A/N : Hello! Akhirnya aku bisa publish sequelnyaa! mohon maaf karena keterlambatan XD karena ada masalah teknis soal ngirim - mengirim files bersama BetaReader sayaa QwQ tapi akhirnya kesampaian juga! semoga menikmati sequelnya yaa! XD ohya kalo Eren sudah remaja tidak bisa disebut pedo lagi dong? Owo
Hope you enjoy this! w
Disclaimer : I do not own Shingeki No Kyojin, its all belong to Hajime Isayama
Kres.
Eren menginjak daun kering di aspal yang kotor. Musim gugur sudah datang dan membawa bersamanya daun-daun kekuningan. Eren merasakan hawa dingin melanda tubuhnya. Untunglah ia mengenakan jaket hari ini.
Ia sudah sampai. Little Recon Corps Kindergarten.
Aah, ia ingat dimana memori kebahagiaan dirinya yang masih polos dan lugu itu. Ia juga masih ingat jelas dengan orang yang sudah berjasa dengannya, ya, guru itu; guru yang memberi ia inspirasi dan dorongan hidup sampai sekarang.
Aku ingin bertemu dengannya… pikirnya, lalu ketika angin bertiup, ia menangkap sebuah sapu tangan yang bersih dan memiliki wangi produk pembersih. Windex?
"..Maaf?"Eren menengok, berpikir bahwa pemiliknya adalah orang yang berjalan ke arahnya, tetapi ketika ia melihat mukanya, Eren terlonjak kaget.
"Terima kasih, itu milikku-"
"Heichou?"
Laki-laki itu langsung menatapnya dengan tajam, sepertinya ia terkejut. Pertemuan mereka hari ini sama seperti hari di mana mereka berpisah.
"Eren…"
Shingeki No Kyojin
Immature Act
Rivaille x Eren Jaeger
Pemuda bersurai itu melambaikan tangannya kepada teman seangkatannya yang sedang melihatnya pergi dengan menaiki kereta. Ia kemudian duduk di bangku sebelahnya yang kosong, memandang ke luar. Langit mendung, tapi itu tidak memandamkan semangat Eren.
Ibunya Eren meninggal sebulan yang lalu. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit ternama di Tokyo. Ia menerima kematian ibunya dengan ikhlas- ia telah menemaninya sampai akhir hayatnya. Karena ia tidak memiliki kerabat, terpaksa Ayahnya akan merawatnya—dan itu berarti ia harus pindah balik ke rumah dulunya. Eren tidak nyaman dengan semua ini: ia jarang bertemu ayahnya, sekali bertemu, mereka hanya beradu mulut. Tetapi apa yang bisa ia lakukan; Eren masih seorang remaja yang harus menyelasaikan pendidikannya dulu, baru bisa hidup sendiri, lagipula ibunya akan dimakamkan di kotanya yang dulu.
Setelah sampai, Eren melihat kardus – kardus bawaannya sudah di depan pintu. Dengan sigap ia membereskan barang – barangnya sendiri. Sepertinya ayah belum pulang, untung ia memberi kunci cadangan kepadaku, pikirnya.
Setelah bermandi keringat dan debu, barangnya sudah tertata rapi. Ia hanya tinggal mandi, makan malam dan tidur. Ia akan masuk sekolah minggu depan, karena urusan sekolahnya belum selesai. Eren menghela nafas. Ia bosan. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Tidak ada hal menarik. Semua begitu dingin, dan hanya kerinduan kepada ibunya yang menemaninya.
Ah! Aku tidak bisa seperti ini terus! pikirnya. Aku lebih baik keluar saja! Ia mengambil syal dan jaket coklat terang untuk berjalan-jalan sebentar.
Eren tersenyum dengan nostalgia saat ia berjalan ke taman bermain yang sering ia kunjungi saat kecil. Ia ingat dengan teman – temannya dulu. Ia tertawa pelan. Dan pada akhirnya ia berhenti di depan TKnya, tempat yang paling ia rindu.
"Aku ingin kembali pada masa kecil," ucapnya sambil memandang ke atas. Eren memiliki kehidupan yang nyaman di kota barunya- ia mempunyai banyak teman dan disayang guru, tetapi setelah ia mengetahui Ibunya mengidap penyakit serius, ia sering stres di sekolah. Ia telah berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan yang terbaik di sekolahnya, lupa untuk bersosialisasi, tetapi Ibu Eren tidak bertahan lama. Ia meninggal di hari pertama ujian akhirnya.
Eren berharap ia masih bisa bertemu lagi dengan teman – temannya dulu, ataupun guru – gurunya, terutama Rivaille. Ia masih ingat jelas tentang Rivaille, guru yang selalu ia kagumi. Kata – katanya selalu menyelamatkan Eren di saat yang sulit, apalagi saat masa puber melandanya, membuat ia susah mengontrol emosinya. Ia ingin bertemu orang itu lagi, ingin diberi nasihat dan bantuan moral lagi, seperti dulu…
Dan Tuhan mengabulkannya.
Eren tak kuasa untuk berbicara, ia terus memandang orang yang ia sangat ingin ditemui di depannya dengan mulut yang tergagap – gagap.
"Oi… kau Eren kan?" tanyanya dengan nada yang agak sinis.
"H-H-Heichouuuuuuuuuuuuu!"
Eren yang sudah lepas kendali langsung memeluk tubuhnya yang agak pendek dan kekar ini. Rivaille melotot kaget, tapi Eren tidak melihatnya, ia sibuk mengucapkan "Puji Tuhan, terima kasih terima kasih!" sambil memeluk erat.
"Lepaskan, bocah." Suara baritone-nya terdengar tajam.
Eren tersadar langsung melepaskan lengannya. "Hehehe maaf Heichou, aku terbawa perasaan!"
"Dan jangan panggil aku 'Heichou', kau bukan muridku lagi, bodoh," ucapnya sambil menjitak kepalanya Eren. Walau Eren agak tinggi Rivaille masih sampai kena kepalanya.
"Ouch! Umm.. maaf, Sensei?" ucapnya sambil mengelus kepalanya yang sakit. Ia sedikit memiringkan kepalanya dengan muka bingung.
"…Rivaille saja."
Rivaille hanya menatapnya. Eren memainkan tangannya yang kosong sebelum bertanya. "Bagaimana kabar Rivaille-san? Apa baik – baik saja?"
Sang pemuda eboni menepuk pundaknya. "Baik – baik saja, bocah. Bagaimana denganmu?"
Eren hanya tersenyum lebar. "Tentu saja oke!"
Lalu Rivaille menemani Eren berjalan. Eren dengan antusias berjalan menuju minimarket untuk membeli beberapa cemilan.
"Rivaille masih mengajar di TK itu?" tanya Eren.
"Menjadi guru TK itu hanya pekerjaan sampingan." mata beriris kelabu itu melihat keatas. "Waktuku berkurang dalam mengurus TK ini, tetapi akulah pemilik TK ini sekarang." Eren hanya ber'Oh' ria sambil memakan kue mochi.
"…Aku turut berduka untuk ibumu.." ucap Rivaille sambil memandang langit.
"Heh? Iya…" jawab Eren pelan.
Akhirnya mereka berdua diam sampai dipertigaan. "Aku tinggal di sana," ujar Eren, berharap Rivaille tidak membalas 'Siapa yang nanya?' kepadanya.
"Oh, kalau begitu, kita berpisah," ucap Rivaille. Eren melambaikan tangannya ketika ia berbelok. Eren menatap ke langit. Ia sungguh merasa senang bisa bertemu dengan gurunya lagi. Kencangnya debar jantungnya tidak bisa dipungkiri… Ya, paling karena ia saking senangnya, jantungnya berdebar. Hanya suatu kebetulan, bukan?
Eren menjalani hari – harinya yang kelabu dengan sabar. Ia sudah bisa beradaptasi disekolahnya yang baru- ia agak susah berteman, malahan mendapat musuh baru. Ia berusaha untuk tidak membuat onar lagi. Ia tidak ingin merepotkan Ayahnya.
