Summary: Setahun setelah kematian Ino, Sasuke berhalusinasi telah melihat Ino. Ia juga melihat 'yang lain'. Benarkah itu hanya halusinasi semata?

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Supernatural-Suspense. Tambahan, Tragedy-Friendship-Horror

M-rated

AU-AR. Typo (yang mungkin terlewat oleh mata saya). Chara death.

Keterangan: Re-publish! Sekuel dari "Thank you, Friend".

Happy reading! Enjoy!

###

Don't like? Just don't read, ne.
It's easy, you know. Just like flipping your own palm.

Shi to Saisei - Death and Rebirth

.

.

"—ngun... me!"

Byur!

Deburan ombak menghantam sisi pantai berpasir kecoklatan, membasahi serta menariknya untuk ikut terbawa ke dalam cairan berwarna kebiruan itu. Jejak-jejak kaki yang tercetak turut tersapu oleh air dan menghilang, tak bersisa. Terik matahari mengudara tepat di puncak langit di saat yang terpanas, sekitar jam dua siang. Panas yang menyengat membakar kulit sekelompok anak muda yang sedang mengerubungi sesuatu, atau tepatnya seseorang.

Seorang pemuda tanggung belasan tahun terkapar kaku. Kulitnya memucat walau tertimpa oleh cahaya matahari, helai-helai rambut hitamnya yang basah terkulai menempel pada sisi-sisi wajah serta dahinya. Dia terbujur kaku seakan tak bernyawa, sementara orang-orang yang mengenalnya terus-menerus meneriakkan namanya.

Pemuda lainnya yang berambut kecoklatan menyeruak masuk melewati padatnya sekumpulan manusia sambil menarik-narik seorang pria bertampang ogah-ogahan, berteriak-teriak meminta jalan. "Minggir, minggir! Ini sudah kubawa penjaga pantainya!"

Pria yang ternyata penjaga pantai tadi berjongkok, diamatinya pemuda yang masih tak sadarkan diri tadi. Sesegera mungkin ia mencoba memberikan napas bantuan serta memompa dada pemuda itu. Kali ketiga usaha itu dilakukan, pemuda tadi bereaksi.

"Sasuke!"

Sasuke terbatuk dan memuntahkan air laut yang tertelan. Kelopak matanya terbuka, memandang nanar sekelilingnya, mencoba beradaptasi sejenak. Pelan ia mengangkat badannya dan duduk, ia atur napasnya yang putus-putus dengan susah payah. Rona warna mulai menguar pada wajahnya, tak lagi pucat.

Segera kerumunan orang menjauh, meninggalkan area termasuk pria penjaga pantai—setelah menerima ucapan terima kasih. Hanya tinggal tiga pasang anak muda yang mengerubungi Sasuke, si pemuda yang hampir mati tadi.

"Aku tak apa-apa, bro. Tak apa," ujar Sasuke berusaha menenangkan teman-temannya yang sudah meracau tak jelas mengkhawatirkan dirinya.

Tahu-tahu saja seorang gadis berambut soft pink memukul bahu Sasuke—membuatnya terbatuk kembali. "Bodoh kau, Sasuke-kun!"

"Memang benar kata Sakura-chan, Teme! Kau benar-benar bodoh!" timpal pemuda berambut kuning jabrik menegaskan.

Sasuke mengernyitkan alis, demi apa sampai dirinya disumpahi begitu? Bukannya dia terkenal sebagai seorang jenius dari keluarga Uchiha? Meskipun tidak sejenius anak tunggal keluarga Nara sih. Akan tetapi, tetap saja ia tak habis pikir. Dipanggil "bodoh" oleh temannya yang notabene lebih bodoh darinya—disahkan dengan pembagian rapor setiap tahunnya—benar-benar membuatnya kesal juga. Wah, mengajak bertengkar ini namanya. "Heh! Tak sopan kalian!" bantahnya.

Tapi apa mau dikata, semua temannya malah memelototinya dengan tatapan 'dasar-bodoh-kau' membuat Sasuke sedikit bergidik juga. Bahkan Nona muda keluarga Hyuuga pun berani memelototinya. Apakah ini efek dari pacaran dengan anak lelaki keluarga Inuzuka?

"Ah, terserah kalianlah mau berpikir apa, yang penting aku tidak mencoba bunuh diri," ujar Sasuke membela dirinya. Dan dia benar-benar menegaskan perkataannya itu dengan balas memelototi teman-temannya.

