Diclaimer: I make no profit. Kuroshitsuji and CSI belongs to its brilliant maker.

Warning: Lil' shonen ai. Lil bit gore. A lot of typos and weird character's antics.

A/N: Hella, peeps. It's been awhile since my last story that I've been abandoned. Blame school . ( I have no shame. Yes.)

"Kau..tahu kan apa akibatnya?"

Suara rendah yang lebih tepat disebut bisikan itu memenuhi ruangan gelap yang berisikan 4 orang termasuk sumber suara itu sendiri. Dua pasang mata melebar, takut akan arti dari kata kata yang baru saja dilontarkan. Seringai timpang mewarnai wajah sosok yang tengah mengenggam, sejumput rambut berwarna biru keabuan milik seseorang yang hanya terduduk lemas, sudah lama tak sadar sedari tadi.

"Heh—sudah ku bilang jangan pernah bermain-main denganku, Vincent."

Tangan yang mengenggam helai keabuan milik bocah bernama Ciel Phantomhive itu semakin menguat, begitu pula gelengan yang semakin cepat seakan akan bisa mematahkan kedua kepala milik Vincent dan Rachel, kedua orang tua Ciel. Sementara, sang penjahat hanya menyeringai lebih lebar, dan tanpa menunggu lebih lama segera memukul pipi Ciel, yang langsung menyadarkan bocah berumur 15 tahun itu. Iris safir milik Ciel menyala dalam gelap, memancarkan ketakutan yang amat sangat.

Siapa sih yang tidak takut kalau ada senjata api ditodongkan ke kepalamu?

Namun, alih-alih menembakkan pistol di tangannya, sosok dengan pakaian hitam-hitam itu malah melempar Ciel, membuatnya berinteraksi dengan dinding, dan membuat Ciel mengeluarkan pekikan kecil kesakitan. Dan setelahnya, sang penjahat menjambak rambut panjang Rachel yang tergerai dan tanpa basa basi langsung menembakkan peluru hingga bersarang di kepala nyonya Phantomhive. Lagi-lagi, satu-satunya suara yang tercipta hanyalah isak yang tertahan dan nafas berat yang keluar dari Vincent.

"Humm—very well. Vincent, sekarang giliranmu, eh?"

BAM!

Peringatan terakhir telah keluar bersama dengan satu jiwa milik kepala keluarga Phantomhive yang pergi.

Silenced Silence.

Evidence #1: Phantom's Killer

"Disini Sebastian 01 Michaelis—tolong masukkan lokasi Phantomhive case ke GPS milikku. Trims."

Sebuah desahan panjang keluar dari bibir pemuda bertitel Sebastian Michaelis ini. Sebastian yang tengah mengendarai mobil SUV hitam miliknya kembali memandang pada GPS yang menempel di dashboard karna suara wanita yang mulai keluar. Hmph—another case. Kali ini, korbannya adalah keluarga Phantomhive, pemilik perusahaan Funtom yang bergerak di bidang mainan. Dari telepon yang tadi diterima oleh Sebastian, yang tersisa hanyalah seorang anak berumur 15 tahun yang merupakan anak dari kedua pasangan malang yang terbunuh tadi malam.

Tsk—what a pity.

Sirene yang mengaum dari kejauhan menjadi pertanda bahwa lokasi kejadian mengenaskan tersebut terjadi sudah dekat. Dengan tangan kanan masih di setir mobil, Sebastian membetulkan letak dasinya dengan tangan kirinya yang bebas. Walaupun pagi-pagi buta begini, sebagai anggota unit khusus kejahatan, Sebastian harus tampil rapi juga kan? Persetan dengan segala darah atau apapun yang akan meninggalkan noda di mantel hitam atau kemeja putihnya.

Lagipula noda itu bisa dibersihkan kan? Omong-omong soal bersih bersih, Sebastian punya kasus untuk dibersihkan.

Rumah berlantai dua dengan cat putih masuk ke dalam pandangan Michaelis muda yang baru saja sampai di tikungan dekat rumah tersebut. SVU miliknya tak bisa maju lebih dekat karena orang orang yang mengenakan piyama dan gaun malam berkumpul membentuk kerumunan yang menghalangi jalan Sebastian. Che—merepotkan. Sebastian harus menekan klaksonnya berkali-kali sampai kerumunan itu membelah, memberikan cukup jalan baginya untuk menemui sang partner, Bard, yang sudah lebih dahulu berdiri di depan pagar tinggi yang sedikit terbuka.

