Katakanlah Kwon Soonyoung itu kurang kerjaan. Beberapa peralatan lukis mahal sudah tersedia di depannya, tapi si tunggal Kwon itu tetap sibuk dengan pensilnya. Dipikirannya hanya ada gambaran 2 dimensi dengan beberapa variasi seni hasil dari goresan pensil warnanya. Mata sipitnya bergerak lincah kesana kemari, memperhatikan tiap detail gambar yang sedang dia kerjakan. Gambar itu terbentuk dengan sempurna. Sosok menggemaskan berukuran kecil dengan dua buah kuping berwarna kuning keemasan disertai beberapa goresan merah, serta ekor warna selaras berbentuk seperti petir yang ujungnya berwarna hitam. Mata sipitnya berwarna coklat tua dengan sedikit gradasi emas, rambutnya berwarna peach, pipinya berisi dengan semburat merah muda, kulitnya putih bersih, dan juga jangan lupakan ekspresi merengut yang semakin menambah kemanisan sosok dalam kertas putih berukuran A4 itu.

Soonyoung baru saja akan menyelesaikan goresan terakhirnya pada tangan sosok tersebut, tapi sebuah suara yang familiar terdengar dari arah lantai bawah. Itu suara ibunya!

Intensitas kecerahan wajahnya bertambah saat kaki-kaki mungilnya berhasil membawa tubuhnya berakhir di pelukan sang ibu. Dari situlah Soonyoung sadar, harum tubuh ibunya berbeda. Tenggorokannya seakan mati rasa ketika wajah teduh ayahnya berubah menjadi keras.

Soonyoung saat itu tidak tahu kalau itu semua adalah awal dari kehidupan suramnya.


Tinta merah sudah seperti sahabatnya sehari-hari. Jadi, laki-laki dengan rambut biru langitnya itu hanya mendengus malas ketika orang-orang di kelasnya yang sering mendapat tinta biru menangis sedih karena sekarang mereka memiliki tinta merah di kertasnya. Jelas-jelas itu salah mereka sendiri karena tidak rajin belajar, kenapa pakai menangis segala? Memang menangis akan mengembalikan semuanya seperti semula?

Lagi-lagi dengan angkuhnya si rambut biru mendengus.

"Hei, Kwon."

Yang dipanggil hanya menggumam malas sebagai jawabannya.

"Nanti aku ke rumahmu ya, aku ingin membaca komik yang baru kubeli kemarin sore." Namanya Lee Taeyong, ketua kelasnya yang memiliki hobi membaca komik, sama seperti dirinya. Tapi si rambut silver itu hanya suka komik pertarungan, tidak seperti Soonyoung yang suka semua genre komik; termasuk shonen-ai, shoujou-ai, dan banyak lagi.

Menghindari obrolan lebih lanjut, Soonyoung hanya mengangguk singkat sebagai jawabannya. Lagipula juga Taeyong tidak akan membuat keributan di rumahnya. Tidak masalah.

Ketika mata sipitnya menatap ke arah luar jendela, dia sadar, ada sesuatu yang aneh di luar sana. Lebih tepatnya di bawah sana. Terdapat seorang pria yang sedang melambaikan kedua tangannya ke arahnya. Keningnya mengernyit heran, namun Soonyoung tahu kalau pria itu sampai menghampirinya ke sekolah berarti ada sesuatu yang tidak beres. Setelah mengirim signal dengan gerakan tangan 'ok', Soonyoung segera berlari keluar kelasnya.

"Kau mau kemana? Kelas Ibu Jang akan dimulai beberapa menit lagi, Kwon!"

Soonyoung tak mengacuhkan peringatan dari Jooheon dan terus berlari ke lantai dasar sekolahnya. Hingga dirinya melihat seorang pria bertubuh jangkung dengan kulit tan menyambutnya dengan senyuman hangat di bawah pohon eek sekolahnya.

Pria itu namanya Kim Mingyu. Dia adalah kakak kelas Soonyoung waktu Sekolah Dasar. Soonyoung cukup dekat dengannya walaupun mereka tidak memiliki kesamaan dalam bidang apapun. Mereka berkenalan dengan cara yang cukup unik.

Soonyoung masih ingat betul kalau saat itu Ia bertemu Mingyu di ruang bimbingan konseling. Bukan Soonyoung yang bermasalah disitu, tapi Mingyu. Guru Bimbingan Konseling memarahi Mingyu karena memakai seragam sekolah yang kekecilan, padahal sudah jelas tubuh Mingyu itu tidak bisa dikatakan kecil. Awalnya Soonyoung hanya mau menaruh berkas Test IQ miliknya, namun Ia mendapati sesuatu yang menarik setelah Mingyu keluar dari ruang BK. Mingyu tersenyum lembut padanya. Seolah-olah Mingyu tidak malu pada orang yang melihat dia diomeli guru tadi; orang itu Soonyoung. Ketika Soonyoung bertanya apa yang terjadi pada Mingyu, dengan polosnya yang lebih tua menjawab;

"Aku tidak punya uang untuk membeli seragam lagi."

Terenyuh. Itulah satu hal yang dapat Soonyoung rasakan setelahnya.