Tetapi hari – harinya yang ia rasakan di rumah begitu pahit: Ayahnya kadang pulang cepat, mereka 'berbicara', dan selalu diakhiri dengan suara yang kencang ataupun suara benda dibanting. Eren yang masih agak labil dirinya tidak bisa menahan diri untuk tidak marah kepada Ayahnya. Ia merasa dikengkang oleh ayahnya, tetapi seusaha apapun Eren memberontak, Ayahnya tidak akan mendengarkannya.
Eren duduk berjongkok di sudut kamarnya sambil mengacak rambutnya. Ia sungguh frustasi. Ia tidak mempunyai orang yang bisa ia ajak bicara, dan ia tahu mencurahkan hatinya malah akan membuat masalah baru. Ia ingin mengeluarkan rasa frustasinya, tetapi dengan apa?
Esok harinya, ia menjalankan kegiatan di sekolah seperti biasa: ia membersihkan ruangan kelas karena ia piket sekarang. Hari itu ia sendiri, plastik sampah yang besar ke luar. Plastik hitam itu menghalangi pandangannya, tetapi ia bisa mendengar seseorang berjalan lebih dekat.
DUK.
Sampah berserakan di mana – mana dan terkena murid yang lainnya.
"Hey! Kalau jalan lihat dulu, bodoh!" ucap seorang pemuda berambut coklat tua.
"Yang ada kamu yang lihat! Main nuduh saja!"
"Hah!? Hey kau jangan berani melawanku!"
Darah Eren memanas. Ia mengepalkan tangannya dan bergerak memukul. Pemuda itu membalas, tapi Eren bisa menangkisnya dengan mudah. Pemuda yang berambut hitam itu menarik temannya.
"Sudah! Jangan dipermasalahkan." Lalu Ia membungkuk dikit ke Eren. "Maafkan kami yang tidak sopan." Setelah itu ia menarik pemuda yang 'songong' itu menjauh darinya.
Huf! Ada – ada saja, pikirnya, ia langsung membereskan sampahnya.
Ia pulang, berniat untuk mengunjungi TK lagi dan bertemu Rivaille. Tetapi saat ia sampai di sana, ia melihat pemuda mungil yang berambut pirang sedang duduk di ayunan.
"Hey!" sapa Eren. Ia mengenal rambut itu. Oh! Armin!
Armin terkejut melihat siapa sumber suara. "E-e-eren? Kamu ya?"
"Iyaa! Siapa lagi!" ucap Eren girang. Ia langsung melompat dan memeluk pemuda imut itu. "Kamu tambah besar aja ya Eren!" Armin memandangnya dari atas sampai kebawah.
"Haha, Armin, kamu tidak berubah, dari dulu sampai sekarang selalu Imut!" ucap Eren sambil menyeringai, Armin hanya memukul lengannya.
Mereka mengobrol sampai hari hampir gelap. Mereka bertukar nomor ponsel dan berpisah. Eren kecewa ia tidak bertemu dengan Rivaille, tapi ia senang akhirnya ia mendapatkan teman sekaligus teman sepermainannya dulu. Ia tidak sabar untuk melanjutkan perbicangan mereka esok hari.
Ternyata Armin itu satu sekolah dengan Eren, tetapi mereka berbeda kelas. "Aku gak nyangka kita bisa bertemu! Gak nyesel aku pindah ke sini," ucap Eren saat mereka duduk di kantin untuk makan siang.
"Un! Padahal aku akan pindah keluar kota untuk kuliah lho."
"Wah! Hebat! Kalau aku belum tahu mau kuliah dimana, soalnya banyak pilihan hehe," Eren mengusap rambutnya.
"Ooh begitu, memang cita – citamu apa?" tanya Armin sambil memiringkan muka sedikit.
"Menjadi guru! Hehehe!" Ia tersenyum lebar.
"Kukira kau mau menjadi Power Rangers, atau semacam pahlawan gitu." Armin tertawa. Tiba – tiba pemuda yang menabraknya kemarin ikut bergabung. Ternyata si Jean! Yang menjadi rivalnya dulu di TK, dan ia sekelas dengan Armin. Sial.
"Yo! Ternyata kamu si Eren ya! Aku ga nyangka kita satu sekolah," ucapnya sambil bernada menantang.
"Oh ya? Aku malah berharap tidak bertemu orang yang bermuka kuda sepertimu," balas Eren dengan tatapan tajam.
"Hoooh! Mau mengajak berantem rupanya." Jean langsung menunjukan muka 'songong'. Eren yang ingin sekali memberi hantaman tinjunya hanya diam saja, ia harus bisa mengendalikan dirinya.
Sepulang sekolah, Armin berjalan dengan Eren dan menelusuri tempat itu.
"Tempat ini ramai kalau siang, tapi kalau sudah sore begini, banyak murid yang sudah pulang," ujar Armin. Mereka duduk disebelah 'genjotan'.
"Tempat ini sungguh nostalgia, aku suka nongkrong di sini!" ucap Eren sambil membuka tas untuk mengambil cemilan.
"Oi..." Suara itu membuat Eren terhenti, ia langsung menengok kebelakang.
"Rivaille-san!" Keduanya serentak memanggil namanya karena kaget dan langsung berdiri berdiri. Pria itu hanya menatap mereka sambil membawa jasnya di lengan kanannya.
"Sedang apa disini?"
"Kami hanya ingin mengunjungi tempat ini, hehehe," ucap Eren sambil menggarukan pipinya.
Ia menghela nafas. "Tempat ini sudah sepi, sudah pulang sana…" ucapnya sebelum pergi.
"Eh, itu- yah dia pergi.." Eren mencoba mengejarnya, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Armin.
"Sampai kapanpun, Rivaille selalu sensei yang memperhatikan kita ya," gumam Armin. Ia juga kagum dengan Rivaille.
"Iya Min, aku berharap bisa mengobrol dengannya."
Semenjak itu, Eren terus – terusan menunggu Rivaille di sekolah itu. Kadang ia datang kadang ia tidak, tetapi itu tidak masalah karena Eren terus memikirkan Idolanya dan melupakan masalah di rumahnya. Ia ingin sekali berbincang banyak, tetapi ia merasa Rivaille tidak terbuka seperti dulu, bahkan ia merasa Rivaille seperti menjauhi dirinya.
"Sudah kukatakan, aku tidak mau mengikuti perintahmu!"
"Kau ini jadi anak harus mengerti permintaan orang tua!"
"Tapi Bapak tidak pernah mengerti apa mau ku! Kau tahu apa soal aku!?"
Adu suara terdengar jelas di luar sebelum Eren akhirnya keluar, membanting pintu dengan frustasi. Ayahnya mengatakan bahwa ia ingin Eren meneruskan karirnya yaitu menjadi dokter. Tentu Eren tidak mau—profesinya adalah alasan ia sering meninggalkan ibunya sendirian dan pada akhirnya mereka berpisah. Eren juga membenci dokter yang merawat ibunya; iya terus mengingatkan dirinya kepada Ayahnya, dan lagi dokter itu tak bisa menyelamatkan nyawa orang. Ayahnya punya kebiasaaan berkata kasar kalau sudah emosi, dan Eren bukan orang yang kebal dengan kata – kata. Ia ingin pergi dari sini.
Eren berhenti di pertigaan, bajunya basah kuyup. Hukan tidak menunjukan tandanya ingin berhenti, jadi ia duduk dengan lemas di tempat itu, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semua barangnya, termasuk handphone, ia tinggal di rumah. Ia hanya bisa menunggu nasib.
Lalu sebuah telapak tangan menjulur di depannya. Eren menoleh ke atas. Ah. Orang yang ia idolakan selama ini.
"Sedang apa kau di sini, bocah?" Mata mereka saling bertemu, kelabu memperhatikannya dengan sepercik kekhawatiran. "…Ayo ikut aku," ucapnya, tangan masih menjuntai.
"R-Rivaille-san…" Eren sedikit terharu. Mantan gurunya masih mengkhawatirkannya.
"Cepatlah, hujannya semakin deras…" Rivaille bukan tipe yang banyak basa basi, jadi Eren dengan antunsias menggenggam tangannya.