"Jadi maksudmu ada yang mencelakakanmu, begitu?" tanya pemuda beriris mata putih penuh selidik. Disampirkannya rambut panjangnya yang basah ke punggungnya yang bebas.

Sasuke menggeleng. "Aku tidak bilang begitu, Neji. Tapi tadi aku melihat..." Tiga pasang anak muda tadi meringsek maju, ingin mendengar ucapan lirihnya yang terputus.

Seorang gadis bercepol dua bertanya penasaran, "Melihat apa, Sasuke?"

"Aku melihat..."

"Melihat?" ulang teman-temannya serempak.

"Ino."

###

Rabu, 20 Juli 20xx

.

.

"Aku tak apa, Kaa-san. Bisakah tidak memperlakukanku seperti orang yang sakit jiwa?"

Mikoto menatap anak lelaki keduanya itu. Hatinya miris melihat betapa tirusnya wajah pemuda di hadapannya itu. "Sasuke-kun. Kaa-san hanya khawatir pada—"

"Khawatir kalau aku menjadi gila?" potong Sasuke marah. "Sudah kubilang aku baik-baik saja! Kenapa tidak ada yang percaya!"

"Bagaimana kami bisa percaya kalau kaubilang bahwa kau melihat orang yang sudah meninggal?" bentak seorang pemuda berambut panjang dikuncir. Gurat-gurat halus memanjang di pipi bagian dalam, membuatnya nampak lebih tua dari umur yang sebenarnya.

"Jangan bertengkar, kalian. Sudah, sudah. Ayo, Itachi-kun. Biarkan Sasuke-kun istirahat." Mikoto menarik tangan Itachi, memaksanya keluar. Itachi menampakkan wajah kesal.

Setelah Mikoto dan Itachi keluar, Sasuke langsung merebahkan badannya ke atas kasurnya. Pandangannya menerawang, tapi pikirannya entah terbang kemana.

Sasuke baru saja pulang dari liburan di pantai bersama teman-temannya tadi malam. Begitu ia menceritakan tentang sosok gadis yang dilihatnya, semua menganggapnya hanya berkhayal. Meskipun ia ngotot mempercayai penglihatannya, tak ada yang peduli. Bahkan ibunya jadi mengkhawatirkannya, takut kalau dirinya tak bisa lepas dari bayang-bayang gadis itu.

Halusinasikah?

Tak mungkin! bantahnya. Akan tetapi, sekalipun Sasuke mengatakan hal yang di luar akal sehat manusia dan tetap ngotot, Shikamaru berkata hal yang sama.

Shikamaru, beranggapan bahwa penglihatan itu bisa saja terjadi akibat proses alam bawah sadar Sasuke bekerja untuk menghidupkan bayangan orang yang ingin diingat, sehingga menimbulkan hal yang disebut sebagai halusinasi visual otak. Dimana memori otak Sasuke membentuk suatu tatanan bentuk daripada keinginan, dan direalisasikan dalam dunia nyata. Dan dalam proses terbentuknya itu dapat dipengaruhi oleh cahaya, atau unsur padanan lain. Ia tak mau menyebutkan penjelasan sains yang lebih jauh, kasusnya bisa berbeda.

Dan hal itu sudah pasti dibantah mentah-mentah oleh Sasuke, yang tahu bahwa penjabaran itu menyudutkannya sebagai terdakwa sakit jiwa. Pertama, ia bukan penjahat. Kedua, ia bukan pesakitan.

Krieet...

Sasuke duduk dari tidurnya, dengan cepat dan menajamkan telinga. Diedarkannya pandangan, berusaha mencari sesuatu hal ganjil. Sekian lama ia konsentrasi, nihil. Tak ada apa-apa juga tak ada siapa-siapa. Namun, begitu ia hendak melanjutkan tiduran, sekelebat bayangan hitam melintas ke arah pintu kamarnya. Sasuke langsung jatuh terguling ke samping menghantam lantai karena kaget, beserta selimutnya yang tergulung di kakinya.

Angin dingin berembus sekilas. Tengkuk Sasuke meremang, tulang punggungnya langsung ngilu. Perlahan ia bangkit, memijit punggungnya yang telanjang, kemudian mengambil sehelai kaus hitam dan memakainya. Ia pun keluar kamar begitu mendengar suara langkah kaki, tepatnya ketukan sepatu di lantai.

