Summary: /AU. HitsuHina, slight IchiRuki./ Setetes air mata meleleh di pipi putihnya. "Shiro-chan…" Momo tahu, itu adalah awal dari elegi yang dia akan terus dia lantunkan –entah sampai kapan akan berakhir./

Dislaimer: Bleach © Tite Kubo-sensei.

Warning: Fic ini mengandung alternative universe dan OOC. Bagi yang alergi dengan bahan-bahan(?) tersebut harap segera klik tombol back ;)

Keterangan: Flashback

Happy reading! ;)


Yuki: Ai No Hanashi

-Snow: Love Story-

© CherryCho79

.

Chapter 1


Matahari di ufuk barat mulai meredup, tenggelam di balik awan kelabu. Hanya seberkas tipis sinarnya yang masih menerangi jagat raya ini.

Karakura, kota kecil yang tenang dan damai, kini dihiasi warna putih di sepanjang pengelihatanmu. Salju bertebaran di mana-mana, manifestasi dari hujan salju yang mengguyur kota semalam suntuk.

Terdengar suara debuman kecil, diikuti tawa nyaring yang mengalir renyah di salah satu sudut kota, di depan sebuah rumah bercat biru dengan pekarangan yang cukup luas untuk penjelasan yang lebih spesifiknya. Tampak di tempat itu seorang laki-laki kecil berambut senada dengan salju dan seorang gadis mungil berkuncir dua, berhadapan dengan jarak yang terpaut cukup jauh. Berlindung di balik gundukan salju yang berfungsi sebagai benteng.

"Momo! Kau curang! Menyerangku di saat aku lengah!" teriakan bersuarakan protes meluncur dari mulut laki-laki kecil itu. Melihat itu, gadis bermata hazel yang ada di hadapannya hanya menyeringai lebar.

"Salahmu sendiri, Shiro-chan!" ia menjulurkan lidahnya, mengejek. Lalu tertawa riang, puas mendapati kemenangannya. "Ini perang. Kau harus konsentrasi!"imbuhnya dengan ironi yang terselip di dalamnya.

"Ukh, lihat saja! Aku pasti akan mengalahkanmu!" Shiro berseru lantang, penuh dengan semangat membara. Ia menepuk-nepuk rambutnya, menghilangkan salju yang tadi mendarat mulus di atas kepalanya.

"Kau yakin?" tanya Momo singkat, masih dengan nada mengejek tentunya. Ia kembali terkikik, membuat Shiro mendengus kesal.

"Tentu saja!" jawaban penuh percaya diri keluar dari bibir mungil Shiro. Ia memunggut sejumput salju, membentuknya hingga bulat sempurna, dan melemparnya dengan sasaran utama Momo.

Pluk! Bola salju tepat menghantam bahu kiri gadis itu.

"Kena!"pekik Shiro riang, ia menyeringai lebar, memamerkan sederetan gigi putih yang menyerupai mutiara. "Sekarang seri!"

Shiro tertawa, puas rasanya bisa membalik keadaan. "Ini perang. Kau harus konsentrasi, Momo!" ia menirukan ucapan Momo, membuat gadis itu menggembungkan pipi, kesal.

Momo baru saja akan membalas serangan Shiro, ketika secara tidak sengaja ujung matanya menangkap kehadiran pengingat waktu yang tadi sempat terlupakan. Momo menghentikan gerakannya, menatap jam tangan yang melilit di pergelangan dengan seksama. Jarum pendeknya menunjuk ke angka 5.

"Sudah sore. Kurasa aku harus segera pulang!" Momo menjatuhkan kembali salju yang sudah berada dalam genggamannya. Ia menepuk-nepuk pakaiannya, membersihkannya dari sisa salju yang masih menempel.

Laki-laki kecil di sampingnya menatap langit sekilas. "Kau benar. Ayo pulang!" ucapnya diikuti anggukan setuju dari Momo.

"Un, matta ashita!" Momo melambaikan tangannya, berjalan memunggungi Shiro.

"Ah, Momo!" seru Shiro tiba-tiba. Momo berbalik, memandangi Shiro dengan kening berkerut.

"Ya?"

Shiro menghela nafas. "Besok, tunggu aku di bawah air mancur yang ada di pusat kota. Ada yang ingin kukatakan padamu."

"Hai, matte iru yo!" gadis itu mengangguk seraya mengulum senyum termanis yang ia miliki. "Jaa, Shiro-chan!"

Momo melambaikan tangan untuk kedua kalinya, lalu berlari menyusuri jalan setapak yang akan mambawa kaki kecilnya tiba di rumah. Sementara Shiro terpaku di tempatnya berdiri, kakinya seolah terpasung. Ia hanya menatap punggung Momo dalam diam.

