[Chapter 1] Karena setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaannya―terutama kita, Jongin. | Kris, Kai, Jaejoong, Yunho, etc | Warning: Boys Love, Crack Pair, Cliche | DLDR!
Kris Wu | Kim Jongin | Kim Jaejoong | Jung Yunho
.
rappicasso
presents
An Alternate Universe Fanfiction
Step-Brother
.
WARNING:
BOYS LOVE, CRACK PAIR, CLICHE
.
happiness is everyone's right
.
FOREWORD
Jika aku bisa memilih, dulu aku tak akan melepaskanmu. Ya, dulu saat cinta adalah satu-satunya hal yang paling berharga bagi kita berdua.
Tapi kini? Bukan hanya cinta yang paling berharga untuk kita. Ada dia. Dia yang sudah menjadi bagian dari hidup kita. Seperti dirimu, aku rela mempertaruhkan nyawaku untuknya, merelakan kebahagiaan yang kuimpikan sejak lama.
Aku rela melihat diriku sendiri menderita, selama ia bisa bahagia dan tidak mengalami penderitaan seperti apa yang pernah kita alami. Biarkan penderitaan itu hanya menjadi milik kita. Bukan miliknya.
Biarkan dia bahagia―
―sebagaimana kita seharusnya.
.
CHAPTER 1
"Apa?! Ibu akan rujuk kembali dengan pria itu?" Suara berat itu menggema di setiap sudut apartemen mewah milik sepasang ibu-anak yang hanya tinggal berdua itu. Sang pemilik suara nampak berusaha menahan emosinya, meski ia tak cukup berhasil untuk tidak membentak seorang pria cantik yang berstatus sebagai ibunya itu.
Sang pria cantik nampak terkejut dengan sikap putra semata wayangnya itu. "Pria itu punya nama, Kris. Dan dia adalah ayah kandungmu." Masih berbicara dengan suara lembutnya seperti biasa. Ia sama sekali tak ingin menandingi emosi putranya yang sudah ada di ubun-ubun itu.
"Ayah kandungku sudah tiada, Bu! Dia tidak akan pernah kembali lagi!" Pria muda berambut blonde itu kembali bersuara dengan nada tinggi―seolah mengabaikan fakta bahwa pria cantik yang berada di hadapannya adalah ibu kandungnya.
"Jung Yifan!" Pria cantik itu sudah kehabisan kesabarannya―memanggil nama asli dari putranya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa putranya sendiri bersikap seperti itu pada ayah kandungnya.
"Tidak ada lagi nama Jung Yifan! Namaku Kris!" tegas pria itu. Matanya memerah―atau bahkan berair. Tidak, ia bukannya ingin menangis karena sedih. Ia kecewa pada ibunya. Selama ini, ia selalu membela sang ibu. Namun kenapa ibunya justru membela ayahnya yang telah pergi meninggalkan mereka itu? "Aku benci semua ini." Pria yang mengaku bernama Kris itu tertunduk sambil menggeram pelan. "Kalian semua hanya mempermainkan takdirku!" Dan pria itu pun pergi meninggalkan sang ibu seorang diri di dalam apartemen yang telah mereka tinggali selama 10 tahun terakhir.
.
Kris selalu membenci takdirnya.
Dimulai dari neneknya yang menyebalkan dan selalu mengusik hidupnya, ayahnya yang pengecut karena telah meninggalkan ibunya, perjuangan berat hidupnya bersama sang ibu dan kini kenyataan bahwa ibunya akan rujuk dengan ayahnya.
Apakah itu berarti selama ini ibunya selalu berkomunikasi secara diam-diam dengan pria brengsek yang telah meninggalkan mereka itu? Bukankah Kris dan ibunya sudah berjanji untuk mengubur segala yang pernah terjadi pada masa lalunya? Mengapa luka lama itu harus kembali terkuak?
Kris memejamkan matanya dan menikmati hembusan angin pantai yang menerpa wajahnya yang pucat itu―seperti milik ibunya. Selalu seperti ini, jika ia sedang menghadapi masalah. Ia selalu kabur dari rumahnya dan pergi ke pantai untuk menyegarkan pikirannya kembali.
Pria itu sudah terduduk di tepi pantai selama 3 jam, namun pikirannya tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali jernih seperti semula. Fakta yang didengar dari mulut ibunya itu seolah tak terelakkan, seolah tak bisa ditentang atau disangkal. Sepertinya, ibunya serius untuk rujuk kembali dengan sang ayah.
Sebenci apapun Kris pada ayahnya, Kris tahu betul seperti apa sosok ayahnya itu.
Pria itu adalah pengusaha yang menguasai perekonomian di kawasan Asia dan perusahaannya menjalin banyak hubungan kerja dengan beberapa perusahaan di Amerika dan Eropa. Jika ia sampai melawan ayahnya itu, bukan tidak mungkin jika keselamatan hidupnya terancam. Ia hanyalah seorang anak lelaki yang masih menumpang pada ibunya. Kekuasaan ayahnya sama sekali bukan tandingannya.
