Karna ia tetaplah seorang anak. Seorang anak yang menanti kepulangan Ayahnya.

.

.

Maid-sama! is Fujiwara Hiro's

Okaerinasai…

by Emmie Fleuretta

Ia berpakaian kucel dan bertopi jerami meringkuk didepan rumahmu. Tepat dipintu rumahmu. Menghalangimu yang ingin memasuki tempat kau menetap, rumah keluarga Ayuzawa.

Tapi, kau tidak langsung membentak seorang pria didepanmu. Melainkan mata beriris hazel milikmu membulat sempurna.

Didepanmu itu…

Ayahmu. Ayuzawa Minato.

Ingin saat itu kau pergi dari tempat itu. Bingung kepada Ayahmu yang tiba-tiba pergi dan sekarang… dengan seenaknya kembali kerumah ini. Tapi tidak bisa. Tubuhmu seakan dipaku hingga tak bisa lari. Kau membatu.

Dadamu terasa sangat sesak ketika tadi kau spontan menahan napasmu. Kau mencoba mengatur pernapasanmu, berharap terlihat tenang.

"Ayah?"

Kemudian kepalanya yang dipakaikan topi jerami itu mendongak. Tidak tampak keterjutan dari dirinya ketika melihatmu—anaknya sendiri—berdiri dihadapannya. Seakan ia tahu hal ini akan terjadi. Dan ia… tersenyum. Tersenyum tanpa arti.

Kau kembali tercekat. "Ke-kenapa kau diluar?"

"Ibumu tak memberiku masuk jika anaknya tak memberikanku masuk." Ia tertawa, tertawa sumbang. Terlihat miris. Semiris hatimu yang mulai mengingat-ingat masa-masa kelammu ketika ditinggalkan sang Ayah. "Jadi… apa kau menerimaku…? Maksudku menerimaku kembali... kerum—" tatapannya yang entah sejak kapan melirik sana sini kembali menatap anak sulungnya.

Kau membutuhkan pasokan udara yang lebih banyak. Napasmu memburu. Sedangkan mata hazelmu semakin membulat. "Kenapa kau kembali?" kau bertanya dengan keterkejutan disetiap katamu.

Wajah tirus yang mulai dihiasi keriput itu berubah, menampakkan mimik kecewa. Minato memalingkan wajahnya, tak kuasa menatap anak sulungnya itu. "Oh Tuhan… aku menyesal sekali." gumamnya lirih.

"Kenapa kau kembali?" karna pertanyaanmu sama sekali tak digubris olehnya, kau kembali mengulang pertanyaan itu.

Ia kembali memandangmu. Sesekali matanya menatap kebawah.

"…menyesal."

Lirihannya sama sekali tak sampai keindera pendengaranmu. Kau mendekatkan diri padanya, menggerakkan kakimu maju selangkah. "Kenapa?"

"Ma-maaf…" setelah itu setiap perkataan yang terlontarkan dari bibirnya tak terdengar lagi.

"Apa yang Ayah katakan?" Kau semakin mendekatkan pada dirinya. Hingga kau menumpukan lututmu diteras rumahmu, terduduk tepat dihadapan Minato. Jemarimu memegang lutut Ayahmu, memiringkan sedikit kepalamu untuk dapat menatap mata hazel Ayahmu yang mirip denganmu. Meminta jawaban.

"Maaf. Aku menyesal sekali meninggal kalian. Pada akhirnya…" napasnya tercekat. Ia menghela napasnya dan dengan mantap menatap mata indahmu. "…aku sadar bahwa aku tidak dapat hidup tanpa kalian. Hidupku hampa."

Hatimu mencelos.

Kau mencoba untuk mendapatkan kepastian dari mata hazel nya. Dan kau mendapatkan kepastian itu. Tak ada keraguan, tak ada kebohongan. Minato menyuarakan hatinya yang terdalam. Itu semakin membuatmu miris.

Matamu kau tutup, menghilangkan barang sekejap bola mata indahmu. Napasmu kau atur setenang mungkin. Kau menunduk.

Rasa-rasa kecewa yang telah kau lupakan kembali menghantui perasaanmu. Menggelisahkan dirimu. Teringat semuanya. Ketika kau membutuhkan seorang Ayah untuk mendengarkan curhatmu, tapi tidak pernah ada Ayah disampingmu. Ketika kau membutuhkan seorang Ayah untuk menyenderkan kepalamu dibahunya, sekedar menghilangkan rasa letih, tapi tidak pernah ada Ayah disampingmu. Ketika kau membutuhkan seorang Ayah untuk menceritakan kisah percintaan anak remaja yang mulai menggerayangi dirimu, tapi Ayahmu tidak pernah ada disampingmu. Tidak pernah ada untuk memberikan senyumannya untukmu, tidak pernah ada untuk memberikan cubitan kecil pada pipimu ketika kau berbuat nakal, tidak pernah ada memberikan nasihat ketika kau membuat kesalahan. Ayahmu tidak pernah ada disampingmu setidaknya ketika kau duduk dibangku 2 SMP. Ayahmu meninggalkanmu dan keluargamu. Hingga akhirnya kau merasa benci terhadap sosok Ayah. Sosok lelaki. Karna kau percaya… seorang lelaki hanya akan menyakiti seorang wanita. Sama halnya dengan yang Ayahmu lakukan pada Ibumu, juga terhadapmu dan adikmu.

Tapi kini ia datang kembali, menggali kembali harapanmu untuk memiliki seseorang Ayah, harapanmu yang telah mati. Dengan senyuman hangatnya, senyuman hangatnya yang sudah hampir satu dekade penuh kau tak melihat senyumnya.

Menimbulkan rasa kerinduan yang sungguh berkecamuk didadamu. Sebegitu mudahnya kah kau jatuh kembali terhadap jeratan Ayahmu?

Tentu. Karna kau adalah anaknya. Anaknya yang tak mungkin lepas dari Ayahnya.

Perlahan kau menyentuh pipi yang ternodai oleh abu-abu jalanan. Mengusap itu. Senyumanmu terulas. "Okaerinasai…" seiring jatuhnya air matamu, kau memeluk Ayahmu. Kencang. Sangat kencang. Seakan-akan memastikan bahwa ia takkan pernah lagi meninggalkanmu, meninggalkan keluarganya…

Dan kau juga seorang anak, anak yang menantikan kepulangan Ayahnya. Seperti saat ini.

-OWARI-