Ia tak melihat apa-apa. Suara langkah itu hilang, lenyap begitu saja. Namun, ketika ia hendak turun dan sedang berada di undakan tangga nomor lima dari atas, suara langkah itu terdengar lagi. Sasuke menoleh.

Sebentuk cahaya hitam dalam wujud tak beraturan mendekatinya. Mata Sasuke terbelalak begitu bertemu pandang dengan "sesuatu" itu. Mata onyx-nya bertatapan dengan sepasang mata merah. Pijakannya mendadak goyah, tubuhnya melayang jatuh. Ia tak sempat berteriak, karena terlanjur kaget mendengar namanya disebut.

"Sa... suke..."

###

Sekelilingnya putih, bersih. Tak tampak noda ataupun cela. Setitik hitam pun tak ada. Ia bangun dan mendapati dirinya entah di mana. Uchiha Sasuke memicingkan mata, mencari tahu di mana ujung dari ruangan tempatnya berada.

Sia-sia.

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah putih, dan putih. Seolah tempat ini tak berbatas.

Dunia paralel?

Sasuke menggeleng. Hal itu tidak ilmiah, ia menolak mempercayainya. Jadi, ia pun berniat mencari tahu sendiri sedang di mana dirinya. Ia menjejakkan langkah demi langkah, menyusuri entah apa namanya tempat ini, mencoba pergi. Tapi kemana? Entahlah. Ia sendiri tak tahu.

Maka ia terus berjalan lurus, tatapan matanya lurus. Sekelilingnya putih, lantai putih dan langit putih. Hanya dirinya saja yang hitam, dengan rambut, baju, celana, dan sepatu hitam. Sangat kontras.

Mendadak ia bergidik begitu mendengar namanya dipanggil entah darimana. Suara tersebut terdengar samar, terus-menerus memanggilnya. Saat Sasuke terlihat panik, sesosok perempuan terlihat olehnya, tapi tak jelas. Namun, ia ingat mata itu.

"Bangun, Baka Otouto!"

Tertarik. Badannya tertarik suatu kekuatan yang tak berwujud. Tertarik ke arah yang berlawanan dari sosok yang mengulurkan tangan padanya. Sasuke berteriak, meronta-ronta agar terlepas. Tapi yang menariknya itu lebih kuat, ia tak berdaya. Kemudian semua menghilang dari pandangannya, berganti dengan gelap.

.

.

"Sasuke!"

"Dia sudah sadar, Dokter!"

Mata Sasuke terbuka, tatapannya beradu dengan langit-langit dan mata Itachi. "Ita... chi... aku di mana?"

###

Kamis, 21 Juli 20xx

.

.

"Anda sudah boleh pulang, Uchiha-san."

"Terima kasih, Dok."

Sasuke mengemas sehelai baju, celana, dan komik ke dalam tas ransel biru tuanya. Tak lupa ia melipat selimut yang dipakainya dari kemarin, dan menaruhnya rapi di atas ranjang. Begitu merasa tak ada yang tertinggal lagi, ia berjalan keluar ruangan sambil menenteng ranselnya di sebelah bahu.

Sasuke berjalan melewati beberapa suster yang cekikikan tak jelas ketika melihatnya, ia tak peduli. Yang ia inginkan adalah keluar dari Rumah Sakit ini, segera. Cepat-cepat Sasuke melangkah menuju lift, menekan tanda panah ke bawah, dan menunggu.

Beberapa orang ikut menunggu lift dan berdiri di belakangnya. Tak lama kemudian pintu lift pun terbuka. Saat ia hendak masuk, seorang nenek-nenek berwajah pucat mendahuluinya. Sasuke mengernyitkan alis heran. Dari mana dia datang? tanyanya dalam hati. Ia ikut masuk tanpa menemukan jawaban.

Pintu lift menutup. Di dalam lift ada dua orang pasien perempuan, seorang perawat laki-laki, seorang nenek-nenek dan Sasuke. Dua pasien itu bercakap-cakap, sedangkan perawat itu bersandar pada dinding lift.

"Nak. Kepalamu kenapa?"

Sasuke agak melongok ke bawah, ke arah nenek-nenek yang tingginya kira-kira sekitaran dadanya, terlebih si nenek agak bungkuk. "Bocor," jawabnya sekenanya. Pelipis kanannya dijahit 16 jahitan, akibat terjatuh dari tangga dan kepalanya menghantam lantai duluan.