Kris mendesah keras. Sepertinya Tuhan sangat senang bermain-main dengan takdirnya.
"Ex-cuse me," tegur sebuah suara yang terdengar nyaring.
Kris menolehkan kepalanya dan melihat seorang pemuda tampan sekaligus manis, dengan kulit tan, rambut berwarna hitam dan tinggi yang tak jauh berbeda dengan dirinya. "Yeah?"
"W-would you mind t-to help me?" tanya pemuda itu dengan suara bergetar.
Kris menggumam pelan.
"I lost. I c-can't find my family," lanjut pemuda itu sambil tertunduk takut. Mungkin ia merasa risih dengan tatapan intimidasi yang diberikan oleh Kris.
Kris mendesah pelan. Bocah yang berdiri di hadapannya ini pasti masih berusia belasan tahun dan bukan berasal dari Amerika. Bahasa Inggrisnya terdengar sangat payah, aksennya terdengar terlalu kental dan wajahnya terlalu oriental untuk disebut penduduk asli. "Where do you come from?"
"Urm, S-seoul, South Korea," balas pemuda itu, masih terlihat takut.
"Berbicaralah dalam Bahasa Korea saja. Bahasa Inggrismu sangat payah," pinta Kris dalam Bahasa Korea. Untung saja, orang tuanya adalah keturunan Korea dan Kris memang seseorang yang sangat pandai dalam berbahasa. Ia mampu menguasai beberapa bahasa, seperti Inggris, Korea, China, Canton, Jepang, Prancis dan Jerman. "Jadi, kau sedang tersesat di pantai ini?" tanya Kris memastikan.
"N-ne."
Kris bangkit dari duduknya. Benar sekali dugaannya. Pemuda itu mungkin hanya satu inchi lebih pendek dari dirinya. "Dimana kau terakhir kali melihat keluargamu?" tanya Kris.
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Meskipun tinggi mereka tidak terpaut jauh, namun pemuda itu tetap harus mendongak untuk bertatap mata dengan Kris. "Tadi kami akan menuju ke suatu restoran di dekat sini―tapi aku tak tahu dimana letaknya. Aku ingin sekali ke toilet dan berpamitan pada salah satu bodyguard ayahku, kalau aku akan ke kamar mandi sebentar. Tapi sepertinya dia tidak mendengarku dan mereka meninggalkanku begitu saja," cerita pemuda itu, lantas menutup ceritanya sambil mengerucutkan bibirnya dengan lucu.
Kris mendesah pelan―entah untuk yang keberapa kalinya dalam hari ini. Seandainya bocah yang berdiri di hadapannya tidak memberikan tatapan memelas seperti anak kucing yang kehilangan induknya, mungkin ia sudah membentak "Dasar bocah bodoh! Kalau kau tahu kau tidak mengenal daerah sini, kenapa kau pergi begitu saja dengan ceroboh? Kau hanya menyusahkan orang lain saja!" Baiklah, abaikan hal itu. Kadang di saat-saat yang seperti ini, Kris bersikap seperti ibunya yang cerewet dan suka mengomel. "Hm baiklah. Mari kita cari ayahmu di sekitar sini. Aku tahu beberapa restoran yang ada disini," balas Kris pasrah. Lagipula, daripada ia hanya menghabiskan waktunya dengan merenung di tepi pantai, sementara emosinya tak kunjung reda, bukankah lebih baik jika dia membantu anak ini kembali pada keluarganya? Ya, sepertinya itu bukan ide yang buruk.
"Hm, arrasseo." Pemuda itu tersenyum dan mengangguk dengan semangat.
Kris mendengus dan berjalan terlebih dahulu. "Semoga ayahmu masih ada di sekitar sini," ucapnya. Kris menyeringai. "Yah, kecuali jika ayahmu memang berniat meninggalkanmu disini."
"YAK!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Bagaimana kalian bisa kehilangan Jongin, hah?!" Pria dewasa bermata musang itu membentak para bodyguard-nya. Ia tak bisa berhenti mondar-mandir di dalam ruang kerjanya―tanda bahwa ia sedang sangat cemas. Pria itu sedang mencemaskan sosok bernama Jongin.
Para bodyguard bertubuh kekar dan berseragam lengkap itu hanya saling bertukar pandang. Mereka juga cemas―cemas memikirkan Jongin yang sedang menghilang dan cemas memikirkan nasib mereka setelah peristiwa ini.
Jung Yunho―pria bermata musang itu mengeluarkan smartphone dari dalam saku celananya dan segera menghubungi seseorang. "Jaejoong-ah?"
"Yunho-ya? Ada apa?"