Eren mengingat kembali jalan menuju rumah Rivaille, yaitu di apartemen standard yang ada di sebelah kirinya klinik. Ah, ia ingat bagaimana Rivaille merawat luka yang di kepalanya.
Eren tersadar bahwa kini dirinya ada di kamar sang idola, dadanya berdebar kecang. Ada apa ini? Eren mendadak bingung, ia belum pernah merasakan 'nervous' seberat ini, dan lagi, ia basah kuyup.
"Oi… mandi sana." Rivaille melempar handuk putih nan bersih ke arahmya dan membuka pintu kamar mandinya.
"E-eh!? Tapi b-bajunya-"
"Sudah, biar kuurus. Kau mandi sana, bau sekali," ucapnya sambil mendorong badan Eren ke dalam bilik kamar mandi.
Eren dengan gugup mandi dibawah shower yang meluncurkan air panas ke tubuhnya, mengambil sabun batang dan mengusap di badannya. Wangi Rivaille, pikirnya, pipinya panas. Eren menganggap itu efek dari mandi air panas. Lalu ia melirik ke bathub di sebelah kirinya. Ia ingat ia pernah mandi bersama Rivaille dan dirinya-lah yang mengajak mandi bersama, Eren langsung jongkok lemas dan menutup wajahnya yang merah seperti tomat. Unbelievable!
Setelah selesai mandi, ia mendapati baju kemeja bersih dan celana pendek hitam di depan pintu kamar mandi.
"Rivaille-san, aku sudah selesai mandi," ucapnya sambil mengelap rambutnya yang agak basah. Ia menemukan Rivaille di dapur, menggunakan celemek sambil memotong sayuran.
"Pfft." Eren menahan ketawanya. Rivaille menatapnya dengan jengkel.
"Kenapa ketawa, bodoh?"
"Tidak apa – apa, hanya saja tidak cocok dengan imej mu sebagai guru yang perkasa." Tawa Eren semakin keras, dan ia menerima hantaman 'sayang' dari Rivaille.
"Uhug! Maaf!" Eren terbatuk – batuk sambil menahan rasa sakit, bergerak kembali ke meja makan. Rivaille menyuguhkan makan malam. "Itadakimasuuu~" Eren memakan dengan semangat empat lima, sedangkan Rivaille hanya mendengus melihat mantan muridnya masih memiliki kebiasaan makan yang buruk.
"Eren, makan yang benar," ucapnya sambil mengunyah makanannya.
"Tafiii- iniii- Enaak-Sekaleehh." Eren tak mendengarkan kata – katanya sampai Rivaille menendang kakinya. "Ouch-! Ohok!" dan Eren berhasil keselek.
"Makanya yang benar, bocah," ujar Rivaille sambil menyembunyikan senyuman tipisnya.
Setelah itu, Eren duduk di sofa sambil menonton TV, menonton acara lawak di channel favoritnya bersama Rivaille. Rivaille tidak tertawa terbahak – bahak sepertinya- ia hanya terkekeh dengan suara kecil.
Ternyata…Rivallie-san punya sisi imut juga… pikirnya, lalu ia menggeleng kepala. Ah! Jangan memikirkan yang aneh – aneh, aku hanya kagum kepadanya kok, hanya kagum…
'Kagum atau suka?'
Tiba – tiba ada bisikan seperti suara setan di kepalanya, ah sungguh, ia tidak ingin berpikiran yang liar tentang senseinya tercinta.
Kadang ia mendapati dirinya berdelusi tentang dirinya dan sensei yang bisa dibilang tampan ini melakukan hal aneh, ataupun bermimpi aneh seperti itu, semenjak di hari pertama ia puber. Tapi saat ini adalah saat yang genting, ia tidak ingin urusan kecil menjadi masalah besar, jadi yang ia lakukan hanya membuang pikiran nista itu jauh – jauh.
"Eren."
"Ya?" tubuh Eren langsung berdiri tegap. Rivaille hanya menaikan alis.
"Kau tidur di kamar tamu," ucapnya dengan nada monoton dan menutup pintu kamarnya.
"Eh?"
Eren melamun sebentar. Kenapa ia merasa kecewa? Padahal sudah sewajarnya ia akan tidur di kamar tamu. Lagipula ia bukan anak kecil sekarang, ia tidak boleh manja lagi dengan orang dewasa, apalagi dengan seorang pria dan bukan keluarganya, tapi Eren merasa benar – benar kosong saat ini.
Tidur di tempat lain tidak menjamin tidak akan mengalami mimpi buruk- sudah beberapa kali Eren terbangun dengan nafas yang tersengal – sengal dan berkeringat dingin disekujur tubuh. Ia benar – benar tidak nyaman, tetapi ia tidak bisa protes. Ia hanya menginap tanpa rencana semalam, ia harus bisa menyesuaikan diri.
5 menit.
10 menit.
Dan akhirnya setelah 15 menit ia tertidur, kembali di mimpi buruk yang sama. Kali ini ia bisa melihatnya dengan jelas, bagaimana ibunya tertindih puingan rumah, ia dan Mikasa mencoba menyelamatkannya, tetapi ia hanya bisa melihat Ibu diambil oleh seorang monster dan dimakannya-
"AAAAAAH TIDAAAK!" Eren berteriak frustasi, dan mendapati dirinya berada di atas kasur, Rivaille memandangnya.
"Ah!" Eren sadar ia berada di rumah Rivaille, bukan di rumah sendiri, dan pemiliknya sedang berada di dekatnya. "M-m-maaf!" Eren langsung membungkuk. "A-aku tidak bermaksud-"
"Oi, kau ini sama sekali tidak bisa tidur, aku jadi terganggu, bodoh." Satu kalimat memotong ucapan Eren yang terbata –bata ,Rivaille memukul pundaknya sambil mendengus.
"Aku…"
"Kau mengalami mimpi buruk," ucapnya dengan nada tegas. Eren menelan ludah, merasa bersalah sudah menganggu waktu istirahatnya.
"Ma-"
"Ini." Rivaille menyodorkan pil dan gelas minum. Eren berhenti sejenak, lalu dengan perlahan meminumnya.
"Hey Eren, kalau kau mau…" Matanya melihat arah lain. "Kau boleh bercerita apa yang mengganggumu sampai kau seperti ini."
Jantung Eren berdebar lagi, dan ia menundukan kepalanya dengan gugup, tetapi perlahan ia keluarkan suaranya.
"Heichou…. Aku mimpi soal ibu… ia meninggal berkali – kali di depanku…" suaranya mulai terdengar serak. "Dan aku selalu berada di kegelapan, aku merasa sendirian, tidak ada yang menemaniku…" Ia berhenti sejenak, menahan isak. "A-aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ayah tidak pernah mendengarkan." Ia menutup wajahnya yang sedikit basah.
Dengan pelan, Rivaille mendekatkan diri dan mengusap punggunnya yang luas, lalu lengannya yang lain mendekap di badannya.
"Eren…" ia berbisik. "Tarik nafasmu, biarkan dirimu rileks, jangan terburu – buru."
Eren menuruti kata – katanya, tetapi suara yang begitu 'menarik' di telinganya dan hawa hangat didekat lehernya membuat ia tambah bergetar, tambah nervous.
"Eren." mereka saling bertatapan. "Aku tahu selama ini kamu selalu mengalami hal sulit dikehidupanmu, tapi itu hal yang wajar Eren, semua orang juga menghadapinya.."
"Rivaille-san juga?" Eren langsung memotong pembicaraanya, Rivaille menaikan alisnya.
"Tentu saja, kau kira aku punya keluarga yang bahagia?" Eren tertawa kecil.
"Aha, sepertinya tidak… Ups." Rivaille menjitak pelan kepalanya, lalu ia berdiri.
"Kau bukan orang lemah Eren," ucapnya sambil mengacak – ngacak rambutnya. "Percayalah, kau bisa melewati ini."
"Iya.." Eren tersenyum lebar, ia tidak melihat Rivaille yang membuang muka karena ada sepercikan semburat merah di mukanya.
Saat Rivaille mau masuk ke kamarnya, ia bisa merasakan mata Eren yang begitu imut dan memelas memerhatikannya.
