Starring:
Yamanaka Ino, Deidara, Uchiha Sasuke, Uzumaki Naruto, Inuzuka Kiba, Aburame Shino, Haruno Sakura, Uzumaki Karin, Hyuuga Neji, Hyuuga Hinata, Ebisu.

Penting: Setting lokasi di Konoha dengan suasana ala kota-kota di Indonesia. (Terutama mata uang yang digunakan, antrian panjang di SPBU, motor bebek yang mudah dijumpai di jalanan, bengkel yang bertebaran, dll)

Fict ringan untuk hiburan.

Inspired by true story.

.

.

.

.

.

Yatte mi Nakerya Wakannee

Naruto by Masashi Kishimoto

Story and Cover by Lala

Family, (Romance) and Friendship

AU, CRACK, OOC? Typos? EYD? FTV? dll.

Soundtrack: River – AKB48

.

.

.

.

.

Tanpa mengurangi rasa hormat, bagi yang kurang berkenan dengan ceritanya, dipersilakan untuk memencet tombol 'kembali'. (^^)v

Enjoy

.

.

28 jam sebelumnya.

"Kau benar tidak apa-apa kalau kutinggal?"

Ino menghentikan bacaannya sejenak. Ia meletakkan majalah fashion yang sedang dibacanya ke pangkuannya. Kepalanya menoleh menatap lawan bicara berambut pirang panjang yang saat ini tengah memandangnya khawatir.

Gadis yang juga berambut pirang panjang itu lalu mengembangkan senyumnya, "Tenang saja, Dei-nii. Sudah kubilang, aku tidak apa-apa."

"Tapi ..." Deidara masih terlihat akan membantah.

"Hei, kau meragukanku?" potong Ino. Ia menegakkan punggungnya, lalu mengangkat lengan kiri rampingnya sambil berpose ala pria kekar berotot. "Lihat, aku ini kuat."

Deidara tidak tahu mau tertawa atau menangis melihat lengan mungil tersebut. Ah yah, adiknya ini memang keras kepala. "Aduh, Ino. Kau ini—"

"Ssshh." Ino mengibaskan tangannya. "Sudahlah, Dei-nii. Ini sudah hampir jam 10 pagi. Kau harus segera berangkat, kan? Aku tidak mau tahu kalau kau terlambat datang ke acaramu dan teman-tema—uhuk!"

Belum lagi Ino menyelesaikan kalimatnya, ia sudah terbatuk kecil.

"Tuh kan," ucap Deidara sambil cepat-cepat menyodorkan segelas air minum di atas meja di samping tempat tidur adiknya. "Kau masih belum sembuh betul."

Ino menerima gelas itu dan meneguk isinya sampai habis. Setelahnya, gadis berponi samping itu meletakkan gelasnya lalu melipat tangan dan menatap Deidara. "Cuma batuk ringan." Bahunya mengedik sedikit. "Flu-ku sudah sembuh. Kepalaku sudah tidak pusing. Suhu tubuhku normal. Dan ... yah, hanya batuk sialan ini saja yang tersisa."

Deidara membuka mulut.

"Sebentar lagi juga pasti sembuh," sahut Ino cepat, membuat Aniki-nya terbungkam.

Sekali lagi, Ino menegakkan punggungnya. Tangannya masih terlipat di depan dada, namun matanya memicing tajam ke arah sang kakak. "Pergi sekarang. Atau ..."

"Atau apa?"

"Geng Akatsuki tak mengakuimu lagi sebagai anggota."

Deidara tak menunjukkan reaksi berarti.

Ino menghela napas.

Huff. Memang susah punya kakak laki-laki pengidap sister complex seperti kakaknya ini. Tapi Ino tidak suka dikhawatirkan—meskipun itu oleh saudara kandung satu-satunya. Ino terbiasa mandiri dan sebisa mungkin tidak meminta bantuan atau belas kasihan orang lain. Oh yeah, tumbuh besar tanpa Ibu membuatnya jadi semandiri ini.

Hei, kalian juga setuju kan, kalau Ino itu cewek tangguh?

