Vocaloid belongs to Yamaha
Hanya kalianlah yang mengeti aku, aku berubah karena perilaku kalian. Itu semua karena salahku. Aku bersalah karena telah bersekolah di sini. Aku bersalah karena aku sudah terlalu ramah. Aku sudah bersalah karena bersikap sok kuat. Aku bersalah atas segala kekurangan aku miliki. Aku bersalah karena aku tidak menjaga sikapku dengan baik. Dan kesalahan terbesarku,
Aku bersalah karena telah hidup di dunia milik KALIAN.
Di sebuah kelas yang sepi dan berantakan, terlihat seorang gadis yang duduk sendiri di belakang kelas. Di tangan gadis tersebut terlihat sebuah pensil, di hadapannya ada sebuah buku yang sudah mendapat beberapa robekan dan coretan dimana-mana. Walau begitu, beberapa dari tulisan itu masih dapat terbaca,
' Mati saja, kau itu lebih buruk dari saudara brengsekmu itu!'
'Aku yakin dunia akan lebih baik jika kau menyiksa dan membunuh dirimu sendiri!'
' Anti-sosial dan apatis!'
' Kau lebih haram dari babi! Bahkan saudaramu saja mau kau mati dan membusuk di tempatmu itu!'
Dengan tatapan kosong, gadis itu merusak buku itu dalam waktu singkat. Pensil yang jatuh menciptakan suara memecahkan suasana hening yang paling ia benci. Rin, nama gadis it terus-terusan memegang kepalanya yang mulai berdenyut keras seakan menyuruhnya memberhentikan semua kegiatan yang terjadi di tubuhnya.
" Terjadi lagi," Ucap gadis itu.
Gadis itu ingin kembali, kembali ke tempat dimana dirinya diterima. Dimana ia dapat tertawa dengan bebas. Dimana ia dapat melihat dengan jelas objek- objek di depannya. Dimana semuanya masih hangat, termasuk hatinya.
Dengan alasan yang sangat sederhana, ia disalahkan. Cih! Ia tidak bersalah sedikitpun. Ia lelah dengan semua sandiwara ini. Ia lelah mamasang muka datar saat para pembullynya menampar dan menendangnya. Padahal ia dapat melawan, dan jika ia melawan… Mari kita tidak membayangkan semua kemungkinannya. Ia sabuk hitam karate dan sedang mempelajari taekwondo. Kau tahu artinya jika ia melawan bukan?
Ia benci pelajaran kosong di saat semua murid senang akan pelajaran kosong. Pelajaran kosong artinya ia harus membayar apa yang tidak seharusnya. Saat itu ia harus menanggung rasa sakit yang tidak seharusnya. Rasa malu, rasa tidak berharga, rasa pasrah yang bercampur aduk di dalam benak gadis itu. Sementara gadis itu - Rin- sedang berjalan ke luar kelas untuk membuang bukunya, para anak popular seperti Prima dan Neru melewatinya. Dengan enteng, Prima menjambak rambutnya dan berkata,
" Hey Neru, ada kotoran babi yang tidak menyadari tempatnya. Apa kita harus membuatnya membayar?" Ucapnya sambil menarik rambut Rin lebih keras.
" Kotoran babi seperti ini seharusnya dibuat sadar akan tempatnya lalu dibuang," Dengan balasan Neru dan mulai tertawa, mereka mulai memukuli Rin. Rasa berdenyut di kepalanya kembali menyerang. Ia tidak dapat meredam dengan memegang kepalanya. Tangannya dipegangi Prima dan tetap dijambak. Sementara Neru sedang memukuli bagian atas perut Rin, mereka tahu Rin sedang dalam masa penyembuhan dari penyakit livernya.
Setelah puas memukuli Rin, Neru bertukar posisi dengan Prima dan mulai memukuli Rin juga. Saat mereka puas Prima berkata,
" Berlututlah dan cium sepatu kami, babi!"