Sebastian turun dan mengunci mobilnya, sebelum berpaling dan sedikit mengangguk, menunjukkan Sebastian mengetahui kehadiran sosok tegap yang berprofesi sebagai investigator tersebut. "Bard." sahutnya, yang hanya dibalas dengan anggukkan semata dari yang bersangkutan. Hmph—payback, eh? Tanpa banyak omong, Sebastian mendorong pagar di depannya dan segera masuk ke dalam rumah yang telah dibatasi dengan garis kuning khas polisi, berharap menemukan suasana yang berantakkan, atau setidaknya sedikit tak terkendali.

Sayangnya, Sebastian dikecewakan.

Semuanya rapi, tak ada satu pun barang yang kelihatannya out of place atau aneh. Dengan dahi berkerut, Sebastian melanjutkan pencariannya beserta Bard yang mengikuti langkah Sebastian di belakang sambil terus memberitahu Sebastian tentang kabar terbaru dari kasus Phantomhive ini, termasuk kabar dari korban selamat. "—nya mendapat sedikit luka di kepala akibat benturan dengan dinding, selebihnya hanya lecet lecet biasa. Heh, lucky kid." ucap Bard sambil memandang Sebastian, yang kini telah berhenti dan mengamati pigura berisi foto di tangannya.

Tiga sosok terekam dalam film yang dicetak tersebut. Seorang pria dengan mata safir biru yang indah yang tersenyum lebar hingga memamerkan deretan putih giginya tengah memeluk seorang bocah tak lebih dari 14 tahun yang tampaknya kaget atas kelakuan pria dibelakangnya, sementara sosok lain, kali ini seorang wanita hanya tersenyum lembut melihat kedua oknum sebelumnya. Well—menghangatkan hati sekaligus menyedihkan. Mengingat keluarga ini tak akan bisa membuat kenangan indah seperti dalam foto ini.

Kali ini Bard melangkah lebih dulu, menuntun Sebastian ke ruangan tempat terjadinya pembunuhan tadi malam. Sebastian dalam diam melangkah, setelah menaruh kembali pigura itu dengan hati-hati ke tempatnya. Sampai di ujung lorong, Bard membuka pintu di depannya dan menuruni tangga yang ada di balik pintu tersebut yang mengarah ke basement. Hm, kali ini Sebastian menemukan apa yang ia cari.

A mess.

Noda darah menghiasi dinding dinding yang tadinya berwarna putih menjadi kecokelatan. Sementara genangan kental lain mengotori lantai beton di ruangan ini. Dua tubuh kaku berserakan, tak perlu diiedntifikasi lagi, Sebastian sudah tahu pasti pemilik tubuh tersebut. Vincent dan Rachel Phantomhive. Vincent, yang tadinya seorang pengusaha ternama yang terkenal akan kejeniusannya menciptakan terobosan terbaru dalam bidang mainan kini hanya sebuah tubuh yang teronggok bagai daging sapi, tak lebih. Hanya bedanya, Vincent terikat dengan tali tambang di kedua tangan dan kakinya, sementara orbs safirnya membelalak lebar tak menutup.

Iris cokelat kemerahan milik Sebastian kini beralih ke tubuh selanjutnya yang berada di dekat pintu. Tubuh dengan otak yang menghambur keluar, dan kali ini, tanpa tali di pergelangan kakinya. Rachel Phantomhive. Wanita dengan surai panjang kekuningan indah, kini terbujur kaku dengan isi otak yang sudah tak utuh. Menjijikkan memang, namun bagi Sebastian yang sudah mengemban pekerjaan ini selama 2 tahun belakangan, ini pemandangan biasa, bahkan di umurnya yang masih 22 tahun ini. Sebastian berjongkok di dekat mayat Rachel, sambil memakai sarung tangan karetnya.

"Mati langsung karena tembakan langsung ke kepala, lubang bekas tembakan sesuai dengan kaliber 9mm. Bard, apa kau menemukan pistol atau senapan di rumah ini?" sahut Sebastian sambil berpaling dari tubuh kaku di depannya menuju Bard yang tengah memfoto noda yang terpercik ke dinding. Bard menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Sebastian, "Well—ya dan tidak. Vincent Phantomhive memang dikenal sebagai kolektor pistol, menurut catatan kepemilikan, Vincent tidak mempunyai 9mm."

