Forgotten
...
Harry Potter punyanya J.K Rowling, cerita ini punya saya (memang ada yang mau ngakuin?)
...
Forgotten
by: Lumosa
Rated: T
DracoXHermione
...
Mendung.
Draco berdiri di lapangan Quidditch yang kosong. Semua 'teman-temannya' sedang pergi untuk makan malam di Aula Besar. Ia sendiri merasa kosong, lebih kosong dari lapangan itu.
Tidak ada yang bisa ia percayai, atau memercayainya. Semua tunduk padanya, hanya karena dia seorang Malfoy. Semua menyebut diri mereka 'teman', agar mendapat bagian dari lemari besinya. Lebih dari apapun, ia ingin menjadi Harry Potter, yang benar-benar memiliki teman. Teman sejati.
Dan cinta.
Cinta yang sejati.
Xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Mendung.
Hermione duduk di perpustakaan yang kosong. Harry dan Ron sedang menikmati makan malam di Aula Besar. Ia merasa kosong, seperti perkamen di mejanya. Tangannya memainkan pena bulu, tidak tahu harus menulis apa untuk tugas sejarah.
Ia melirik tiap sudut perpustakaan. Semuanya gelap, dan matanya terasa sangat berat. Mungkin ia butuh istirahat, tapi ia tahu bukan itu yang ia butuhkan—inginkan, sebenarnya. Yang ia benar-benar butuhkan hanya hiburan, dan sedikit cinta.
Tak butuh waktu lama bagi Hermione untuk menyadari bahwa ia tak pernah dicintai. Dicintai oleh lelaki. Dicintai sebagai perempuan. Well, McLaggen itu lain. Dia gila, dia bukan mencintai, hanya 'menginginkan'. Dan Hermione tidak suka itu, meski ia harus mengakui kalau Cormac itu...ganteng.
Ron sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Lavender, dan Harry dengan Ginny. Dia mulai merasa kesepian, dan merasa tak diinginkan.
Itu sampai...ia melihat kearah jendela.
Dari jendela perpustakaan, ia bisa melihat lapangan Quidditch yang kosong. Tapi, diantara kekosongan itu, ada yang bergerak. Sesuatu yang berambut pirang, badan yang tinggi, menenteng sapu.
Oh, Malfoy.
Hermione mendengus. Malfoy itu baru saja mematahkan semangatnya. Siang tadi, Malfoy menabraknya, dan menjatuhkan buku-bukunya. Ia menghamburkan perkamen-perkamennya, dan menghilangkan tugas sejarahnya yang harusnya dikumpulkan besok. Dia adalah alasan mengapa Hermione harus menulis semalaman di perpustakaan dan melewatkan makan malam.
Hermione mengelap keringat di dahinya.
Malfoy itu tampak kebingungan, ia tak melakukan apa-apa di lapangan. Hermione meletakkan kedua tangannya di jendela, dan melihat lurus-lurus pada Malfoy. Tak ada yang terlintas di kepalanya, ia hanya diam disana, dan melihat Malfoy bergerak-gerak tak jelas.
Ia tak menyadari kalau beberapa menit berlalu hanya untuk memandang Musang Melambung yang dibencinya sejak bertahun-tahun.
Bertahun-tahun.
Hermione menggeleng. 'Apa yang kupikirkan,' ia merenung.
Ia menutup matanya, dan memijat keningnya. Lalu, saat ia membuka mata, Malfoy sudah melenggang pergi dengan sapu terbang menuju ke Hutan Terlarang.
"Oh, ya ampun," Hermione kembali menempelkan tangannya di jendela. "Mau apa dia?"
Hermione melihat Malfoy menjauh, dan merasa tertarik untuk mengikutinya.
"Ini yang aku butuhkan," Hermione menyeringai. "Hiburan."
Xoxoxoxoxoxoxo
Draco terbang rendah melewati pohon-pohon kekar di Hutan Terlarang. Sesekali ia melirik kebelakang, dan mendapati kegelapan ada bersamanya. Ia tak takut. Ia hanya mencari pelarian yang dapat meluruhkan penatnya.
Angin melewati ranting-ranting pohon, dan bisikan hewan-hewan malam menjadi pengiring perjalanannya yang tak memiliki tujuan. Ia berharap bisa menjadi bagian dari angin malam, yang tak perlu dikhianati teman, yang tak perlu punya ayah yang kejam, dan yang tak pernah hidup.
Lebih dari apapun, ia ingin mati. Karena ia tak punya alasan untuk hidup.
Itu sampai...ia mendengar jeritan wanita.