Nerupun menandang bagian belakang lutut Rin yang membuat Rin jatuh berlutut, bukannya mencium sepatu Prima ia malah meludahinya. Geram, Prima menendang pelipis Rin yang membuat rasa berdenyut di kepala Rin bertambah. Tetap memasang muka datar, Rin hanya pasrah untuk disiksa. Siksaan seperti ini sudah menjadi asupan sehari-harinya. Neru memandang Rin yang sedang berusaha berdiri dengan jijik dan segera menjambaknya untuk memaksa Rin berdiri.
" Ugh!" Hanya suara itu yang Rin keluarkan di hari ini.
Belum puas setelah menandang pelipis gadis itu, Prima menampar pipi gadis itu hingga memerah dan mengajak Neru untuk meninggalkan kelas mereka. Tanpa mereka ketahui, kuku Prima sempat mencolok kornea dan pupil mata kanan Rin. Setelah mereka keluar, Rin terbatuk keras dan menjambak keras rambut sisi kanannya.
Dengan susah payah Rin tetap berdiri dan membuang buku yang sempat tertunda tadi. Lalu menganbil beberapa tissue dan pergi ke kamar mandi perempuan. Setelah masuk ke bilik toilet, Ia membasahi beberapa tissue dan mengusap pelan luka di pipi dan pelipisnya. Meringis karena rasa berdenyut di kepalanya dan luka- luka di badannya kembali di saat yang sama. Menahan tangis dan rasa sakitnya, ia menyenderkan kepalanya ke bilik toilet. Tiba- tiba,
BYURR! AHAHAHA~
Ada air yang dijatuhkan dari atas bilik toliletnya. Seakan sudah terbiasa, ia hanya memandangi roknya yang basah sambil tetap mengusap pelipisnya yang semakin berdenyut. Ia tetap diam dan mendengarkan berbagai umpatan dan kalimat hina yang tertuju pada dirinya. Menutup matanya dan menunggu mereka pergi sehingga ia dapat meminta handuk dan baju ganti kepada petugas sekolah yang sudah pasti sedang duduk di samping pintu masuk toilet, terdiam.
Hatinya sakit mendengar umpatan- umpatan itu namun apa boleh buat inilah harga yang harus ia bayar, rasa sakit yang harus ia tanggung. Hanya tinggal menunggu punggung dan mental yang menahan semua itu patah, dan ia akan menyerahkan sisa hidupnya kepada 'dirinya yang lain' hingga 'dirinya yang lain' itu memutuskan ia akan bertukar posisi karena suasana sudah damai dan ia dapat memulai sandiwaranya dari awal lagi.
" Dasar babi hina"
" Dasar anak gila,"
" Hina sekali, tidak pantas untuk hidup"
"Hey, anak ansos! Mati saja, tidak akan ada yang rindu dan menangis untukmu tahu?!"
Beberapa menit kemudian suara mereka tidak terdengar dan suara ketukan lembut di pintunya terdengar,
" Dik, ini baju dan handuknya. Cepat keringkan rambutnya dulu, nanti masuk angin. Mbak keluar dulu ya," Ucap wanita separuh baya yang memang sudah sering melihat adegan seperti ini. Berkali- kali ia berusaha meyakinkan Rin bahwa ia akan memarahi mereka, berkali- kali juga Rin berkata bahwa mereka membullynya karena salahnya.
Dan ia tak tahu, hidup di dunia ini bukanlah salahnya.
Tepat ketika ia selesai mengeringkan rambutnya, ia menyadari mata kanannya tidak dapat melihat dengan baik. Semuanya terlihat redup dan buram. Ia sadar saat ia ditampar, matanya terkena salah satu jari mereka. Tidak memperdulikan mata kanannya, jepit yang menghalangi poninya ia lepas. Poni panjangnya turun menutupi mata kanannya dengan lambat karena dalam kondisi basah.
Saat ia dalam perjalanan kembali ke kelas, salah satu pembullynya telah menunggu di koridor dan menjegal kaki Rin.
Bruagh!