Ayolah, meski gadis pirang itu selalu menomorsatukan penampilan dan kecantikan, tapi dia pantang terlihat lemah apalagi sampai membuat khawatir orang-orang yang disayanginya.

Jadi, ia tidak suka Aniki-nya mengorbankan acara pentingnya—tidak usah tanya acara apa, pokoknya acara Geng Akatsuki yang hobi mengoleksi binatang piaraan bernama juubi—hanya demi dirinya. Ino tidak mau. Deidara punya hidupnya sendiri, punya acara sendiri di hari minggu seperti ini. Ino tidak akan merusak agenda kakaknya tersebut.

"Kau serius, Dei-nii?"

"Biar saja. Aku memang tidak pernah tertarik dengan wacana 'mengunjungi museum ledakan'," tukas Deidara membeberkan acaranya. "Daripada itu, aku lebih tidak tenang jika imoutou tersayangku tidak dalam keadaan baik-baik saja."

Ino berdecak gemas. "Hei! Jika tak dicoba, tak akan tahu nanti, apa kau memang benar-benar tidak tertarik dengan benda-benda yang meledak," serunya mencoba berargumen. "Dan sudah kubilang tak perlu khawatirkan aku."

"Imotou-chan ..."

Ino mengomel dalam hati. Aniki-nya memang keras kepala. Satu-satunya cara jitu mengatasi Aniki sister complex seperti ini adalah ...

"Kalau begitu aku tidak mau mengakuimu sebagai kakakku." Ino memalingkan wajahnya tak acuh dan meraih kembali majalah fashion-nya.

Dari balik majalah, Ino melirik sedikit ke arah kakaknya.

Deidara membelalakkan matanya horor. Seolah kalimat yang barusan didengarnya adalah berita bencana alam internasional atau bahkan kabar bahwa kiamat telah tiba.

"A-a-a ..." Deidara tergagap.

"Mulai besok, aku akan berangkat sekolah sendiri. Dan jangan coba-coba memaksa mengantarku," ultimatum gadis pirang itu. Membalik halaman majalahnya dengan keras.

Deidara pucat pasi sementara Ino diam-diam berusaha menahan tawa dari balik majalahnya.

Pada akhirnya, Deidara terpaksa menuruti perintah adiknya, pergi dengan para Geng Akatsuki setelah memastikan berkali-kali bahwa Ino baik-baik saja. Pemuda itu segera berlari keluar pintu saat Ino mengulang kalimat ancaman andalannya.

Yah, sebenarnya Deidara pantas khawatir. Mereka hanya tinggal berdua di Konoha. Ayah mereka sedang misi di luar kota—tidak usah tanya misi apa di mana, intinya bukan misi mengawal pembuat jembatan dan bukan di suatu desa berkabut. Jadi, wajar kan jika Deidara mengkhawatirkannya? Tapi Ino toh tidak suka dianggap anak kecil begitu. Jadi, ia memaksa Deidara untuk tetap pergi.

Jika tak dicoba, tak akan tahu kan?

.

ooOoo

.

25 jam sebelumnya.

Ino meniup poni yang menjuntai nakal di dahinya. Gadis 17 tahun itu menghela nafas beberapa kali. Ia menatap pemandangan di depan matanya. Lalu menghela napas lagi.

Gadis Yamanaka itu terbatuk pelan. Ia lalu mengeratkan syal putih kecil yang melilit lehernya. Saat ini dirinya sedang berada di salah satu SPBU dengan antrian panjang mengular.

Tadinya, gadis blonde itu hanya berniat membeli obat batuk di apotek karena—sialnya—ia baru tahu obat lamanya habis. Untuk menghemat waktu, ia memilih pergi dengan motor bebek 'Gamabunta' kesayangannya. Dan karena berpikir hanya sebentar, Ino memilih meninggalkan ponselnya yang sedang dalam pengisian baterai di rumah dan hanya membawa dompet babinya.

Usai membeli obat, Ino baru sadar indikator bensin motornya sudah berkedip genit minta diisi. Jadilah ia terdampar di sini, di antrian panjang deretan motor-motor yang hendak mengisi bahan bakar.

Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul satu siang.

Setelah menunggu agak—lumayan—lama, tibalah giliran Ino. Ino mendorong Gamabunta ungunya dan membuka tutup tangkinya.

Dasar Ino. Meskipun dalam kondisi tubuh kurang sehat, gadis itu tetap tak melupakan cara tersenyum.

Dengan senyum manis, ia berkata sebelum ditanya, "Dua tujuh." Maksudnya, membeli bahan bakar seharga dua puluh tujuh ryo.

"Dua liter?"

Ino mengerutkan dahi mendengar tanggapan petugas berseragam merah yang bahkan tidak menatapnya sama sekali tersebut.

"Dua puluh tujuh ribu ryo," Ino memperjelas maksudnya. Senyum lebarnya sedikit menipis.

"Hn."

Tanpa berkata apapun lagi, petugas bermuka datar itu memencet tombol sesuai pesanan dan meletakkan selangnya di tangki motor gadis pirang itu. Kemudian melepasnya dan malah sibuk merapikan lembaran uang di tangannya.

Ino sedikit mengerutkan kening. Hei, kemana kalimat legendaris 'Dimulai dari nol, ya ...' yang biasanya tak boleh lupa diucapkan setiap petugas SPBU mana pun?

Malas berpikir, Ino mengalihkan pandang dari petugas yang rambut hitam kebiruannya mencuat di balik topi merahnya. Ino memilih memperhatikan selang bahan bakar yang sedang mengisi tangki motornya dengan kecepatan penuh.

Sekali lagi dahinya berkerut. Hei, arus selang itu terlalu deras. Kalau begini sih, bisa-bisa—

Ino melirik petugas muka datar yang masih asyik dengan lembaran di tangannya. Ia melirik lagi ke selang tangkinya.

—bensinnya luber.

Dan itulah yang terjadi.

Ino memekik tertahan saat bensin tersebut meluberi tangkinya cukup banyak. Gadis itu mendongak cepat ke arah petugas muka datar tadi dengan raut meminta pertanggungjawaban.

Dan apa yang dilihatnya? Petugas yang kemudian menyadari hal tersebut masih memasang wajah sedatar papan tripleks dan hanya berkomentar pendek dengan nada yang juga sedatar papan talenan. "Oh. Tumpah."

Ino melotot tak percaya. Bagaimana mungkin orang di depannya mengucapkan kalimat seperti itu, dalam situasi seperti ini, dengan ekspresi yang tak lebih datar dari saat mendengar seseorang berkata 'Hari sesudah Senin adalah Selasa'.

Tapi yang kita bicarakan ini adalah Ino. Yamanaka Ino selalu tahu cara bersikap. Jadi, meskipun gadis cantik itu amat sangat kesal pada petugas muka datar yang bahkan sama sekali tidak mengucapkan kata 'maaf' dan sedari tadi tidak memandang ke arahnya sama sekali, ia masih dapat menahan diri untuk tidak meneriaki petugas itu, atau menjambak rambut aneh mencuatnya, atau bahkan menonjok wajah yang omong-omong Ino baru sadar kalau petugas itu memiliki wajah yang cukup tampan walaupun ekspresinya selalu da—lupakan.

Ino mencoba bertahan untuk tidak melakukan hal-hal di atas ketika petugas datar-tapi-tampan itu membetulkan selangnya.

Begitu huru-hara itu selesai dan tangki Gamabunta-nya sudah terisi, Ino bermaksud membayar. Gadis berponi samping itu menyodorkan lembaran uang di tangannya dan langsung diterima petugas itu tanpa banyak cakap.

Entah refleks atau kebiasaan, tanpa sadar Ino memasang senyum manis dan mengucapkan "Terima ka—"

Petugas itu sudah menghadap ke pelanggan di belakang Ino sambil bertanya datar, "berapa?"

"—sih ..." kalimat Ino terhenti.

Sial!