"Jongin menghilang." Yunho mengucapkan kalimat tersebut sambil mendesah frustasi dan mengusap wajah tampannya dengan kasar. Ia begitu menyayangi Jongin seperti ia menyayangi hidupnya sendiri. Maka jika Jongin menghilang, Yunho seolah kehilangan makna hidupnya.
"Mwo?! Bagaimana bisa?"
Yunho melirik kesal ke arah para bodyguardnya. "Ini semua karena kelalaian bodyguardku tadi," keluh Yunho. Ia mendengus pelan, lalu melemparkan tatapannya ke arah lantai―memandang sepatu hitamnya yang disemir hingga berkilau dan mampu memantulkan wajahnya yang kusut dan kacau.
"Kau harus tenang terlebih dahulu, Yunho-ya. Apa kau sudah berusaha meminta tolong pada kepolisian?"
Yunho mendesah kecil. "Polisi sama sekali tidak membantu, Jae―"
"Jung Yunho. Ingat. Kau tidak sedang berada di Korea Selatan. Amerika Serikat jauh berbeda dari Korea Selatan. Setidaknya, kau harus mengabarkan berita ini pada kepolisian."
"Tapi, Jae―"
"Kau ingin Jongin selamat atau tidak?"
"Hm-mm ya, tentu saja." Yunho mengusap dagunya sendiri. Kini, pandangannya sudah beralih pada kaca besar yang membingkai pemandangan kota New York di siang hari.
"Jadi kau harus meminta bantuan pada pihak kepolisian."
"Baiklah, Jaejoong-ah." Yunho mendesah pasrah dan memilih mengikuti saran Jaejoong. Bagaimanapun juga, setelah dipikir dengan baik, saran Jaejoong memang tidak salah.
"Dan aku juga akan meminta bantuan pada Yifan."
Yunho membeku di tempatnya selama dua detik. "Yifan? Kau yakin akan meminta bantuan pada bocah keras kepala itu?" Kepala Yunho seketika berdenyut pelan saat teringat sosok Yifan atau Kris―putranya dengan Jaejoong. "Dia saja tidak setuju jika kita rujuk kembali. Bagaimana pendapatnya jika ia mengetahui keberadaan Jongin? Dia pasti akan semakin membenciku dan menganggapku sebagai pria brengsek. Dan aku juga tak ingin membuat Jongin dibenci kakaknya sendiri." Yunho berceloteh panjang lebar.
Jaejoong tertawa kecil di seberang sana. "Yunho-ya. Dia adalah putramu. Jung Yifan adalah Jung Yunho dengan versi yang lebih muda."
"Jadi kau mengataiku tua, hm?"
"Kau memang tua, tapi aku tidak mengataimu begitu, Jung Yunho."
Yunho mencibir kesal.
"Aku mengenalmu lebih dari 20 tahun. Aku cukup mampu untuk menangani bocah seperti Yifan. Tenang saja. Kita semua akan bahagia. Kau, aku, Yifan dan Jongin."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Nihil. Aku menyerah membantumu." Kris mengangkat kedua lengannya ke udara sambil meregangkan ototnya. Matanya memicing saat terkena sinar matahari sore yang nampak temaram.
Jongin yang berdiri di samping Kris hanya bisa tertunduk lesu. Sudut bibirnya tertarik ke bawah. Matanya mulai berair. Tubuhnya bergetar pelan.
Kris menoleh sekilas ke arah Jongin. Dan dari penglihatannya, ia bisa menduga bahwa Jongin akan menangis. "Hei, kau menangis?" tegur Kris sambil menyentuh bahu Jongin dengan lembut.
Jongin menggeleng sekuat yang ia bisa sambil menghapus kasar air mata yang mendesak ingin keluar dari mata indah pemuda berkulit tan tersebut.
Kris menundukkan kepalanya dan menatap Jongin lebih dekat. "Kau yakin?" Kris mencemaskan Jongin. Ia tak pernah bergaul dengan seseorang yang lebih muda darinya. Ia tak pernah punya adik atau saudara yang lebih muda darinya, maka ia tak cukup pandai menangani anak muda.
"H-hiks, hiks." Jongin terisak pelan.
"Hei, jangan menangis!" Kris bersuara―nyaris membentak.
Jongin terisak lebih keras. "M-maaf," gumamnya pelan. "Aku tahu, sejak kecil, aku memang hanya bisa menyusahkan orang-orang di sekitarku. Aku memang tak berguna. Hiks." Jongin mulai memaki dirinya sendiri, meski suaranya terdengar lemah.
Walaupun Kris tak pernah dekat dengan anak muda, hatinya juga masih bisa tersentuh jika dalam situasi seperti ini. Ia pun segera membawa Jongin dalam dekapannya. "Sst, tenanglah. Maafkan aku. Kita akan bersama-sama menemukan keluargamu, nae dongsaeng."
.
KEEP or DELETE?
.
mind to leave your review?
with love,
rappicasso