Si nenek manggut-manggut. "Baaba (nenek) punya cucu laki-laki. Sayang, dia sudah meninggal waktu seumuranmu. Rambutnya merah dan tampan." Sasuke hanya mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa.

"Baaba sudah lama di sini, bosan sekali rasanya." Nenek itu mengulurkan tangan kirinya. Sebuah gelang pasien berwarna biru dengan nama "Chiyo" tercetak rapi.

"Hn."

Selang lima detik kemudian pintu lift terbuka. Lift telah sampai di lantai satu, Sasuke pun keluar. Sebelum keluar, ia berkata, "Aku permisi, Chiyo-baasan." Chiyo hanya tersenyum.

Begitu Sasuke keluar, terdengar bisik-bisik dari dua pasien di dalam lift.

"Laki-laki tadi bicara sama siapa, sih?" Pasien lainnya hanya mengedikkan bahu.

Pintu lift kembali tertutup, Chiyo masih berdiri di sana. Bayangan hitam nampak dari kakinya, senyum tergores di wajahnya, setelah itu menghilang.

###

"Teruskan saja perbuatan nistamu itu, tapi kumohon jangan mengikutiku terus. Aku tak mengenalmu!"

Pemuda berambut oranye dengan wajah penuh tindikan itu mengalihkan kepalanya dari bawah rok seorang perempuan. "Tapi aku yakin sekali kalau kau itu temanku!"

"Aku sama sekali tidak mengenalmu!"

"Ayolah, aku sudah bilang, 'kan, kalau namaku itu Pein."

Sasuke mendelik kesal pada Pein yang masih mengintipi celana dalam perempuan yang berdiri menunggu bus. Ia sedang berjalan menuju halte bus tadi saat pemuda mesum itu tiba-tiba berteriak-teriak memanggilnya, setelah itu mengekorinya. Dalam perjalanan, ia tak tahu sudah berapa rok yang diintipi oleh Pein. Dan yang ia tak habis pikir, tak ada satu pun dari perempuan yang diintipi itu marah. Semuanya seperti tak terjadi apa-apa.

"Kau bahkan tak tahu namaku, sok mengenalku," ucap Sasuke kesal. Dahinya langsung berkedut dan lukanya langsung sakit.

Pein berdiri. "Aku bukan tak tahu, aku tak ingat, Baka!" Sasuke tak mengacuhkannya, karena itu ia kembali ke kegiatannya semula, mengintipi rok perempuan-perempuan yang berada di halte.

Sakit. Luka itu sakit. Denyutan demi denyutan membuat kepalanya jadi pusing, wajahnya memucat. Tak dihiraukannya bisik-bisik yang sedari tadi terdengar, Sasuke terlalu pusing untuk mencerna itu semua. Ia pun bersandar di dinding, menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya. Ia menolak bantuan dari seorang ibu-ibu yang kasihan padanya, ia tak butuh dikasihani.

Bus datang, tapi Sasuke mengurungkan niat untuk naik. Ia ingin beristirahat sebentar, tak apa kalau pulangnya sedikit telat. Baru jam tiga sore, apalagi tak ada yang menjemputnya dari Rumah Sakit. Maka tinggallah dirinya sendiri di halte. Bersama Pein, yang kehilangan kesenangan mengintipnya.

Tiba-tiba sesuatu menabrak dinding tempatnya bersandar, dan Sasuke jatuh terjerembab ke samping. Ia mengumpat, memaki-maki tak karuan. Pein hanya melongo melihatnya.

"A-ano. Gomen."

Sasuke mendongak. Seorang pemuda berambut merah dan agak pendek, mengenakan baju balap merah yang sobek, dan wajah berdarah-darah membungkuk padanya. Sekarang berganti dirinya yang melongo.

"Maaf, yah. Aku tak sengaja menabrak dinding halte. Haha," ucap pemuda yang sekujur badannya mulai dirembesi darah. "Oy, Pein! Kau kok di sini?" Ia pun berjalan melangkahi badan Sasuke dan ikut duduk di samping Pein.

Tak sopan, batin Sasuke. Ia bangkit dan menepuk-nepuk debu di celananya, tak lupa mengambil ranselnya yang ikut terpelanting tadi. Ia heran, bagaimana mungkin pemuda tadi bisa begitu santai setelah menabrak? Itu termasuk kecelakaan namanya.

