Jealousy

.

.

.

Joonie: Seokjin, kau sedang apa?

Seokjin tersenyum. Baru terhitung satu jam sejak Namjoon menginjakkan kakinya di negeri matahari terbit dan baru terhitung tiga puluh menit setelah Namjoon menghubunginya untuk memberi kabar bahwa dia sampai dengan selamat di sana. Tapi sepertinya kekasihnya itu sudah merindukannya, hm?

Jinnie: Sedang menonton tv, jika hanya melamuninya terhitung, kkk..

Joonie: Merindukanku?

Jinnie: Ck, kau dan rasa percaya dirimu itu perlu dikubur sepertinya. Kurang lebih baru tiga setengah jam kita berpisah, aku tidak akan merindukanmu secepat itu.

Well, itu sebuah kebohongan besar. Seokjin bahkan sudah merindukan Namjoon satu menit setelah mengantar pria itu ke bandara. Seokjin ingin sekali menyalahkan perjalanan bisnis Namjoon, tapi itu kan kewajiban Namjoon. Dan dia harus membiasakan diri agar saat dia menikah dengan Namjoon nanti dia tidak kerepotan karena rasa rindunya.

Hell, apa yang dia pikirkan?

Ponselnya berbunyi kembali.

Joonie: Maaf baru membalas sayang, ada wanita yang tersandung di depanku tadi.

Seokjin mencebikkan bibirnya. Tersandung? Seokjin rasa wanita itu pura-pura tersandung di depan Namjoon. Kalau Seokjin ada di sana, mungkin dia akan langsung menyemprot wanita itu dengan sindiran-sindiran pedih.

Jinnie: Tanyakan wanita itu, apa dia benar-benar tersandung atau itu hanya skenarionya agar kekasihku yang tampan menolongnya.

Seokjin melempar ponselnya ke belakang. Beruntung dia duduk bersandar pada sofa, jadi ponselnya tidak akan rusak dengan alasan konyol.

"Cih, menyebalkan." Seokjin meraih cangkir yang beberapa menit sebelumnya dia letakkan di meja yang ada di depannya, lalu menyesap teh dadi cangkir itu. Dia menyesapnya terlalu cepat, sehingga dia tersedak.

"Uhuk, uhuk! Sial.. Uhuk, uhuk."

Ponselnya berdering. Tangan Seokjin mencoba untuk meraba, mencari ponselnya. Dia mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menghubungi.

"Uhuk, halo?"

"Hei sayang, kau kenapa?"

Seokjin menepuk-nepuk pelan dadanya. "Aku baik, uhuk.. hanya tersedak." dia menarik nafasnya dalam setelah menjawab pertanyaan Namjoon.

"Lebih baik?"

"Bukan urusanmu."

Seokjin bisa mendengar kekehan Namjoon di sana. Seokjin harap Namjoon sedang berada di mobil atau kamar hotelnya, karena kadar ketampanan dan kemanisan kekasihnya itu bertambah ketika sedang tertawa, tersenyum, dan terkekeh. Seokjin tidak ingin ada wanita lain yang mendekati Namjoon.

"Oh sayang, kau menggemaskan bila cemburu."

Seokjin memutar bola matanya. "Tidak."

"Apa sulitnya mengaku?"

"Tidak ada yang perlu diakui."

"Ada. Pengakuan bahwa kau cemburu. Kau cemburu Seokjin, aku tahu itu."

"Shut your mouth, Joon!" pipi Seokjin menggembung setelahnya. Salah satu kebiasaannya ketika sedang merasa benar-benar kesal.

"Aku yakin pipimu menggembung sekarang."

Sial, Namjoon mengenalnya dengan terlalu baik. Cih, Seokjin ingin sekali balas dendam.

"Terserah saja. Oh ya, jika kau macam-macam di sana, maka ucapkan selamat tinggal padaku."

"Huh?"

"Jika kau macam-macam di sana aku akan memikirkan kembali tawaran kakek untuk pindah ke Melbourne bersamanya." Seokjin menyeringai di tengah ucapannya.

"Don't you dare to do that. Percayalah, aku tidak akan macam-macam, kau bisa menghubungi Chrissy untuk bertanya tentangku jika aku tidak mengangkat panggilan atau membalas pesanmu. Jangan pindah ke Melbourne dan katakan pada kakekmu untuk berhenti menawarimu hal itu."

Seokjin tersenyum lebar. Tentu dia merasa senang, Namjoonnya tidak akan macam-macam di sana dan dia bisa mengkontak sekretaris Namjoon di sana yang merupakan mantan model yang Seokjin kagumi selama ini.

Meskipun sekretaris Namjoon adalah wnaita dengan tubuh sempurna juga paras yang cantik, Seokjin merasa benar-benar tenang karena wanita yang dia kagumi itu sudah menikah dan memiliki dua anak yang menggemaskan.

"Ok."

"Oh, wanita yang tersandung tadi.."

Wajah Seokjin kembali cemberut.

"Dia mengenaliku sebagai kekasihmu dan menitipkan salam untukmu karena dia merupakan penggemarmu dan restoranmu. Ck, tidak kusangka kekasihku terkenal hingga ke luar negeri."

Seokjin menggelar senyumnya. Dia merasa bodoh. Seharusnya dia tidak asal berburuk sangka, ckck.. wanita itu penggemarnya ternyata.

"Begitukah? Ah, aku harus berkunjung ke rumah utama untuk makan malam."

Seokjin terkekeh ketika mendengar helaan kecewa dari Namjoon di seberang sana. "Akan kuhubungi lagi jika aku belum tidur. Ah, kau dimana sekarang?"

"Di kamar hotel, baru saja sampai. Jangan lupa hm? Bersabarlah untuk tiga hari ke depan. Hitung-hitung latihan, karena aku tidak bisa menjamin bahwa ayah akan berhenti mengirimku untuk urusan bisnis setelah kita menikah nanti."

Wajah Seokjin langsung merona parah.

"Bicara apa kau ini."

"Itu kenyataan-"

"Sudah ya? Selamat malam Namjoon."

"Seokjin kau pasti malu sekarang. Seok-"

Seokjin memutuskan sembungannya. Malam ini memang panas atau hanya dia saja yang merasa panas?

.

.

.

I greet you from Madina :)))

11.15, nunggu waktu dzuhur

Cerita ini bakal jadi semacam.. Entah, tapi intinya satu chapternya ngga akan lebih dari 1k words bahkan bisa kurang dari itu Tapi tetap nyambung kok.

What do you think?

Have a nice day! Peace.