Sejak saat itulah, Mingyu menjadi sosok kakak bayangan yang menyenangkan bagi Soonyoung si anak tunggal keluarga Kwon. Mereka berdua sama-sama tahu seluk beluk keluarga masing-masing, bahkan untuk hal yang tidak penting seperti jenis binatang peliharaan yang pernah dipelihara pun mereka tahu.


Mingyu memutar sepuntung rokok yang belum dia nyalakan di sela-sela jari tangannya. Sebenarnya dia bukan perokok, tapi disaat sedang banyak beban masalah Ia tidak dapat menahan hasratnya untuk merokok. Jadi, setelah beberapa saat mengobrol tentang hal masa lalu bersama Soonyoung, akhirnya mereka menutup obrolan itu dengan Soonyoung yang membaringkan tubuhnya di rerumputan, dan Mingyu yang memutar-mutar rokoknya.

Rerumputan hijau nan asri di halaman belakang kampusnya adalah satu-satunya hal yang paling Soonyoung sukai di kampusnya. Apalagi halaman belakang kampusnya itu jarang dikunjungi oleh mahasiswa lain karena kabarnya disana banyak terdapat mahluk halus. Cih, perduli setan pada mahluk halus, kepalanya sudah terlalu penat untuk memikirkan hal tak penting seperti itu.

"Soonyoung," Suara serak Mingyu mengudara. Sang pemilik nama yang dipanggil terlihat masih setia dengan posisi tidurannya dengan mata tertutup. Mingyu lalu melanjutkan ucapannya walaupun tidak direspon, "kehidupan ini terlalu membosankan, ya."

Secara tiba-tiba Soonyoung membuka matanya. "Jangan bilang kalau kau mau bunuh diri lagi, hyung." Ucapnya dengan nada serius.

"Aku bukan si pecundang Kim Mingyu lagi, Kwon." Jawab Mingyu nyaris berbisik. Soonyoung tersenyum lega.

"Kalau begitu carilah pacar agar hidupmu itu tidak membosankan. Gampang 'kan?"

Mingyu melempar tatapan sinisnya, kemudian menghela nafas panjang. Kalau mencari pacar adalah kunci dari kebosanan hidupnya, maka dia akan senang hati menerima semua wanita yang dulu pernah menembaknya. Tapi secara logika, mencari pacar bukanlah kunci dari semuanya. Lagipula masih ada si manis Jeon Wonwoo yang bisa Ia kejar.

Kepala Mingyu menengadah, membuat wajahnya seolah-olah sedang berhadapan dengan langit biru di atas sana. Tanpa sadar Ia tersenyum tipis, "Memangnya setelah 'dia' datang, hidupmu tidak membosankan lagi, ya?"

Seulas senyum terpatri di wajah hangat Soonyoung. "Yah, bisa dibilang begitu," iris mata coklat gelapnya ikut menatap damainya langit di atas sana. "bahkan rasanya aku beruntung telah bertemu dengannya."

Mingyu terkekeh pelan. Sejurus kemudian kekehannya berubah menjadi senyum jahil. Dia baru ingat kalau dirinya bertemu Soonyoung untuk memamerkan komik yang baru saja dia beli saat pulang mengajar privat di rumah Jeonghan kemarin. Tangan panjangnya secara cekatan mengambil sebuah komik dari dalam ranselnya.

Komik itu lalu Mingyu goyang-goyangkan tepat di depan wajah Soonyoung, "Lihat aku membeli apa?" dan secepat kilat Soonyoung mengambil komik itu dari tangan Mingyu, membuat si empunya komik berdecak heran.

"Aku tidak heran sih dengan ceritanya. Tapi yang kuherankan itu ada sesuatu yang aneh di halaman paling belakang komiknya."

Tepat sekali! Pergerakan Soonyoung sesuai dengan perkiraan Mingyu. Setelah Mingyu berkata seperti itu, Soonyoung langsung mencari halaman paling belakang di komik itu seperti orang kesetanan.

Sebetulnya yang lebih jangkung mengira kalau si mata sipit akan tersenyum bahagia atau apapun yang terhubung dengan kebahagiaan. Akan tetapi, nyatanya Soonyoung malah menangis setelah membaca sesuatu di halaman paling belakang komik itu. Mingyu tercengang, "Hei-hei! Kenapa kau menangis?!" tanyanya panik.

Merasa tak ada respon yang berarti, Mingyu akhirnya diam, membiarkan yang lebih muda meluapkan seluruh emosinya lewat menangis.

Setelah beberapa saat menangis, Soonyoung pun beranjak dari posisinya kemudian mengambil ranselnya sambil mengelap air matanya dengan punggung tangannya. Lalu Soonyoung berlari. Tak mau ditinggalkan sendiri, Mingyu ikut berlari menyusul Soonyoung.

Mereka meninggalkan sebuah komik yang terbuka di halaman belakangnya. Di halaman itu terdapat sebuah kalimat dengan ketikan rapi yang mendominasi kertas buram khas cetakan komik. Dan disana tertulis;

'Aku juga mencintaimu, Hoshi.'

.

End Of Prologue

0 – Ini cuma prolog tapi kesannya kayak oneshoot/epilogue ya TT