Penasaran, Sasuke pun melongokkan kepalanya, menengok ke balik dinding. Sebuah Burgman 650 (skuter matik Jepang) berwarna merah tergeletak hancur berantakan tak berbentuk. Pecahan kaca spion berserakan. Onderdil motor berhamburan, lengkap dengan darah berceceran di lantai. Tak ketinggalan dinding yang ditabrak tadi retak.

Alis Sasuke naik sebelah, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia berbalik, menoleh pada pemuda tadi yang sekarang bercengkerama dengan Pein. Bagaimana mungkin dia tak mati? tanyanya dalam hati.

"Hei! Sini! Sasori mau ngomong!" panggil Pein, dilambai-lambaikannya kedua tangannya. Sekilas Sasuke melihat bercak kehitaman di sekitar pergelangan kanan tangan Pein.

"Apa?"

"Duduk dulu," tawar Sasori. Begitu Sasuke duduk di sampingnya, ia bertanya, "Kau tak kenal kami?"

Sekarang Sasuke yakin kalau dua orang yang sedang dihadapinya adalah orang gila. "Kalian... siapa sih?"

"Temanmu! Aduh, masa lupa! Padahal aku ingat sekali wajahmu," protes Pein. Diacaknya rambut jabriknya.

Sasori meringsek maju, memperhatikan wajah Sasuke lebih dekat—Sasuke sedikit takut juga disodorkan wajah berdarah-darah seperti itu. "Kayaknya bukan deh, Pein. Mukanya memang mirip, tapi sepertinya ada yang kurang. Salah orang nih!"

Pein berpindah duduk di samping kanan Sasuke. Sekarang Sasuke diapit dua makhluk aneh. "Hmm... memang sih. Tapi masa salah, sih?" Ia mengamati wajah Sasuke.

Sasuke berdiri tiba-tiba—Pein dan Sasori langsung terjatuh. "Aku tak kenal kalian." Setelah berkata seperti itu, ia pun berjalan pergi. Tak mau menunggu bus berikutnya, terlalu lama. Bisa-bisa dirinya benar-benar gila kalau lama-lama bersama dua orang tadi.

Saat ia melewati tempat dimana motor tadi tergeletak, ia baru menyadari bahwa tak ada apa-apa di sana. Setetes darah pun tak ada. Bahkan dinding yang retak tadi tampak baik-baik saja. Sasuke memutar kepala, berniat bertanya pada dua orang tadi. Tapi nihil. Tak ada siapa-siapa di halte.

Kemana perginya mereka?

###

Jumat, 22 Juli 20xx

.

.

"Aku tak demam, Sui!" Sasuke menepiskan tangan Suigetsu yang diletakkan di dahinya. Wajahnya merengut, tak senang. Suigetsu terbahak.

"Kau tak sedang bercanda kan, Sasuke-kun?"

Sasuke menatap perempuan berambut merah yang duduk di samping Suigetsu. "Apa aku kelihatan sedang bercanda, Karin?" Karin menggeleng.

"Sepertinya saraf otakmu ada yang rusak, tuh," ejek Suigetsu. Sepotong besar semangka habis dalam tiga gigitannya.

Sasuke kesal setengah mati. Janjian bertemu di cafe dengan sepasang kekasih itu hanya untuk diledek? Terima kasih saja! Tahu begini ia tak bercerita tentang apa yang menimpanya dua hari belakangan ini.

"Sasuke-kun. Bukankah kau pernah bilang kau itu hanya percaya dengan hal ilmiah?" Belum sempat Sasuke menjawab, Karin melanjutkan, "Ino-chan sudah meninggal."

Sasuke langsung bungkam. Semula ia ingin mengatakan satu hal, tapi sekarang tak jadi. Yang ia gumamkan hanyalah erangan lirih yang terdengar seperti suara cicitan.

"Sas. Kau hanya berhalusinasi. Berusahalah melupakannya. Demi Jashin-sama, Sasuke! Biarkan Ino tenang di alam sana, kalau kau begini terus dia akan sedih," cerocos Suigetsu, yang entah kerasukan apa tiba-tiba berkata seperti itu. Menjadi bijak? Ia sudah setahun berusaha untuk itu semenjak kematian Ino, perempuan yang membebaskannya dari ancaman penjara.

Tiba-tiba saja pinggang Suigetsu disikut oleh Karin—membuatnya mengerang kesakitan. Tapi begitu ia melihat arah yang dilihat Karin, ia tak jadi protes. Di depannya, tampang Sasuke tampak memprihatinkan. Antara sedih dan kecewa menjadi satu.

