A/N: Yosh! Minna-san! Saya kembali dengan sebuah cerita AU berdasarkan cerpen milik teman author. Cerpen ini waktu itu sempat masuk majalah sekolah author dan memenangkan "The Best Short Story" versi majalah sekolah author. Yah, meskipun saya ubah judulnya sih...Ya sudah, curcolan author lainnya ada di akhir chapter 1 ini.. Dadah!

.

"Akan kulakukan apapun untuk tahta itu."

.

Akhir musim gugur...

"AAAARRRRRGGGHHHHH!" Sebuah teriak kesakitan terdengar dari arah Kadhaton. Membangunkan para penghuni Alas Dewangkara sampai ke dusun Sasodara. Sang Raja terus berjalan ke kiri dan ke kanan sambil sekali-sekali menatap pintu jati yang sedang tertutup rapat dari dalam.

"Oh, Penasihatku.. Bagaimana jika ia tidak selamat?" gumam Sang Raja ditengah kegundahannya. Jerit kesakitan itu terus terdengar. Sudah hampir 2 jam Sang Raja menunggu kelahiran dua putrinya, tapi persalinan itu masih belum selesai.

"Yang Mulia.., Yang Mulia Ratu pasti selamat. Dewi Matahari dan Dewi Bulan telah dipanggil oleh pendeta untuk mendampingi beliau. Karenaitu, Yang Mulia Ratu pasti selamat." jawab sang Penasihat. Raja tetap tidak tenang. Ia tetap merasa khawatir yang teramat sangat. Hal itu memang sudah konsekuensi dari seorang ibu untuk melahirkan anaknya. Akhirnya...

"OEEKK!"

Satu lagi tangisan bayi terdengar dari dalam.

Grek! Pintu itu terbuka. Sang Raja menolehkan kepalanya menuju sang bidan yang telah membantu permaisurinya bersalin. "Bagaimana keadaannya?" tanya sang Raja. Sang bidan tersenyum, "Yang Mulia Ratu baik-baik saja, Yang Mulia. Beliau sedang menyusui kedua putri." jawab sang bidan.

Sang Raja tersenyum lega. Ia segera melangkah masuk menuju peraduan Sang Ratu. "Ratuku..." bisiknya. Sang Ratu menoleh ke arah Raja. "Yang Mulia.." jawab Sang Ratu. Sang Raja berlutut di satu kaki untuk melihat dengan lebih jelas kedua putrinya. "Mereka berdua..., cantik..." kata Sang Raja. Sang Ratu tersenyum.

"Oh, Dewi Matahari dan Dewi Bulan perkenankanlah anugerahmu turun pada dua putriku. Untuk mereka yang akan menjadi penerus bagi Kerajaan ini... Kerajaan Arka Badrawintang."

.

Ratitya lan Sitaresmi ing Dirgantara

Hetalia Axis Power – Himaruya Hidekazu

Plot – berdasarkan cerita "When They Rose Together" oleh teman author

Story dan Para OC – Star-BeningluvIndonesia

Warning: AU! OC! OOC! Kata-kata indah England, typo, dkk

Rated: K+ (?)

Main Pairing: AustraliaXIndonesia

.

18 tahun kemudian, bulan Rejeb…

"OK, Sita, lihat ini. Aku bisa lho memanah apel itu dengan tepat." kata Ratitya dewasa. Sitaresmi yang sedang membaca buku dibawah pohon pun menutup bukunya. "Baiklah, tapi jangan jatuh ke kepalaku, ya." kata Sitaresmi. Ratitya menyunggingkan seringai yang menyiratkan tentu-saja-aku-tidak-akan-membuatnya-terjatuh-di-k epalamu-adikku.

Satu panah dilepaskan, dan...

Syut!

