Place for Departing My Heart
Disclaimer: RurouKen belonged to Nobuhiro Watsuki
Summary: Tiga tahun berlalu sejak pertarungan dengan Shishio, apakah Soujiro akan menemukan tempatnya seperti Kenshin sudah menemukan dojo Kamiyakasshin dan keluarga kecilnya?
Chapter 1-Found the Place
Sudah tiga tahun sejak aku terakhir memegang pedangku. Perkataan seorang ahli pedang menyadarkanku bahwa tidak selamanya hukum alam itu berlaku. Dia memberikan pandangan baru padaku mengenai yang kuat dan yang lemah dan karena itulah aku sangat berterima kasih padanya.
Selama tiga tahun ini aku menjalani kehidupan yang sama sepertinya sebelum dia melabuhkan hati di tempat yang bisa menerima dia apa adanya tanpa mempermasalahkan apa yang terjadi di masa lalunya. Apa yang kulakukan ini kurang lebih sama, mencari jati diriku yang sempat tersesat selama 10 tahun dan tempatku untuk melabuhkan hatiku yang mungkin menjadi tempatku beristirahat atau berjuang melindungi orang-orang yang berharga bagiku.
JJJ
Kakiku melangkah ke kota yang terlihat ramai dan damai, apakah tempat ini bisa menjadi tempatku tinggal?
Belum sampai ke pusat kotanya, langkahku terhenti saat melihat ada keributan yang menyedot perhatian orang-orang kota, karena penasaran aku mendekat ke kerumunan itu, dengan sedikit usaha menyalip-nyalip kerumunan orang, aku bisa melihat jelas apa yang menjadi permasalahan.
Beberapa orang preman sedang menyudutkan seorang kakek yang tampak gemetaran karena ketakutan. Preman-preman berbadan besar itu tampak beringas dan mereka membawa labu berisi sake-rupanya pemabuk pembuat onar.
"Saya minta maaf...saya benar-benar tidak sengaja..."
"Memangnya minta maaf saja cukup?! Lihat pakaian kami jadi kotor karena kau menabrakkan gerobakmu yang berisi pupuk kandang itu kepada kami!!"
"Tapi saya benar-benar tidak sengaja..."
"Kalau begitu, sebagai ganti ongkos cuci kemarikan uang yang ada di dikantongmu itu!!"
"Maafkan saya, tapi uang ini bukan punya saya, ini uang tuan saya yang dititipkan untuk membeli kebutuhan rumah tangga..."
"Jangan banyak bicara!!," Preman yang paling besar mengayunkan tangannya dan penduduk kota itu menjerit tertahan.
BUAKH!!!
JJJ
"Apa-apaan kamu?"
Rasa sakit menjalar dari pipi ke kepalaku. Rupanya ide buruk menjadikan wajah sendiri menjadi sansak pukulan orang besar itu.
"Tuan-tuan sekalian, bukankah kakek ini sudah meminta maaf?," Aku tersenyum dan kulihat wajah mereka terperangah.
"Apa katamu, kau mau sok jagoan ya?!"
"Bukan begitu, bukankah memukul orang tua itu tidak baik?"
"Kalau begitu kau mau mengganti ongkos cuci pakaian kami, bocah?," Mereka tertawa mengejek.
"Sayangnya saya tidak punya uang, tapi kalau Anda sekalian mau, saya bisa mencucikan pakaian Tuan-tuan..."
Mereka terdiam, wajah mereka keheranan. Mungkin mereka pikir untuk apa aku harus repot-repot mencuci pakaian mereka untuk seorang kakek yang tidak dikenal.
"HEI KALIAN BIKIN KERIBUTAN LAGI YA!!," Terdengar suara peluit di kejauhan.
"Polisi!! Ayo lari!!"
Saat mereka pergi, kerumunan berangsur menghilang. Aku menghela napas dan terduduk.
"Itte...tte...[1]," Aku memegangi pipiku yang tadi terkena bogem mentah.
"Anak muda, apa kau tidak apa-apa?"
"Hmm...saya tidak apa-apa...," Aku tersenyum.
"Maaf, kakek jadi melibatkanmu..."
"Tidak apa-apa, apa kakek ingin pulang ke rumah?"
"Begitulah, kakek sedang membawa pupuk kandang dari rumah majikan kakek untuk kakek jadikan pupuk di rumah tapi kakek rupanya sudah tua, gerobak itu tiba-tiba oleng dan pupuk kandangnya mengenai mereka..."