Tapi tiba-tiba saja Sasuke menoleh dengan cepat ke dinding kaca di samping. Wajahnya terlihat kaget. "Ino." Setelah itu ia bangun dan menghambur keluar, meninggalkan Suigetsu dan Karin terbengong-bengong.

Sasuke mengejar Ino.

###

"Ino!" Bayangan putih itu tetap berlalu, melewati beberapa nisan dengan cepat.

Tak mau ketinggalan, Sasuke pun melangkah lebih lebar, mencoba menyamai kecepatan. Tak ayal ia hampir jatuh, untung saja ia sigap dan tak terjengkang akibat menyenggol pagar-pagar kecil khusus nisan. Bisa kualat.

"Ino!" Sasuke kehilangan jejak. Matanya menjelajah setiap sudut pemakaman, tak ada. Pemakaman itu kosong, tak ada tanda-tanda makhluk hidup selain dirinya. Itu pun kalau bayangan tadi masih dapat dihitung sebagai makhluk hidup.

Ia mengumpat. Kesal. Setengah jam-an ia berlari tanpa henti dari cafe sampai ke pemakaman hanya karena ia melihat sosok Ino. Sasuke harus bertemu dengan perempuan itu, meskipun dia tidak dalam wujud manusia. Ia ingin membuktikan bahwa selama ini ia benar. Ia tidak gila. Pelan ia menyusuri jalan setapak, melangkah lebih jauh ke dalam. Tujuannya hanya satu, ke makam Ino. Mungkin ia bisa mendapatkan petunjuk, petunjuk mengenai semua hal tidak ilmiah yang terjadi. Mata Sasuke tetap awas, mengamati. Mana tahu ada suatu pergerakan, ia tak ingin melewatkan apa pun.

.

.

"Sa... suke."

Lagi-lagi suara itu terdengar. Tapi dari mana asalnya, Sasuke tak tahu. Ia berjongkok, tangan kanan memegangi luka di pelipis yang masih diperban. Sakit.

Di depannya, sebuah nisan berbatu granit dengan sebuah foto seorang perempuan berambut pirang sedang tersenyum. Tangannya yang lain refleks mengelus foto itu, dalam hati berusaha menjangkau wajah itu tapi tak bisa. Yang Sasuke rasakan hanya dinginnya batu granit. "Ino... aku merindukanmu," ujarnya lirih.

"Kau di mana? Apa yang ingin kau beritahukan padaku? Kumohon jangan membuatku seperti ini. Aku... tak sanggup." Setetes cairan bening mengalir dari mata onyx itu, gurat kepedihan tergambar di wajahnya. "Kalau itu memang dirimu, muncullah. Kumohon," lanjut Sasuke. Pelan ia terisak, kepalanya ia tenggelamkan di balik kedua tangannya.

Hening. Pemakaman itu sepi. Suara tangis Sasuke terdengar lirih, walaupun samar. Hanya di sinilah ia dapat menangis. Pertahanan yang selalu ia pasang goyah juga jika sudah berhadapan dengan Ino. Meskipun Ino yang sekarang hanyalah sebentuk nisan, ia tetap tak kuasa. Ia lelah.

Sasuke lelah. Ia tak sanggup lagi. Begitu lelahnya sampai tak menyadari sebentuk cahaya putih menyelubungi punggungnya, cahaya yang samar-samar terlihat seperti wujud perempuan, yang melingkarkan kedua tangan di lehernya.

"Hati... hati. Sasu... ke..."

###

"Lah, Otouto. Sedang apa di sini?"

Sasuke tak menoleh. Ia kenal sekali suara yang memanggilnya itu, suara kakaknya, Itachi. "Kau pikir sedang apa? Tentu saja menunggu bus."

Itachi hanya manggut-manggut. Ia ikut berdiri di samping Sasuke. "Hmm~ Hmm~" gumamnya. Sasuke tak mengindahkannya.

Sasuke tak habis pikir kenapa bisa bertemu dengan Itachi di sini. Memangnya halte bus cuma ini? Tidak bisakah laki-laki itu menunggu bus di halte yang lain? Ia mendecak kesal. Terlebih lagi sekarang Itachi mendadak berpindah ke balik dinding sebelah, ia pun menjulurkan kepalanya. "Sedang apa kau?"