"Kau mau tidur denganku?" tanya Rivaille, kata yang begitu ambigu membuat Eren memerah, oh, Rivaille mulai menyukai wajah itu.
"E-eh? T-tapi kan a-aku bukan anak kecil." Eren merunggut, merasa bahwa Rivaille mempermainkannya.
"…Aku serius." Eren terkejut. Rivaille mengajaknya tidur bersama seperti dulu? Oh, Eren merasa celananya mulai sempit.
"Jangan bayang hal yang aneh – aneh, bocah, akan kutedang kau keluar jika kamu lasah," ucapnya sebelum ia masuk ke kamar, dan Eren tanpa sadar mengikutinya masuk.
Ia duduk di pinggir kanan tempat tidurnya dengan gugup. Tentu saja, ia remaja yang sedang di puncak pubernya, tidur dengan orang yang membuat debar – debar… hal yang biasa kan?
"Hoi, berbaring disini.." Rivaille menepuk sisi kanannya. Eren mengangguk dan berbaring dengan perlahan, tidak berani menatapnya, jadi ia membalikan badan.
Eren masih terjaga dalam beberapa saat, ia bisa mencium bau Rivaille yang begitu tajam di bantalnya. 'Bau Rivaille-san…' Eren terus mengendus – ngendus seprainya yang begitu wangi dan bersih. Ia berharap ia tidak tidur sampai mengeluarkan air liur, tentu akan membuat Rivaille marah.
Ia sempat mengingat bagaimana Rivaille menyanyikan lullaby, suaranya begitu pelan dan merdu. Menurutnya Rivaille berbakat dalam menyanyi, ia bisa merasakan desiran aneh karena suaranya… dan akhirnya ia memejamkan matanya, tidak tahu bahwa yang disebelahnya merasakan hal yang sama.
Paginya, ia merasa sangat nyaman dengan tidurnya sampai ia tidak ingin bangun dari kasur. Lupa dengan di mana ia tidur, ia terus memeluk 'objek' di dekatnya, sampai ia bisa mendengar suara rendah dan pelan.
"Oi, minggir bocah."
Mata Eren terbuka lebar. Kedua lengannya yang lebar telah memeluk pinggang Rivaille dengan erat, betis dan pahanya juga saling bersentuhan dengan kakinya, dan lagi dada dan perutnya begitu nempel dengan punggung Rivaille yang bidang, dan yang paling mengejutkan bibirnya sedari tadi menempel di antara leher dan bahunya, dan sepertinya ia sempat 'menghisap' tanpa sengaja.
"Eeeeh!" Eren langsung melepaskan dirinya dari Rivaille, ia duduk dengan tegap dan tegang.
"M-maaf Rivaille-san, aku tidak bermaksud-"
"Heh, kamu dulu juga begini, pagi – pagi sudah menempel" ucap Rivaille dengan sedikit mengejek. Muka Eren sudah merah seperti kepiting rebus, dan Rivaille hanya terkekeh.
"Sebagai gantinya, kamu membuat sarapan," ujar Rivaille sebelum ia membuka bajunya. Eren tanpa sadar menatap sambil mulutnya terbuka lebar setelah melihat badannya Rivaille yang begitu… perfect.
Gulp.
Eren merasa dirinya semakin aneh, dan bagian bawahnya sepertinya tidak bisa tenang dalam beberapa waktu. Kenapa sekarang?
Setelah Rivaille mandi, ia dipaksa untuk mandi di tempatnya, karena Rivaille cinta kebersihan. Eren mengikuti perintahnya, saat ia keluar, ia bingung di mana pakaiannya dan Rivaille memberi setelan kemeja dan celana panjang miliknya karena punya Eren sedang dicuci. Eren merasa awkward ketika ia memakai bajunya, tentu saja kekecilan bagian lengannya, dan celananya kelihatan ngatung.
"Pakai sebentar saja, bajumu bentar lagi kering," ujar Rivaille, duduk di meja makan sambil membaca koran.
Eren memasak telur dan kentang goreng dengan hati-hati- ia tidak mau mengotori dapur Rivaille- lalu membuat kopi pahit ketika Rivaille menyuruhnya. Eren masih merasa gugup, entah kenapa sepertinya Rivaille memperhatikannya dari tadi. Setelah usai memasak, ia melepas celemek Rivaille dan menyuguh makanannya di meja makan.
"…Tidak buruk." Rivaille mengunyah makanannya dengan tenang. Entah kenapa Eren merasa senang dipuji oleh Rivaille, ia tersenyum lebar.
"Um…Rivaille-san?"
"Ya?"
"Rivaille-san dari dulu tinggal sendiri?" tanya Eren, penasaran. Ia ingin mengetahui hidupnya lebih dalam.
"…Iya," jawabnya sebelum menyeruput kopi, dan cara ia memegang gelasnya membuat Eren agak tertawa. Rivaille hanya menatapnya dengan tajam.
"Haha… maaf maaf, orangtua Rivaille tinggal di mana?" tanyanya
"Di Kyoto awalnya, tapi mereka sudah pindah ke Perancis."
"Heichou sering bertemu dengan mereka?" tanyanya lagi, tetapi Rivaille hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
Setelah diam sesaat, Rivaille beranjak dari kursinya dan mengambil jas dan kantung yang berlabel "Little Corps Kindergarten" berwarna biru tua.
"Rivaille-san kemana?" tanyanya sambil berdiri.
"Ke sini tentunya," jawab Rivaille sambil menunjuk kantung tersebut.
"A-Aku ikut!" ucapnya. Dengan cepat, Eren mengganti bajunya dengan baju yang baru selesai dikeringkan.
Walau hari Sabtu, TK itu tetap buka, hanya saja yang bekerja hanya Hanji dan Mike, asistennya yang baru. Hanji sungguh terkejut melihat Eren yang sudah dewasa, dan lagi ia tidak berhenti bertanya segala hal yang ia ingin tahu kepada Eren. Rivaille hanya mendecih karena menurutnya Hanji itu 'menganggu'.
"Oooh! Kamu mau bekerja sambilan disini? Kami kekurangan sedikit orang lho~" tawar Hanji. Meski ia kelihatan muda, tapi umurnya hampir sama seperti Rivaille.
"Heh? Tentu!" ucap Eren, Ini bisa sekaligus latihan menjadi guru! pikirnya.
"Pakai ini Eren!" Hanji menyerahkan apron pink khusus wanita. Eren sweatdrop. "Eh tapi kan itu untuk-"
"Hahaha, maaf untuk sementara pakai ini aja dulu~" ucap Hanji dengan nada merayu lalu membisikan 'Eren Imut kan dengan baju itu?' kepada Rivaille.
Entah bagaimana ekspresi Rivaille waktu itu, ia langsung menendang dengkulnya dengan keras dan meninggal Hanji merintih kesakitan.
Dalam waktu singkat, Eren cepat berakrab dengan murid – murid- ia pintar membuat anak tertawa, lalu membuat mereka terbawa dengan permainan Eren dan juga mereka cepat nurut dengan bujukan Eren, apalagi anak yang terkenal nakal yang bernama.
"Kau tahu? Kalau aku melihat cara Eren mengajar, itu persis sepertimu," ucap Hanji kepada Rivaille, mereka sama – sama berdiri di dekat pintu, mengawasi guru baru yang sedang mengajar.
Rivaille diam, matanya masih memperhatikan Eren. "Bedanya, dia itu murah senyum, gak kayak kamu, fufufu~" ucapnya sambil terkekeh, dan terkena "headshot" dari siku Rivaille.
"Diam kau, mata empat" ucapnya sambil keluar dari ruangan. Hanji masih tertawa walau sakit menyerang kepalanya, dan murid – murid memandangnya dengan rasa takut.
Ketika bel pulang berbunyi Eren menemani anak – anak yang belum dijemput. Banyak yang nempel dengannya. Rivaille mengganti baju formalnya dengan baju santai dengan apron berwarna biru tua.
"Oh, itu Heichou~" ucap Eren sambil menunjukan jarinya ke Rivaille.