Aku memandang gerobak yang terbalik itu. Masih ada sekitar lima karung lagi yang masih utuh.
"Apa kakek butuh bantuan? Saya bisa membantu..."
"Ah, tidak perlu...kakek sudah merepotkanmu..."
"Apa kakek yakin?"
"Iya, sudahlah...kakek pulang dulu ya anak muda..."
"Hati-hati, kek..."
Aku memandang cemas pada kakek yang benar-benar sudah renta itu. Dia kelihatan kepayahan saat harus mendorong lima karung pupuk kandang itu dan tidak tunggu lama, dia kembali terguling.
"Kalau begini, dia bisa kena masalah lagi..."
Setelah menghela napas melihat kecerobohan kakek itu, kakiku kulangkahkan ke tempat kakek itu yang masih repot meminta-minta maaf pada orang yang sudah terganggu jalannya dan akupun memunguti pupuk kandang itu dan mengembalikannya ke gerobak setelah sebelumnya aku membalikkan gerobak yang terguling.
"Anak muda, tidak perlu repot-repot begitu..."
"Saya tidak merasa kerepotan kok...sudah kakek tenang saja, katakan saja di mana rumah kakek, saya akan mengantar gerobak dan karung-karung ini ke sana..."
JJJ
"Kakek benar-benar merasa tidak enak..."
"Tidak apa-apa, saya justru merasa berdosa jika membiarkan kakek kerepotan...," Aku tersenyum.
Kami sudah sampai ke rumah kakek itu, rumah kecil yang rupanya tidak jauh dari tempat kami bertemu. Halaman di depan rumahnya ditanami berbagai jenis sayuran tapi aku merasa lahan itu kurang dirawat.
"Kalau begitu, saya permisi dulu..."
"Tunggu dulu anak muda...," Dia masuk ke dalam dan memanggil seseorang.
"Ada apa kek?," Tanya suara dari dalam yang perlahan mendekat keluar
"Nenek...anak ini telah membantu kakek ketika kakek mendapat masalah dengan preman..."
"Bu...bukan apa-apa kok...," Aku jadi merasa tidak enak.
"Bahkan dia membantu kakek mengantarkan gerobak dan karung-karung ini...karena membantu kakek, dia jadi kena pukul..."
"Benarkah? Kalau begitu duduklah dulu...beristirahatlah..."
"Tidak, saya..."
"Kalau melihat penampilanmu, sepertinya kau sedang berpergian, kau tidak terburu-buru kan?"
Wajah pasangan tua yang mengharap agar aku mampir sebentar di rumah mereka membuatku tidak bisa menolak.
"Tidak...saya tidak terburu-buru..."
JJJ
Nenek menyediakan secangkir teh dan sepiring kue dango dan senbei kemudian dia duduk di samping kakek. Keduanya melihatku antusias, aku benar-benar merasa tidak enak.
"Menginaplah di sini...nenek sudah menyiapkan air mandi dan pakaian ganti..."
"Ah...tidak perlu...saya akan melanjutkan perjalanan saya, terima kasih atas kebaikan kalian berdua..."
"Nenek, sudahlah...mungkin dia ada urusan penting yang tidak bisa di tinggal..."
"Tapi kek...Nak tinggallah di sini semalam saja, malam-malam sangat berbahaya dan lagi...nenek senang kalau kau mau menginap di sini...," Si nenek terlihat sedih.
"Eh? Apa baik begitu? Saya kan orang asing..."
"Kami ini tidak dikaruniai anak, jadi kami sangat senang kalau ada anak muda yang mampir ke sini...," Jelas kakek.
"Menginaplah di sini, ya..."
"Eh..."
"Ayolah, apa kau mau kami memohon?," Si kakek menggenggam kedua tanganku.
"Ah, tidak perlu...baiklah, aku akan menginap..."
"Terima kasih!!"
Aku tersenyum, mereka berdua kelihatan sangat gembira. Aku tidak bisa menolak permintaan mereka.
"Nah, sekarang mandilah...kau pasti jadi bau karena pupuk kandang itu...," Kata kakek sambil menyerahkan pakaian ganti padaku.
"Kamar mandinya ada di belakang...," Sahut nenek antusias.
Aku jadi tidak tahu bagaimana harus bersikap kecuali terus berterima kasih pada mereka.
Seusai aku mandi, makanan sudah tersedia. Kalau begini aku jadi merasa seperti di layani.
"Tidak perlu seperti ini..."
"Tidak apa-apa...kami merasa senang saat melakukannya..."
