Pada suatu hari disiang bolong, hiduplah seorang bocah laki-laki yang tinggal bersama ketiga adik dan ibunya. Anak itu bernama Kim Minseok. Adik-adiknya adalah Kim Joonmyun, Kim Jongdae, dan Kim Jongin. Mereka hanya tinggal berlima bersama ibunya dalam naungan satu atap. Ayah mereka, telah meninggal akibat kegagalan wajib militer yang dialami beberapa tahun silam.
"Eomma …" teriak Joonmyun.
Minseok menoleh, mendapati adik nomor dua nya yang manis tengah membendung air mata, Kim Joonmyun. Dilihatnya dua adiknya yang lain, Jongdae dan Jongin yang datang mendatangi Joonmyun yang berteriak histeris. Minseok mengusap penuh kasih sayang surai lembut Joonmyun dan menghapus air mata yang menggenang disudut matanya.
"Hyung kenapa?" Tanya Jongin, adik paling kecil. Joonmyun tidak menjawab, ia lebih mengeratkan pelukan Minseok daripada membalas pertanyaan Jongin.
Minseok merasakan pelukannya melonggar. Joonmyun sudah lepas dari pelukannya dan berakhir dipelukan sang ibu, Taeyeon. Joonmyun menangis sesenggukkan dipelukan hangat sang ibu, Minseok hanya mengusap tengkuknya kemudian menyengir kecil. Ia terlihat iri dan cemburu.
Ahh, tidak boleh. Minseok menelengkan kepalanya pelan. Benar. Ia tidak boleh iri pada adiknya, lagipula ia sudah besar dan tidak perlu pelukan ibu jika ketakutan. Minseok sudah dewasa, ibunya sendiri yang bilang. Itu artinya Minseok tidak boleh bersikap kekanak-kanakan seperti adik-adiknya, malah ia harus menasehati ketiga adiknya jika bersikap kekanakkan, tapi ia tidak boleh memarahi mereka.
Setelah Joonmyun sedikit lebih tenang, Taeyeon melepaskan tubuh mungil Joonmyun dan menghapus anak sungai yang mulai mengering dipipi putih mulus Joonmyun. Minseok, Jongdae, dan Jongin berkumpul mendekati Joonmyun dan mengusap punggung saudaranya. Taeyeon tersenyum kecil, setelah ditanya penyebab Joonmyun berteriak dan menangis, akhirnya Joonmyun menjawab.
"Besok aku dan Jongin akan pergi ke Jepang, aku akan merindukan Min hyung dan Dae-ie. Aku juga akan rindu eomma." Minseok berserta Kim Jong-bros bergerak memeluk Joonmyun yang berkali-kali menahan air matanya yang mulai menetes kembali.
"Joonmyun tidak boleh menangis, Joonmyun kan lebih dewasa dari Jongin. Tidak lucu kan kalau Joonmyun lebih cengeng dari Jongin yang cengeng sekali." Jongin menatap tajam kakak tertuanya. Ia menatap Minseok dengan tatapan aku-tidak-cengeng-tahu-hyung dihiasi wajah cemberut khas bocah yang imut. Taeyeon tersenyum geli dan merengkuh tubuh mungil si bungsu.
Joonmyun dan Jongin besok akan dikirim kesalah satu akademi ternama di negeri sakura. Menurut Lee Songsaenim, Joonmyun dan Jongin cocok untuk mendapatkan beasiswa masuk akademi ternama di Jepang tersebut.
.
.
.
Hari ini adalah hari keberangkatan Joonmyun dan Jongin ke Jepang. Minseok, Jongdae, dan Kim ahjumma sudah bersiap dihalaman depan untuk mengantarkan Joonmyun dan Jongin yang akan pergi kebandara diantarkan bus yang akan menjemput mereka.
Joonmyun keluar dari rumah dengan keadaan tampan dan rapi diikuti seonggok daging dekil berkulit hitam dan berbibir sexy (baca: dower), seonggok daging dengan wajah merengut dan genangan air mata yang melapisi mata belo sang daging. Jongdae tertawa terbahak-bahak.
"Pfftt,,,…. HAHAHAHAAA …" Minseok menengok kebelakang tepat dilokasi tawa Jongdae yang heboh beserta pemiliknya. Tatapan tawamu-berisik-bodoh diberikan Minseok kepada Jongdae lewat wajah imut –coret, garangnya. Tapi Jongdae terlalu sibuk tertawa dan menghiraukan tatapan tajam kakak tertuanya. "Aduh, kkamjong terlihat cengeng sekali … hyung, tolong ambilkan obat sakit perut, perutku sakit. BHAHAHA ….."
Jongin yang merasakan Jongdae menertawainya hanya bisa merapalkan sumpah serapah dan mengusap kasar air matanya. Kakinya menghentak keras sehingga menimbulkan jejak sepatu mungil ditanah. Joonmyun merangkul Jongin dan mengelus dada si bungsu, kemudian membisikkan sesuatu dan kemungkinan besar itu adalah "Jangan dengarkan bebek jelek itu."
Mata Jongdae membesar dan bibirnya mengerucut. Ia kesal, Joonmyun tidak memihak kepadanya.
Bus berukuran sedang berhenti didepan kediaman keluarga kecil Kim. Taeyeon tidak dapat membendung air matanya, antara sedih, senang, haru, dan bangga, semua beliau rasakan. Minseok memeluk kedua adiknya satu persatu, dan Jongdae setelah dibujuk untuk berbaikan dengan Jongin akhirnya mau untuk memeluk sang adik.