.

.

.

Langit tak berujung terhampar luas sejauh mata memandang. Malam diliputi pekat. Tidak satu pun ada bintang yang bersinar. Begitu pula dengan bulan tak jua menampakkan dirinya, samar tersaput awan kelabu, enggan menerangi alam semesta dengan sinarnya yang berbias anggun. Merelakan dunia terkurung dalam gelap, menyerahkan berbagai macam sapuan warna pelangi dalam kanvas kehidupan terkikis dalam bayang kelam. Hitam bertahta penuh, tergambar jelas dalam lukisan hari. Desau angin yang menjadi pengiring sang orkestra malam.

Karakura, kota kecil yang tidak pernah mati. Selalu disuguhi hiruk pikuk segala aktivitas manusia yang menjadi pemandangan sehari-hari, tidak peduli siang atau malam. Tampaknya waktu sudah tidak bisa mengikat lagi, tidak mempunyai pengaruh apa pun lagi di dalam dunia yang kian merumit ini.

Hari ini sama seperti kemarin –juga hari-hari sebelumnya, pusat kota masih ramai. Berbagai jenis kendaraan memadati jalan raya, belum lagi trotoar yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang –yang entah bagaimana terlihat seperti robot—berjalan tanpa lelah. Saat ini memasuki awal Desember, nyanyian musim dingin sudah terdengar, mengalun di mana pun kau berada.

Angin berhembus, menebarkan aroma beku hingga memenuhi ruang kosong antara bumi dan lapisan atmosfer. Suhu udara makin merendah seiring bergulirnya detik, walau belum mencapai titik 0 pada termometer, namun dingin merasuk hingga ke tulang sumsum.

Bukanlah cuaca yang baik untuk berada di luar rumah. Namun itu rupanya tidak menyurutkan niat Hinamori untuk tetap berada di sini. Di bawah air mancur yang berada tepat di pusat kota, sama seperti waktu itu.

"Ia pasti datang…" Hinamori bergumam pelan. Terdiam dalam kesunyian yang tidak terpecahkan. Kehadirannya sama sekali tidak terusik dengan hingar-bingar di sekelilingnya. Sesekali mata hazelnya mengerling ke arah jam kota yang terletak tidak jauh dari tempatnya, lalu pandangannya beralih menyapu sekeliling, berharap ia akan menemukan sesosok siluet yang selama ini mengisi relung hatinya.

Kedua tangan Hinamori terkatup, berdoa agar sahabat masa kecilnya itu segera datang, seperti apa yang telah ia ucapkan.

Hinamori menanti. Mananti janji yang tujuh tahun lalu yang terus membayang dalam pikirannya.

Hinamori tahu ia terlalu memendam luapan harapan yang besar –terlampau besar bahkan—pada janji masa kecil yang hanya sekilas, yang dapat dengan mudahnya hilang tidak berbekas, seperti debu yang terbawa angin. Mungkin ini semua hanya kesia-siaan belaka. Dan mungkin saja harapan dan angannya akan berbalik menyerangnya, melumpuhkannya dalam keterpurukan yang tidak bertepi.

Ia mengerti. Ya, ia memahami itu dengan sangat baik.

Namun kepercayaannya sudah bulat, tak akan bisa dipatahkan oleh apa pun jua, tidak akan lekang terhapus waktu. Harapannya itu terlalu untuk kuat seorang gadis rapuh sepertinya. Ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada dirinya kelak. Karena yang terpenting baginya saat ini adalah teguh memegang kepercayaannya itu. Sedikit naif memang.

"Ya, ia pasti akan datang. Karenanya… aku akan tetap menunggu..." Hinamori meyakinkan dirinya sendiri. Tidak ingin ada seberkas ragu menyelinap ke dalam dirinya dan mengacaukan perasaannya. Tidak ingin gelombang bimbang menerjang dan menghanyutkannya.

Ia akan tetap menunggu. Selama apa pun itu.

Hinamori menutup mata ketika bayangan-bayang masa lalu kembali menghampiri, membiarkan dirinya terlarut. Masih tergiang jelas dalam pikirannya, berputar kembali bagai rekaman video—

.

.

.

"Shiro-chan, lama sekali..." Momo melirik jam kota. Ia terlihat sangat gelisah. Bagaimana tidak, Shiro bukanlah tipe orang yang suka datang terlambat. Terlebih lagi Shiro sendiri yang membuat janji.