Sebuah apel jatuh diatas buku yang dibaca Sitaresmi. "KAKAK!" kata Sitaresmi geram. Ratitya tertawa hambar. "Kan tidak jatuh di kepalamu.." jawab Ratitya. Sitaresmi memijit batang hidungnya. "Rasanya aku memang nggak bisa belajar kalau kakak sedang berlatih deh..." katanya. Ratitya meletakkan busur dan anak panahnya di tanah lalu duduk disamping Sitaresmi. "Iya, deh... Aku berhenti. Lagian sih, kamu, di hari yang cerah seperti ini aja, kamu masih belajar. Nggak bosen?" tanya Ratitya.

Sitaresmi menggeleng. "Kak, aku tidak bisa seperti kakak yang bisa memanah, berpedang, berkuda, atau berkelahi... Aku hanya bisa menghafalkan ratusan buku di perputakaan dan bermain alat musik. Aku juga penakut–" kata-kata Sitaresmi terpotong oleh panggian seorang pelayan pribadinya. "Yang Mulia Tuan Putri Sitaresmi, tutor Anda telah datang." kata pelayan itu. Sitaresmi menghela nafas.

"Aku memang tidak bisa sepertimu, Sita... Tapi kita bisa saling menjaga dan melengkapi." kata Ratitya. Sitaresmi mengangguk. "Ya. Tentu saja, kak..." jawabnya.

.

.

.


"Wah! Rumah ini masih ada!"

"RATITYA! LAMA NGGAK KETEMU!"

.

Saat seorang musikus besar kembali ke tanah airnya. Untuk mewujudkan mimpinya.

.

"Ayo, kita belajar musik bersama."

"Kau yakin akan keputusanmu?"

.

Namun, halangan dan rintangan terus berdatangan dari segala pihak.

.

"Empat biola, satu bass, 6 gitar, dan 2 ukulele hilang."

"Penyakitnya sudah sangat parah…, mungkin ia tidak bisa bertahan sampai akhir tahun ini…"

.

Akankah ia bisa melewatinya?

.

.

.

"Teruslah kejar impian kalian semua!"

.

.

.

Sekolah Musik Impian

Story and Plot: Star-BeningluvIndonesia

Starring: Indonesia (Sitaresmi), UK, Austria, Australia.

Segera di Fandom Hetalia Indonesia.


.

.

.

Beberapa jam setelah itu...

"UWAAAHHH~ Aku bosan... Sitaresmi lagi belajar.. Aku jadi sendirian, deh..." keluh sang Putri Matahari. Entah kenapa, nama 'Putri Matahari' itu sangat melekat dengannya. Mungkin karena ia lahir pada saat matahari sedang bersinar di langit tertinggi di Kerajaan itu. "Coba deh 'Ibu Pandhita' sudah mengajarkan cara menggunakan kekuatan Matahari, pasti aku nggak bakalan bosen."

Ratitya kembali merebahkan tubuhnya di hamparan rumput di taman belakang Kedhaton. Satu tangannya ia angkat untuk menutupi matanya dari cahaya matahari yang menyilaukan. "Coba, aku jadi Sita. Mungkin sekarang aku udah punya kerjaan.. Tapi,"

"Tapi Anda tidak bisa seperti Putri Bulan, Putri Ratitya." Kata seseorang. Dengan sigap Ratitya mencabut kerisnya dan meletakkannya tepat di leher orang asing itu. "Siapa kau? Kenapa kau bisa masuk kesini?" Tanya Ratitya penuh selidik. Orang tadi terkekeh. "Anda memang benar seperti yang dibicarakan… Pemberani dan gesit. Bahkan sinar mata Anda menandakan bahwa Anda adalah pemimpin yang kuat."

"Jangan mencoba mempengaruhiku!" seru Ratitya. Genggamannya mengerat. "Yang berhak menentukan siapa yang menjadi penerus kerajaan ini hanyalah Sang Prabu Bagaspati. Kau tidak bisa ikut campur!" katanya tegas. Orang asing itu kini terdiam. Namun beberapa detik kemudian, keris berwarna perak itu menggantung di udara. Orang asing tadi berdiri di belakangnya.