Draco spontan menghentikan sapunya, lalu berbalik.
Masih gelap, tapi ada yang berbeda. Pohon-pohon yang tadinya tenang, sekarang bergerak-gerak dengan ribut. Sepertinya ada yang datang dan membuat masalah. Draco melesat diatas rumput-rumput, lalu terbang tinggi sampai ia bisa melihat lapangan Quiddicth. Sesuatu bergerak-gerak di tengah pepohonan hitam dalam Hutan Terlarang. Itu sebuah tubuh.
Draco menahan napasnya. Apakah seseorang baru saja mati?
Sambil bertanya-tanya ia melesat kebawah. Ranting-ranting menampar pipi mulusnya, dan kebanyakan ranting memiliki duri. Pipinya perih dan berdarah karena tergores, tapi ia tak merasa sakit karena angin membuat lukanya terasa dingin.
Ia berhenti mendadak di depan sebuah pohon yang batangnya bergerak dan rantingnya sebesar pohon normal. Itu pohon yang sangat besar, dan pohon itu hidup. Dan yang sedang digenggam rantingnya adalah...Hermione Granger.
"Whoa, Malfoy!" Hermione berteriak dari atas ranting pohon.
Malfoy menganga.
"Hey, Malfoy!" Hermione berteriak lagi.
Tanpa pikir panjang, Draco Malfoy melesat menuju puncak pohon itu, dan mengeluarkan tongkatnya.
"Expulso!" teriaknya. Serangan dari tongkatnya tampak seperti kembang api kecil bagi pohon raksasa itu.
"Errr...ya ampun," Draco mengerang. "EXPULLLSSSOOOOOWWW" ia berteriak lagi, dengan logat yang lebih aneh.
Percuma, sama saja hasilnya.
"Malfoy, kau sedang apa?" Hermione memanggil dari genggaman ranting.
"Err..menyelamatkanmu, bodoh!" Draco tak percaya ia mengatakan itu.
"Menyelamatkanku dari apa?" Hermione tergelak.
Draco kembali menganga. "Pohon setan ini, mungkin?"
Hermione tertawa. "Ini tidak menyerangku," ia berkata dengan tenang. "Dia hanya bermain,"
Draco terbang merendah. "Kau tidak apa-apa?" ia mendekati Hermione. "Aku mendengarmu berteriak."
Pipi Hermione menghangat, dan ia memerah. Belum pernah seorang pria sedekat itu padanya, dan bertanya dengan nada yang hangat. Harry dan Ron itu lain lagi.
Hermione memalingkan wajahnya. "Aku berteriak karena kaget. Aku sedang berjalan, dan pohon ini tiba-tiba menangkapku dan menaikkanku. Aku sudah berusaha membujuknya untuk melepaskanku, tapi ia malah menaikkanku lebih tinggi. Tapi, tenang, aku oke."
Draco menghela napas, lalu mendaratkan sapunya dan bersandar pada batang pohon. "Baguslah..aku lega," Draco menghapus darah dari pipinya. Kemudian, belum selang semenit, ia melonjak berdiri dan mendongak keatas melihat Hermione. "Aku...maksudku aku hanya kaget karena ada yang berteriak! Ya! Aku..aku tidak pernah peduli padamu! Jangan..jangan anggap kejadian ini serius! Aku tidak berusaha menolongmu!" teriak Draco keras.
Hermione terkikik, tapi Draco tak mendengarnya.
Kemudian, semuanya hening. "Sedang apa kau disini?" tanya mereka bersamaan, memecahkan keheningan.
Draco menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kau duluan,"
Hermione terbatuk ringan, lalu menjawab. "Aku hanya mengikutimu."
"Apa?"
Draco memerah. "Jangan jadi penguntit, Herm—Granger."
Hermione mendengus kesal. "Aku bukan penguntit, aku hanya haus hiburan. Memangnya kau kesini untuk apa? Mengadakan ritual musang melambung?" sindirnya.
Draco mengelap sisa darahnya. "Mencari pelarian hidup. Aku ini lebih serius dari yang kau pikirkan, tahu." Draco spontan menjawab.
Hermione terdiam, tidak menjawab lagi. Saat mendengar nada bicara Draco yang lemah, ia tahu Draco serius. Ia bukan lagi anak lelaki pirang menyebalkan. Ia lelaki dewasa yang dituntut, dan depresi.
"Hei..ehm..Malfoy?" Hermione memanggil malu. Draco tak membalas, hanya menatap Hermione dengan mata abu-abunya yang bertabrakan dengan malam yang gelap. Hermione bisa dengan jelas melihat matanya. Sangat terang, warnanya sama dengan bulan. Abu-abu bersinar.
