SHE AND HER UNFORGETTABLE DREAM

SasoDei...

I love SasoDei!! (apaan, sih, gajeb lu dir!-ditampol)

Well, saia sedang mencoba meningkatkan kepiawaian menulis fanfic YAOI saia dengan penpik ketiga YAOI ini!

Tadinya saia berniat menulis SasoDei aja, tapi kayaknya cinta segitiga cocok juga, yah? Ita-Dei-Saso, sounds perfect!

Buat orang-orang yang tdk suka dengan YAOI ataupun pairing ini dimohon jangan misah-misuh karena ini adalah 100 hak saya sebagai author. Walaupun saya baru di sini, saia tak menerima orang-orang seenaknya mengklaim hal-hal yang tdk menyenangkan pada penpik sya. Kalau mau komentar atau kritik, saya akan sangat menerima, tapi tolong lontarkan dgn kalimat yang sopan dan tidak menyakitkan hati.

Terima kasih.


"Deidara! Mana pesanan meja 4? Kok lama banget, sih?! Mereka udah pada komplain, tuh!"

"Coming!"

Deidara menyembul keluar dari balik pintu jati sambil membawa nampan berisi berbagai makanan dan minuman dengan wajah dilipat-lipat. Sebenarnya ia tidak suka diperintah-perintah secara kasar seperti ini, tapi status 'pegawai' yang udah keburu tercap jelas di keningnya mau tak mau mengharuskannya berhati ikhlas diperlakukan seperti itu oleh sang manager kafe yang sangat menomorsatukan kepuasaan pelanggan tersebut.

Dengan perasaan dongkol setengah mati, pria berambut pirang keemasan itu berjalan secepat mungkin menuju salah satu meja booth yang ada di pojok ruangan, takut bosnya kembali sewot karena kelambatannya mengantar pesanan pelanggan.

"Hhh...pesanan Ino dan Sakura...Thai Iced Tea dua, satu Pasta Carbonara dan...hhhh...Nachos Salad pake guacamole...hhh..." Deidara dengan napas masih tersengal-sengal menyajikan pesanan dua gadis--yang sepertinya masih duduk di bangku SMA—yang tampak sudah sedikit kesal itu.

"Ekstra guacamole." Sang pelanggan yang berambut merah muda itu mendelik gemas.

"Ekstra guacamole." Deidara mengulangi dengan nyengir dan cepat-cepat balik badan.

Ya ilah, salah sedikit doang emang ngaruh gitu, Deidara membatin sendiri seiring langkahnya menuju dapur, kembali mengantarkan pesanan pelanggan yang berjumlah dua kali lipat dibanding hari-hari biasa.

Tergiur oleh kesuksesan temannya yang bekerja di luar negeri, Deidara memutuskan melanjutkan studinya ke jenjang universitas untuk memperdalam lagi ilmu seni lukisnya. Dengan bantuan beasiswa, ia pun sukses terdampar di salah satu universitas terkemuka, New York University. Namun tak disangka, hidup di kota besar dan metropolitan seperti ini membuatnya menyesal setengah mati telah merantau jauh sampai ke Amerika Serikat, negara yang kabarnya paling maju di dunia tersebut. Bayangkan, dari flat mungilnya yang berada di Manhattan, ia harus bolak-balik Manhattan-Brooklyn karena kafe tempatnya bekerja ini berada di jantung kota Brooklyn. Belum lagi NYU sendiri berada di New York City. Kalau dihitung-hitung, Deidara harus mengeluarkan kocek sekitar 30 dolar perhari. Sedangkan ia sendiri hanya dikirimi uang 350 dolar perbulan oleh orang tuanya di Shibuya.

Bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil ini pun tidak pernah tercantum di benaknya. Namun apa daya, keterbatasan ekonomi membuatnya melepas segala gengsi yang menjadi panutan hidupnya dan rela bekerja keras di sela-sela waktu kuliahnya yang kadang tidak menentu. Gaji yang tidak sebanding dengan hasil usahanya selama ini juga harus ditelannya semata-mata untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Tetapi sesulit dan sekeras apapun usahanya bertahan hidup di Manhattan, ia tetap menjalani harinya dengan senyuman yang tersungging di wajah cantiknya karena pengalaman seperti ini tak akan pernah ia dapatkan apabila terus berkutat di Shibuya. Ia tidak akan menerima pelajaran-pelajaran berharga di universitas bertaraf internasional seperti NYU, mengunjungi Central Park, mengagumi gagahnya bangunan Empire State Building, ataupun jalan-jalan mengelilingi Times Square yang menawan. Usaha yang keras selalu menghasilkan hasil yang setimpal, bukan? Sekalipun tak bisa semuanya bisa terbayar dengan uang.

"Deidara!"

Deidara pun refleks menoleh, mencari si empunya suara yang ternyata adalah bosnya yang tengah asyik duduk di balik bar minuman. Ia berjalan keluar dari pintu dapur, menghampiri sesosok pria bertampang pucat dan sangar itu dengan ragu-ragu.

"Ada apa, Orochimaru-sama?" tanyanya, sedikit penasaran. Tak biasanya bosnya yang super menyebalkan ini memanggilnya langsung ke hadapannya, kalau tidak ada hal penting yang akan ia sampaikan pada pegawainya yang cantik ini.

"Saya mau keluar sebentar, untuk sementara kamu yang jadi penerima tamu dan Konan yang saya tugaskan untuk mengantar pesanan. Mengerti?" ujar Orochimaru sambil beranjak dari duduknya. Sebelum keluar dari kafe, ia sempat melirik Deidara dengan tajam."Awas, kalau sampai terjadi kekacauan di sini, kamu yang akan pertama saya panggil."

"I-iya." balas Deidara, menelan ludah. Bosnya ini memang terkenal suka seenaknya, serius, dan otoriter apabila menyangkut kafe, terutama pada pegawai yang bernaung di bawah kekuasaannya. Ia tak segan-segan menghukum para pegawainya apabila melakukan sedikit kesalahan--yang menurutnya bisa menurunkan kepercayaan pelanggan—dengan hukuman yang aneh-aneh dan 'tidak biasa'.

Setelah melihat siluet bosnya menghilang dari pandangan, cepat-cepat ia berlari menuju ruang ganti yang berada di sebelah dapur.

"Whoa, kok buru-buru gitu, Dei?" tanya salah seorang pegawai kafe yang lain, Kakuzu, yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan kemejanya yang sedikit berantakan.

Deidara hanya melengos pelan dan menghampiri loker bajunya,"Disuruh tuker posisi sama Konan. Aku harus dandan dulu biar rapi. Oh iya, kau tahu dimana celana yang suka dipakai--?"

"Kenapa nggak pake yang punya Konan aja, sih?" sambar Kakuzu.

"Dia pake rok, pigheaded."

"Kalau kau pake rok juga nggak bakal ada yang tahu." seru Kakuzu sedikit terkekeh."Wajahmu terlalu cantik buat cowok, sih."

"Berhenti ngomong kayak gitu!" sembur Deidara sewot, lalu menatap pantulan dirinya sendiri di dalam cermin. Rambut pirang keemasan yang menjuntai menawan dibalik ikatan ekor kuda, mata biru yang terbingkai indah, hidung mungil, bibir tipis...mungkin saja yang dilontarkan Kakuzu benar. Wajahnya terlalu cantik untuk ukuran seorang lelaki.

Setelah menatapi dirinya sendiri di depan cermin selama beberapa detik, ia pun langsung meluncur keluar menuju meja penerima tamu.


"Selamat datang di Itadakimasu Grill and Bar, mau makan di sini atau di luar--Tunggu! Emang ada yang makan di luar, yah?" Deidara bertanya pada dirinya sendiri dengan kening berkerut. Ia tengah berlatih sambutan menerima tamu yang akan ia katakan apabila pelanggan datang. Sayangnya, selama setengah jam ia berjaga di balik meja penerima tamu, tidak ada pun pelanggan baru yang mampir. Namun seperti kata pepatah 'Waktu adalah Uang' Deidara memanfaatkan waktu kosongnya dengan bercuap-cuap sendiri, yang ternyata cukup menyita perhatian pelanggan yang sedang makan. Sudah lebih dari lima belas kali ia berlatih, namun tak ada kalimat yang lancar ia katakan.