"Oh, ini. Temanku dulu kecelakaan dan meninggal di sini." Itachi mengatupkan kedua tangannya, dan berdoa sebentar menghadap dinding. Setelah selesai, ia pun kembali berdiri di samping Sasuke. "Kasihan dia. Sudah pendek, meninggal lagi. Dulu hidupnya sebatang kara, neneknya meninggal di Rumah Sakit Konoha setahun lalu karena sakit."

Sasuke tak merespon. Sepertinya ia mengenal orang yang dimaksud. Tapi siapa? Ia tak ingat.

"Ada temanku satu lagi, meninggal dikeroyok oleh preman di gang di ujung belokan blok sana." Itachi menunjuk jalan di sebelah kiri mereka. "Tangan kanannya dilubangin pakai paku, terus dihajar sampai tak bernyawa. Kasihan."

Sasuke tetap tak merespon. Pikirannya tak tenang. Selagi ia berpikir, bus yang ditunggu pun datang. Itachi sudah berteriak memanggilnya yang masih melamun. Dengan malas ia mendongak. "A... pa itu?"

Dalam pandangan mata Sasuke, gumpalan hitam menyelimuti seluruh badan bus, bahkan warna cat bus itu pun tenggelam oleh pekatnya kegelapan. Beberapa bayangan berbentuk tangan dengan kuku-kuku runcing menggapai-gapai leher Itachi, ada juga yang memeluk kaki pemuda itu. Tapi Itachi seperti tak merasakan apa-apa.

"Ayo naik, Otouto!" panggil Itachi tak sabaran, takut tertinggal.

Tapi Sasuke malah mundur, menabrak kursi dan jatuh terduduk. Tangan kirinya ia pakai untuk menutupi wajah bagian kirinya. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar. "Jangan naik bus itu."

"Hah?"

"Jangan naik! Kita jalan kaki saja!"

"Oke, oke! Tak perlu membentakku begitu!" Itachi tak jadi naik, ia berbalik dan duduk di sebelah Sasuke yang kepayahan mengatur napas. Apa yang terjadi? Entahlah. Sementara orang-orang sudah naik semua ke dalam bus.

"Hah... hah..." Mata kanan Sasuke mendelik melihat kepergian bus tadi. Jantungnya terpacu kencang, keringat dingin bercucuran hingga kerah kaus hitamnya basah dan lengket.

Sekian menit mereka berdua duduk, tak ada yang berbicara. Itachi masih bingung dengan tingkah aneh Sasuke. Tahu-tahu saja terdengar suara benda berdebum keras, seperti ada yang tabrakan di ujung jalan sana. Buru-buru Itachi bangkit dan menengok, sementara Sasuke tetap dalam posisi semula.

"Wah, wah. Ada kecelakaan!"

Dengan sigap Sasuke berpaling. "Kau lagi," ucapnya ketus pada pemuda berambut oranye yang duduk di sebelah kirinya.

"Hehe. Pein di sini, tak pernah absen dari daerah ini," balas Pein, semangat.

Ckiiit... BRAAAK!

"Aduduh, kepalaku."

Sekarang Sasuke menoleh ke kanan. Seorang pemuda berwajah imut penuh darah berjalan ke arahnya. "Kau juga, lagi-lagi."

"Hah! Sasori jadi sedih kalau kau bertampang seperti itu." Sasori pun duduk di kursi sebelah kanan Sasuke. "Kenapa dia?" tanyanya pada Pein yang dijawab dengan bahu terangkat tanda tak tahu.

"Otouto! Bus tadi tabrakan di belokan sana!" jerit Itachi sambil berlari-lari ke arahnya. Ternyata tadi dia pergi ke tempat kejadian.

"Itachi?" tukas Pein dan Sasori bersamaan, membuat Sasuke keheranan. "Kau adiknya?" tanya mereka berdua kompak.

Belum sempat Sasuke menjawab, Pein menyela, "Akh! Aku ingat juga namanya! Itachi! Ya, Itachi! Pantas saja kau mirip dengannya, adiknya toh. Hmm."

"Hah! Pantesan. Itachi sekarang baik loh, tiap lewat sini selalu ngedoain aku," timpal Sasori.

"Yee. Dia juga ngedoain aku tiap lewat gang di pojokan sana, kok," protes Pein, cemburu?

Selagi dua makhluk tadi bersitegang mengenai siapa yang paling sering didoakan, Sasuke sendiri sudah beranjak dari sana dengan dahi berkerut. Sedangkan Itachi mengekorinya sambil bercerita mengenai info kecelakaan bus tadi.