"Kau mau pergi denganku?" ajak Hermione pelan. "Tapi kau harus menurunkanku dulu," tambahnya, seolah-olah Draco telah setuju. Dan memang, ia setuju.
Ia memungut kembali sapunya, dan terbang mendekati Hermione.
"Sekarang lompatlah kemari," titah Draco. "Kau bisa lepas sendiri dari ranting itu kan?"
Hermione mengangguk. "Ranting ini sangat mudah dilepas, tapi aku tak yakin soal melompat. Memang harus melompat kemana aku?"
Draco kembali memerah, tapi berusaha untuk tampak dingin. Ia melepas pegangannya dari gagang sapu, dan melebarkannya. "Bagaimana kalau aku menangkapmu?"
Mata Hermione melebar. Ia ditangkap Draco?
"Kau serius?" Hermione mulai melepas beberapa ranting. "Aku..aku akan melompat kalau begitu. Jangan mempermainkanku!"
Draco memutar matanya. "Kali ini tidak," kemudian ia menyeringai.
Satu persatu ranting mulai copot, dan Hermione telah menyiapkan dirinya untuk melompat. Draco juga telah memposisikan dirinya dengan mantap. Ia memutar sapunya menghadap Hermione, lalu melebarkan lengannya untuk menyambut tubuh mungil Sang Gadis.
"Dalam hitungan ketiga," Draco bersiap.
"Satu..." Hermione melepas ranting di kakinya.
Draco menelan ludah. "Dddua.."
Hermione melepas ranting di perutnya, yang membuatnya semakin oleng. "Tiga! Ah!"
Ia melompat, dan segera ditangkap dua lengan kekar milik Draco. Tangan itu sangat kuat, memeluknya, dan menariknya dengan kini berdua diatas sapu yang oleng ke kanan dan ke kiri. Draco dengan cepat mendudukkan Hermione di depannya, dan memegang kendali sapunya sebelum mereka jatuh atau menabrak pohon lain.
"Ah!" Hermione sangat takut terjatuh, dan ia memeluk Draco sangat kuat.
"Whooa! Jangan halangi pandanganku! Ah!" Draco masih berusaha memegang kendali. Beberapa kali mereka hampir oleng, tapi Draco seorang penerbang sapu yang baik. Ia berhasil mengendalikan sapunya, dan mereka terbang tinggi diatas. Pohon besar itu berusaha menangkap Hermione lagi, entah mengapa, sepertinya pohon itu jatuh cinta pada bau Hermione.
Mereka terbang tinggi, menjauh dari pohon besar gila itu.
Hermione tidak berani membuka matanya untuk melihat, sampai Draco mengelus punggungnya. "Hei, bodoh. Buka matamu," panggil Draco malas.
Hermione gemetar, lalu membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah: mata abu-abu yang berkilau. Ia baru menyadari posisi duduk mereka. Draco dan Hermione duduk berhadapan diatas sapu. Sangat riskan duduk seperti ini saat sedang terbang dengan sapu, tapi Draco tampak tenang dengannya.
Angin malam menerbangkan rambut keduanya, lalu Draco menerbangkan sapunya ke barat, sehingga mereka semakin berada jauh dari kastil.
"Kita akan didetensi untuk ini," Hermione berbisik.
"Aku tahu," balas Draco cuek. "Kau tadinya mau mengajakku ke suatu tempat kan? Kemana?"
Hermione merunduk. "Menurut buku yang kubaca, ada sebuah tempat indah di Hutan Terlarang. Cleebariona. Sebuah...surga dunia,"
Draco membelalak. "Cleebariona. Kukira itu hanya dongeng."
Hermione menggeleng. "Kukira juga begitu! Tapi...aku yakin itu kenyataan. Kau percaya keajaiban?" ia memandang lekat-lekat pada Draco. Dan Draco merasakan mata Hermione yang tersembunyi bayang-bayang malam. Cokelat...hazel. Sangat merayu. Sangat indah.
"Dra—Malfoy. Kau kenapa?" Hermione memandangnya, dan menyembunyikan rasa malunya. Ia belum pernah bertatapan sedekat ini dengan pria.
Draco sering mencicipi wanita, tapi semua wanita itu tak ada yang dipandangnya. Hanya Hermione-lah, wanita yang ia tatap tanpa perlu ia cicipi. Saat itulah, ia merasa Hermione...telah membakar sesuatu dalam tubuhnya yang dingin.
"Aku...percaya keajaiban."