Petugas itu benar-benar membuatnya kesal. Oh yeah, bukankah setiap petugas SPBU itu seharusnya ramah terhadap pelanggan? Se-ha-rus-nya. Dan memang baru kali ini Ino menjumpai petugas se-menyebalkan itu, dan dia cukup menyesal sempat beramah-tamah dengan makhluk astral seperti itu.

Ino benar-benar kesal. Ia menatap petugas itu penuh dendam. Ganteng sih ganteng. Tapi sikap dan perilaku makhluk di depannya ini benar-benar cacat!

Nona Yamanaka masih menatap tajam sementara tangannya memutar tutup tangki bensin, mencabut kunci dengan kasar, lalu melempar dompet ke dalam jok motor dan menutup joknya keras-keras, kemudian menyeret Gamabunta-nya sedikit maju untuk memberi ruang pada pelanggan di belakangnya. Semua dilakukannya tanpa melepaskan tatapan sedikit pun pada Ebisu.

Ebisu?

Ya, itu nama petugas menyebalkan yang tertera di seragamnya.

Setelah puas menghujaninya dengan tatapan tajam—yang omong-omong sama sekali tidak berpengaruh pada petugas acuh tersebut—Ino bermaksud menaiki Gamabunta-nya.

Saat itulah ia sadar akan sesuatu ...

Lho.

Are?

Sebentar.

M-mana kunci motornya?

Ino merogoh sakunya panik.

H-hei, hei!

Ino memeriksa jok motornya yang sudah terkunci rapat sementara kuncinya sudah tidak menggantung lagi di sana. Tentu saja, Ino ingat tadi ia sempat mencabut kuncinya sebelum melempar dompet ke dalam—

Omo! J-jangan bilang kalau ...

— jok motornya, lengkap dengan kunci motor sebelum menutup joknya keras-keras.

"KYAAAAAAA! TIDAAAKK!"

Perlu diulang bahwa Ino meninggalkan ponselnya yang sedang dalam pengisian baterai di rumah.

.

ooOoo

.

24 jam sebelumnya.

Gadis berambut pirang itu mempercepat langkahnya. Napasnya sedikit terengah. Ia mulai berkeringat. Sesekali ia terbatuk. Sesekali pula ia mendongak ke langit.

Oh, panas matahari memang musuh kecantikan. Tapi, awan mendung bergemuruh seperti sekarang pun tak diharapkan gadis bernama Ino tersebut.

Ia ingin berdoa agar cuaca tidak semakin memburuk, tapi benaknya malah sibuk menyusun daftar sumpahan pada petugas menyebalkan tadi. Ino menyalahkan petugas tadi atas kesialan yang menimpanya saat ini. Namun otak logisnya mengakui, ini semua gara-gara salahnya sendiri.

Salah siapa ia dengan mudahnya terbakar emosi.

Salah siapa ia dengan bodohnya melempar kunci motor ke dalam jok.

Salah siapa setelah itu ia malah menutup jok keras-keras.

Aaaargh. Sudahlah. Tak ada gunanya mengingat dan menyesali semua kejadian tadi. Termasuk akal-akalannya memaksa kakaknya pergi meninggalkannya. Ia sudah berjanji sendiri untuk tidak mengganggu sang kakak. Jadi, lupakan opsi menelepon Aniki-nya. Ino juga tidak suka mengganggu hari libur sahabat-sahabatnya, jadi lupakan opsi menghubungi siapa pun. Ini adalah masalahnya. Lagi pula, ia tidak membawa ponsel kan?

Dan yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana kembali ke rumah secepatnya atau ia akan bermain hujan-hujanan sementara ia belum sembuh betul.

Ino memacu langkahnya sambil menyemangati dirinya sendiri.

.

.

Kaki Ino mulai gemetar.

Astaga. Ia pasti sudah berjalan lebih dari satu kilo sambil menuntun Gamabuntanya.

Ia memang tidak berpikir meninggalkan Gamabunta karena pikirannya sudah terlanjur ruwet. Ia juga tak memedulikan tatapan heran orang-orang di SPBU dan sepanjang jalanan yang melihatnya memacu langkah sambil menuntun Gamabunta yang malahan tak berdaya setelah diberi makan.