Sekarang Sasuke tahu siapa dua manusia aneh itu. Ups, mereka bukan manusia.

###

Sabtu, 23 Juli 20xx

.

.

Pagi ini Sasuke bangun dengan perasaan tak enak. Kepalanya terus berdenyut sakit, dan pandangan matanya semakin kabur. Semula ia berpikir hanya berhalusinasi melihat sosok dewasa bertingkah bocah yang berkeliaran di ruang tamu rumahnya.

Tapi ternyata Sasuke salah.

"Seeeennnpaaaaiii~ Tobi anak baik! Iyeeey!"

Sasuke tak menggubris, walaupun si Tobi atau apalah namanya itu lari berputar-putar mengelilinginya sedari tadi sambil berteriak-teriak. Ia tetap bergeming, matanya menatap televisi. Melihat berita kecelakaan kemarin.

"Untung Senpai tak naik bus itu yah, bisa-bisa tinggal nama. Tapi kalo meninggal kan bisa temenin Tobi main, hueee!"

"Berisik!"

Tobi, si makhluk bertopeng oranye spiral itu duduk terdiam, sambil sesekali melirik Sasuke yang telah memasang tampang kesal. "A-ano Senpai, To—"

"Kubilang berisik! Diam kau!" Tobi langsung berlari keluar ruangan, ketakutan.

Sasuke mendengus. Tidak manusia, tidak hantu, semuanya sama berisiknya. Kemarin malam ia diceramahi oleh Mikoto, menyuruhnya agar lebih berhati-hati—yang menurutnya tak lebih dari sekedar peringatan biasa. Juga diberondong oleh Itachi mengenai kecelakaan bus kemarin dan juga tingkah anehnya. Dan hari ini ia diganggu terus oleh hantu—sekarang ia yakin—yang adalah kakeknya dengan jiwa kanak-kanak.

Sasuke juga yakin bahwa Tobi-lah yang menyebabkannya terjatuh dari tangga beberapa hari yang lalu—meskipun Tobi menyangkal dan mengatakan saat itu sedang ada kencan, ia tak percaya. Tobi tetap ngotot bahwa bayangan itu adalah dirinya.

Mungkinkah Tobi berkata jujur? Lalu, bayangan hitam itu siapa, maksudnya, apa?

"GYAAA!"

Lagi-lagi.

"Aduh. Sudah berpuluh-puluh tahun, masih juga nyungsep di tempat yang sama," protes Tobi. Dirinya baru saja jatuh tersungkur di teras halaman belakang yang bersebelahan dengan ruang tamu. "Begini deh kalau tidak bisa ke surga, selalu mengulang hal yang sama yang menyebabkan kita meninggal."

Selalu mengulang hal yang sama yang menyebabkan kita meninggal?

Sasuke segera beranjak dan berlari secepat kilat, melintasi lorong rumah dan sampai di pintu depan. Ia sedang mengenakan sepatunya ketika Mikoto dan Itachi menghampirinya. Mikoto masih memakai celemek, sedangkan Itachi mengunyah onigiri.

"Mau kemana, Sas?" tanya Itachi.

"Sekolah."

"Ngapain?" tanya Itachi lagi, bingung.

"Memastikan sesuatu."

"Pergilah. Jangan pulang telat. Ingat, hari ini hari ulang tahunmu, Sasuke-kun," ingat Mikoto. Entah mengapa rasanya ia sedikit ragu membiarkan anaknya pergi, karena itu ia memeluk Sasuke.

Setelah cukup lama, Sasuke melepaskan pelukan ibunya. "Aku pergi." Begitu hendak membuka pintu, ia berkata, "Selamat tinggal." Lalu ia pun keluar.

"Kenapa dia bilang selamat tinggal?" gumam Itachi di sela kunyahannya. Alisnya berkedut.

Dan perasaan tak enak Mikoto semakin besar. Rasa cemasnya membuncah, dan segera ia alihkan dengan melanjutkan memasak.

"Kok dikasih pergi, sih? Nanti Sasuke tak akan pulang lagi loh," ucap Tobi, yang sekarang tahu-tahu saja sudah berjongkok di samping rak sepatu. Ia memandang pergi menantu dan cucunya ke dalam.

"Asik! Tobi bisa punya temen main!"

###

Surat Cinta dari Author:

Next chapter, langsung saja di-klik. Monggo!