Tsukuyo menenangkannya, tangan kanannya mengepal geram. Ia membuang puntung rokoknya dan menginjaknya kasar. Ia merenggangkan pelukannya dan dengan langkah cepat ia kembali ke tempat dimana ia memarkir motornya.

Tsukuyo terkejut, ia mencoba mengejar Hijikata yang sudah menstarter motornya.

"Toshii!! Kau mau kemana!!?" teriak Tsukuyo panik melihat Hijikata yang terburu-buru dengan wajah kesal.

Hijikata mendelik dari balik helmnya "jangan panggil aku Toshi kalau aku tidak bisa menghajar pria brengsek itu!!"

Tsukuyo terbelalak dan gagal mengejar Hijikata yang sudah laju melesat dengan motornya meninggalkan Tsukuyo yang hanya bisa menatap kepergiannya.

Buru-buru ia mengorek isi tasnya mencari ponselnya untuk menghubungi seseorang.

To be continued