Tenggorokan Ino mulai kering.

Berniat berhenti dan membeli minum?

Jangan mimpi.

Dompetnya terkubur bersama kunci di dalam jok!

Ino semakin ngeri mengingat kunci rumahnya pun tertinggal di dalam jok, sementara ia tahu Deidara tidak membawa kunci rumah.

Lalu ... bagaimana ia masuk ke dalam rumah nanti? Bagaimana ia mengambil kunci cadangan motornya? Bagaimana—ah sudahlah. Tenangkan dirimu, Ino.

Jangan cari alasan untuk diri sendiri. Tiada jalan selain maju. Kau hanya perlu terus melangkah.

Yah. Jika tak dicoba, tak akan tahu, bukan?

Sial. Langit semakin tak bersahabat. Bisa dipastikan, hujan pasti akan turun sebentar lagi.

Jantung Ino berdenyut semakin cepat. Ia sudah merasa akan pingsan kapan saja. Gerimis kecil-kecil sudah mulai turun.

Apalagi yang bisa diperbuatnya?

Ya Tuhan. Ia haus. Sungguh.

Tapi toh, ia masih cukup waras untuk tidak meminum air hujan atau sirup obat batuk yang tadi dibelinya di Apotek.

Walau begitu, Ino masih merasa bersyukur. Selama ini, ia rajin melakukan senam kardio. Jadi, meski tubuhnya tidak begitu sehat, ia cukup yakin jantungnya kuat untuk menemaninya berlari hingga nyaris 2 kilometer sambil menuntun Gamabunta-nya—setidaknya ia tidak akan mati begitu saja.

Lagi pula, tinggal beberapa ratus meter lagi untuk sampai di depan kompleks perumahannya. Ia bisa menumpang dulu di rumah tetangganya dan menunggu kakaknya pulang. Atau mungkin ia akan menghubungi tukang kunci untuk menjebol pintu rumahnya. Atau ...

"Macet?"

Huh? Ino menolehkan kepalanya yang mulai berkunang-kunang.

Seorang pemuda berkostum aneh tengah berdiri menghadapnya. Ia memakai masker yang nyaris menutupi seluruh wajahnya dan topi rajut yang menutupi seluruh rambutnya. Ino sudah menganggap pemuda itu mencurigakan jika tak melihat tangannya yang tengah membawa kunci inggris dan bajunya yang berlumuran oli.

Ino mengerjapkan mata.

Montir?

Ino mendongakkan kepala ke atas. Matanya menangkap plang bertuliskan Bengkel Inuzuka. Oh, ia di depan sebuah bengkel rupanya.

Ino menurunkan pandangannya. Aquamarine-nya kembali menatap montir tadi sejenak.

Dasar Ino. Meski dalam keadaan kusut dan kepayahan begitu, ia tetap saja tak melupakan cara tersenyum. Gadis pirang itu melempar senyum, walau lebih tepatnya ringisan kecil pada montir bermasker di depannya. Setelah mengatur napasnya yang terengah-engah, ia menjawab "Bukan. Kunci motorku tertinggal di dalam jok."

"Oh?" Montir itu terlihat sedikit terkejut.

Ino segera melanjutkan perkataannya, "Tapi aku akan segera mengatasinya. Rumahku dekat sini, jadi aku hanya perlu menuntunnya sampai rumah dan mengambil kunci cadangan." Sekali lagi. Ia tidak nyaman berada dalam posisi dikhawatirkan.

Montir itu masih menatap Ino, lalu mendongak sedikit memandang langit yang semakin gelap. "Hujan deras." Lalu kembali menatap gadis pirang itu dan bertanya dengan nada ramah, "Kau tidak ingin berteduh dulu?"

Ino menggeleng. Ia justru tidak mau terjebak di dalam hujan sebelum sampai rumah. Sambil memaksakan senyum, ia berkata "Tidak perlu, terima kasih. Aku akan membawa motorku ke ru—"

"Biar kulihat."

"—mah, hei!" Ino terkejut mendapati montir aneh itu mendekat, mengambil alih motornya dan menuntunnya masuk ke dalam bengkel.