"Ok, ulangi lagi. Selamat datang di Itadakimasu Grill and Bar, mejanya untuk..."

"Dei-chaan serius banget latihannya??"

Deidara langsung melotot tajam ke arah sesosok lelaki berambut perak yang tengah asyik tertawa-tawa dari balik pintu dapur.

"Diam, Hidan!!"

"Aduh, Dei-chan kita ngambek ternyata? Mau kubeliin barbie baru biar nggak marah lagi?" Hidan tidak berhenti meledeknya dengan suara keras, membuat beberapa pelanggan tersenyum geli melihat komedi dadakan yang muncul di kafe minimalis ini. Biasanya atmosfer kafe ini selalu tenang dan damai, mengingat Orochimaru selalu keep his eyes on pada setiap pegawainya agar tidak melakukan sesuatu yang merusak suasana.

"Hidan, jangan sampai aku sumpel mulut busukmu itu--"

Deidara menutup mulutnya begitu melihat seorang pelanggan datang. Berdiri tepat di hadapannya yang sedang melemparkan sumpah serapah.

Shit, umpat Deidara dalam hati.

Air mukanya langsung ia rubah semanis mungkin, lalu berbicara dengan kata-kata sesopan dan semanis mungkin di hadapan, berharap sang pengunjung baru itu melupakan pemandangan tidak menyenangkan yang dapat mengurangi poin pelanggan pada kafe ini. "Selamat datang di Itadakimasu Grill and Bar mejanya untuk berapa orang?"

Namun sedetik kemudian, ia merasa telah melontarkan pertanyaan paling bodoh sedunia. Pelanggan yang tengah berdiri di hadapannya ini jelas-jelas sedang sendiri. Tanpa siapapun. Belum lagi tampang pelanggannya yang satu ini dingin dan belagu abis!

"Satu orang."

"Errr...y-ya udah, silakan duduk. Mau duduk di mana?"

"Mau di mana lagi? Itu kan tinggal sisa satu." kata sang pelanggan sambil melirik sisa meja yang ada di pojok ruangan, membuat Deidara langsung merutuk dirinya sendiri karena kebodohannya lagi.

Sambil berjalan menuju meja tersebut, Deidara sempat meneliti singkat sosok si pelanggan yang begitu dingin ini. Dengan mata bulat cokelat tegas, rambut tousled kemerahan, serta paras baby face yang begitu kental, namun tak luput meninggalkan sirat-sirat ketegasan di balik wajah manisnya. Tampan menjadi kata yang terlalu umum untuk mendeskripsikannya.

"Emm...mau pesan apa?" tanya Deidara, menyerahkan menu book yang ia bawa-bawa dari tadi. Baru saja ia hendak beranjak dan kembali ke meja penerima tamu, sebuah suara halus menghentikan langkahnya.

"Americano coffee dan mushroom crépe."

Ya ampun, bacanya cepat amat! Yang harusnya nyatet pesanan kan si Tobi, Deidara berkata dalam hati. Ia melirik ke arah pintu dapur, Tobi belum keluar untuk menyatat pesanan dari si pelanggan yang baru datang ini.

"Saya bilang saya mau pesan americano coffee dan mushroom crépe." ujar si pelanggan tampan itu lagi, kali ini dengan nada lebih menekankan.

Aware dengan perubahan nada bicara si pelanggan berambut merah itu, Deidara cepat-cepat membuyarkan lamunannya dan menghampiri si pelanggan sambil tersenyum innocent."Ya? Americano coffee dan mushroom crépe?"

Si pelanggan hanya menghela napas kesal.

"Err...akan segera diantar! Eh, tunggu, atas nama siapa, ya?"

"Akasuna no Sasori."


Blablablah...

Thanks buat teman-teman sesama author yang selalu mendukung saya dalam berkarya...(emang ada?)

Hehehehe...becanda...hatur thanks buat kalian-kalian semuaa!

Review, plz?