"Pikirkan, putri…" bisik orang itu tepat di telinganya. Hembusan nafas hangat terasa kentara di tengkuknya. "…" Ratitya tak menjawab. Masih terheran dengan kecepatan orang asing itu. "Pikirkan jika Anda yang berdiri di atas tahta. Anda mampu melakukan apapun yang anda ingin lakukan. Anda akan mempunyai kekuasaan tak terbatas. Dengan kekuatan sang Baskara.., anda bisa menjadi pemimpin dunia."

"!" Ratitya terkejut. Sangat. "A-apa maksudmu?" tanyanya. Orang tadi kembali terkekeh. Ratitya menurunkan kerisnya dan menyelipkannya kembali ke sarungnya. "Maksud saya adalah…, anda tidak hanya mampu menaklukkan Arka Badrawintang. Tapi juga Elgand, Vousiet, Naisa, bahkan seluruh dunia." Kata orang itu. Rambutnya yang berwarna jenar berdiri menantang wiyata. Wilis menjadi irisnya yang menatap Ratitya. "Dengan bantuan saya…, Saya bisa menghasut para bangsawan agar berpihak pada kita…"

Ratitya berpikir. 'Apa yang harus ku lakukan? Memang kata-katanya benar. Pemilihan putri mahkota akan dilaksanakan akhir Besar. Dan…, dengan kelebihanku…, harusnya aku bisa mengalahkannya…' Ratittya lalu berbalik dan berjalan mendekati pohon di dekat situ, 'Tapi aku bisa kalah juga. Para bangsawan itu selalu dekat dengan Sita karena Sita sering melakukan konser. Bagaimana ini? Haruskah aku menerima tawarannya?'

"Bagaimana, Putri? Anda menerima?" Tanya orang tadi. Ratitya kembali menghadap orang asing itu dan menjawab, "Ya. Aku terima. Akan kulakukan apapun demi tahta itu."

.

.

.

Akhir bulan Dulkaidah…

"Hari ini kita akan belajar cara mengenalikan kekuatan masing-masing. Ratitya…, matahari. Sitaresmi…, bulan." Kata Ibu Pandhita sambil menyerahkan dua tongkat. Ratitya bergambar matahari yang sedang bersinar. Sedangkan Sitaresmi bergambar bulan purnama di tengah bulan sabit. "Pertama, ayunkan tongkatmu secara perlahan."

Sitaresmi memutar tongkat itu di udara secara perlahan, lalu… "Siiiiing…" cahaya biru berpendar di ujung tongkatnya. Ratitya juga melakukan hal yang sama, namun dengan kecepatan yang berbeda. Seberkas cahaya kuning melesat menuju Sitaresmi. Ratitya tersenyum licik.

"! Ukh!" Sitaresmi terlempar jauh ke belakang. Ibu Pandhita terkejut melihat kejadian itu. "Tuan Putri!" teriaknya sambil mendekati Sitaresmi. "Anda tidak apa-apa, Yang Mulia?" Tanya Ibu Pandhita. Sitaresmi mengangguk dan tersenyum. "Iya, aku tidak apa-apa Ibu Pandhita." Jawabnya.

Setelah membantu Sitaresmi berdiri, Ibu Pandhita mendekati Ratitya. "Kenapa Anda melakukannya, Yang Mulia? Anda bisa melukai Yang Mulia Putri Sitaresmi." Kata Ibu Pandhita. Ratitya menatap Sitaresmi dengan tatapan dingin. "Dia lemah. Dan negeri ini tak butuh orang seperti dia." Jawab Ratitya. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Ratitya. "Jaga kata-kata Anda, Yang Mulia! Anda berdua sama-sama dibutuhkan!" kata Ibu Pandhita.

Ratitya emegangi pipinya dan memberikan tatapan menusuk pada Ibu Pandhita dan Sitaresmi. "Terserah apa katamu! Tapi aku akan melatih kekuatanku sedndiri. Tanpa bantuanmu!" kata Ratitya lalu meninggalkan ruangan itu. Gaun berwarna merah menyala miliknya sedikit berkibar. "Kakak!" panggil Sitaresmi alalu mengikuti Ratitya. "Tunggu, kak!"