"A-pa yang kau lakukan dengan Gamabuntaku!" seru Ino yang diacuhkan montir aneh tadi.

"Gamabunta?"

Ino berbalik. Seorang pemuda berambut hitam jabrik dengan tato segitiga merah terbalik di kedua pipinya tiba-tiba muncul.

"Huh? Kau siapa?" tanya pemuda yang sepertinya seumuran Ino tersebut.

Ino mengerutkan kening sebal. Kali ini ia melupakan cara tersenyum. Ia bahkan lupa penampilannya saat itu sedang kacau-kacaunya. Sambil berkacak pinggang, ia berkata, "Oh, kau teman montir aneh ini? Bisa katakan padanya untuk mengembalikan Gamabuntaku?"

Pemuda itu ganti mengerutkan kening. Ia lalu melihat rekannya yang tengah memarkir motor ungu di dalam bengkel. "Huh? Maksudmu d—"

"Oi, Kiba. Kau bisa bawakan minum?" Montir aneh itu memotong kalimat rekannya.

"Hei!" Ino masih berusaha memprotes.

"Sudahlah, aku hanya mencoba membantumu."

"Membantu bagaimana yang kaumaksud? Lihat, hujan di luar sudah teramat deras. Aku jadi tidak bisa pulang ke rumah dan malah terjebak di sini," omel Ino.

Namun gadis bersurai pirang itu hanya bisa menggeretakkan giginya kesal. Montir aneh itu sama sekali tak menggubrisnya. Persis petugas SPBU tadi!

"Macet ya?" Kiba tahu-tahu muncul sembari membawa segelas susu panas dan meletakkannya di atas meja. Ia lalu berjongkok di dekat rekannya yang mulai mengamati motor Ino.

"Bukan," jawab montir aneh bermasker itu. Tiba-tiba ia menoleh pada Ino dan berkata, "Hei, kau. Minumlah dulu selagi hangat."

Ino terkaget. Eh?

"Lho? Kupikir kau yang minta diambilkan minum," Kiba berucap heran pada rekannya.

Ino yang mendengar itu segera menjawab, "Aku juga tidak mau."

"Jangan membantah. Kau sempat kehujanan tadi," sahut si montir sabar.

Ino menggeleng kuat-kuat. "Tidak mau. Bagaimana kalau minuman itu beracun?"

"Hei! Kau menuduhku?" Kiba tampak tak terima.

Montir itu menghela napas melihat sikap Ino. "Ya sudah kalau tidak mau. Gamabunta-mu tidak akan kukembalikan," ancamnya.

"A-apaa? Tidak bisa begitu!" sergah Ino.

"Jadi?"

"B-baik, baik. Aku minum," Ino meraih minumannya. Susah payah, ia berusaha tidak terlihat seperti orang kehausan. Hei, dia habis berlarian dua kilometer sambil menuntun motor, ingat?

Ino menyesap susunya.

Aaah leganya. Tubuhnya menghangat sekarang. Tenggorokannya sudah tak lagi kering. Kepalanya tak lagi berkunang-kunang. Jantungnya pun sudah kembali berdetak normal.

Sebenarnya Ino senang sekali mendapat minuman seperti ini. Apalagi susu cokelat hangat di tengah hujan—untuk sementara, ia melupakan dietnya. Untuk sementara pula, gadis pirang itu membiarkan dirinya menikmati minumannya sembari mengamati pembicaraan kedua makhluk di depannya.

"Jadi, kenapa motornya?" Kiba bertanya.

"Kuncinya tertinggal di dalam jok."

"Heh?" Kiba terdengar terkejut. "Lalu? Apa yang akan kau lakukan?"

"Mencoba membukanya," sahut si montir bersemangat.

"HEH? Membukanya?" Kiba benar-benar terkejut sekarang. "Kau mau membuka dengan apa?"

Montir itu tak menjawab. Tangannyalah yang meraba-raba jok Gamabunta, membuat Ino sedikit bergidik melihat aksinya.