"Jangan sembarang memberi nickname ke orang, bo-bocah," ucap Rivaille, hampir mengucapkan kata kasar. Ia memukul pundaknya yang lebar, tetapi Eren hanya tertawa lepas. Ia kemudian pergi mengawasi anak didiknya yang bermain pasir, dan membantunya membuat kastil pasir.
"Ternyata benar kata Hanji-san," gumam Rivaille, menaikan alisnya. "Hum?"
"Kau ini memang lembut saat mengajar." Eren yang sedang jongkok mendongak keatas, mukanya tertuju ke Rivaille yang sedang berdiri di sampingnya, lalu memberi senyuman khas miliknya.
"…" Rivaille malah berjalan menjauh darinya. Eren panik.
"Eh, Rivaille-san?"
"Tenang."
"Huaaa!" Eren terlonjak kaget melihat Hanji yang tiba – tiba di sampingnya, dan tersandung oleh penghalang pasir yang tidak lebih dari 20cm. Anak-anak langsung tertawa.
"Dia itu kalau lagi malu begitu~" ucap Hanji sambil memberi seringaiannya yang agak menyeramkan. Eren hanya mengangguk sambil bergidik karena Hanji yang kadang agak 'error'.
Waktu sore berakhir, dan Rivaille memutuskan untuk mengantar Eren pulang. Eren dengan berat hati kembali ke rumahnya yang bisa dibilang bukan rumahnya lagi, karena ia sungguh tidak nyaman tinggal di sana.
"…"
Mereka berdua berhenti saat sampai. Untung Eren membawa kunci cadangan untuk rumahnya, yang tidak begitu mewah tapi cukup besar. Eren membuka pintu dan menengok ke belakang.
"Rivaille-san mau mampir untuk minum…?" tanyanya dengan penuh berharap.
"Tidak, aku masih ada kerjaan besok," ucapnya sambil melihat jam.
"Oh…" Ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Mereka diam sesaat, Rivaille belum menggerak kakinya untuk pergi, Eren masih menunduk, dahinya mulai berkerut.
"Hey."
Eren langsung mengangkat wajahnya dan menerima jari telunjuk Rivaille dijidatnya. Gulp.
"Jangan pasang tampang gitu," ucapnya, lalu ia menarik tangannya. "Mukamu akan berakhir seperti ku," tambahnya sebelum berbalik badan.
"Fu…Hahaha!" Eren akhirnya tertawa. Jantungnya berdebar saat melihat Rivaille tersenyum tipis.
Sadar dengan pandangan Eren, ia menghapus senyuman itu. "Kalau kau ingin kabur lagi," ucapnya sebelum pergi.
"Kau boleh lari kerumahku..."
DEG!
Jantung Eren berdebar kecang, padahal Rivaille sudah berjalan jauh. Satu kalimat Rivaille-san bisa membuat Eren terkulai lemas, dan setelah ia menutup pintu, ia tak bisa menahan diri dan duduk lemas di lantai. Rivaille-san terlalu keren… pikirnya sambil menutup mukanya yang memerah.
Tunggu! Eren mengangkat mukanya, melihat langit – langit ruangnya.
Jangan – jangan…. Aku suka Rivaille-san?
Sudah seminggu semenjak itu, Eren hilang kontak dengan Rivaille. Bukan, bukan karena Rivaille terlalu sibuk atau menghindarinya, tetapi malah Eren yang tidak berani ketemu dengannya. Kenapa? Jawabannya cukup mudah: Eren sadar dirinya polos dan gampang mengekspresikan emosinya, jadi ia sangat takut perasaaannya akan diketahui Rivaille.
Sejauh ini, aku dan Rivaille-san hanya berhubungan lewat SMS, pikirnya sambil melihat inbox di HPnya. Messagenya hanya sekali dalam sehari, dan yah, Eren bisa memaklumi Rivaille itu bukan tipe yang cerewet, mau di dunia nyata atau di dunia maya.
Tapi… aku ingin ketemu… Eren membaringkan muka di mejanya, menghela nafas panjang.
Tidak bisa! Aku tidak bisa menahan maluku, tambahnya lagi, ia beranjak dari kursi lalu berjalan menuju kantin.
Duuh… kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Rivaille-san?
Dan pikirannya tertanggu karena ia menabrak seseorang lagi. Dan lagi – lagi itu Jean.
"Hey, bego! Kemana otakmu!?" Jean menunjuk ke arah makanannya yang terjatuh.
"…." Eren masih mengusap bahunya yang agak sakit, tatapannya kosong. Omongan Jean dianggap angin berlalu.
"Hey! Aku ngomong denganmu! Sial!" Ia langsung menarik kerahnya. "Sepertinya kau minta tonjok ya!"
"Hah?" Hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Eren. Jean tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
"TUNGGU!"
Suara keras namun imut memberhentikan tinjunya Jean. "Armin?"
"Jean, sudah lupakan, ambil rotiku, biarkan dia" ucap Armin dengan nada memelas.
"Tch, kau beruntung ya!" ucap Jean samba melepaskan Eren, lalu langsung menyambar roti yang ada di tangan Armin.
"Hey, Eren kau tidak apa – apa!?" Armin mengguncangkan badan Eren sambil khawatir dengan kepalanya yang agak tidak beres.
"Huh?" Eren sadar bahwa Armin ada di depannya.
"ARMIIIIIIN!"
"Huwaaaa!"
Rupanya kebiasaan Eren memeluk Armin tiba – tiba susah dihilangkan.
Eren memutuskan untuk menceritakan kegundahan dan masalah perasaannya dengan Armin di atap sekolah yang kosong. Untunglah ia memiliki teman yang masih bisa diajak bicara. Mikasa itu lain ceritanya, sekali cerita masalahnya, Mikasa akan memaksakan dirinya untuk datang ke kotanya, dan itu bisa masalah besar baginya.
"Oh begitu, tentu saja kau menyukainya, bukankah kau sudah merasakan itu sejak awal?" ucap Armin. Ia sendiri tahu bagaimana cara Eren melihat mantan gurunya.
"I-iya! Tapi aku baru sadar sekarang, duh aku bodoh banget," ucapnya, mungkin Armin berpendapat yang sama.
"Tapi menurutku, tidak ada salahnya kok menyatakan perasaannya," jawab Armin.
"Heeh!? Tapi kalau aku ditolak bagaimana? Aku tidak bisa bertemu Rivaille-san lagi!" ucap Eren dengan anda panic, persis seperti perempuan yang sedang PMS.
"Tapi tidak ada salahnya mencoba, toh kalau Rivaille-san membencimu, ia tidak akan pernah membawamu ke apartemennya," tambahnya. Ia bisa memprediksi persentase diterimanya Eren.
"Huff, kamu enak ya tidak pernah mengalami seperti ini…" gumam Eren sambil memeluk kedua kakinya.
"Kata siapa?" Armin keceplosan, agak kesal dengan pernyataan Eren.
"Heh? Kamu pacaran!?" Eren mendekati Armin sambil memegang bahunya, Armin langsung menutup mulutnya.
"Eh!? Err… I-iya" jawabnya dengan ragu.
"Dengan siapa!? Cewek apa cowok!?" tanya Eren. Kaum Adam juga mau memiliki cowok yang berparas imut seperti Armin.
"E-etto… itu.." Eren semakin tidak sabar. "SI Jean ya?" dan Armin spontan memukul lengannya. "Tentu saja bukan! Aku lebih menyukai yang dewasa!" Armin menjawabnya agak sewot, dan mulutnya lagi – lagi keceplosan.
"What!? Berarti kamu demen juga yang om – om sepertiku?" Dan Eren terlalu jujur dengan perkataanya.
"Iya.. hey tunggu! Kenapa om – om?" Armin menjadi salah tingkah sendiri, dia sangat panik jika didesak seperti ini.
"Sudah kuduga!" Eren memeluk Armin. "Ternyata kita sama!" ucapnya girang. Haruskah Armin ikut girang juga? Ia tidak tahu pilihan mana yang lebih waras saat ini.
Eren pulang sekolah dengan hati ringan Akhirnya uneg – uneg yang ia simpan sudah keluar dan ia bisa berpikir jernih, sekarang ia tinggal tenang dan-
"Oi."