Detik bergulir, waktu berganti. Namun apa yang dinantikannya tidak kunjung tiba. Momo semakin resah.

"Kenapa Shiro-chan belum tiba juga?" gumam Momo. Khawatir melingkupinya. "Apa jangan-jangan terjadi sesuatu padanya ya?" berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi melintas dalam pikiran Momo, membuatnya merinding seketika.

"Bodoh! Apa yang kupikirkan?" Momo menggelengkan kepalanya cepat. Ia ingin mengusir semua pikiran bodoh itu yang semakin lama semakin mengerikan. "Tapi… Bagaimana jika benar terjadi?" lidahnya terasa kelu saat mengucapkan itu. Momo terpekur sejenak.

"Harus kupastikan!" ucap Momo tegas. Ia baru saja akan beranjak dari tempatnya berdiri ketika sebuah suara halus menyapanya, suara yang sangat ia kenal.

"Momo-chan!"

Momo berbalik. Senyum lebar mengembang di bibirnya saat ia mendapati seorang wanita dengan kepangan dua yang membingkai wajah cantiknya, tengah berjalan menghampiri Momo.

"Unohana-san!" pekik Momo riang.

Unohana merupakan salah satu pelayan di rumah megah Shiro –yang menurut Momo bagaikan kastil dalam cerita dongeng. Jadi jangan heran jika Shiro dan ia sangat akrab dengan wanita berhati lembut itu. Momo berlari ke arah Unohana dan segera memeluknya erat. Unohana tersenyum simpul, membelai rambut Momo penuh sayang.

"Hei, di mana Shiro-chan?" tanya Momo setelah ia melepas rangkulan hangat Unohana. Mata Momo bergerak cepat ke balik punggung Unohana, mencari Shiro yang biasanya bersembunyi di belakang Unohana hanya untuk mengagetkannya.

Senyum yang tersungging di wajah Unohana mendadak pupus, berganti dengan raut wajah sedih.

"Shiro..." Unohana menunduk, ia tidak tahu bagaimana harus mengucapkan ini pada Momo.

"Ada apa?" Momo bertanya cemas. Mungkinkah semua yang tadi melintas dalam pikirannya menjadi kenyataan? Oh, semoga saja tidak!

"Shiro sudah pergi." ucap Unohana lirih, hampir tidak terdengar.

"Eh?" mata Momo membulat seketika.

Momo tercekat, terpaku di tempatnya berdiri. Lidahnya kelu, ia tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Sistem kerja otaknya sulit untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya. Mungkinkan ia salah dengar? Ah, iya... pasti ia salah!

"Apa?" kata Momo terbata, penuh harap semoga saja apa yang ditangkap indra pendengarannya itu salah.

"Shiro sudah pergi." ulang Unohana. "Aku tahu kau pasti akan sulit menerima ini."

Benar, ternyata pendengarannya sudah mengalami gangguan. Pasti salah dengar, pikir Momo. Ia tertawa miris dalam hati.

Ia tahu, ia tidak mempunyai masalah apa pun dengan pendengarannya. Dan ia juga tahu, apa yang barusan didengarnya tidaklah salah. Namun hati dan pikirannya menginginkan hal itu.

"Ini… Dia menitipkan ini padaku sebelum pergi. Dia minta agar aku memberikannya padamu." Unohana menyorongkan secarik kertas yang terbungkus amplop biru muda tepat di hadapan Momo. Seperti dugaannya, Momo tidak akan percaya semudah itu.

Momo diam, tidak bergeming. Butuh waktu beberapa saat lamanya untuk mempersiapkan hatinya. Unohana menunggu dengan sabar. Momo mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Perlahan, ia menyobek sampul amplop itu, dan menarik keluar secarik kertas dari dalamnya.

Momo menarik nafas panjang sebelum membaca barisan yang ditulis Shiro.

Momo…

Sebelumnya aku ingin meminta maaf, karena ketika kau membaca ini mungkin aku sudah tidak ada di sampingmu lagi. Hari ini aku pindah ke Seireitei, mengikuti ayahku yang dipindahtugaskan ke sana.

Aku sudah lama ingin mengatakan ini kepadamu, namun aku tidak ingin melihatmu menangis. Rencananya aku akan memberitahukan hari ini, karena lusa aku akan berangkat. Tapi ternyata dipercepat. Maafkan aku.

Aku akan merindukanm –ah, tidak!—sangat merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik. Jaa matta—kuharap.

Shiro.

Srak.

Kertas yang dipegang Momo jatuh perlahan. Momo membeku. Bola matanya membulat, bergetar dalam suatu ritme yang tidak beraturan, implementasi dari apa yang dirasakan di relung hatinya.