Hermione tersenyum. Senyum pertamanya pada Malfoy. "Ikut denganku,"
Draco menutup matanya, berusaha menangkal sinar yang dikeluarkan mata hazel itu. "Ini akan susah. Dan detensi menunggu kita."
Hermione tertawa. "Kau hanya hidup sekali, Malfoy. Kenapa tidak? Kita akan dikenal sebagai dua murid pertama yang menemukan Cleebariona."
Draco, akhirnya tersenyum juga.
Satu hal yang tidak diketahui Hermione saat ia berkata 'kau hanya hidup sekali, Malfoy', yaitu: Malfoy tak pernah hidup. Atau setidaknya, merasa hidup.
Sebelum mereka pergi, Draco terlebih dulu mendarat untuk membenarkan posisi duduk mereka. Hermione berpindah duduk di belakang Draco, lalu Draco bersiap untuk kembali terbang. "Pegangan kalau tak mau jatuh. Aku akan mempercepat laju sapu ini,"
Hermione awalnya ragu, tapi Draco ternyata tak main-main. Mereka melesat dengan cepat sampai jantung Hermione rasanya mau copot. Ia terpaksa mencengkram ujung seragam Quidditch Draco yang berwarna hijau toska. Mereka terbang tinggi diatas hutan yang berselimut langit malam berbintang.
"Lewat mana?" Draco menoleh kebelakang.
Hermione mengeluarkan kompas dari seragamnya, dan itu bukan kompas biasa. "Kita akan tahu apabila mengikuti Kompas Demidio."
Draco terbelalak. "Apa? Kau..kau dapat darimana kompas kuno itu!" sentaknya.
Hermione tergelak. "Kucuri saat festival benda kuno di Hogsmeade. Harganya sangat mahal! Dan aku selalu menginginkan ini. Jadi..."
"Kau curi begitu saja?" Draco menggeleng. "Wow..maksudku..dasar cewek liar."
Hermione mendengus. "Cowok-cowok tak mengerti cewek,"
Hermione membuka tutup kompas itu, dan kompas itu mengeluarkan serbuk-serbuk pasir warna-warni dari lubang kecil ditengahnya. Pasir berkilau itu membentuk tempat-tempat. Menara Eiffel, Gunung Fuji, Liberty Statue. Pasir-pasir itu menunjukkan tempat-tempat yang terkenal saat ini. Hermione memutar jarumnya, ia mencari kata 'Cleebariona' dan menemukan kata itu disamping kata 'Moscow'.
Setelah Hermione memutar jarumnya, pasir-pasir berkilauan keluar semakin banyak, dan menyebar. Kompas itu memuntahkan serbuk emas, yang terbang menuju ke barat.
"Ke barat! Ke barat! Ikuti arah terbang pasir emas itu!" perintah Hermione ribut.
Draco dengan cekatan membelokkan sapunya mengikuti kemana pasir itu berbelok. Pasir itu selalu berubah arah. Tadinya ke barat, tak lama lagi ke utara. Draco dengan sangat terampil mengendarai sapunya, dan Hermione sangat takut terjatuh sehingga ia memeluk perut Draco sangat kencang.
Draco kembali merasakan Hermione membakar sesuatu dalam tubuhnya.
Ia tak tahu apa itu. Ia tak tahu apa yang terbakar. Yang ia tahu, Hermione-lah yang membakarnya.
Saat mereka bersentuhan.
Dengan perasaan gundah, Draco memimpin sapunya kearah Cleebariona, bersama Hermione dibelakangnya. Pasir-pasir itu melesat kebawah, dan Draco ikut melesat kebawah, secepat angin.
"Gyahahahahahhah!" teriakan Hermione terdengar seperti tawa, dan pelukannya semakin keras. Draco semakin merasa terbakar, dan sentuhan Hermione yang kuat membuat dadanya panas.
Mereka sampai di sebuah batu kristal yang berdiri tegap, tertancap di tanah.
"Inikah...sisa-sisa Cleebariona?" Hermione melihat kristal itu, bercahaya ditempa sinar bulan.
"Aku yakin ini bukan sisa," kata Draco terengah. "Cleebariona mungkin masih utuh."
Draco kemudian mendaratkan sapunya. Hermione turun duluan, lalu menelusuri tempat itu. Pasir-pasir sudah lama menghilang, pasti tempatnya tak salah, karena pasir-pasir itu jelas-jelas menghilang di tempat dimana mereka berdiri sekarang, menandakan bahwa itulah Cleebariona, tujuan mereka.
"Pasti masih ada," kata Draco, yang entah mengapa, yakin.