Suara berat itu menghentikan gerak Eren, ia menengok dan melihat Rivaille dengan jas lengkap sambil keluar dari mobil hitamnya.
"R-Rivaille-san?" Eren meneguk ludah, ia sungguh tidak tahu harus apa.
"Aku baru pulang dari kota sebelah," jawabnya, ia melepas kacamata hitamnya. "Hum, karena masih sore, mau makan di dekat sini?" ajak Rivaille.
"Uhm.. Maaf! Aku banyak PR!" ucap Eren sambil membungkuk kaku. "Sampai nanti, Rivaille-san!"
Eren berlari ke rumahnya. Ia harus lari dari dia, karena hatinya tidak siap, dan lagi ia tidak ingin ditolak sebelum perasaannya ketahuan. Untunglah ia sampai di rumahnya dengan selamat dan ayahnya belum pulang. Eren berbaring di kasurnya yang empuk.
Ah…Rivaille-san… ia memegang dadanya yang masih sesak. Andai kau tahu aku merasa seperti ini jika didekatmu…
Esoknya adalah hari kerja part timenya, dan ia harus siap dengan Rivaille. Eren datang lebih pagi dan membantu Hanji membereskan mainan – mainan yang sudah rusak dan membersihkan ruangan kelas, sebelum pergi untuk menyapu halaman yang penuh daun. Sebentar lagi akan musim dingin, pikirnya. Sosok yang bermata kelabu memperhatikannya dari jauh.
"Oi Eren," Eren langsung mendongak dan mundur sedikit, tubuhnya masih agak kaku. "Ya-ya Rivaille-san?"
"Kenapa kamu di sini? Kukira kamu masih sibuk mengerjakan PR," ucapnya dengan nada dingin.
"Oh-ho oh! aku baru selesai tadi malam, hehe," ucapnya.
Selagi ia kerja, ia memfokuskan dirinya ke murid – murid, berusaha melupakan perasaanya ke Rivaille untuk sementara, tetapi pandangan Rivaille terus- terusan membuat dirinya tambah gugup. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Dan sebelum ia pulang, ia dicegat oleh Rivaille lagi.
"Makan di restoran Cina itu?" tanya Eren, dan Rivaille hanya mengangguk.
Aku tidak bisa menolak lagi, Rivaille-san bukan tipe yang mudah mengajak orang…
"Oh… ayo kalo begitu." Eren menutupi debarannya dengan suara riangnya dan menaiki mobil milik Rivaille. Dari mobilnya, Eren bisa tahu pekerjaan Rivaille bukan pegawai biasa, menambah rasa kagumnya.
"Rivaille-san tidak membeli rumah baru?" tanya Eren sambil menebak – nebak.
"Buat apa? Aku tidak suka menghamburkan uang," jawabannya membuat rasa suka Eren bertambah.
Setelah mereka sampai dan duduk di kursi yang agak dalam, Eren ragu – ragu memilih makanan, karena semua harga makanannya tidak murah, tapi Rivaille terus menunggu Eren, dan tatapannya… membuat Eren tidak tahan.
"A-aku bakpao aja deh!" ucapnya. Rivaille menaikan alisnya.
"Serius? Kalau begitu pesan 2 porsi," ucapnya kepada pelayan.
"Eh? Tapi-"
"Untuk dibawa pulang" jawab Rivaille sebelum meminum kopinya.
Eren makan dengan rasa tidak nyaman. Makan di restoran hanya berdua… seperti kencan saja. Eren mulai berpikiran jauh saat Rivaille mengantarnya pulang. Tidak tidak! Aku tidak boleh berpikiran seperti itu! Ia menggeleng kepala dengan spontan, tak tahu Rivaille memperhatikan gerak –geriknya dari tadi.
"Um, makasih ya!"
"…Sama – sama."
"Sampai jumpa, Rivaille-san."
"Ya."
Rivaille melesat pergi dengan mobilnya. Eren berhenti melambaikan tangan. Ia masih merasakan debarannya. Rivaille-san tahu tidak ya? pikirnya.
Hari Minggu seharusnya menjadi hari santai, tapi Eren sungguh bad mood hari ini, dan bagaimana tidak? Selain cuacanya hujan deras, Ayahnya ada di rumah dan kerjaannya hanya mengomel kepada Eren, dan sekarang ia membahas nilainya.
"Kau ini seharusnya focus ke pelajaran! Nilai seperti ini tidak akan cukup untuk masuk kedokteran!"
"Tapi aku tidak mau menjadi dokter!" Eren membantingkan tangannya dan berdiri, tidak bisa menahan amarahnya.
"Kau mau menjadi apa selain dokter, hah!?"
"Aku ingin menjadi guru! Aku tidak mau menjadi dirimu, Ayah!"
"Menjadi guru tidak akan mencukupi biaya hidupmu!"
"Aku tidak peduli! Aku tidak butuh pendapat Ayah!"
Eren bergerak cepat ke teras dan memakai sepatu, meninggalkan Ayahnya yang memanggilnya untuk kembali ke rumah. Ia terus berlari walau ia tidak bisa melihat jalan, lagi – lagi ia berlari tanpa bawa payung atau jas hujan. Eren hanya ingin melarikan diri.
Ia berhenti di pertigaan, nafas tersenggal-senggal, mengingat hari di mana Rivaille membawanya ke rumah.
"Kau boleh lari kerumahku…"
Suara Rivaille terngiang di kepalanya, dan badannya otomatis bergerak ke arah apartemen Rivaille. Ia berharap Rivaille ada di rumah saat ia memencet tombol rumahnya.
"Ya, siapa disana?-" ucapannya terhenti setelah melihat Eren yang basah kuyup di depannya. "Eren!"
Rivaille menuntun Eren ke ruang tengah, memberi sepasang handuk kering dan melepaskan jaketnya.
"Sudah kubilang, jangan bermain hujan, bodoh," ucapnya. Eren tidak bergeming. "…Kau sedang ada masalah dengan Ayahmu?" Ia menerima anggukan kecil dari Eren.
"Sheesh… " Rivaille berdiri dan mengambil secangkir gelas. "….Ada apa lagi sekarang?"
Eren perlahan berdiri, ia terus menatap Rivaille. "Rivaille-san"
"Hum?" Ia masih memegang cangkirnya dan menuangkan air panas ke dalam cangkir.
"Selain masalah itu, aku mempunyai masalah lain…" Eren berjalan pelan mendekati Rivaille.
"Apa?"
Dan Eren spontan memeluk Rivaille dari belakang. Ia bisa mencium shampoo khas Rivaille.
"Aku menyukaimu…"
Rivaille tersontak kaget, melepaskan gelas yang langsung jatuh terpecah belah.
Suara jatuhnya membuat Eren sadar apa yang ia lakukan, dan ia spontan memakai handuknya untuk mengambil serpihan – serpihan. Rivaille mengambil sapu dan pengki kecil.
Setelah itu, mereka berdua sama – sama diam.
"Um…Rivaille-san?" tanya Eren khawatir.
"…Pergi."
"Eh!?"
"Pergi dan jangan kembali ke sini untuk sementara," ujar si mata kelabu, tatapan tajamnya menusuk Eren. Eren dengan perlahan mundur, mulutnya bergetar.
"M-Maaf, Rivalle-san…Aku-"
"Hujan sudah berhenti, sebaiknya kau keluar."
Tidak kuat dengan menghadapi kenyataan, Eren langsung kabur berlari dengan baju yang masih basah. Air mata Eren tidak bisa berhenti mengalir. Ia berhenti didepan TKnya, menangis meraung – meraung. Ia tidak kuat dengan cobaan hari ini, dan lagi ia melakukan hal terbodoh sepanjang hidupnya. Kenapa aku bisa begitu bodoh?
Setelah ia tenang, ia mengambil ponselnya. Ia mencoba menelpon Armin, tapi tidak sengaja memencet nama "Mikasa Ackerman".
"Ah!" Eren tersadar dan buru – buru mematikannya.
"Halo Eren-"
Mampus, pikirnya. Ia sekali lagi membuat kesalahan.