"A-aku tidak akan memaafkan kalian kalau sampai merusak Gamabunta-ku," ancam Ino.

Kiba menoleh sedikit ke arah Ino, lalu kembali fokus pada rekannya. "Bakalan susah," komentarnya.

Montir itu tak bergeming.

"Tidak bakal bisa, kau tahu. Membuka tanpa merusaknya," ucap Kiba lagi.

"Betul," timpal seseorang berkacamata hitam yang tiba-tiba muncul di balik pintu.

Ino berjengit kaget. Ada apa dengan bengkel ini sih? Kenapa orang-orang di sini suka sekali muncul tiba-tiba?

Sosok berkacamata hitam itu berdiri menyender pintu sambil bersedekap. Seolah menunggu respons montir aneh yang masih berkutat dengan motor Ino.

"Jika tak dicoba, tak akan tahu."

Eh?

Ino memutar kepalanya cepat. Kalimat itu ...

Entah daya magis apa yang membuat Ino kemudian mencurahkan seluruh atensinya pada montir aneh yang mengucapkan kalimat sakral tadi. Dan tiba-tiba saja montir itu jadi tampak keren di mata gadis beriris aquamarine tersebut.

Ino memperhatikan bagaimana sang montir berusaha keras menyelusupkan tangannya melalui bagian bawah jok motor Ino. Lalu bagaimana setelah meraba-raba dan memaksa beberapa kali, montir itu berhasil mendorong tangannya masuk. Apa?

"Ada benda apa saja di dalam jokmu?"

"Eh? Uh ..." Ino masih tergagap tak percaya, tangan montir yang ternyata cukup kekar dan berotot itu bisa masuk menyelusup ke dalam joknya.

Bagaimana bisaaaa? inner-nya menjerit.

Dan jangan lupakan Kiba yang sudah menjatuhkan rahangnya ke lantai dan pria berkacamata hitam yang juga melakukan hal yang sama. Untuk sementara, dua orang itu dipastikan tak bisa berkata-kata.

"Hei, ada apa saja di dalam jokmu?" Sang montir mengulang pertanyaannya.

"A-ada dompetku—"

"Oh, kalau begitu ini dompetmu." Montir itu menarik tangannya susah payah dan ... tak lama kemudian dompet babi berwarna ungu muda milik Ino kini sudah berada di tangan gadis pirang tersebut.

Kembali montir itu menyelusupkan tangannya ke dalam jok motor. "Ada apa lagi?"

Bola mata aquamarine Ino masih terpaku pada dompet babi di hadapannya.

Hah? Haaaaah? HAAAAH?

Dompet babi ada di tangannya! Sedangkan kunci rumahnya ada di dalamnya! Itu berarti, ia bisa pulang ke rumah dan mengambil kunci cadangan motornya!

Ino tidak tahu dirinya setakjub apa dan sebahagia apa. Tapi—

"Apa ini? Sarung tangan?"

Ino segera mengalihkan pandang ke arah montir yang sepertinya berhasil mengeluarkan satu per satu benda-benda di dalam jok motor Ino yang lumayan besar. Ada kantung plastik kosong, slayer kotak-kotak, syal berwarna—oke itu tidak penting. Namun sepertinya, kunci motornya belum berhasil diambil. Mungkin benda mungil itu tergeletak di paling dasar.

Gadis pirang itu buru-buru berdiri dan berseru, "Sudah, tidak apa-apa. Aku sudah mendapatkan kunci rumahnya."

Montir itu menoleh. Ino tidak bisa melihat ekspresinya karena terhalang masker.

Ino membungkuk tak ingin merepotkan montir itu lebih dari ini, "T-terima kasih banyak. Tidak perlu diteruskan lagi, aku akan pulang ke rumah dan mengambil kunci cadangannya. Jadi, sampai sini saja. Aku sungguh berterima kasih." Tentu saja Ino jadi sangat tidak enak mengingat bagaimana sikapnya tadi dan bahwa montir aneh itu ternyata betul-betul membantunya.

"Kenapa tidak sekalian saja?"

Heeh?