"Ini—bohong kan?" ucap Momo tidak percaya. Suaranya serak, menahan curahan air mata yang hendak turun. "Semua ini bohong kan? Ini tidak benar terjadi, bukan?" suara Momo terdengar sayup, rasanya tercekat di ternggorokan. Ia tidak percaya, sungguh tidak percaya.

Unohana menggeleng. Hatinya pilu melihat Momo seperti ini.

"Shiro-chan pasti sedang bercanda kan?" bahkan saat kenyataan pahit itu terbuka jelas di depan mata, Momo masih saja berdalih, berharap mimpi buruk ini bukan kenyataan. Terlalu sulit baginya untik menerima semua ini.

"Momo-chan, sudahlah…" Unohana merangkul pundak Momo. Namun Momo mengacuhkannya.

"Dia—pasti hanya ingin menjahiliku saja kan?" Momo berusaha mati-matian membendung air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Namun sia-sia. Pertahanannya hancur sudah, asa rapuh jauh di dalam hatinya. Air mata mengalir turun dari bola mata hazelnya.

"Aku, aku akan menunggu!" seru Momo kalut. Logikanya tidak dapat berpikir jernih lagi.

"Shiro-chan pasti akan datang sebentar lagi. Pasti!" Momo menekankan pada kata 'pasti', berharap dengan begitu Shiro akan datang menemuinya. Berlari datang dengan peluh yang membasahi keningnya, sedikit mengumamkan permintaan maaf atas keterlambatannya, dan mereka akan bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Dan semua akan berjalan normal seperti biasa.

Ya, seperti biasa. Seandainya saja bisa seperti itu…

Namun semua itu hanya ada dalam pikirannya, tidak terjadi dalam inkonfenso kehidupan. Tidak akan pernah terjadi. Sama seperti dekresendo harapannya, perlahan mengabur, sedikit demi sedikit menghilang, hingga akhirnya mati…

"Momo-chan!" ada nada menghentak dalam suara Unohana yang biasanya mengalun lembut. Wajah keibuannya sedikit mengeras, perih rasanya melihat gadis kecil itu harus berprinsip pada fisiognomis seperti itu –yang berbalik dan menerkamnya. "Kumohon, jangan bersikap seperti. Mengertilah... Shiro tidak akan datang!"

Tangan Unohana menggengam lembut jemari Momo, berusaha menguatkannya. Namun dengan satu sentakan, Momo menepisnya dengan kasar.

"Ia pasti akan datang! Bukankah Shiro-chan sudah berjanji padaku?" bentak Momo. Unohana tecengang, ia sama sekali tidak menyangka Momo akan membentaknya seperti itu.

"Tapi—" ucapan Unohana terpotong oleh Momo yang menyelanya cepat.

"Aku akan tetap menunggu. Tak peduli dengan apa pun yang Unohana-san katakan." infantil dalam diri Momo muncul, menampakkan sisi egois. Momo terlalu keras kepala untuk ukuran gadis kecil pada umumnya.

Unohana mengigit bibir. Ia terjebak diantara dua pilihan yang sulit. Membiarkan Momo tetap di sini dan hancur karena rasa percayanya yang terlampau tinggi. Atau mebujuknya untuk pulang. Unohana mendesah, pendirian Momo tidak akan goyah jika hatinya berkata demikian. Karena itulah, Unohana memilih alternatif yang pertama.

Unohana menghela nafas berat. "Baiklah, jika memang itu yang diinginkan nona Momo." kata Unohana lirih, "Jaga dirimu baik-baik."

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa…" Momo tersenyum simpul, dan melambaikan tangannya saat Unohana beringsut menjauh –dengan rasa bercampur aduk tentu. Unohana tidak tahu, apa yang dilakukannya ini benar atau tidak.

Saat punggung Unohana menghilang di balik malam, Momo terdiam sejenak. Setetes air mata meleleh di pipi putihnya. "Shiro-chan..."

Momo tahu, itu adalah awal dari elegi yang dia akan terus dia lantunkan–entah sampai kapan akan berakhir.

Dan perlahan salju mulai berjatuhan dari langit. Mengiringi kesedihan Momo yang terbalut dalam diam.

.

.

.

Hinamori membuka mata perlahan ketika sesuatu yang terasa dingin menerpanya. Sepasang bola mata hazel indah yang tadi bersembunyi di balik tipisnya kulit kelopak mata sekarang menatap lurus dunia, bergulir pelan mencari asal serpihan dingin yang baru saja mengenainya.