Salju mulai turun di halaman sekolah, dan suhu semakin dingin membuat murid malas beraktivitas. Sudah tiga hari ia berdiam diri dan terpuruk. Armin selalu mencoba menghiburnya, dan Jean berhenti mencari masalah, dan sebenarnya ia cukup prihatin, karena siapalagi temannya yang bisa ia ajak berantem?
"Armin, sudahlah, aku tidak apa – apa," ucapnya.
"Tapi kamu masih kelihatan lesu dari kemarin! Kamu bahkan tidak memakan bekalmu," ucap Armin dengan nada khawatir. Ia tidak bisa meninggalkan temannya semenjak Eren datang ke rumahnya dengan baju yang basah kuyup.
Eren mendesah panjang. Ia sudah tidak memiliki harapan, ia tidak tahu apa yang ia harus perbuat. Lalu, seorang perempuan dengan syal merah dan rambut hitam menunggunya di depan sekolah.
"Hey, tunggu, bukankah itu temanmu?" tanya Armin. Ia pernah melihat foto temannya di HP Eren.
"Eh? Mana?" dan matanya terbelakak melihat gadis cantik itu. "M-Mikasa!?"
"Oh itu si Mikasa-humph!" Eren spontan menutup mulutnya, tapi terlambat. Mikasa melihat Eren dan Armin dari jauh dan ia berlari mendekati mereka.
"Ereen!" Suaranya yang merdu membuat Eren bergidik. "Kau kenapa? Aku menerima telponmu tiga hari yang lalu dan kau tidak menjawab! Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan muka yang memelas.
"T-Tidak Mikasa, aku hanya salah pencet!" jawab Eren dengan gugup. Lalu Mikasa dan Armin memperkenalkan diri mereka masing – masing.
"Ohya, bagaimana kau tahu sekolah Eren?" tanya Armin.
"Aku mempunyai informasi sendiri" ucap Mikasa. "Nee, Eren, kau mau pulang, mau aku anterin?" tanyanya.
"Um, sebaiknya tidak usah! Aku ada tugas kelompok dengan Armin!" ujarnya dengan berbohong. Armin sempat mau protes, tetapi Eren hanya mengedipkan satu matanya.
"Oh begitu, yasudah aku mencari penginapan saja…" ucap Mikasa.
"Eeeh! Tidak perlu! Kau bisa pulang sekarang kok!"
"Tapi aku sudah lama tidak bertemu denganmu," ucap Mikasa sambil berwajah sedih. Kalau saja Eren normal… Lebih tepatnya Mikasa yang normal, sudah banyak lelaki yang jatuh hati padanya.
"Maaf Mikasa, tapi sebaiknya kau pulang," bujuk Eren. "Orang tuamu pasti khawatir…"
"Aku sudah ijin ke orang tua kok dan mereka mengizinkan."
Mampus, umpat Eren dalam hati. Sepertinya ia harus mengantar gadis ini pulang. Kalau tidak, ia akan menempel padanya sampai Eren muak.
Armin bisa merasakan atmosfir aneh dari Mikasa. Dari jauh ia kelihatan gadis cool dan cantik, tapi ternyata ia bisa mengerti kenapa Eren begitu ingin jauh darinya.
Dan belum masalah ini selesai, sesosok pria berambut eboni datang menginterupsi mereka.
"Oi Eren."
DEG.
Eren langsung kejat kejit melihat sosok yang ia sangat tidak ingin ditemui ada didepannya. Ia ingin pura – pura mati sekarang.
"Siapa kamu?" tanya Mikasa dengan hati – hati. Pertanyaanya membuat Rivaille tersinggung.
"Kau juga siapa, nona kecil? Aku bukan berurusan denganmu," balas Rivaille dengan nada dingin.
Dan adu mata yang saling ingin membunuh dimulai. Eren benar –benar ingin mati sekarang. Armin memotong pembicaraan mereka.
"Ano… aku dan Eren ada tugas, jadi kami duluan ya." Dan mereka langsung berlari menjauh setelah Eren berkata, "Aku akan menghubungimu nanti ya, Mikasa."
XxXxXxXx
"Aku tidak menyangka bahwa kamu mempunya stalker, Eren!" ucap Armin setelah mereka sampai di rumah Armin. Ibunya membawa kue kecil dan jus untuk mereka.
"Terima kasih Armin, untung saja kau mempunyai tampang imut, kalau mukamu seperti Jean, yang ada mereka malah menonjokmu," ucap Eren sambil memegang jidatnya yang pusing. Armin hanya membalasnya tertawa, lalu handphonenya berbunyi.
"Ah, sebentar." Armin berjalan keluar kamar.
"Pacarmu ya?" ucap Eren dengan nada meledek, dan sukses membuat Armin memerah.
"Shuuush…Ah Halo, Y-ya Irvin-san…" dan suaranya tidak terdengar lagi.
Eren membaringkan kepalanya di permukaan tempat tidur Armin yang polos, ia memandang lampu diatas, ia masih bingung dengan kejadian barusan. 'Mengapa Rivaille-san datang?' gumamnya. Ia masih bisa merasakan debarannya ketika memikirkan pria yang bermulut tajam itu. Sepertinya ia masih sulit melupakannya.
"Armin, ada tamu nih!" ucap Ibunya dari bawah. Eren dan Armin spontan turun kebawah.
"Siapa?"
"Halo Eren," sapa Mikasa dengan muka malu.
"M-Mikasa? Kenapa kau disini? Aku menyuruhmu untuk pulang kan?"
"Aku mengikuti sinyalmu, dan ternyata kau disini, hehe." Mikasa tersenyum lebar.
Kali ini Armin merasa horror. Ia berharap Eren bisa membuatnya cepat pulang. Dengan helaan nafas panjang, terpaksa besok Eren akan mengantarnya ke stasiun.
Eren sampai di stasiun bersama Mikasa di pagi hari. Untung cuaca tidak bersalju hari ini tetapi ia terpaksa membolos karena ia tidak ingin Mikasa terus – terusan menguntitnya sampai hari Sabtu, apalagi bertemu Rivaille, bisa gawat.
"Nee Eren, kau masih tidak nyaman hidup disini?" tanya Mikasa saat kereta sudah sampai.
"Hum… kurang lebih begitu sih."
"Kalau begitu, pindah ke tempatku saja, orang tuaku pasti tidak keberatan," ucapnya. Eren pernah menjadi penyelamat Mikasa saat ia terjebak kebakaran di pertunjukan teater, dan orang tuanya merasa hutang budi kepada Eren.
Eren tertawa kecil. "Aku tidak mau merepotkanmu." ia membelai rambut Mikasa sedikit, supaya ia tidak terlalu kecewa. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Setelah Mikasa menaiki kereta, ia berbalik badan. "Kalau ada apa –apa, hubungi aku, janji?" ucap Mikasa dengan nada memohon.
Eren tersenyum lebar. "Iya, aku janji."
Dan setelah pintu kereta tertutup rapat, ada sebuah tangan yang besarung hitam menariknya kencang, menarik dirinya dari stasiun, Eren terkejut melihat sosok yang menariknya.
"R-Rivaille-san!?"
Ia tidak menjawab, ia terus menarik tangannya. Eren merintih kesakitan. Ia juga tidak ingin bertemunya hari ini. "L-Lepaskan Rivaille-san… S-sakit!"
"Tch."
Rivaille mendorong Eren ke dalam gang sempit antara toko perhiasan dan toko baju. Cuaca yang begitu dingin membuat orang enggan keluar, dan jalananpun sepi. Eren menahan kesakitan saat punggungnya bertabrakan dengan tembok yang tebal, dan badannya terlonjak kaget ketika merasakan sesesuatu yang bersuhu hangat menempel didirinya.
"R-Rivaille-san…Anda terlalu dekat," ucapnya sambil bernafas tersengal – sengal. Ia tidak bisa mengatur nafasnya, dan debaran jantungnya terlalu kencang.
"Kau sendiri menyentuh gadis itu," ujarnya dengan nada tajam.