Ratitya tidak menggubrisnya. Ia terus berjalan dengan muka masam. "Tunggu, kak!" Tangan Sitaresmi berhasil menggapai lengan Ratitya dan menariknya. Sontak Ratitya menepisnya. "Lepaskan aku! Jangan sok peduli denganku! Karena kau," telunjuknya diacungkan di depan muka Sitaresmi. "Akan kukalahkan dalam pemilihan Putri Mahkota. Ingat itu!" kata Ratitya lalu berbalik dan meninggalkan Sitaresmi.

Sitaresmi terdiam. Ia masih mencerna kata-kata kakaknya. "Karena kau, akan kukalahkan dalam pemilihan Putri Mahkota!" Sitaresmi memejamkan matanya erat dan membiarkan sebulir Kristal air menuruni pipinya. Ia sedikit menjinjing gaun berwarna biru-nya lalu berjalan pergi. Menuju menara utara istana.

.

.

Someone's POV

Aku mengikutinya diam-diam sampai naik ke menara itu. Aku sangat mengenali desain gaunnya. Kebaya biru dengan rok batik berwarna senada. Kemudian, aku pun ikut naik ke menara. Mudah bagiku untuk melewati penjaga karena aku adalah pengawal pribadinya. Sesampainya diatas, aku melihatnya termenung sambil menatap pemandangan Gunung Bathara di kejauhan.

"Kau mengikutiku lagi, Arya?" tanyanya. Aku sedikit terkejut. Dia memang sudah sangat mengenalku dan bisa merasakan keberadaanku dengan cepat. "Maafkan hamba, Yang Mulia." Kataku sambil membungkuk. Ia kembali terdiam. "Kemarilah." Perintahnya. Aku segera mendekatinya dan berdiri tepat di belakang kursinya. "Ya, Yang Mulia?"

"Apa aku ini lemah?" tanyanya. Aku terkejut. Selama 6 tahun aku mendampinginya, ia tak pernah menanyakan hal seperti ini. "Yang Mulia.." kataku. "Apa aku ini lemah? Ratitya berpikir aku lemah. Apa aku memang lemah?" Tanya lagi tanpa menatapku. Aku semakin kikuk dan hanya bisa menatap wajahnya dari samping.

Sinar mentari sore semakin meredup. Matahari hampir kembali ke peraduannya. Dan kami berdua masih berada disini dalam kesunyian. Tak lama, ia menutup matanya perlahan. "Yang Mulia?" panggilku. Ia tak menjawab. Matanya tetap menutup. "Ya-Yang Mulia?" panggilku dengan khawatir. "Arya…" ia menjawab. "Ya, Yang Mulia?" tanyaku.

"Apa kau mencintaiku?" Tanyanya. Tubuhku membeku. Jantungku berdegup kencang dan cepat. Aku menunduk. Tak mampu melihat wajahnya yang saat ini menatapku. Aku melihat seragam hitam dengan rompi coklat tua yang kupakai. Juga sepatu hitam selutut mendampingi celana hitamku yang sepertinya sangat menarik untuk dilihat.

"Arya…, jawablah…" katanya lagi. Rona merah merambati pipiku. "Arya." Katanya sebelum aku kembali menegakkan wajahku dan melihatnya berdiri. Gaun berwarna birunya dipermainkan angin. Wajahnya yang berwarna tan berkilau di bawah sinar rembulan. Sama seperti namanya.

"Sa-saya.., tidak tahu…" jawabku terbata. SIAL! Kenapa aku mengatakan hal itu?! Memang aku menyukainya, tidak, mencintainya. Tapi, dia adalah seorang putrid. Sedangkan aku? Aku hanyalah orang dari golongan petani yang dengan tidak sengaja mendapat keberuntungan menjadi pengawal pribadi Putri Sitaresmi.