"Ah, salju!" pekik Hinamori pelan. Ia mengadahkan kedua tangannya, menangkup gumpalan bunga es itu. Sebongkah kecil salju mendarat mulus di telapak tangannya, Hinamori mengamati salju itu sejenak sebelum akhirnya meleleh menjadi air.

Hinamori menghela nafas panjang.

"Salju… Shiro-chan..." Hinamori mengumamkan dua kata yang kini memenuhi ruang dalam pikirannya. Salju selalu berhasil mengingatkannya pada Shiro. Bagaimana tidak, warna putih bersih yang dimiliki salju sama dengan warna rambut tegak Shiro yang kerap kali terpantul dalam kedua matanya.

Hinamori terdiam, tercenung menatap kosong pada jalan yang mulai dilapisi salju. Ia mendesah pelan.

"Shiro-chan—"

Hinamori mendekap dadanya yang bergemuruh kencang. Hatinya terasa sakit. Sesak merasukinya. Permainan bayang masa lalu yang tadi tergambar dalam pikirnya kini mengacaukan pikirannya, membuat rindu yang membucah tidak tertahankan kembali menyerangnya. Ia terkurung dalam inferno yang diciptakan oleh ingatan masa lalunya.

"Aku merindukanmu."

Hinamori memejamkan matanya, mengingat dengan seksama setiap detail diri Shiro, setiap kenangan indah yang mereka berdua lalui, larut dalam delusi masa lalunya.

Tiba-tiba Hinamori tersentak. Ia membuka matanya segera.

"Bayangan itu…" bisik Hinamori tidak percaya, "Lagi-lagi dia—"

Hinamori merenggut kesal. Mengapa wajah pemuda dingin itu muncul–alih-alih Shiro.

"Kenapa… sosok Hitsugaya-kun yang terlintas?"

Hitsugaya Toushiro, pemuda –yang entah bagaimana— selalu merasuk dalam hati dan pikirannya. Hinamori memutar mata, jengah. Ia bahkan tidak terlalu mengenal teman sekelasnya itu.

Hinamori akui, Hitsugaya memang mirip dengan Shiro. Rambut kapas senada salju, bola mata safir seindah air yang membeku, sosoknya yang mungil. Tapi, itu bukanlah alasan yang tepat mengapa pemuda itu hadir dalam benaknya. Dan lagi… bukankah mereka baru saja kenal tiga hari yang lalu?

"Kenapa?"

Hinamori terus menggumamkan pertanyaan itu berulang-ulang. Namun tak kunjung jua ia temukan jawabannya.

.

.

.

Hitsugaya berjalan menuju jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Perlahan, pemuda berambut putih itu menyingkap gorden yang menjadi penghalang di balik kaca tipis jendela. Selayang pandang mata safir miliknya berpendar menyusuri sekitarnya, menatap langit yang tidak henti-hentinya mencurahkan bola-bola kapas es –seolah tidak pernah ada habisnya, melunturi pandangannya dengan warna putih semata.

"Salju…" Hitsugaya bergumam pelan. Ia menatap lurus ke luar, namun tatapannya kosong, menerawang ke balik gumpalan salju yang semakin lebat berjatuhan dari langit. Pikirannya melayang bebas.

"Momo..."

Salju kali ini –juga seperti salju-salju sebelumnya— sukses menghadirkan kembali ingatan tentang teman di masa lalunya, seorang gadis kecil berkuncir dua dengan mata hazel yang berpendar indah. Momo, gadis yang selalu menghantui benaknya, selalu terbayang dalam setiap mimpinya. Gadis yang sosoknya tidak pernah mengabur sedikit pun dalam hatinya, meski sudah tujuh tahun berselang semenjak ia meninggalkan kota Karakura.

Hitsugaya termangu. Ada sebersit perasaan aneh yang mengganjal pada dirinya, namun ia sendiri tidak tahu apa dan mengapa.

"Aku merindukanmu..."


To Be Continued


Hhuuaaa, akhirnya selesei jugaa~ ~ XD *loncat-loncat girang* Gimana? Gimana? Gimana? Aneh gag? Cho setengah mati menghentikan otak Cho yang loncat-loncat hiperaktif waktu buat fic ini, bikin fic nii melenceng dari plot yang sebenernya *lol*

Special thanks buat Ai-nee yang udah rajin nagih fic nii. Emm, berarti Cho masih utang 2 fic lagi yag?

Akhir kata, Cho ucapkan terima kasih buat yang udah meluangkan waktu buat baca. Jangan lupa ripyu yag! Kritik, saran, ato bahkan flame Cho terima dengan senang hati XD

Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Jaa~

Love,

CherryCho79