"T-Tapi dia H-hanya-"
"Diam! Aku tidak butuh excuse darimu." Wajahnya mendekati Eren yang lebih tinggi darinya.
"Kau tidak mau mendengar jawabanku?"
"J-jawaban apa?" Eren terpaksa menatapi mata kelabu yang penuh emosi itu, ia tidak tahu apa yang dipikirkan mantan gurunya itu, ia merasa badannya sangat tidak nyaman dengan bersentuhan dengan badannya, walau mereka sama – sama memakai jaket tebal.
Dug.
Rivaille menjedotkan jidatnya ke dagu Eren.
"Augh!"
Eren merintih kesakitan, ia hampir menggigit lidahnya sendiri.
"Kau membuatku kesal, bocah." Rivaille membukanya mulutnya. "Ini jawabanku."
Semua terjadi begitu cepat, Eren bisa merasakan bibirnya yang dingin melumat bibirnya yang agak sakit karena serangannya. Eren panik dan langsung memenjamkan matanya, tubuh bergetar. Ia belum pernah disentuh secara seksual dengan lawan jenis, maupun orang seumurannya. Pengalamannya yang nol membuat ia bingung harus melakukan apa, ia mengikuti apa mau tubuhnya.
Lambat laun ia membalas ciuman dari sang pujaan hati. "M-Mmm." Eren mulai mengeluarkan suara ketika merasa kenikmatan didirinya. Dan dalam sekejap, Rivaille mengubah ciuman lembutnya menjadi ciuman yang panas. Ia mulai membuka mulutnya lebih dalam dan lidahnya mencoba mengakses mulutnya, membuat Eren salah tingkah, karena ia bersikeras menutupnya. Rivaille menggigit bibir bawahnya agak kasar dan Eren membuka mulut karena sakitnya tidak tertahankan.
"Aargh-Afhn!"
Darah Eren bergejolak tinggi, karena ada benda asing menginvasi dalam mulutnya, benda yang penuh dengan air liur itu menjilat segala yang ada di dalam mulutnya, dari mengabsen giginya sambil menempel di langit mulutnya.
"Ahn Ahh." Eren mulai mendesah. rasa yang begitu asing di dalam dirinya membuat ia ingin mengeluarkan suara, yang justru memicu Rivaille ingin melakukan lebih. Tangan Rivaille mulai meraba bagian bawahnya, membuat Eren agak memberontak. Rivaille mengambil kosentrasinya kembali ke lidahnya ketika ia mulai beradu dengan lidahnya.
Eren kebelakakan, ia tidak tahu cara memenangkan dominasi lidah ini, dan karena kurangnya pengalaman, ia terbawa oleh permainan lidahnya, didominasi lidah Rivaille yang begitu menantang.
"Hmmfh-Aaah." Akhirnya Rivaille melepas cumbuannya, dengan saliva masih tersambung satu sama lain, mata mereka saling beradu. Rona merah menghiasi dipipi Eren- ia bisa merasa sangat panas didalam tubuhnya.
Setelah diam sesaat, akhirnya Rivaille menghancurkan keheningan diantara mereka.
"Aku seharusnya tidak menyuruhmu pergi hari itu…"
Eren mengerti apa maksudnya. "Bukan salah Rivaille kok! Aku yang memulai-"
"Tch, gara – gara gadis itu, aku kehilangan kesabaranku.." ucapnya. "Seharusnya aku menjawabmu lebih lembut…" gumam Rivaille sambil memegang bingkisan kecil, lalu memberikannya kepada Eren.
"A-aku tetap menyukai Rivaille-san," ucap Eren sambil memerah. "W-walau Rivaille-san suka kasar…"
"Dasar masochist," Rivaille menepuk jidatnya.
"Hehehe." Eren hanya tersenyum lebar.
"Ja ne.." Rivaille melambaikan tangan. "Eh!? Rivaille-san mau kemana!?"
"…Aku sedang tidak bisa menahan diriku, sebaiknya kau menjauh," ucapnya tanpa melihat wajah Eren. Eren menjadi mengerti kenapa di hari itu Rivaille mengucapkan kata – kata kasar. Tidak bisa menahan rasa suka yang membludak di hatinya, ia berlari menghampiri Rivaille.
"He-Heichou." Kebiasaannya keluar, Rivaille yang terheran dengan nicknamenya langsung berbalik.
"Mengapa kau-"
CHU!
Bibir merahnya menempel di pipinya.
"A-aku ingin selalu bersamamu," ucapnya sebelum tenggelam dalam pelukan Rivaille.
"…Dasar Bocah," ucapnya sebelum membisikan, "Me too, Eren."
FIN
(?)
Omake
"Selamat Hari Natal, Rivaille-san!" ucap Eren dengan baju yang bernuasa Santa Claus. Ia dan Rivaille merayakan Natal di rumah Rivaille, dan Eren membelikan pohon yang berhiasan natal dengan ukuran mini dengan uang tabungannya.
"Bodoh." Hanya itu yang diucapkan Rivaille. Sejujurnya ia terkejut dengan kejutan Eren- ia tidak pernah merayakan natal dengan siapapun.
"Semoga kau suka." ia memberikan sebuah kotak yang berhias merah hijau. "Selamat Ulang Tahun juga, Rivaille-san!"
"…Tau darimana?"
"Hanji-san memberitahuku.." ujarnya sambil memerah, muka imutnya sungguh menggoda Rivaille.
"Tch." Ia akan mengatakan terima kasih ke Hanji, lengkap dengan tendangan 'sayang'nya. Dengan spontan, Rivaille meminum botol yang sudah dibuka bungkusnya, dan kartunya bertulis "Dari Hanji".
"Rivaille-san, tahun ini-"
"Oi Eren, Aku sungguh ingin memilikimu sekarang"
"Eh?" Eren membeku ditempat, ia melihat Rivaille dengan muka yang menyeringai… menggoda dan tangannya memegang suatu botol mencurigakan, plus kemeja yang terbuka setengah, terpampang dadanya yang bidang.
"Rivaille ma-kyaaah!" Rivaille menindihkan badannya diatas Eren. 'Suaramu sungguh merdu' bisiknya sambil menjilat kupingnya. "Ahn! J-jangan di kuping!" Eren memerah.
"Di mana? Di sini?" Dan tangan Rivaille mulai bermain di berbagai tempat sensitifnya Eren, otomatis membuat Eren mendesah. "Ahn- B-berhenti! H-Heichou, aaah j-jangan-hhnghh-"
Tanda – tanda Eren sudah mulai merasakan 'hasrat' yang dipendamnya, salah satunya ia mulai memanggil dirinya 'Heichou'. Rivaille tersenyum lebar, tampaknya malam ini ia akan melupakan harga diri dan mengklaim Eren sebagai miliknya.
Dan dalam sekejap, Rivaille membawa kekasihnya ke dalam kamar, Eren yang tanpa persiapan dengan hubungan yang lebih 'intim' terpaksa melerekan keperjakaannya terhadap Rivaille yang sedang Beast Mode , suara desahan dan geraman terdengar jelas sampai keluar.
Di pagi harinya, Eren dengan badan sakit disana sini plus kissmark di sekujur tubuhnya memutuskan untuk tidur diranjang Rivaille lebih lama lagi, dan memeluk Rivaille yang tertidur pulas.
FIN!
A/N: Akhirnyaa kelaaaarrr! haha, maaf banyak bertele - tele dan kurang komplit penjelasannya -w- intinya Eren itu introvert dan hanya Mikasa yang dekat dengannya (dan dia alasan kenapa banyak cewek yang tidak bisa dekat dengan Eren, u know how protective Mikasa XD ) dan Armin! fav Trap kita sudah besar dan masih imut2 ajahh! XD dan aku agak males cerita soal jean, maaf ya jean ! XD (nulis namanya aja males -w- #peace)
etto pengen bikin M tapi, saya rasa terlalu cepet, jadi di skip skip aja
ohya, akan ada bonus chapter tentang Point of Viewnya Rivaille jadi stay tune ajaa!
Bila ada kesalahan mohon maaf sebesar - besarnya, semoga fiksi ini bisa menghibur! ALL HAIL TO RIVAERE! W