"Begitu…, maaf aku menanyakan hal yang aneh…" katanya sambil tertawa ringan. Bagaiman bibirnya yang berwarna kemerahan itu menyunggingkan tawa. Aku sangat menyukainya. Seakan aku tidak ingin ada yang bisa menggantikannya. Tapi, sinar bulan menunjukkannya. Buliran air itu menuruni pipinya. Terjun bebas ke bawah, lalu jatuh diatas lantai kayu.

"Yang Mulia?" tanyaku. Ia buru-buru mengusap air mata itu. "Maaf, aku kelilipan." Katanya. Aku tahu itu bohong. Tuan Putri bukanlah orang yang mudah menangis. Ia adalah orang yang kuat namun lembut. Ia sangat tegar sampai-sampai dia rapuh. "Yang Mulia…, ijinkan saya untuk…" kataku sebelum memeluknya. Dan ia tidak memberontak. Ia menumpahkan seluruh tangisnya di bahuku. Aku bisa merasakan air matanya. Dan aku harap, aku mampu menghapusnya…

.

.

.


"Bruder."

.

Saat seorang kakak meninggalkan adiknya.

.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif…"

.

Sang adik berusaha keras untuk menemukannya, dan membawanya kembali.

.

"Kau tahu dimana bruder?"

"Maaf, Germany. Aku tidak tahu."

.

Namun sang kakak telah memilih pergi. Dan bersama seorang lain.

.

"Ia bersama Netherlands."

.

.

When East Leaves West

Story and Plot: Star-BeningluvIndonesia

Starring: Germany, Prussia, Italy

Segera di Fandom Hetalia Indonesia


.

.

.

Akhir Bulan Besar…

"Wahai Putri Ratitya…, Putri Sitaresmi. Kalian berdua kupanggil kemari untuk menentukan. Siapakah orang yang tepat untuk mendapatkan Mahkota Langit. Sebagai tanda penerus kerajaan ini." Kata Prabu Bagaspati, ayah Ratitya dan Sitaresmi. "Baiklah, ayahanda." Jawab mereka berdua bebarengan. Keduanya lalu berdiri saling berhadapan. Sebuah tongkat dipegang oleh keduanya. Bulan dan Matahari.

Matahari semakin ke barat saat pertarungan dimulai. Ratitya melancarkan serangan-serangan cepat dan mematikan. Berusaha menyelesaikan pertarungan itu secepat mungkin. Tetapi, Sitaresmi dengan cekatan mampu mengelak dan menangkisnya. 'Cih! Bagaimana dia bisa berkembang dengan pesat selama 4 bulan ini?!' umpat Ratitya dalam hati.

"Bajra Candra!" teriak Sitaresmi. Sebuah cahaya berwarna keperakkan langsung melesat dari ujung tongkatnya dan mengenai Ratitya. "Ukh!" Ratitya mengerang kesakitan saat ia terlempar ke belakang. "Maafkan aku, kak." Kata Sitaresmi dengan nada bersalah. Mendengar hal itu, Ratitya dipenuhi rasa amarah. Ia bangun dan menyiapkan tongkatnya. Menggumamkan aji-aji Rawi Naraca. "Rasakan ini!" kata Ratitya.

Sinar emas kekuningan melesat cepat menuju Sitaresmi. Namun, "TEMBOK SEGARA!" kata Sitaresmi. Dan sinar biru melindunginya dari serangan Ratitya. "Tidak akan kubiarkan." Kata Ratitya sambil terus menyerang dan menyerang. Tidak membiarkan Sitaresmi membalas.

"Ukh…" erang Sitaresmi. Kekuatannya diambang batas. Tembok perlindungannya hampir jebol. 'Rembulan.., cepatlah keluar dari persembunyianmu. Berilah kekuatan bagiku untuk menahan amarah kakakku.' Pinta Sitaresmi dalam hati. "Meminta bulan segera datang, eh?" ejek Ratitya. Sitaresmi diam saja dan berusaha mempertahankan 'Tembok Segara'-nya selama mungkin.