Kaki mungil itu melangkah memasuki bus. Taeyeon menangis tak kuasa. Jongdae, ia sendiri bingung ia harus bagaimana. Dan Minseok, ia menatap lurus bus yang melaju menghantarkan kedua adiknya menuju negeri sakura, negeri impiannya. Itu berarti, sudah tidak ada lagi sikap sok kedewasaan Joonmyun, suara halus Joonmyun yang menjadi alarmnya setiap pagi, suara tawa cempreng milik Jongin, dan kejahilan-kejahilan Jongin yang tidak terdeteksi. Itu sudah tidak akan menghiasi rumah mereka selama beberapa tahun kedepan.
Air menetes disalah satu pipi Minseok. Tidak, ini tidak benar. Minseok menyeka paksa air matanya. Ia tidak boleh menangis, TIDAK! Ia harus dewasa, ia harus menjaga ibu dan Jongdae. Ia harus menjalankan pesan ayahnya untuk menjaga ibu dan adik-adiknya. Minseok harus tegar, ia tidak boleh menangis, tidak boleh sama sekali. Aku harus kuat, demi eomma dan Jongdae.
.
.
.
Minseok menendang kaleng bekas minuman dijalanan. Ia mendengus sebal. Tadi pagi, ibunya tidak membangunkannya dan ia harus keduluan kamar mandi oleh Jongdae. Disusul ibunya yang berangkat kerja lebih awal dari biasanya dan Minseok yang harus berlari mengejar bus sekolah yang meninggalkannya dan membawa serta Jongdae yang sialan. Buruk. Minseok pikir ini hari buruk.
Minseok terlalu sibuk dalam merutuki harinya yang sial. Saking sialnya ia sampai tidak memerhatikan jalan. Minseok mendengus ketika tubuhnya ambruk setelah bertabrakkan cukup keras dengan tiang listrik dihadapannya. Sebenarnya tidak sepenuhnya bertabrakkan, melainkan Minseok-lah yang menabrak.
Sial. Umpatnya sekali lagi.
"Gwenchana?" sebuah tangan putih terulur didepan wajahnya. Minseok menerima uluran tangan itu. Sedetik kemudian, Minseok termangu. Minseok merasakan ada kupu-kupu berterbangan didalam perutnya. Minseok rasa kelu. Minseok merasa tidak gwenchana. Minseok …
"Gwenchana? Apa kau baik-baik saja, aku rasa mencium tiang besi itu sakit jadi aku menanyaimu sekali lagi. Gwenchana?"
Minseok menampar pipinya sendiri. Sadarlah, Kim Minseok. Tangannya melayangkan tinju kecil dikepalanya, tapi ia meringis pelan karena tangannya menyentuh bekas ciumannya dengan tiang tadi (baca: benjol). Sialan.
Merasakan sosok didepannya menunggunya, Minseok segera membuka mulut. "Ah, aku baik-baik saja. Terima kasih atas uluran tangannya." Sosok itu tersenyum. Ia berambut pirang dipadukan dengan kulit putih porselen, tubuhnya kurus, tingginya hanya beberapa centi dari Minseok. Cantik. Iya, memang, tapi dia itu laki-laki Kim Minseok.
"Hmm … no need. Uhm, aku Xi Luhan, panggil aja Luhan. Kamu?"
Luhan? Ah, bukan orang Korea. Eh, tapi Minseok belum mendengar nama Luhan sebelumnya disekitar kompleks perumahannya. Apa dia tetangga baru yang diperbincangkan ibu-ibu sewaktu arisan ibunya kemarin. Ia ingat, Nyonya Byun ibunya Baekhyun bilang kalau ada tetangga baru dari Beijing yang akan menempati rumah blok 88. Blok 88, artinya rumah Luhan dekat dengan rumahnya.
"Aku menunggu lho." Luhan membuyarkan lamunan Minseok. Minseok berdehem kecil hendak memulai kalimatnya. "Aku Kim Minseok, panggil Minseok saja biar lebih mudah. Kamu tetangga baru dari Beijing itu kan, yang menempati rumah blok 88. Kebetulan rumahku dekat situ."
Luhan terlihat sumringah. "Wah, hebat nih! Kita bisa bermain bersama setiap hari. Eh, kamu mau kemana Seokkie?"
Minseok tersenyum dan membetulkan dasinya yang sempat berantakan akibat adegan cium-mencium dengan tiang tadi. Imut. Luhan pikir Minseok imut ditambah sekali dan banget dibelakangnya. "Tentu saja kesekolah, kamu sendiri mau kemana Luhannie?"
"Aku juga mau kesekolah, di EXO Elementary School."
Minseok terlihat sangat excited. "Jinja? Aku juga sekolah disitu, grade 6C. Kamu?" Betapa gembiranya Luhan ketika mereka berada disatu kelas yang sama. Betapa senyum gusi yang lebar diberikan Minseok kepada Luhan. Betapa mereka saling mengakui keimutan wajah satu sama lain. Betapa mereka tahu, mereka akan jadi sahabat yang baik. Ya, itu sudah jadi garis tangan mereka.
.
.
.
END or TBC
Hello, saya baru disini. Ini fic XiuHan pertamaku diffn, walaupun sebenarnya lebih ke Kak Xiu daripada ke XiuHan/LuMin nya. Aku bingung, rencananya aku mau nerusin cerita sampai mereka besar. If you want me to continue the story, mind to review this?
Adios, love by puput~