Usai mengucap enteng, montir itu kembali menelusupkan tangannya. Namun, kali ini tampaknya ia agak kurang beruntung. Karena terlalu bersemangat, tangan itu agaknya menggores sesuatu di dalam jok dan membuat pemiliknya mendesis.

Montir itu menarik tangannya. Benar saja, ujung jari manisnya tergores sedikit dan mulai menitikkan darah.

Ino terbeliak. Ia membekap mulutnya beberapa saat.

Namun montir itu hanya bereaksi santai dengan mengelap jarinya ke bajunya yang berlumuran oli. Melihat ini, Ino tidak bisa hanya berdiri diam seperti sebelum-sebelumnya.

Cepat, gadis pirang itu bergerak. Mula-mula ia menarik paksa tangan montir yang kemudian terkejut dengan reaksi gadis itu. Berikutnya, Ino mengambil plastik apotek yang menggantung di motornya. Apa ia belum cerita, selain membeli obat batuk, ia juga membeli beberapa obat lain, termasuk obat merah, plester, kapas, dan alkohol?

Dengan cekatan pula, ia merobek kapas, menuangkan alkohol di atasnya, kemudian mengusapkannya ke luka kecil montir tadi. Setelah itu, Ino menuangkan obat merah ke atas kapas dan mengusapkannya kembali pada luka tersebut.

Sebagai penutup, Ino mengambil plesternya. Oh, jangan salahkan dirinya yang menyukai plester junior bergambar babi-babi kecil. Plester warna-warni itu pulalah yang kemudian menempel di ujung jari manis sang montir.

Ino memandang puas hasil karyanya. Sejenak kemudian, ia mulai merasa curiga dengan suasana hening di sekitarnya. Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Menoleh ke arah Kiba. Pemuda bertato di pipi itu masih dalam posisi semula, terperangah parah. Saat Ino mendongak lagi, ia mendapati pemuda berkacamata hitam dengan keadaan yang tak jauh beda dengan Kiba.

Gadis itu baru sadar tindakannya barusan cukup spontan.

Meneguk ludah, Ino menoleh menghadap sang montir yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.

Rupanya, montir itu tak kalah terkejut dengan reaksi cepat Ino. Dan mungkin saking terkejutnya, ia sampai tak bereaksi apa-apa.

Tapi, hal itu tidak lagi menarik perhatian gadis Yamanaka tersebut. Karena dengan posisi mereka yang sedekat ini, Ino bisa menatap langsung matanya.

Gadis pirang itu baru sadar, sang montir yang menolongnya—dan kemudian ditolongnya—itu ternyata memiliki bola mata biru jernih seperti dirinya.

Dag.

Dig.

Dug.

Apa ini?

Bukankah seharusnya jantungnya sudah berdetak normal dari tadi?

Kenapa kembali menggila?

Bahkan lebih cepat dibanding tadi ia berlari menuntun motornya menghindari hujan.

Kenapa begini?

.

.

.

TBC

.

.

.


A.N:

A-apa iniii? Hueee ini cerita apa sih? Yasudahlah, terlanjur di-publish :( Maaf membingungkan, kenapa begini dan kenapa begitu *plak*.

Seharusnya ini oneshot tapi karena menurutku kepanjangan, dijadiin twoshot. Chara yang belum muncul bakal tampil lengkap di last chap besok. Juga hubungan antar semua kejadian/tokoh akan dijelaskan nanti. G-gomen ...

Soal montir yang bisa 'nyungsepin' tangannya ke dalam jok motor yang terkunci itu beneran ada loh (ngalamin sendiri :o). Dan maaf untuk adegan petugas SPBU, ada alasannya di balik itu semua. Petugas SPBU yang aku temui semua ramah-ramah kok :))

Terimakasih banyaak untuk kalian yang bersedia membaca fict ini. Dengan senang hati menerima segala koreksi dan masukan untuk fict Ino pertama-ku. Hehe. Maaf jika terlalu banyak kenistaan.

Yatte mi Nakerya Wakanne. *bungkuk*

Jaaa—

Syalala Lala~

.

.

.

Berminat review? Flame juga boleh?