Keadaan hati Draco semakin diperparah dengan tatapan Hermione yang hangat. Hermione berbalik, lalu mengulurkan tangannya. "Mau mencari tahu?"
Draco melihat telapak tangan Hermione yang ditujukan padanya. Telapak itu tampak halus, dan mulus. Draco kembali terbakar.
Tapi ia tak dapat menolak pesona dari tangan itu. Ia menggenggamnya, lalu Hermione dengan cepat menariknya. Ia seperti tertarik dari dunia remang-remang, menuju ke terang yang indah. Ia tak peduli dengan sapu super kerennya yang tergeletak di tanah. Sekali Hermione menggandengnya, ia seperti tak punya kuasa untuk menolak. Ini pertama kalinya ia memiliki momen dengan Hermione Granger. Dan momen ini membuatnya sakit. Perasaan terbakar itu...cinta?
Tidak mungkin cinta tumbuh secepat itu. Hanya dalam semalam.
Tapi.
Ia teringat ucapan Hermione.
'Kau percaya keajaiban, Malfoy?'
Ya. Dan Draco menjawab, ya.
Mereka bergandengan tangan, berjalan semakin jauh menelusuri hutan. Hermione menemukan sesuatu. Lebih banyak kristal beterbaran di jalan yang mereka tapak, artinya Cleebariona memang ada, dan kalau beruntung, perjalanan singkat mereka akan membuahkan hasil. Mereka akan menemukan Cleebariona.
Hermione memungut sebuah kristal, lalu melemparkannya ke tanah. Kristal itu berkilauan, lalu pecah menjadi cahaya-cahaya yang beterbangan seperti pita. Cahaya-cahaya itu berputar, lalu masuk menembus tanah.
Hermione terpesona. "Kau lihat itu, Draco?"
Hermione kembali membakarnya dengan menyebut namanya.
"Aku..aku lihat," kata Draco. Kemudian, untuk meredam rasa terbakar itu, Draco mengambil kristal yang besarnya seperti hidung Crabbe, lalu melemparkannya ke tanah.
Cahaya-cahaya kembali membuat Hermione takjub, dan sama seperti sebelumnya, cahaya itu masuk menembus tanah.
Hermione mulai menyadari sesuatu. "Mengapa cahaya-cahaya pergi ke tanah?" ia bertanya pada dirinya sendiri. "Oh! Mungkinkah itu?"
Hermione berjalan menuju sesemakan, dan mencari batu besar. Setelah mendapatkan satu, ia mulai menggali. Sebuah lubang tercipta setelah semenit ia menggali, dan cahaya menyembur keluar dari dalam lubang.
"Oh!" Hermione tertawa. "Cleebariona ada di dalam tanah!"
Draco—entah mengapa—ikut tersenyum, meski hanya sebuah senyum dingin yang kaku. "Aku tahu harus bagaimana," Draco mengambil tongkatnya. Ia mengayunkan tongkatnya, lalu menembakkan mantra peledak ke tanah, dan tanah yang mereka pijak bergetar serta runtuh. Mereka melihat lubang yang lebih besar, dan cahaya yang lebih banyak. Cahaya-cahaya biru muda, merah muda, dan ungu serta perak menyembur keluar dari lubang, kemudian menyoroti pohon-pohon tinggi dan daun-daun berbentuk hati.
Hutan itu tampak bercahaya karena penemuan mereka, dan pepohonan tampak seperti batang permen kaca. Hermione benar-benar takjub. "Kau mau masuk?" ia menunjuk lubang yang diciptakan Draco.
Draco tak perlu berkata ya, karena ia berjalan mendekati lubang itu mendahului Hermione.
"Tunggu!" seru Hermione.
Draco memasukkan kepalanya ke dalam lubang, lalu ia melihat keindahan. Itulah Cleebariona, keajaiban yang mereka percayai. Sepanjang mata memandang, yang dilihat Draco hanya pepohonan dari kaca, dan padang bunga dengan serbuk sari dari kristal. Draco mengeluarkan kepalanya, lalu mengambil sapunya yang tergeletak.
"Kita sebaiknya masuk," ia menarik Hermione untuk duduk di belakangnya. Hermione menurut saja, karena ia benar-benar ingin melihat Cleebariona. Draco membawa sapunya masuk ke dalam lubang, dan segera saja, wewangian mawar segar menyerbu mereka. Draco mendarat dengan tidak mulus diatas bunga-bunga merah, Hermione terjengkang dan tergeletak diatas bunga-bunga yang empuk. Ia tertawa lepas. Mereka tertawa lepas.