"Benar nak, ayo makan yang banyak...nenek membuat nasinya agak banyak tadi..."
"Iya, wah...seperti firasat saja akan mendapat tamu ya kek..."
"Benar, nek...apalagi anaknya baik..."
"Kalian terlalu memuji saya...," Aku tersenyum.
Setelah obrolan singkat, aku menghadap nasi dan lauk yang terhidang. Aku mengambil sumpit, merapatkan ke dua tanganku dan memejamkan mataku, berdoa.
"Itadakimasu...[2]"
JJJ
"Dari tadi kita bicara...tapi kau belum menyebutkan namamu nak..."
"Ah, maaf...nama saya Seta Soujiro..."
"Soujiro ya? namamu bagus...pasti orang tuamu sayang sekali padamu ya?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan nenek. Orang tua? Orang tuaku sudah lama sekali meninggal, bahkan aku tidak ingat wajah mereka. Yang aku ingat hanyalah perlakuan kejam saudara-saudara tiriku. Ya karena pada dasarnya aku ini hanya anak haram yang di beri nama keluarga mereka agar mereka tidak merasa malu dan mereka bisa mendapatkan budak yang tidak perlu di bayar.
"Ya...," Jawabku hambar sambil tersenyum.
"Kau juga kelihatan tampan dan bersih, pastinya orang yang merawatmu adalah orang yang benar-benar menyayangimu ya?"
"Iya, beliau sudah mengajari saya banyak hal...," Pikiranku kembali terkenang akan Shishio-sama yang sudah tiada.
Walau dia mengajariku prinsip 'yang kuat akan memakan yang lemah'-prinsip yang selalu kupegang sampai aku menyadari bahwa itu salah dan bisa di ubah, tidak menutup kenyataan bahwa beliaulah sosok pengganti orang tuaku dan beliau juga memperlakukanku dengan sangat baik.
"Lalu, sudah berapa lama kau memegang pedang?"
"Eh?," Aku tersentak dari lamunanku dan memandang kakek.
"Tangan kananmu...punya kapalan yang dimiliki pemain pedang kemudian tangan kirimu...maksudku ibu jarinya, ada bekas goresan tipis tapi dalam, itu luka biasa yang dimiliki pemain pedang saat memasukkan pedang ke sarungnya..."
"Begini-begini...waktu muda kakek juga ikut ketentaraan dan membela negara...," Wajah nenek begitu cerah menceritakan masa lalu suaminya.
"Begitu...saya sudah memegang pedang selama 10 tahun dan tiga tahun belakangan ini saya mencoba untuk meninggalkannya...," Aku tersenyum.
"Eh? Kenapa?"
"Ada banyak hal...," Aku masih mempertahankan senyumanku.
"Begitu ya? memang sekarang pedang sudah dilarang oleh pemerintah, hanya orang-orang tertentu saja yang diizinkan untuk membawanya...tapi bagi orang yang sudah memegang pedang dalam waktu lama sepertimu pasti sulit sekali...seperti diriku yang sewaktu mendapat wamil tetap saja memikirkan ladang pertanian..."
"Sekarang saya sedang mengusahakannya..."
"Petani walaupun dia jauh dari ladang dan tidak memegang cangkul seumur hidup tetaplah petani, begitu juga dengan ahli pedang walau berusaha sekeras apapun berusaha menjauhkan diri, dia tetaplah seorang ahli pedang..."
Aku terdiam mendengar perkataan kakek yang bermakna dalam itu. Semua yang dikatakannya memang benar dan itupun berlaku untukku. Pembunuh tetaplah pembunuh sampai dia mati.
"Tunggu dulu, Nak...berapa usiamu tahun ini?," Tanya nenek tiba-tiba.
"Ada apa nek?," Tanya kakek balik.
"Sepuluh tahun dia bermain pedang tajam? Dengan wajah semuda ini? Pertama kali dia memegangnya umur berapa?"
"Ooh iya...Nak Soujiro, berapa umurmu?"
"Saya? Tahun ini 21 tahun...," Aku tersenyum.
"Kalau sudah bermain pedang 10 tahun dan tiga tahun belakangan ini berhenti...maka...pertama kali kamu mengayunkan pedangmu itu...," Nenek menghitung dengan panik.
"Saat...umurmu...de...delapan tahun?!"
Aku tersenyum membalas jawaban yang mereka dapatkan sendiri. Rasanya menyenangkan melihat mereka terkejut mengetahui kenyataannya.
JJJ
Aku berguling di dalam selimut hangat, aku belum juga bisa memejamkan mataku karena perkataan kakek tadi.
