Disclaimer: Kuroko no Basket bukan milik saya. Tidak ada sedikitpun keuntungan materiil yang diperoleh dari pembuatan suatu karya absurdis sedemikian.


"Kami Hanyalah Manusia yang Ingin Merdeka"

Satu kalimat itu yang menyatukan mereka, pada sebuah malam bersalju di Bulan Desember. Seharusnya mereka bekerja, seharusnya mereka sumringah menanti gaji. Seharusnya, seharusnya, dan lebih banyak lagi seharusnya. Namun bagi mereka, seharusnya hanyalah sebuah kenyataan yang menjadi abu, lalu digantikan oleh hidup yang lesu.

Pemimpin berorasi, selaiknya bagaimana sebuah merdeka. Pemimpin mengangkat tangan, pengikut turut seraya berteriak—efek psikologi massa.

Di saat semua sudah lelah, malam semakin kelam, perut minta diisi dan dingin menuntut nyala api, kerumunan perlahan melenggang. Semakin lama siluetnya kian jauh.

Hanya mereka berdua yang tersisa di sana.

"Siapa namamu?" tanya yang seorang, berusaha ramah walau menahan dingin. Di tangannya ada sekaleng kopi hangat. Bahkan belum sempat sang lawan membalas, ia kembali bersuara. "Apa yang membuatmu ikut demo di sini?"

Pertama kali yang diberikan bukanlah jawab, melainkan seringai. Kaget, namun dia diam.

"Sama sepertimu, menuntut pekerjaan. Restrukturisasi tak pernah menyenangkan bukan?"

Dia mengangguk mengiyakan.

Telah siap ia menenggak segelas kopinya lagi. Namun mendadak ada tangan terulur padanya. Bukan ramah, hanya formalitas—seperti bubuhan tanda tangan di atas kertas: kau benci, bukan berarti bisa pergi.

"Aomine Daiki. Kau?"

Kopi diletakkan. Eh—sebelumnya ia menawarkan. Ditolak.

"Kagami. Kagami Taiga."

.

.

Satu.

.

.

Dua.

.

.

Tiga.

.

(—Mendadak saja ada tawa.)

Entah, di mana lucunya.


Catatan: Terinspirasi dari manga "FIVE" mengenai pemain bola basket yang terkena restrukturisasi. Begitulah. Maaf pendek, maaf jelek, maaf kalau rancu. Terima kasih telah membaca. Kritik dan saran sangat dinanti.

... Walau update jangan dinanti. (Masih ada bagian selanjutnya, tenang saja.)