Draco merebahkan kepalanya di dekat Hermione, lalu mereka bersama-sama melihat langit Cleebariona yang berbentuk seperti kubah kristal yang melengkung, dengan bintang-bintang bergelantungan diatasnya.
"Perjalanan yang menyenangkan, Malf," Hermione menghirup dalam-dalam aroma bunga, kemudian ia merasa pusing. "Hey...ini hanya aku..atau aku merasa..aku.."
"Ya?" Draco mendekatkan kepalanya.
"Aku merasa mabuk," Hermione cegukan. "Mungkin karena bunga ini. Aduh, ya ampun, ini bunga sihir mungkin."
Draco tertawa melihat tingkah Hermione.
"Apa yang lucu, Drah-coh?" Hermione berguling-guling diatas bunga itu. "Ya ampun, ternyata memang bunga ini. Aku terlalu banyak menghirupnya."
Draco berguling mendekati Hermione, lalu tubuh mereka saling terbentur. Draco bisa mencium parfum Hermione. Vanilla. Padang rumput Swiss?
Hermione berguling lagi, lalu Draco mengikutinya. Mereka beguling-guling mengitari bunga-bunga yang menyebabkan mabuk itu. Hermione dan Draco tertawa seperti anak kecil yang tak punya permasalahan. Bunga-bunga itu terbang tertiup angin, dan terjatuh lagi ke tanah. Hujan helai bunga kristal menghantam mereka. Mereka terus berguling karena tempat itu seolah tak punya ujung.
Mereka berhenti saat Hermione berhenti.
"Ada apa?" tanya Draco, menuntut kesenangan lagi.
Hermione hanya terdiam, lalu Draco duduk untuk memeriksa tingkat kemabukannya. Oke, dia sudah KO.
Hermione ketiduran setelah perjalanan mereka untuk mencapai tempat langka ini.
Xoxoxooxoxoxoox
Paginya, Hermione terbangun di ranjang Hospital Wings.
Prof. McGonnagal ada disana dengan wajah cemas.
"Prof?" panggil Hermione pelan. "Ada apa? Mengapa aku tak di kamarku?"
McGonnagal bernapas lega. "Syukurlah! Syukurlah!" ia berteriak sambil memeluk tubuh Hermione yang tebalut selimut putih. Ketika Hermione memeriksa tubuhnya, ia menemukan dirinya telanjang.
"Prof? Ada apa ini?" tanya Hermione lemas. Kepalanya pusing, ia masih tak ingat kegilaan semalam.
"Ini salah Tuan Malfoy," McGonnagal membenarkan letak kacamatanya. "Kau nyaris mati, Nona. Kemarin malam, tepatnya subuh, Malfoy Junior menggendongmu dengan keadaan yang berantakan, lalu menyerahkanmu padaku. Ia menggemparkan Hogwarts. Kalian menggemparkan Hogwarts. Tadinya aku berpikir akan memberi kalian hukuman paling berat karena berani-berani kabur dari Hogwarts dengan jangka waktu yang sangat lama, tapi Malfoy itu mengaku kalau dia menculikmu, jadi dalam kasus ini kau hanya korban. Aku sudah memberi detensi paling buruk yang bisa ia bayangkan," kata McGonnagal.
"Ohya?" Hermione menjerit. "Apa itu?"
McGonnagal menghela napas. "Tidak ada lagi Quidditch. Ia membahayakanmu, ia menculikmu, membawamu pergi sampai kau sekarat. Aku mencopot gelarnya sebagai Kapten Quidditch, dan Prefek. Ia akan diasingkan dari kelas-kelas. Ia akan selalu mengikuti kelas sendirian. Jadi kau tak usah khawatir dengan ancaman diculik lagi,"
Hermione memaksakan dirinya untuk duduk. "Dimana dia? Ini bukan salahnya! Ini salahku!"
McGonnagal membaringkannya lagi. "Jangan begitu, semalam ia sendiri sudah mengaku."
Hermione menggeleng. "Kau percaya dia? Dia hanya berbohong untukku. Tolong, hukum aku dan jangan asingkan dia. Ia lebih serius dari yang bisa anda bayangkan, tahu?" ucap Hermione.
McGonnagal terkesiap. "Apa-apaan, Ms. Granger? Kau belum pernah membantahku sampai sedemikian rupa!" katanya kecewa.
"Aku menjelaskan yang benar, Prof. Memangnya keadaanku semalam seburuk apa sampai-sampai hukumannya begitu kejam?" tanya Hermione.