"Apa Himura-san juga pernah dikatakan seperti tadi?," Gumamku pelan, takut membangunkan kakek dan nenek.
Saat aku menghela napas, uap putih mengebul dari mulutku. Seketika kusadari udara malam ini begitu dingin.
"Saya tidak boleh berlama-lama di sini...walau di sini...menyenangkan dan hangat..."
JJJ
"Kau mau benar-benar pergi?"
"Mm...terima kasih atas kebaikan kalian..."
"Kau mau pergi ke mana? Apa kau punya tujuan?," Tanya nenek cemas.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya sambil tersenyum untuk menenangkan hati mereka.
"Sessha wa Rurouni...[3]"
"Kalau begitu jangan pergi, tinggallah di sini...kau tidak punya tujuan tetap...bagaimana kalau kau sampai sakit? Tidak ada yang merawatmu...Di luar udaranya sangat dingin kalau malam...," Pinta nenek.
"Tidak boleh begitu nek, saya pasti akan baik-baik saja...kalian sudah berbaik hati menampung saya yang asal usulnya tidak kalian ketahui...kalau saya berlama-lama di sini siapa tahu akan merepotkan kalian..."
"Kami tidak mempermasalahkan masa lalumu..."
"Eh?," Aku menengok ke arah kakek.
"Setiap orang punya hak untuk menyimpan masa lalunya sendiri...tidak usah kau katakan juga, kami memahaminya..."
Ucapan kakek membuat air mataku terkumpul dan membendung pengelihatanku ditambah dengan pegangan tangan nenek yang begitu kuat di kedua tanganku, mencegahku agar tidak pergi.
"Soujiro, apa kau tidak lelah berpergian tanpa tujuan? Tinggallah disini...jadilah cucu kami...," Pinta nenek sambil menangis.
"Apa...boleh?," Tanyaku terbata.
"Tentu saja...tinggallah disini...kami mohon...," Suara nenek semakin terdengar bergetar.
"Mm...saya akan tinggal..."
Nenek mendekapku erat, kakek berjalan mendekat kemudian memelukku, sementara aku tidak berhenti meneteskan air mata. Perasaanku terasa hangat, perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya-perasaan dibutuhkan dan disayangi.
JJJ
"Kakek pergi?," Tanyaku suatu pagi yang cerah.
"Iya, setiap dua hari dia pergi kerumah majikan kami...dia masih bekerja di sana...memasak dan melakukan bersih-bersih juga merawat salah satu anggota keluarga majikan kami...dia baru akan kembali seminggu lagi..."
"Hee...padahal kakek sudah tua...kenapa masih bekerja berat begitu?"
"Itulah sumber usaha kami nak, kalau hanya mengandalkan ladang yang tidak seberapa, kami tidak akan bisa hidup..."
"Ah, kalau begitu...saya hanya akan menambah beban kalian...saya..."
"Tidak...tidak begitu nak...sudah jangan pikirkan hal itu..."
"Nenek...kalau ada yang bisa saya bantu...akan saya kerjakan..."
"Tidak usah...nenek masih sanggup..."
"Nenek menganggap saya cucu kan?"
"Iya...nenek menganggapmu sebagai cucu sendiri..."
"Saya harap, seperti pada cucu sendiri...nenek tidak usah segan meminta apapun dari saya..."
Mendengar perkataanku, nenek tersenyum dan meletakkan wadah mencuci beras yang sejak tadi di pegangnya.
"Kalau begitu, Soujiro...tolong kau garap ladang kita ya..."
JJJ
Matahari bersinar terik dan aku baru menyelesaikan separuh pekerjaanku mengolah ladang. Aku mengayunkan cangkul dan mata besinya kembali menghujam tanah.
"Tidak kusangka...melakukan pekerjaan kasar seperti ini lagi...," Aku tersenyum pada diriku sendiri dan kembali berkonsentrasi pada pengolahan ladang yang rencananya akan ditanami kol ini.
Saat menghela napas sesaat, aku melihat seorang pria tegap berjalan menuju rumah kakek dan nenek. Dia juga menatapku tapi tetap berjalan dan akhirnya berhenti di depan rumah dan mengetuk pintunya.
"Ah...silakan masuk...," Nenek membungkuk-bungkuk.
Pria tegap itu masuk dan kemudian pintu kembali tertutup. Ah, mungkin tamu penting, tanah ini pokoknya harus sudah selesai hari ini jadi besok bisa mulai di tanami.
"APA?!!"