Hening, hanya bunyi kamera yang sedari tadi terus di tekan Bard dan napas Sebastian yang tengah memeriksa luka di kepala Rachel.

"Seb—bukankah ini aneh?" Bard berkata sambil terus memfoto dinding di hadapannya. Kali ini, Sebastian berdiri dan menghampiri Bard, "Apa yang aneh?" balas Sebastian sambil memegangi dagunya. Yang ada hanya percikan percikan darah, tak ada yang spesial.

Bard menunjuk dinding dengan ibu jarinya, "Kau bilang tadi Rachel meninggal karena tembakan langsung ke kepala. Dan Vincent, menurutku sih ya, mati karena peluru yang bersarang di jantungnya. Kalau begitu, percikan darah ini dari mana?" Cokelat kemerahan bertemu dengan cokelat gelap, keduanya sama sama bingung, sama sama ingin bertanya dan menemukan jawaban. Namun satu akhirnya mengalah dan berpaling. Sebastian mengambil kapas dari tas pinggang yang ia pakai dan menyapu sedikit darah di dinding tersebut, untuk diberikan ke bagian forensik.

"Entahlah, Bard. Lebih baik kita tanyakan pada forensik dulu sebelum membuat hipotesa yang tidak tidak."

Police Dept, Tanaka's Office.

Sosok dengan rambut putih yang terikat panjang itu kembali menghela napas sambil menatap permukaan meja yang berwarna cokelat. Lelah, walaupun hari masih terbilang pagi. Beberapa hari belakangan, unit kejahatan yang dipimpinnya disibukkan dengan kasus kasus yang berdatangan, ditambah lagi dengan kasus baru, kasus Phantomhive yang baru saja terjadi tadi malam. Menyesap sedikit teh di mejanya, Tanaka baru saja ingin bangkit untuk menuju lab forensik saat salah satu bawahannya, Maylene masuk sambil membawa sebuah folder.

"Tanaka, sir. Bard dan Michaelis sudah berada di tempat kejadian, sementara Ciel Phantomhive sudah diperiksa keadaannya dan kini tengah berada di rumah sakit Harley. Dan folder ini berisi laporan terbaru dari Michaelis dan Bard tentang keadaan di tkp."

Tanaka hanya mengangguk sambil meraih folder berwarna kuning dari tangan Maylene, dan setelah membuka buka sambil sedikit membaca folder tersebut, Tanaka menaruh folder tersebut di atas mejanya dan berpaling ke arah Maylene seraya berkata, "Very well, Maylene. Sekarang, ayo kita mengunjungi Ciel Phantomhive."

[Ciel's PoV]

..gelap.

Hanya gelap yang bisa Ciel rasakan. Hanya gelap yang terakhir kali berhadapan dengannya. Dan kini, ketika kedua iris safir itu terbuka, putih menyapanya. Putih, dengan bau khas rumah sakit yang steril. A—apa? Tanpa diberitahu pun, Ciel tahu dirinya ada di rumah sakit. Tapi, apa yang membuatnya masuk ru—oh.. ya. Gelombang kesedihan menerpanya saat Ciel menyadari apa yang terjadi tadi malam. Ayah. Ibu. Tembakan dan kematian. Ciel tak cukup bodoh untuk tak menyadari apa yang terjadi.

Hanya satu hal yang disesalinya. Hidup.

Dengan tangannya yang tidak tertancapi jarum, Ciel meraba kepalanya yang terasa berat, dan jemarinya bersentuhan dengan sesuatu yang agak kasar. Perban. Ciel ingat saat dirinya terlempar hingga menabrak dinding, tepat sesaat sebelum sang Ibu ditembak mati di depannya. Maniknya menatap kosong ke dinding putih di atasnya.

Kalau saja..ini semua hanya mimpi dan Ciel akan berharap untuk bangun lebih awal.

Lewat beberapa menit Ciel habiskan dalam kesunyian, sampai akhirnya kenop pintu kamar pemuda ini terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangannya.

"Hello, Ciel."

Dan hal terakhir yang Ciel dengar hanya suara teriakannya sendiri.