McGonnagal kembali menghela napas. "Kau keracunan serbuk bunga Poisarium, yang harusnya sudah punah bersama hilangnya Cleebariona. Kami sudah mengobatimu semalam, kami membuat ramuan mint untuk kauhirup, dan sebaiknya, kau tidak usah berpakaian hari ini. Racun itu akan berkembang lagi apabila kulitmu tertutupi pakaian. Untuk sementara pakailah selimut tipis," jelasnya.
Hermione menggeleng meski tubuhnya semakin sakit. "Itu salahku, aku sendiri yang menghirupnya."
McGonnagal menggeleng. "Hukuman telah dijatuhkan. Ia sendiri yang mengakui kesalahannya, jangan ada bantahan. Istirahatlah, besok kau bisa belajar seperti biasa,"
Kemudian McGonnagal pergi keluar, dan Hermione tak mendengar nama Draco disebut lagi sepanjang hari itu.
Xoxoxoxoxooxox
Hermione tertidur terus sepanjang hari, dan di tengah malam yang dingin, ia merasa seseorang datang dan menggenggam tangannya. Ketika ia membuka mata, ia tak melihat apapun selain mata abu-abu berkilau. Sebening bulan malam.
Ia mengenal mata ini.
"MALF—!"
"Sshhh!"
Sebuah tangan menutup mulutnya, membuatnya bungkam seribu bahasa. Ketika tangan itu perlahan lepas, ia menangis dan memeluk leher sosok yang membangunkannya.
"Draco Malfoy," Hermione berbisik. "Ya ampun..ini dosaku yang terbesar. Aku harus apa untuk membuatmu kembali seperti dulu?"
Draco—sosok itu—menggeleng. "Aku tidak ingin kembali seperti dulu, oke?" ia menggenggam tangan Hermione. "Kau membakar sesuatu di jiwaku. Kau menghidupkanku. Jangan biarkan aku kembali seperti dulu. Ya?"
Hermione menatapnya lemas. "Kenapa kau disini?" tanyanya.
Draco menggeleng. "Aku ingin bertemu denganmu," ia membelai pipi Hermione.
"Bagaimana kau masuk?!" Hermione baru saja menyadari itu. Mendengarnya, Draco terbahak.
"Aku membius Madam Pom-Pom," katanya.
"Kau—kau mau dihukum lebih berat?!" Hermione memukul lengannya.
Draco tersenyum. "Aku tak keberatan dihukum, yang penting aku sudah bertemu denganmu. Aku merindukanmu,"
Hermione menahan napasnya. "Tidak mungkin."
Draco mencium kelopak matanya. "Jangan memadamkan apa yang terlah terbakar," ia membelai pipi Hermione. "Jangan patahkan apa yang telah utuh."
Hermione menatapnya dibawah pancaran sinar bulan yang kemilau.
"Jangan menyangkal apa yang telah menjadi bagian dari kenyataan," Draco mencium pipinya. "Aku mencintai Hermione Granger."
Hermione merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia meletakkan tangannya di pipi Draco. "Pembohong dari Slytherin,"
Draco memegang tangannya. "Kali ini aku jujur," ia memajukan wajahnya, lalu menarik Hermione mendekat pada tubuhnya. Tepat sesaat sebelum Draco menciumnya, Hermione menarik wajahnya.
"Ada apa?" tanya Draco risih.
Hermione menarik selimutnya. "Aku telanjang, tolol."
Draco baru menyadari itu. Tubuh Hermione hanya tertutupi selimut tipis, dan hampir seluruh badannya tampak menerawang karena cahaya bulan menyinarinya. Draco kembali memanas. Ia telah memiliki banyak pengalaman dengan wanita, tapi Hermione berbeda.
"Kau tidak ingin? Malam ini?" Draco berbisik. "Karena mungkin ini terakhir kalinya kita bersama,"
Hermione menahan napas. "Mengapa begitu?"
Draco menarik wajah Hermione, lalu menciumnya. "Karena Kau-Tahu-Siapa telah menjadikanku anaknya."
Hermione terkejut. Ia memiringkan tubuhnya, tak peduli pada selimutnya yang hampir lepas dari tubuhnya. Ia mengambil tangan Draco, dan menemukan Tanda Kegelapan menempel disana, tepat di urat nadinya.
Hermione mengambil tangan itu, dan mengelusnya, menciumnya.
"Kita mungkin akan bermusuhan," Hermione meletakkan lengan Draco di pipinya.
Draco mengelus pipinya. "Itu satu-satunya hal yang tidak bisa kita hindari,"
Hermione tersenyum sendu. Ia mencium pipi Draco. "Kau harus tidur," ia berbisik.