Di samping kanan Rin dan tepat di belakang punggung pembully itu adalah kelas yang sedang melangsungkan pelajaran. Walau suara terjatuh Rin keras dan guru di kelas itu menyadari ada tindak pembullyan di dekat kelasnya, guru itu tidak memperdulikannya. Rin sudah terbiasa dengan ini semua. Lutut dan sikutnya terluka cukup dalam dan meninggalkan jejak darah saat Rin bangkit dan berjalan ke kelasnya dengan limbung dan pincang.
-Time Skip karena authornya gak kuat ngejelasin selanjutnya yang penting, pembullyan Rin berlanjut -
Sepulang sekolah,
Rin cepat- cepat membereskan barang- barangnya sebelum-
Prak!
Mejanya didorong oleh Kaito sang idola sekolah sampai semua barang dan mejanya terjatuh ke samping. Tidak mau mencari masalah, Rin langsung mengambil barangnya dan lari keluar kelasnya. Semua itu disambut dengan sumpah serapah dan tawaan untuknya dan pujian untuk sang idola. Oh betapa berharapnya ia bahwa seorang dari kelasnya diam- diam peduli kepadanya dan mau menjadi temannya.
Melihat teman ibunya yang menjemputnya sudah di gerbang sekolah, Ia mempercepat laju kakinya, tak peduli dengan rasa sakit di kedua lututnya akibat terjatuh tadi. Sementara teman sang ibu yang melihat anak temannya itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
" Tante maaf ngerepotin, tapi Rin ikut lagi ya hari ini?" Ucap anak sahabatnya itu.
" Serius deh Rin, udah 1 tahun lebih loh tante ngejemput kamu. Gak usah formal gitu, anak tante aja gak gitu. Ayo naik, kamu ada jadwal taekwondo sama mengisi suara kan? Ayo cepet naik biar gak telat." Balas Ibu beranak satu itu sambil menyalakan mesin motornya. Setelah memastikan Rin memakai helmnya dan duduk dengan nyaman, ia langsung meninggalkan sekolah anak temannya itu.
Di perjalanan mereka mengobrol dan setelah sampai di rumahnya Rin, Rin mengucapkan terima kasih dan memberitahu tantenya itu bahwa jadwalnya hari ini diundur 2 jam. Setelah tantenya memutar rutenya dan meninggalkan komplek perumahan, ia masuk ke dalam rumahnya disambut oleh ibunya yang bermuka marah dan mengambil paksa tangan anak semata wayang itu dibalas pekikan kecil anaknya itu. Menghela nafas, ibu beranak tiga itu memijat pelipisnya dan kaget melihat luka anaknya yang semakin parah itu. Melihat tanda- tanda ibunya akan menceramahinya anak itu langsung kabur ke kamarnya dan mengunci kamarnya. Melepas sepatu dan mengganti bajunya, anak itu langsung ke laci meja belajarnya dan mengeluarkan kotak P3K.
Ia mulai mengobati luka-lukanya sambil beberapa kali meringis. Setelah itu ia mengambil boneka beruangnya yang berukuran agak lebih kecil dari badannya itu dan memeluknya. Boneka beruang biru itu selalu menjadi pelampiasan emosinya. Namun kali ini, ia ingin memeluknya saja. Tanpa ia ketahui, air matanya mulai lolos dan mengenai boneka beruang yang ukurannya tidak normal itu.
" Mereka selalu menghukumku karena telah menjadi monster, Vleur. Tak tahukah mereka bahwa orang- orang yang mengubahku menjadi monster seperti ini adalah diri mereka sendiri?" Ucapnya sambil terisak pelan sambil terus menyebut nama boneka itu, Vleur.
To Be Continued
A/N Aku kembali, ini semacam kelanjutan My 'Lovely' Life ( walau akan dihapus). Agak susah soalnya ada beberapa bagian yang aku lupain ataupun aku gak kuat nulisnya. Hati-hati typo bertebaran dan segala kekurangan yang ada di cerita ini. Maaf jika ada kata yang menyinggung dan yang lainnya.
Mind to Review?