JJJ
Aku berlari begitu mendengar teriakan nenek, tanpa peduli apapun aku membuka pintu dengan kasar-takut sesuatu yang buruk terjadi pada nenek.
"Nenek...apa nenek tidak apa-apa?"
"Soujiro...," Terlihat ada genangan air mata di sudut-sudut matanya.
"Siapa anak ini nek?"
"Dia...cucuku...pasti kakek sudah cerita pada kalian kan?"
"Begitu...," Orang itu mengangguk-angguk.
"Ada apa ini?," Tanyaku bingung.
"Saya membawa kabar pada nenek, tadi di tempatnya bekerja, kakek terjatuh dan pingsan...karena itu beliau ada di rumah majikan kami..."
"Kenapa tidak dibawa pulang?"
"Kakek bersikeras bahwa dia tidak ingin pulang kalau semua pekerjaannya di kediaman tuan kami belum selesai..."
"Kakek itu keras kepala sekali...padahal seharusnya dia sadar akan usianya...," Nenek mengelap air matanya.
Aku tidak tega melihat nenek menangisi pasangan hidupnya yang entah sudah bersamanya sejak berapa lama. Kakek benar-benar membuat khawatir nenek.
"Tuan, apakah kakek akan mau jika ada yang menggantikannya?"
"Itulah masalahnya, semua pelayan di rumah Tuan sudah memegang peranan masing-masing kalau ada yang keluar jalur maka akan sangat mengganggu keteraturan yang sudah lama berjalan di rumah itu..."
"Kalau begitu biar saya saja yang menggantikan kakek..."
"Soujiro!?"
JJJ
Aku diantar oleh pembawa pesan yang tadi datang kerumah kakek dan nenek ke rumah yang besar. Seberapa besarnya itu tidak membuatku terkejut karena benteng Shishio-sama jauh lebih besar daripada rumah ini.
"Kemarilah, Soujiro-san...," Tuntun orang itu dan aku mengikutinya makin masuk ke bagian dalam rumah itu.
Dia mengantarku ke sebuah ruangan dan dia membuka ruangan itu. Kelihatannya itu adalah ruangan untuk tempat pegawai tinggal.
"Kakek, cucumu datang..."
Terdengar batuk dari arah dalam dan aku mendekatinya. Kakek terbaring dengan selimut dan wajah pucat.
"Sou...jiro...jadi...merepotkanmu..."
Aku menggeleng dan tersenyum, kakek terlihat lega melihat senyumanku kemudian dia terbatuk lagi.
"Kakek terlalu lelah, sebaiknya kakek beristirahat di rumah, nenek cemas..."
"Tidak...bisa...aku harus bekerja...tidak ada yang mengurus...pekerjaan... uhuk...uhuk..."
"Sudah...beristirahatlah, biar saya yang menggantikan kakek..."
"Hah?!"
"Begitu tidak apa-apa kan?," Aku menoleh pada si pembawa pesan dan kulihat dia mengangguk.
"Ta...tapi Soujiro...pekerjaan ini berat...dan lagi ada..."
BRAKKK
Pintu kamar dibuka dengan kasar, di depan pintu itu kulihat seorang gadis dengan rambut sebahu dan kimono pendek. Kakek terperangah dan mencoba bangkit dari kasurnya sementara si pembawa pesan membungkuk.
"KAKEEEKKK!!!"
~to be continued~
[1] Sakit…sakit…
[2] Selamat makan
[3] Saya seorang pengembara
A/N: Pertama kali posting pake bahasa Indonesia, sebenernya ini fic kedua yang gw posting, yang pertama pake bahasa Inggris kategorinya Bleach judulnya Itoshii go yo, kalo ada waktu tolong di baca dan di review ya, kekurangan reviewer nih,
(this site)/s/4707945/1/itoshii_go_yo
damn I can't write the URL
ngomong-ngomong soal cerita kenapa yang ini nggak gw tulis pake bahasa Inggris, sebenernya cerita ini udah lumayan lama dan jadi konsumsi pribadi aja (gw sama ade' gw) dan setelah gw menemukan kepercayaan diri buat posting, gw mutusin untuk ngirim cerita ini soalnya ini salah satu doujin yang paling gw suka. Ditambah ngartiin ke bahasa Inggris...itu sedikit...menyebalkan...apalagi untuk cerita yang udah jadi.
Nah selain fic Bleach yang udah gw kasih URL-nya, cerita ini juga butuh dukungan...hehe...klik tombol di bawah n lemme know your opinion!!