Draco menolak untuk pergi. "Aku akan tidur. Disini," ia meraih tangan Hermione, kemudian menarik tubuh mungilnya. Ia mencium bibirnya, lalu memaksa Hermione membuka mulutnya agar lidah mereka bertemu.
Tapi daritadi, sepertinya hanya Draco yang berusaha. Hermione tampak menutup dirinya untuk hal seperti ini.
"Kau mau apa, Malfoy? Kenapa menjilat-jilatku seperti itu?" Hermione terbahak.
Draco Malfoy sang ambassador sex Slytherin terbelalak. "Seriously, Mione. Kau tak tahu yang namanya...foreplay?"
Hermione mendengus. "Apa itu? Mainan?"
Draco Malfoy merasa terkikis. "Bwahahahhahahha," ia tertawa. "Berapa...berapa umurmu?"
Hermione menepuk dahinya. "Enam belas."
Draco Malfoy menepuk lututnya dan tertawa lagi. "Oh, bahkan Weasley mungkin telah punya pengalaman. Di usia segitu, kau...tak tahu?"
Hermione menggeleng polos, kemudian menyadari sesuatu. "Kau...kau sedang...membicarakan..how to make a baby?" Hermione terbelalak. Draco menjilat bibirnya.
"Yep. Begitulah,"
Hermione menarik selimutnya dan sedikit menjauh. "Gila kau! Jelas aku tak tahu!"
Draco terbahak-bahak melihat kepolosan Hermione. "Oh, kau lucu. Baiklah. Butuh pengajaran menuju kedewasaan?"
Hermione menggigit bibirnya. "Ya. Aku butuh itu,"
Draco terkesiap. "Sungguh?" ia mendekat, lalu bersiap mencium lagi—atau 'menjilat' seperti kata Hermione.
Hermione membekap mulutnya. "Maksudku, nanti."
Draco tak tampak kecewa, tapi ia juga tak tampak senang. "As you wish, Mione," ia mencium dahinya.
Draco memeluk tubuh Hermione, dan kembali mencium bibirnya. Ia memungut tongkatnya, lalu meletakkan sesuatu yang berkilau di nakas sebelah ranjang Hermione.
"Selamat tidur, Mione," ia memeluk Hermione, lalu menggigitnya di leher.
"Ah! Apa yang kau—?" erang Hermione.
"Itu tanda kalau kau milikku," Draco mencium bekas kemerahan itu. "Kau milikku,"
Hermione mengelus lehernya. 'Aku miliknya' pikir Hermione.
Draco berjalan menuju pintu, lalu tiba-tiba saja berbalik.
"Hermione?" panggilnya.
"Ya?"
Draco tersenyum, lalu mengangkat tongkatnya kearah Hermione. Ia membius Hermione secara sihir, lalu mendekatinya, mencium bibirnya yang ranum, memeluknya lagi. "Aku tahu hari ini akan datang," ia berbisik.
Ia mengeluarkan tongkatnya lagi, dan mengarahkannya pada Hermione. "Obliviate,"
Ia tersenyum. "Tak satupun dari kita akan mengingat momen itu. Dan akupun tak perlu terbakar seperti ini." Draco mengarahkan tongkatnya ke kepalanya sendiri. "Sepertinya akulah yang melanggar janji,"
Sinar bulan purnama membuat matanya semakin bersinar.
"Obliviate."
Xoxooxoxoxoxox
Hermione terbangun dengan kepala pusing, ia tak ingat apapun.
Ini sangat aneh, tak ada yang ia ingat, dan ia amat sangat pusing.
Ia tak tahu mengapa ia telanjang, dan tak tahu mengapa ia berada di Hospital Wings. Ia mendekati cermin diujung ruangan. Lehernya merah, namun ia lagi-lagi tak ingat apapun. Ia tak tahu mengapa, tapi ia merasa sangat sedih sampai-sampai ia menangis.
Ia membenamkan kepalanya dalam bantal, dan menangis tanpa suara.
Ketika ia menoleh, ia melihat sesuatu berkilau di nakasnya. Berlian. Berlian setengah hati. Sepertinya ia tahu. Hanya saja ia tak tahu.
xoxooxoxoox
TBC
HI-JELEK-AMAT
Ini fict yang penuh ambigu, typos berterbaran gyaaahahaha gyahahah gyahahahaha
*minum obat penenang*
Just...lemme know what you think guys *uhukuhuk* REVIEW ya
Uhuk-uhuk, kasih ide buat author, uhuk-huk
Scribendo cogito,
Julietta Lumosa Lorraine Appleton
Aka Lumosa, aka Juliette Apple