Ibu Pandhita sudah was-was dari jauh. Ia sudah tahu ada yang salah dengan Putri Matahari. 'Ramalan itu memang benar. Ramalan itu memang benar.' Pikir Ibu Pandhita.

.

.

Flashback

"Bukankah mereka berdua mengagumkan, Ibu Pandhita?" Tanya Sang Prabu. Ibu Pandhita tersenyum dan mengangguk. "Benar, Yang Mulia… Saya turut bahagia mengenai kelahiran kedua penerus tahta ini." Bagaspati tertawa pelan sambil mengelus kepala kedua putridnya dengan sayang. Namun, wajahnya berubah sedih. "Tapi aku harus kehilangan Ratih…" katanya. Ibu Pandhita langsung kehilangan senyumnya dan terdiam.

Ruangan kembali hening. Ibu Pandhita dan Prabu Bagaspati sama-sama terdiam. "Apakah ramalan itu benar?" Tanya Bagaspati. Ibu Panhita sedikit kebingungan. "Ramalan apa, Yang Mulia?" Tanya Ibu Pandhita. Sang Prabu berdiri dan menatap Ibu Pandhita. "Ramalan tentang pertikaian itu…" jawab Bagaspati. Sontak, wanita paruh baya itu tersadar.

"Ramalan itu…, saya tidak yakin. Pertikaian yang dimulai oleh 'Matahari' dan 'Bulan' karena terbit bersama itu dimulai saat seorang Ratu melahirkan anak kembar diwaktu siang dan diwaktu malam." Terang Ibu Pandhita. "Tapi bukan berarti 'Matahari' dan 'Bulan' itu adalah kedua Tuan Putri Anda, Yang Mulia." Bagaspati menatap kedua putrinya dengan tatapan sayang sekaligus sedih. "Tapi bagaimana jika kedua putriku memang 'Matahari' dan 'Bulan' di ramalan itu? Adakah cara untuk menghentikannya?"

Ibu Pandhita terdiam dan berpikir. "Ada. Kita harus membuat sang 'Matahari' tidak bertemu Penyihir berkulit Putih dari negeri jauh." Jawab Ibu Pandhita. Bagaspati menatapnya dan berkata, "Maka kau yang akan menjaga Ibu Pandhita. Aku menitipkan kedua putriku padamu." Ibu Pandhita mengangguk. "Baik, Yang Mulia."

Flashback End

.

.

"Aku telah gagal…" gumam Ibu Pandhita. "PEDHANG RAWI!" teriak Ratitya. Seketika itu, 'Tembok Segara' Sitaresmi jebol. Sitaresmi terpental ke belakang dan menabrak tembok Kadhaton dengan keras. "Yang Mulia!" teriak Arya, pengawal pribadi Sitaresmi. Ia berlari mendekati Sitaresmi. "Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?" Tanya Arya. Sitaresmi tidak merespon. Matanya tetap tertutup erat. Sebutir air mata menuruni pipinya yang sedikit lecet.

"Putri Sitaresmi Dirgantara, apa kau menyerah dalam pertarungan ini?" kata Bagaspati. Dalam hatinya, ia tidak tega melihat putrinya seperti itu. Wajah Sitaresmi sangat mirip dengan Ratih Dirgantara, mendiang istrinya, Ratu Arka Badrawintang. "Uuuh.." erang Sitaresmi. Air mata itu semakin cepat menuruni pipinya. "Menyerahlah, Sitaresmi. Atau kau akan mengalami yang lebih buruk." Kata Ratitya. Bagaspati melirik Ratitya yang menatap Sitaresmi dengan sinis dan mencemooh.

