Malam itu, aku tersenyum kepadamu dari kejauhan. Kau, yang menyemangati adikmu yang berdiri di atas panggung bersama robot-robot kecilnya. Aku selalu datang ke cafe bibimu—yang sekaligus rumah tempat tinggalmu bersama adikmu dan bibimu— hanya untuk melihatmu yang sesekali melewati meja-meja di cafe. Aku tahu, kau tidak pernah memperhatikanku. Tapi, kenapa kau pergi begitu cepat..?

Ledakan itu, kebakaran itu, merenggut semuanya dariku. Senyummu, tawamu, suaramu... Dirimu.

Aku merindukanmu, Tadashi Hamada.

(Normal pov)

Satu tahun kemudian, di San Fransokyo.

Gadis dengan rambut hitam panjang dan berkulit pucat itu meneruskan langkahnya ke cafe yang selalu ia datangi tiap hari. Cafe yang penuh kenangan baginya, cafe yang selalu membuat matanya tergenang airmata.

Duduk di sudut cafe, memegang cangkir berisi coklat panas dan mengenang kembali. Ketika sosok pemuda itu berbicara dengan adiknya, berjalan melewati cafe, dan berbagai kegiatan lainnya. Gadis itu terdiam, merasa bingung. Aneh, untuk apa ia terus-terusan bersedih?

Apakah dengan ini Tadashi bahagia? Tidak.

Apakah ini memperbaiki moodnya? Sepertinya tidak.

Apa tujuannya? Entah.

Gadis itu tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Tapi, perlahan, tawanya menjadi pelan, suaranya bergetar. Airmata mulai menggenangi matanya, dengan tak sabar ingin segera mengalir. Gadis itu menahan airmatanya, ia meletakkan cangkirnya yang masih terisi setengah oleh coklat panas.

Kakinya melangkah ke luar cafe. Ia ingin menangis, meski ia selalu mengenang Tadashi setiap hari, ia belum pernah merasakan airmatanya—yang selalu ditahannya— mengalir di pipi karena kepergian Tadashi.

Tapi, baru beberapa meter, Hiro menabraknya—bukan ia yang menabrak Hiro.

"Aw!" seru keduanya.

"Erk- M-Maaf," ucap gadis itu, sambil merutuki dirinya.

"Maaf! Eh..?" kata Hiro, ia memandang wajah gadis itu. "Bukannya kau gadis yang setiap hari datang ke cafe sejak kematian Tadashi? Setiap hari kau duduk di sudut dan sendirian, hanya memesan minuman."

Gadis itu menunduk, airmatanya perlahan jatuh. "E-Eh? Ada yang sakit..? Atau bagaimana?" tanya Hiro sedikit panik karena orang-orang mulai memperhatikan mereka. "Ng.. Tolong hentikan tangisanmu.."

(Hiro pov)

"Maafkan aku sudah merepotkan.."

Kakinya melangkah masuk ke ruangan. Matanya menjelajah, dan terpaku pada barang-barang Tadashi. "Duduklah," ucapku. Ia duduk di kursi mejaku, aku duduk di tempat tidurku.

"Jadi.. Siapa namamu?" aku memulai percakapan.

"Aku Yuki Yoshida."

"Ng.. Jadi, kau menyukai kakakku, erm.. Tadashi?" ucapanku itu kontan membuat Yuki nge-blush.

"Aku melihatnya di kampus, merasakan suatu perasaan yang aneh—ya, kau tahulah. Lalu, aku melihat showcase-mu sekaigus memperhatikannya dari jauh. Tapi, kebakaran itu merenggutnya. Aku yang dulu kadang-kadang ke cafe bibimu untuk melihat kakakmu, sekarang selalu datang setiap hari. Untuk mengenangnya."

Kutatap mata Yuki yang berkaca-kaca, rasanya ia jadi pengen nangis juga. "Sepertinya kau sangat suka Tadashi," aku nyengir. Yuki tertawa.

"Aku menyayanginya.. Tapi, kurasa, Tadashi tidak bahagia jika aku terus-terusan sedih karenanya." ucap Yuki, sepertinya ia mencoba untuk bersikap tegar. Aku mengangguk setuju.

Yuki kembali berkaca-kaca matanya. Aku memandang barang-barang Tadashi. "Errm.. Kau boleh mengambil satu barang Tadashi."

"Sungguh?" Yuki terlihat sedikit senang. "Tapi.. Apa kau tidak keberatan? Apa Tadashi tidak keberatan?"

"Aku rasa tidak."

Yuki mengambil salah satu baju Tadashi. Ia mendekapnya dengan lembut, seolah Tadashi ada disana.

"Terimakasih, Hiro." ucap Yuki sebelum pulang. Ia juga sempat mencium keningku, entah kenapa mengingatkanku pada Tadashi. Tadashi..