Namun Matahari hampir turun dari langit. Dan Bulan telah siap menggantikan keberadaannya. Ratitya berbalik menghadap tahta sang ayah. "Ayahanda Prabu Bagaspati Dirgantara, hamba telah memenangkan pertarungan ini. Jadilah hamba yang layak untuk menerima posisi Putri Mahkota." Kata Ratitya. Bagaspati terdiam. Ia kembali melirik Sitaresmi. "Ya… Maka dengan ini, Ratitya Dirgantara, kau aku nyatakan sebagai-"

"Tunggu!" terdengar suara Sitaresmi. Ia telah berdiri. Tak ada lagi keraguan yang tersirat di matanya. Sinar Bulan menerpanya. "Ini belum selesai!" kata Sitaresmi. "Ho.., masih bisa bangkit rupanya." Ejek Ratitya. Sitaresmi menggenggam tongkatnya lebih erat. "Aku tidak akan menjadi lemah. Aku akan membuktikan kalau diriku tidak lemah." Kata Sitaresmi.

Ibu Pandhita berbalik dan melihat ke arah langit. Disisi kiri, terlihat matahari masih belum turun. Namun, sang Bulan telah terbit disisi kanan. Saling bersebelahan dan seolah bertarung untuk menentukan siapa yang layak berada di angkasa. Sama seperti kedua putri, yang telah bersiap bertarung demi kekuasaan.

.

"SUDUH BASANTA!"

.

"PEDHANG RAWI!"

.

Cahaya berwarna putih keperakan dan kuning keemasan beradu untuk menentukan siapa yang terkuat.

.

.

.

To Be Continue

.

.

.

A/N: Halo semua! Ini juga fic saya lho! Saya akhirnya membuat satu fic bergenre Fantasy. Yay!

Nama-nama diatas saya ambil dari tembung kawi.

Akra Badrawintang: Matahari Bulan Bintang

Sitaresmi Dirgantara: Bulan di Langit

Ratitya Dirgantara: Matahari di Langit

Bagaspati Dirgantara: Matahari di Langit

Ratih Dirgantara: Bulan di Langit

Pandhita: Pendeta

Kadhaton: Keraton/Istana

Sedangkan untuk jurus-jurusnya…

Bajra Candra: Petir Bulan

Rawi Naraca: Panah Matahari

Tembok Sagara: Tembok Laut

Suduh Basanta: Keris Bulan

Pedhang Rawi: Pedang Matahari

.

Gimana? Baguskah untuk sebuah Prolog? Ato meribet? Saya sengaja tidak mengeluarkan sang Penyihir berkulit Putih dari jauh. Ada ciri-cirinya lho diatas. Yang bisa nebak saya percepat update-an fic ini dan fic A Rain of Love, For the Earth, For You. Cepetan!

Arya itu Surabaya. Ehm, Alas Dewangkara itu… *nyariartinyadipepakbasajawa Ah! Dewangkara itu Matahari. Jadi, Alas Dewangkara itu Hutan Matahari. Nggak nyambung? Biarin dah… Lalu, dusun Sasodara itu kalau nggak salah dusun Bulan.

Lalu…, apa lagi? Untuk Negara atau kerajaan yang disebutkan diatas seperti Elgand, Vousiet, itu nanti saya terangkan Sekarang saya simpen dulu.

Jika anda bertanya-tanya kenapa ada dua iklan fic, itu memang sengaja. Jadi itu seperti iklan. Fic ini seakan film di TV. Jadi tetep ada iklannya gitu. Tapi kalau reders nggak suka, bisa diskip aja. Dan, ini adalah tawaran. Jika anda tertarik untuk mengiklankan fic anda, monggo request di review. Cantumkan dengan jelas judul, lalu summary yang akan diketik (usahakan semenarik mungkin), dan Starring-nya siapa. Jadi misal Starringnya itu Indonesia dan Netherlands, yaudah, cantumkan Starring-nya Indonesia, Netherlands.

Kalau misal sudah dipublish, tapi mau diupdate, ya cantumkan judul setelah itu chapter berapa. Terus kapan diupdate. Ehm, untuk Indonesia, cantumkan yang spesifik. Misal twins. Atau female, atau male. HUMAN NAME JUGA! OK! Sekian dari saya…

REVIEW PLEASE!